Share

Bab 5

Author: NingrumAza
last update Huling Na-update: 2025-01-22 18:28:11

"Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ..."

"Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya.

"Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela.

"Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum.

"Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu.

"Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?"

"Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya.

"Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah.

"Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjalan cepat menuju dapur mengambil piring dan keperluan lainnya untuk kami sarapan bertiga.

Saat sedang sibuk di dapur, Mas Juna berteriak, "Piringnya tambah satu lagi, ya, Lan. Ada tamu nih."

"Tamu? Siapa yang datang pagi-pagi begini?" Aku bermonolog sendiri, tetapi tetap mengerjakan apa yang diperintahkan suamiku.

Empat piring dan empat gelas beserta minumannya sudah aku siapkan di atas meja dapur. Kini tinggal membawanya ke ruang makan bergantian. Aku membawa piringnya terlebih dahulu. Sedikit terburu-buru karena di samping gak enak sama tamunya, aku juga penasaran siapa gerangan tamu yang datang menumpang sarapan di sini.

Namun, alangkah terkejutnya saat sampai di ambang pintu yang terhubung dengan ruang tengah, aku melihat seorang wanita sedang bergelendot manja di lengan Mas Juna.

Darah seakan mendadak terasa panas, apalagi melihat Mas Juna yang juga terlihat biasa saja digelendotin begitu. Sepertinya sudah terbiasa. Siapa sih perempuan itu? Aku hanya bisa melihat punggungnya yang tertutup rambut pirang.

Huffhh. Aku menetralkan perasaan agar tetap terlihat tenang dan cantik. Untung tadi sempet memakai bedak dan gincu tipis-tipis jadi kayaknya gak terlihat kucel-kucel amat.

Aku mendekati Mas Juna dan menaruh piring yang kubawa tepat di depannya, lalu berpura-pura terkejut melihat lengan Mas Juna yang sedang diapit perempuan itu.

"Astaghfirullah, suamiku ... Tanganmu kenapa?" ujarku bernada selembut mungkin lalu menarik tangan Mas Juna.

Namun, tidak segampang itu, perempuan yang ternyata adalah Hanum tak lantas membiarkan aku mengambil tangan suamiku sendiri. Dia tetap menahannya.

"Apaan sih," sentaknya masih memegang tangan Mas Juna.

"Oh gitu, ya ...? Oke," balasku santai lalu mengambil ponsel di saku daster panjangku.

"Mau ngapain kamu? Mau memotret kami terus curhat di sosial media, gitu? Norak!" tuduh Hanum.

"Jangan, Sayang." Mas Juna panik, dia langsung melepaskan tangan Hanum yang menempel padanya. "Aku gak ngapa-ngapain, kok. Hanum memang sudah menganggapku sebagai abangnya sendiri, makanya dia terbiasa begitu. Kita gak ada hubungan apa-apa, kok."

Hanum mencebik seraya melipat tangannya di depan dada.

"Dih, siapa yang mau memotret kamu, Mas. Menuh-menuhin memori aja," sanggahku.

"Terus, itu ngapain pegang handphone?" tanya Mas Juna.

"Buat nyatet," jawabku santai sambil mengotak Atik handphone.

"Nyatet apa?" Mas Juna mengernyit.

"Nyatet apa yang Mas Juna lakuin barusan bersama Mbak Hanum."

Mas Juna masih terlihat bingung.

"Gini loh, Mas. Kamu 'kan imam aku, ya? Dan aku makmumnya. Sebagai makmum yang baik, bukankah harus mengikuti apa yang imamnya lakukan? Makanya aku mencatat saat Mas Juna pegang-pegangan tangan sama Mbak Hanum."

"Maksud kamu? Kamu akan melakukan hal yang sama dengan laki-laki lain, begitu?" Mas Juna langsung menyela.

"Ya iyalah, kan aku makmumnya."

"Ya gak bisa gitu dong. Kan Hanum sudah kuanggap  saudara."

"Kalau begitu, aku juga boleh begitu dong sama Mas Bima tetangga aku? Dia juga udah kuanggap abang."

"Oke. Aku minta maaf." Mas Juna lantas bangkit dan menggapai telapak tanganku. "Aku gak akan melakukan itu lagi."

Yuhuiii berhasil ... Hanum semakin meradang pastinya. Sampai di sini jelas 'kan? Harusnya sih sudah ya!

"Apaan, sih, Jun, lebai banget deh istrimu. Kayak gitu doang juga--

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 67

    "Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 66

    "Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 65

    "Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 64

    POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 63

    "Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 62

    "Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status