Share

Bab 3

Author: NingrumAza
last update Last Updated: 2025-01-22 18:21:56

"Mas Juna ..." Aku sengaja memanggil Mas Juna untuk melihat bagaimana dia akan menyikapi hal ini.

Suamiku ini sepertinya kebingungan. Dia menggaruk kepalanya yang ku yakin tak gatal.

Thin. Thin!

Bunyi klakson terdengar dari belakangku. Aku menoleh, pun dengan Mas Juna dan Hanum.

"Wulan, dari pada gak dianggap, yuk sama aku aja. Aku tahu rumah Juna, kok." Seseorang yang ternyata Bobi itu sedikit berteriak.

"Iya, deh." Aku langsung berbalik pura-pura menyetujui ajakan Bobi untuk mengetahui reaksi Mas Juna.

"Eh, Sayang. Mau ke mana?"

"Udah biarin aja dia pulang sama Bobi. Kamu sama aku."

Seketika ayunan langkahku berhenti mendengar ucapan Hanum. Kurang asem, aku sudah terpancing emosi oleh Hanum. Astaghfirullahal 'adziem.

"Sayang ..." Mas Juna menyusulku. "Ayuk masuk mobil." Dia meraih tanganku.

"Gak sebelum Hanum turun," ujarku sedikit ketus.

"Iya, Sayang. Tadinya juga mau aku suruh turun kok, kamu malah pergi."

"Ya udah, buru ..." Aku mencebik manja.

Lalu Mas Juna menuntunku kembali menuju mobil. Namun sebelum itu, Mas Juna berteriak pada Bobi. "Pulang sono ... Ditungguin emak loe di rumah."

"Num, sorry, ya. Kamu duduk di belakang. Ini tempat Wulan sekarang." Mas Juna meminta Hanum untuk pindah.

"Arjuna ... Kamu ..." Hanum seperti tak percaya suamiku tega melakukan itu padanya. Padahal dia kan bukan siapa-siapanya, ya, kenapa kayak gitu reaksinya?

"Kalau kamu keberatan, mendingan kamu pulang sama Pak Sapri, tuh masih nungguin di sana," ujar Mas Juna lagi.

"Ck!" Hanum berdecak, tetapi dia akhirnya turun dan pindah ke pintu belakang. "Bukain!"

"Gak boleh! Mas Juna bukan kacung kamu, ya!" Aku menahan tangan Mas Juna yang hampir terangkat menuruti perintah Hanum.

Kemudian Hanum seperti terpaksa membuka pintu mobil, lalu masuk dan menutupnya dengan kasar.

"Yuk, Mas." Aku dan Mas Juna pun naik.

Beberapa saat kemudian mobil kami melaju perlahan. Mas Juna terlihat kedinginan, apalagi Hanum meminta untuk menghidupkan Ac-nya.

"Mas kedinginan ya?" tanyaku perhatian.

"Iya, sedikit."

Aku ingat, di jok belakang ada jaketku yang sengaja aku tinggal.

"Sebentar aku ambil jaketku dulu di belakang."

"Ini pakai blazermu aja, Jun. Aku gak pa-pa kok." Hanum ternyata sudah gercep melepaskan blazer Mas Juna yang sempat ia pakai.

"Gak pa-pa, aku pakai jaket Wulan aja." Mas Juna menolak.

Aku yang sudah bersiap mengambil jaket di belakang meneruskan gerakan yang sempat tertunda sambil berbisik pada Hanum, "Aku istrinya, prioritasnya, bukan kamu!"

Setelah itu aku berikan pada Mas Juna dan membantu dia untuk memakainya, karena dia fokus pada jalan. Tiba-tiba terbesit ide untuk menambah panas di hati Hanum.

Aku mendekati Mas Juna dan sengaja menc ium pipinya.

"Nakal kamu, ya." Tak disangka Mas Juna justru balas menarik kepalaku dan mencium bibirku sekilas.

Dalam hati aku bersorak. Ahaiiii ... Emang enak jadi obat nyamuk!

"Menjijikkan kau, Juna. Awas saja apa yang bisa aku lakukan padamu!"

