"Mas Juna ..." Aku sengaja memanggil Mas Juna untuk melihat bagaimana dia akan menyikapi hal ini.
Suamiku ini sepertinya kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal. Thin. Thin! Bunyi klakson terdengar dari belakangku. Aku menoleh, pun dengan Mas Juna dan Hanum. "Wulan, dari pada gak dianggap, yuk sama aku aja. Aku tahu rumah Juna, kok." Seseorang yang ternyata Bobi itu sedikit berteriak. "Iya, deh." Aku langsung berbalik pura-pura menyetujui ajakan Bobi untuk mengetahui reaksi Mas Juna. "Eh, Sayang. Mau ke mana?" "Udah biarin aja dia pulang sama Bobi. Kamu sama aku." Seketika ayunan langkahku berhenti mendengar ucapan Hanum. Kurang asem, aku sudah terpancing emosi oleh Hanum. Astaghfirullahal 'adziem. "Sayang ..." Mas Juna menyusulku. "Ayuk masuk mobil." Dia meraih tanganku. "Gak sebelum Hanum turun," ujarku sedikit ketus. "Iya, Sayang. Tadinya juga mau aku suruh turun kok, kamu malah pergi." "Ya udah, buru ..." Aku mencebik manja. Lalu Mas Juna menuntunku kembali menuju mobil. Namun sebelum itu, Mas Juna berteriak pada Bobi. "Pulang sono ... Ditungguin emak loe di rumah." "Num, sorry, ya. Kamu duduk di belakang. Ini tempat Wulan sekarang." Mas Juna meminta Hanum untuk pindah. "Arjuna ... Kamu ..." Hanum seperti tak percaya suamiku tega melakukan itu padanya. Padahal dia kan bukan siapa-siapanya, ya, kenapa kayak gitu reaksinya? "Kalau kamu keberatan, mendingan kamu pulang sama Pak Sapri, tuh masih nungguin di sana," ujar Mas Juna lagi. "Ck!" Hanum berdecak, tetapi dia akhirnya turun dan pindah ke pintu belakang. "Bukain!" "Gak boleh! Mas Juna bukan kacung kamu, ya!" Aku menahan tangan Mas Juna yang hampir terangkat menuruti perintah Hanum. Kemudian Hanum seperti terpaksa membuka pintu mobil, lalu masuk dan menutupnya dengan kasar. "Yuk, Mas." Aku dan Mas Juna pun naik. Beberapa saat kemudian mobil kami melaju perlahan. Mas Juna terlihat kedinginan, apalagi Hanum meminta untuk menghidupkan Ac-nya. "Mas kedinginan ya?" tanyaku perhatian. "Iya, sedikit." Aku ingat, di jok belakang ada jaketku yang sengaja aku tinggal. "Sebentar aku ambil jaketku dulu di belakang." "Ini pakai blazermu aja, Jun. Aku gak pa-pa kok." Hanum ternyata sudah gercep melepaskan blazer Mas Juna yang sempat ia pakai. "Gak pa-pa, aku pakai jaket Wulan aja." Mas Juna menolak. Aku yang sudah bersiap mengambil jaket di belakang meneruskan gerakan yang sempat tertunda sambil berbisik pada Hanum, "Aku istrinya, prioritasnya, bukan kamu!" Setelah itu aku berikan pada Mas Juna dan membantu dia untuk memakainya, karena dia fokus pada jalan. Tiba-tiba terbesit ide untuk menambah panas di hati Hanum. Aku mendekati Mas Juna dan sengaja menc ium pipinya. "Nakal kamu, ya." Tak disangka Mas Juna justru balas menarik kepalaku dan mencium bibirku sekilas. Dalam hati aku bersorak. Ahaiiii ... Emang enak jadi obat nyamuk! "Menjijikkan kau, Juna. Awas saja apa yang bisa aku lakukan padamu!" Hah! Apa katanya, menjijikkan? Walau suaranya lirih, telingaku masih mendengar perkataan Hanum, tapi lebih baik aku pura-pura gak denger aja deh. Malas ribut, dah malem. "Udah, Mas. Dilanjut di rumah aja, ya. Malu sama Mbak Hanum." Aku sengaja berbicara dengan suara keras agar perempuan di belakangku itu mendengarnya. Lalu aku kembali duduk tegak sambil melihat Hanum dengan ujung mataku. Dia terlihat sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah ditekuk menghadap ke jendela. Dih, bodo amat. Suami, suamiku, kenapa dia sewot? Tadi aku dengar dia akan melakukan sesuatu pada Mas Juna. Sampai di rumah nanti, aku harus bertanya tentang kedekatan Mas Juna dengan Hanum. Aku perlu tahu setidaknya untuk mewaspadai jika wanita itu ternyata mempunyai rasa lebih terhadap Mas Juna. **** Jebret! Hanum lagi-lagi membanting pintu mobilku saat dia turun karena sudah berada di halaman rumahnya. Halaman rumah yang ternyata sangat luas menurutku. Rumahnya juga terlihat mewah dan besar. Sepertinya keluarga Hanum kalangan menengah ke atas. Ah, entahlah, bodo amat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hanum berjalan masuk ke dalam. Aku hanya bisa geleng kepala melihat tingkahnya. Pun dengan Mas Juna yang diam sambil memperhatikan Hanum melewati pintu masuk rumah bercat coklat dan silver. Namun, ada yang aneh dengan perubahan wajah Mas Juna. Dari sorot mata yang memandang Hanum, aku melihat ada kecemasan di sana. Mas Juna juga menjadi pendiam saat mobil sudah kembali melaju hingga sampai di rumah yang kami tempati. Aku yang memang sudah sedikit mengantuk pun tak begitu banyak bertanya. Lebih baik aku tunda menginterogasinya. Besok sajalah kalau sudah santai. *** [Juna, aku gak suka ya, kamu mesra-mesraan sama Wulan. Apalagi itu di depanku!] [Kalau kamu masih begitu juga, aku akan melakukan sesuatu padamu.] Mata yang semula masih mengantuk seketika melebar saat melihat chat Hanum di ponsel Mas Juna. Semakin terbelalak ketika membaca pesan balasan yang dilayangkan suamiku. . ."Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan
"Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P
"Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me
POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b
"Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s
"Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan