"Kamu ini ..." Ibu tertawa kecil. "Status sosial kami sangat berbeda, Nduk. Mana mungkin mereka pacaran. Tapi ..."
"Tapi apa, Bu?" Aku langsung menyela karena ibu menjeda ucapannya. "Lagi ngomongin apa, sih? Serius banget." Saat ibu mulai membuka mulutnya tiba-tiba Mas Juna muncul dan ikut menyela. "Eh, Mas ... Baru aja aku mau panggil Mas buat sarapan." Aku sedikit gugup, khawatir suamiku ini tahu bahwa aku sedang mencari tahu tentang Hanum. "Ini, si Wulan tanya tentang Hanum," sahut ibu. "Oh ... Kami baru bertemu tadi malam di acara reuni," ujar Mas Juna seraya duduk di sebelahku, lalu dia memandangku. "Kenapa gak tanya-tanya ke Mas? Hem?" "Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma pengen denger versi kamu sama Ibu." Aku nyengir kuda saat menjawabnya. "Ya sudah, ceritanya dilanjut nanti saja, sekarang kita sarapan dulu, yuk. Sebentar lagi Juna 'kan kerja." Ibu lalu berdiri hendak mengambil piring di dapur, dan segera kucegah. "Biar Wulan saja, Bu." Tanpa menunggu jawaban ibu, aku langsung berjalan cepat menuju dapur mengambil piring dan keperluan lainnya untuk kami sarapan bertiga. Saat sedang sibuk di dapur, Mas Juna berteriak, "Piringnya tambah satu lagi, ya, Lan. Ada tamu nih." "Tamu? Siapa yang datang pagi-pagi begini?" Aku bermonolog sendiri, tetapi tetap mengerjakan apa yang diperintahkan suamiku. Empat piring dan empat gelas beserta minumannya sudah aku siapkan di atas meja dapur. Kini tinggal membawanya ke ruang makan bergantian. Aku membawa piringnya terlebih dahulu. Sedikit terburu-buru karena di samping gak enak sama tamunya, aku juga penasaran siapa gerangan tamu yang datang menumpang sarapan di sini. Namun, alangkah terkejutnya saat sampai di ambang pintu yang terhubung dengan ruang tengah, aku melihat seorang wanita sedang bergelendot manja di lengan Mas Juna. Darah seakan mendadak terasa panas, apalagi melihat Mas Juna yang juga terlihat biasa saja digelendotin begitu. Sepertinya sudah terbiasa. Siapa sih perempuan itu? Aku hanya bisa melihat punggungnya yang tertutup rambut pirang. Huffhh. Aku menetralkan perasaan agar tetap terlihat tenang dan cantik. Untung tadi sempet memakai bedak dan gincu tipis-tipis jadi kayaknya gak terlihat kucel-kucel amat. Aku mendekati Mas Juna dan menaruh piring yang kubawa tepat di depannya, lalu berpura-pura terkejut melihat lengan Mas Juna yang sedang diapit perempuan itu. "Astaghfirullah, suamiku ... Tanganmu kenapa?" ujarku bernada selembut mungkin lalu menarik tangan Mas Juna. Namun, tidak segampang itu, perempuan yang ternyata adalah Hanum tak lantas membiarkan aku mengambil tangan suamiku sendiri. Dia tetap menahannya. "Apaan sih," sentaknya masih memegang tangan Mas Juna. "Oh gitu, ya ...? Oke," balasku santai lalu mengambil ponsel di saku daster panjangku. "Mau ngapain kamu? Mau memotret kami terus curhat di sosial media, gitu? Norak!" tuduh Hanum. "Jangan, Sayang." Mas Juna panik, dia langsung melepaskan tangan Hanum yang menempel padanya. "Aku gak ngapa-ngapain, kok. Hanum memang sudah menganggapku sebagai abangnya sendiri, makanya dia terbiasa begitu. Kita gak ada hubungan apa-apa, kok." Hanum mencebik seraya melipat tangannya di depan dada. "Dih, siapa yang mau memotret kamu, Mas. Menuh-menuhin memori aja," sanggahku. "Terus, itu ngapain pegang handphone?" tanya Mas Juna. "Buat nyatet," jawabku santai sambil mengotak Atik handphone. "Nyatet apa?" Mas Juna mengernyit. "Nyatet apa yang Mas Juna lakuin barusan bersama Mbak Hanum." Mas Juna masih terlihat bingung. "Gini loh, Mas. Kamu 'kan imam aku, ya? Dan aku makmumnya. Sebagai makmum yang baik, bukankah harus mengikuti apa yang imamnya lakukan? Makanya aku mencatat saat Mas Juna pegang-pegangan tangan sama Mbak Hanum." "Maksud kamu? Kamu akan melakukan hal yang sama dengan laki-laki lain, begitu?" Mas Juna langsung menyela. "Ya iyalah, kan aku makmumnya." "Ya gak bisa gitu dong. Kan Hanum sudah kuanggap saudara." "Kalau begitu, aku juga boleh begitu dong sama Mas Bima tetangga aku? Dia juga udah kuanggap abang." "Oke. Aku minta maaf." Mas Juna lantas bangkit dan menggapai telapak tanganku. "Aku gak akan melakukan itu lagi." Yuhuiii berhasil ... Hanum semakin meradang pastinya. Sampai di sini jelas 'kan? Harusnya sih sudah ya! "Apaan, sih, Jun, lebai banget deh istrimu. Kayak gitu doang juga--Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.Uhukkk!Tiba-tiba Mas Juna keselek."Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.Waw, gercep sekali."Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau."Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna y
Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya."Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi."Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya."Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung."Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.Cup. Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you
"Waalaikumsalam," sahutku."Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini.""Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?""Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan.""Lalu?""Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?""Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?""Tapi, Non--""Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku."Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski peru
"Astaghfirullah ... Apa ini?" Aku masih mengamati satu persatu foto yang mirip seperti Mas Juna sedang merangkul seorang wanita berpakaian kurang bahan di sebuah bar. Sekilas wajah wanita itu mirip dengan Hanum, dan dari pakaian si lelaki memang warnanya mirip dengan yang dikenakan Mas Juna barusan. Hanya saja ...Seketika satu sudut bibirku terangkat. Mungkin dia kira aku bodoh. Dasar amatir!Derit pintu kamar mandi mengalihkan perhatianku. Mas Juna tampak segar dengan rambut basah dan handuk putih yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya membuatku terpaku."Mas belum shalat isya, Dek. Sabar, ya!" celetuk Mas Juna membuatku terkesiap."Ah, apaan, sih. Ya udah sana shalat. Aku udah, tuh," sahutku salah tingkah."Siapa yang ajak kamu, orang Mas cuma kasih tau, kok." Sambil memakai sarung Mas Juna menimpali.Aku pura-pura menunduk sambil bermain ponsel. Nyatanya mataku ini masih curi-curi pandang ke arah suami tampanku yang kini sudah rapi dengan baju koko dan peci di kepalanya. La
"Ya, kecuali. Kecuali ... Kalau aku juga jadi menantu Tante. Bukankah seorang laki-laki boleh mempunyai istri lebih dari satu, Tan?" Uhukkk! Ibu terbatuk. Mungkin beliau juga kaget sama sepertiku dengan pernyataan Hanum yang aneh itu. Huh! Bilang aja mau jadi pel4kor. "Assalamualaikum ..." Terdengar suara pria tercintaku mengucap salam. Aku segera muncul sebelum jailangkung itu mendahuluiku. "Wa'alaikumsalam, Mas ..." Aku berjalan cepat meraih telapak tangan Mas Juna dan menciumnya dengan ta'zim, lalu berdiri sedikit mencondongkan kepala sebagai isyarat untuk Mas Juna mengecup keningku. Tak kupedulikan tanggapan ibu apalagi Hanum. Cup. Yesss! Alhamdulillah, Mas Juna mengerti bahasa isyaratku. "Eh, ada Hanum juga, ya." Mas Juna nampak kaget melihat sahabatnya itu sudah duduk bersama ibu di pagi buta seperti ini. Mas Juna lalu menyalami ibu, dan tentu saja Hanum sudah menyodorkan tangannya berharap suamiku ini juga akan menyalaminya. "Eits!" Aku menepuk lengan Mas Ju
"Gak u--""Udah terima aja, Mas. Mbak Hanum pasti di rumah sudah mencicipi ini sebelumnya. Sudah siang loh, Mas juga belum mandi. Kalau berdebat terus kapan kelarnya. Iya 'kan, Mbak? Makasih loh," ucapku memotong ucapan Mas Juna sambil tersenyum pada Hanum, lalu mengambil piring berisi omelette milik Hanum dan memberikannya pada Mas Juna."Ya udah, deh, makasih ya, Num." Akhirnya Mas Juna memakan sarapannya."Kalian, ini. Seperti anak kecil saja." Ibu hanya geleng-geleng kepala.Sedangkan aku? Aku juga menyantap omelette pemberian sahabat suamiku dengan riang gembira.Kok rasa omelette-nya mirip punya abang-abang di ujung gang sana ya? Katanya bikin sendiri. Ah, sudahlah, yang penting hari ini aku jadi gak capek masak. Makasih ya, sahabat suamiku.***"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam. Udah pulang, Mas?" Aku menyambut Mas Juna yang hari ini pulang tepat waktu. Tak lupa mencium tangannya dengan takzim dan mengambil alih tas kerjanya."Iya, Dek. Alhamdulillah gak ada lembur lagi.""Syu
"Halo, Nan. Hari ini sibuk gak? Ada yang ingin aku omongin sama kamu. Penting!" Aku langsung menyampaikan keinginanku saat Adnan menerima panggilan teleponku."Harus hari ini, ya? Eum ..." Adnan sepertinya tengah berpikir."Kenapa?" Nada suaraku mulai tak bersahabat. Kemarin-kemarin dia yang memintaku untuk bertemu, tetapi aku tolak karena khawatir identitasku terkuak, sekarang giliran aku yang ingin bertemu dia menolak. Gimana gak kesel coba?"Sebenarnya hari ini saya sangat sibuk. Gak ada banyak waktu untuk keluar, tapi kalau memang Non ada perlu penting, saya akan luangkan waktu. Hanya saja, mungkin beberapa pertemuan penting harus ditunda.""Oh, jadi maksudnya bertemu denganku gak penting, begitu?" "Bukan begitu, Non ....""Ya sudah. Aku saja yang akan datang ke kantor nanti jam sepuluh pagi, pastikan Mas Juna kamu suruh keluar supaya aku gak bertemu dengannya. Kamu tahu 'kan maksudku?""Tentu, Non. Saya akan luangkan waktu jam sepuluh pagi.""Terima kasih, Nan. Assalamualaikum."