Hah! Apa katanya, menjijikkan? Walau suaranya lirih, telingaku masih mendengar perkataan Hanum, tapi lebih baik aku pura-pura gak denger aja deh. Malas ribut, dah malem.

"Udah, Mas. Dilanjut di rumah aja, ya. Malu sama Mbak Hanum." Aku sengaja berbicara dengan suara keras agar perempuan di belakangku itu mendengarnya.

Lalu aku kembali duduk tegak sambil melihat Hanum dengan ujung mataku. Dia terlihat sedang melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah ditekuk menghadap ke jendela.

Dih, bodo amat. Suami, suamiku, kenapa dia sewot?

Tadi aku dengar dia akan melakukan sesuatu pada Mas Juna. Sampai di rumah nanti, aku harus bertanya tentang kedekatan Mas Juna dengan Hanum. Aku perlu tahu setidaknya untuk mewaspadai jika wanita itu ternyata mempunyai rasa lebih terhadap Mas Juna.

****

Jebret!

Hanum lagi-lagi membanting pintu mobilku saat dia turun karena sudah berada di halaman rumahnya. Halaman rumah yang ternyata sangat luas menurutku. Rumahnya juga terlihat mewah dan besar. Sepertinya keluarga Hanum kalangan menengah ke atas. Ah, entahlah, bodo amat.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hanum berjalan masuk ke dalam. Aku hanya bisa geleng kepala melihat tingkahnya. Pun dengan Mas Juna yang diam sambil memperhatikan Hanum melewati pintu masuk rumah bercat coklat dan silver.

Namun, ada yang aneh dengan perubahan wajah Mas Juna. Dari sorot mata yang memandang Hanum, aku melihat ada kecemasan di sana. Mas Juna juga menjadi pendiam saat mobil sudah kembali melaju hingga sampai di rumah yang kami tempati.

Aku yang memang sudah sedikit mengantuk pun tak begitu banyak bertanya. Lebih baik aku tunda menginterogasinya. Besok sajalah kalau sudah santai.

***

[Juna, aku gak suka ya, kamu mesra-mesraan sama Wulan. Apalagi itu di depanku!]

[Kalau kamu masih begitu juga, aku akan melakukan sesuatu padamu.]

Mata yang semula masih mengantuk seketika melebar saat melihat chat Hanum di ponsel Mas Juna. Semakin terbelalak ketika membaca pesan balasan yang dilayangkan suamiku.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
BalqizAzzahra
Hanum kebakaran jenggot eh.... dia kan ga punya jenggot ya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 4

    [Iya, Num, aku mengerti. Maaf aku tidak sengaja. Mungkin karena aku dan Wulan masih pengantin baru.][Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kamu maafin aku 'kan?][Hanum ...]Sepertinya chat Mas Juna tidak terbalas. Yang membuatku merasa aneh, kenapa Mas Juna seperti takut Hanum marah padanya? Ada apa sebenarnya?Huffhh. Aku harus segera menemukan titik terangnya. Untung setelah selesai shalat tahajud aku inisiatif mencabut charger yang masih terhubung dengan ponsel Mas Juna. Dan entah kenapa aku yang biasanya cuek dengan benda pipih ini, sekarang tiba-tiba merasa penasaran untuk membuka. Ternyata Allah ingin menunjukkan hal ini padaku.Oke, fix. Aku harus segera bertanya seberapa jauh persahabatan yang dijalin suamiku dengan wanita itu.Ah, dari pada pikiranku kacau memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik aku nderes saja sambil menunggu subuh, gumamku.Benar saja, setelah mengaji beberapa menit, adzan subuh berkumandang. Kukerjakan sholat qobliyah subuh ketika adzan selesai dan sebe

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 5

    "Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ...""Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya."Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela."Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum."Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu."Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?""Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya."Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah."Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjal

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 6

    Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.Uhukkk!Tiba-tiba Mas Juna keselek."Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.Waw, gercep sekali."Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau."Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna y

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 7

    Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya."Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi."Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya."Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung."Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.Cup. Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 8

    "Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 9

    "Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La

    Last Updated : 2025-02-06
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 10

    "Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju

    Last Updated : 2025-02-07
  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 11

    "Gak u--""Udah terima aja, Mas. Mbak Hanum pasti di rumah sudah mencicipi ini sebelumnya. Sudah siang loh, Mas juga belum mandi. Kalau berdebat terus kapan kelarnya. Iya 'kan, Mbak? Makasih loh," ucapku memotong ucapan Mas Juna sambil tersenyum pada Hanum, lalu mengambil piring berisi omelette milik Hanum dan memberikannya pada Mas Juna."Ya udah, deh, makasih ya, Num." Akhirnya Mas Juna memakan sarapannya."Kalian, ini. Seperti anak kecil saja." Ibu hanya geleng-geleng kepala.Sedangkan aku? Aku juga menyantap omelette pemberian sahabat suamiku dengan riang gembira.Kok rasa omelette-nya mirip punya abang-abang di ujung gang sana ya? Katanya bikin sendiri. Ah, sudahlah, yang penting hari ini aku jadi gak capek masak. Makasih ya, sahabat suamiku.***"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Udah pulang, Mas?" Aku menyambut Mas Juna yang hari ini pulang tepat waktu. Tak lupa mencium tangannya dengan takzim dan mengambil alih tas kerjanya."Iya, Dek. Alhamdulillah gak ada lembur lagi.""Syu

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 60

    "Aaaaaaa…."Mataku terpejam seketika.Bruk!Aku sudah pasrah, mengira tubuhku akan terlempar dan berakhir mengenaskan di bawah mobil yang melaju kencang ke arahku. Namun, tiba-tiba sesuatu menarik tubuhku dengan kuat ke samping. Aku tersentak, punggungku membentur dadanya dan napasku tersengal."Kamu gak pa-pa, Dek?" Masih dengan posisi tergeletak sambil memangku diriku di trotoar, Mas Juna menelisik seluruh tubuhku. Rupanya dia yang telah menyelamatkanku."A-aku ..."Ciiiiitttt! Brakkk!Belum selesai aku menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi rem mendecit tajam, diikuti suara benturan keras. Aku dan Mas Juna menoleh bersamaan ke arah sumber suara, dadaku masih berdebar kencang. Mobil yang nyaris menabrakku itu kini menghantam pohon di tepi jalan. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung berteriak marah."Hei! Mau bunuh orang, hah?!""Itu sengaja, aku lihat sendiri!"Kerumunan semakin ramai. Beberapa orang bergegas mendekati mobil. Seorang pria bertubuh besar membuka paksa pintu mobi

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 59

    Aku menyipitkan mata, hendak memperbesar tampilan, ketika tiba-tiba dering telepon di mejaku berbunyi, memecah konsentrasi.Sekilas, aku melirik layar ponsel yang terhubung ke sistem kantor. Nomor ekstensi resepsionis berkedip di sana. Menghela napas, aku menekan tombol penerima panggilan.“Ya?” suaraku terdengar datar.“Bu Wulan ....” suara resepsionis terdengar sedikit tegang. “Saya baru mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa mobil kantor yang membawa Pak Adnan mengalami kecelakaan.”Aku langsung menegakkan tubuh. “Apa! Terus bagaimana keadaannya?"“Kondisi Pak Adnan beserta sopir belum jelas, Bu. Masih dalam penanganan rumah sakit terdekat."Tatapanku kembali ke layar laptop, namun pikiranku kini melayang pada sosok Adnan yang mungkin tengah berbaring tak berdaya di ranjang kesakitan.“Hubungi lawyer perusahaan. Saya akan segera ke sana,” ujarku cepat sebelum menutup telepon.Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari kursi, mengambil kunci mobil beserta tas, dan melangkah keluar denga

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 58

    "Non Wulan, saya selaku kepala keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya jika perlakuan kami kemarin menyinggung, Non Wulan. Tapi apa yang Non lihat kemarin hanyalah kesalah fahaman saja. Semuanya tidak seperti yang Non pikirkan," ujar Pak Sapri.Lihatlah, dia sekarang memanggilku dengan sebutan Nona. Berbeda sekali dengan kemarin yang mencak-mencak saat aku tegur dia."Salah paham? Salah paham bagaimana, Pak Sapri?" sahutku, tetap bersikap tenang."Eum ... Kami sudah tua, Non. Tenaga kami sudah tak sekuat dulu. Akhir-akhir ini saya dan suami sering terkena encok, makanya kami membersihkan rumah ini sekedarnya saja. Kami juga tidak mungkin menyuruh anak kami untuk mengerjakan semuanya sebab dia pasti capek habis kerja di kantor," terang Bu Sumarsih, kepalanya menunduk."Benar, Non. Tapi kami janji, setelah ini kami akan kembali fokus bekerja. Kami akan menjaga kesehatan supaya kami terbiasa menjaga rumah ini dengan baik," sambung Pak Sapri.Apa mereka kira aku sebodoh itu untuk perc

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 57

    "Suami kamu mau ikut, Lan?" bisik Lina. Beberapa menit lalu dia sudah sampai di rumahku, dan kini kita sudah mau meluncur ke rumah Hanum setelah selesai makan malam dan salat isya."He'em," jawabku. "Kamu yakin?" Lagi, Lina berbisik seolah memastikan bahwa keputusanku mengajak Mas Juna tidak salah."Udah, jangan banyak mikir. Yuk, dah malem nih!" Aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.Lina menyusul. Dia duduk di sebelahku, sementara Mas Juna duduk di depan dekat dengan supir.Perlahan tapi pasti, mobil terus melaju membelah jalanan ramai di malam hari kota Jakarta. Tanganku sibuk berkirim pesan, mengabari Paman dan Adnan bahwa aku sudah dalam perjalanan.[Kami juga sedang dalam perjalanan.] Balas Andan.Tak ada obrolan berarti saat perjalanan. Aku masih sibuk dengan handphone, begitupun dengan Lina. Entah apa yang sahabatku ini sedang lakukan sampai dia cengar-cengir sendiri di sebelahku."Kok ini seperti ...." Aku mendengar gumaman Mas Juna, kemudian kepalanya menol

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 56

    Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Pukul tiga sore, mobil kantor yang dikendarai supir sekaligus bodyguard yang aku sewa beberapa hari lalu telah sampai di halaman rumah ibu mertua. Mengucapkan terima kasih, aku pun keluar mobil dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu sudah ada Mas Juna yang duduk di sofa panjang sendirian. Dia menyambutku dengan senyum manis yang selalu membuatku rindu."Kok Mas gak istirahat di kamar?" Sambil menyalami, aku bertanya."Bosen, Dek, di kamar terus. Lagian Mas sudah segar kok," sahutnya.Aku ikut duduk di sebelahnya seraya mengapit lengan dan bersandar pada pundaknya."Capek, ya?" Mas Juna mengelus kepalaku yang terbalut hijab."Enggak, kok. Cuma pengen gini aja sama Mas."Tak ada lagi sahutan dari Mas Juna. Seakan sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing, kami tersediam. Kesunyian mendadak menghinggap tanpa sebab.Namun tangan kekar suamiku masih bergerak naik turun di pucuk kepalaku. Sementara mataku terpejam menikma

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 55

    "Nan, semua pekerjaanku sepertinya tidak bisa aku selesaikan hari ini. Badanku rasanya capek banget."Aku sudah berada di kantor beberapa jam lalu, dan sekarang aku sedang mengeluh pada Adnan seraya menyerahkan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjaku padanya. Karena sibuk menemani Mas Juna, aku jadi lalai dalam bekerja. Belum lagi urusan Hanum dan keluarganya. "Ya sudah tidak apa-apa. Nanti biar aku selesaikan di rumah.""Itu yang aku suka dari kamu. Selalu mengerti aku. Makasih ya ...""Hmmm." Dia nampak serius dengan aktivitasnya.Ya sudahlah, aku tidak ingin mengganggu dia."Kalau gitu aku keluar dulu ya.""Iya, istirahat saja," katanya tanpa menoleh padaku."Oke."Aku pun keluar dari ruangannya. Tiba di depan pintu toilet karyawan, entah kenapa mendadak aku teringat pada Hanum. Kira-kira dia masih ngosek WC gak ya?Jiwa ke kepoanku akhirnya mengajak kakiku melangkah untuk masuk ke toilet khusus wanita. Sayangnya, begitu sampai di dalam ternyata tak ada siapapun termasuk Hanum

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 54

    Brak!Aku membuka pintu dengan kencang. Begitu membaca pesan yang dikirim Hanum pada Mas Juna, aku langsung mendatangi dia yang masih ditahan oleh sekuriti di ruang keamanan. Meski sempat tidak mendapat izin dari Mas Juna, aku tetap bersikukuh untuk keluar sebentar. Tentunya aku terpaksa berbohong padanya.Gak mungkin aku bilang mau melabrak Hanum, kan?Dengan alasan mengantar Lina ke depan saat mau pulang, akhirnya aku berhasil keluar.Kulihat Hanum yang sedang bermain ponsel sampai terperanjat mendengar bunyi kencang dari pintu akibat ulahku."Dengar, Hanum. Selama ini aku diam bukan karena aku takut sama kamu. Aku berusaha menghargai kamu karena kamu adalah sahabat suamiku, tapi sikapmu sudah keterlaluan dan aku tidak akan tinggal diam!" sergahku tak bisa lagi membendung emosi."Apaan, sih! Datang-datang marah gak jelas!" sahutnya bernada sewot."Aku tahu pesan apa yang sudah kamu kirim ke Mas Juna. Aku harap ini terakhir kali kamu menghubungi dia. Aku tahu semua maksud kamu mende

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 53

    "Saat masih sekolah SMP, Mas pernah mengalami kecelakaan kecil. Waktu itu, sebuah motor melaju kencang dan menyerempet Mas hingga jatuh. Kepala Mas sempat terbentur aspal, tapi karena tidak ada luka serius, Mas pikir semuanya baik-baik saja. Setelah kejadian itu, Mas mulai sering mengalami sakit kepala, tapi Mas tidak pernah mengeluh. Ibu sudah cukup lelah mencari nafkah sendirian, Mas tidak mau menambah bebannya.Lama-kelamaan, Mas mulai mengalami hal aneh. Kadang-kadang pandangan Mas kosong beberapa detik, atau tiba-tiba tangan Mas berkedut tanpa alasan. Mas kira itu hanya kelelahan. Hingga suatu hari, saat awal-awal sekolah SMA, tubuh Mas tiba-tiba kejang di depan kelas. Semua panik. Mas dibawa ke rumah sakit, dan setelah berbagai pemeriksaan, dokter mengatakan Mas mengidap epilepsi. Saat itu, barulah Mas menyadari bahwa benturan kepala waktu itu mungkin lebih serius dari yang Mas kira.”Mas Juna mulai bercerita kronologi penyebab datangnya penyakit itu, dan kenapa dia memilih meny

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 52

    "Lin, tambah kecepatan. Kita harus cepet sampai kantor.""Ada apaan, sih? Kok kamu panik gitu.""Aku juga belum tahu, tapi kata Adnan telah terjadi sesuatu sama Mas Juna.""Oke, oke." Lina langsung mempercepat laju mobil tanpa banyak bertanya lagi.Kubuka pesan-pesan yang dikirim Mas Juna kemarin dan hari ini. Dia menanyakan keberadaan dan keadaanku. Dia juga minta maaf, dan merasa bersalah. Hingga chat yang menunjukkan pukul satu dini hari ini berhasil membuat saluran darahku seakan berhenti.[ Aku memang bodoh, Dek. Aku bahkan tidak bisa menjaga hati dan kepercayaanmu. Asal kamu bahagia, aku rela melakukan apapun, Dek, meskipun itu artinya aku harus kehilangan kamu. ]Apa ini? Mas Juna seperti orang yang putus asa. Ya Tuhan ... Orang seperti apa sebenarnya yang Engkau kirimkan untuk jadi jodoh hamba ini? Bahkan aku belum cukup mengenalinya di usia empat bulan kami berkenalan. Bahkan setelah menikah dan tinggal bersama selama tiga bulan aku masih belum bisa mengenal dia sepenuhnya.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status