"Iya, sih. Ibu juga masih kenyang. Ya sudah dibungkus saja."Alhamdulillah ibu menerima usulanku, dan sepertinya tidak karena terpaksa. Aku sedikit lega. Tinggal memikirkan bagaimana caranya aku pamit sama ibu tanpa harus mengatakan yang sebenarnya.Sepertinya aku akan menggunakan nama Lina -teman baikku- sebagai alasannya.Sambil menunggu pesanan bakso selesai dibungkus, aku mengirim pesan pada Lina untuk berpura-pura menelpon dan mengajakku bertemu. Lina setuju-setuju saja karena aku menjanjikan kuota paket data untuk mengisi ponselnya.Tak lama kemudian Lina menelpon."Wulan angkat telepon dulu ya, Bu. Lina menelepon," ucapku sambil memperhatikan ponsel yang tertera foto profil berikut nama Lina."Iya."Lalu aku menerima panggilan itu. "Assalamualaikum, iya, Lin."Lina hanya diam. Tak ada suara apapun yang aku dengar. Ah, Lina gimana sih! "Oh, harus banget ya. Memangnya kamu sakit apa?" ucapku pura-pura menyahuti.Lalu aku diam sejenak berpura-pura tengah mendengarkan perkataan or
"Aaaaaaa…."Mataku terpejam seketika.Bruk!Aku sudah pasrah, mengira tubuhku akan terlempar dan berakhir mengenaskan di bawah mobil yang melaju kencang ke arahku. Namun, tiba-tiba sesuatu menarik tubuhku dengan kuat ke samping. Aku tersentak, punggungku membentur dadanya dan napasku tersengal."Kamu gak pa-pa, Dek?" Masih dengan posisi tergeletak sambil memangku diriku di trotoar, Mas Juna menelisik seluruh tubuhku. Rupanya dia yang telah menyelamatkanku."A-aku ..."Ciiiiitttt! Brakkk!Belum selesai aku menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi rem mendecit tajam, diikuti suara benturan keras. Aku dan Mas Juna menoleh bersamaan ke arah sumber suara, dadaku masih berdebar kencang. Mobil yang nyaris menabrakku itu kini menghantam pohon di tepi jalan. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung berteriak marah."Hei! Mau bunuh orang, hah?!""Itu sengaja, aku lihat sendiri!"Kerumunan semakin ramai. Beberapa orang bergegas mendekati mobil. Seorang pria bertubuh besar membuka paksa pintu mobi
Aku menyipitkan mata, hendak memperbesar tampilan, ketika tiba-tiba dering telepon di mejaku berbunyi, memecah konsentrasi.Sekilas, aku melirik layar ponsel yang terhubung ke sistem kantor. Nomor ekstensi resepsionis berkedip di sana. Menghela napas, aku menekan tombol penerima panggilan.“Ya?” suaraku terdengar datar.“Bu Wulan ....” suara resepsionis terdengar sedikit tegang. “Saya baru mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa mobil kantor yang membawa Pak Adnan mengalami kecelakaan.”Aku langsung menegakkan tubuh. “Apa! Terus bagaimana keadaannya?"“Kondisi Pak Adnan beserta sopir belum jelas, Bu. Masih dalam penanganan rumah sakit terdekat."Tatapanku kembali ke layar laptop, namun pikiranku kini melayang pada sosok Adnan yang mungkin tengah berbaring tak berdaya di ranjang kesakitan.“Hubungi lawyer perusahaan. Saya akan segera ke sana,” ujarku cepat sebelum menutup telepon.Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari kursi, mengambil kunci mobil beserta tas, dan melangkah keluar denga
"Non Wulan, saya selaku kepala keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya jika perlakuan kami kemarin menyinggung, Non Wulan. Tapi apa yang Non lihat kemarin hanyalah kesalah fahaman saja. Semuanya tidak seperti yang Non pikirkan," ujar Pak Sapri.Lihatlah, dia sekarang memanggilku dengan sebutan Nona. Berbeda sekali dengan kemarin yang mencak-mencak saat aku tegur dia."Salah paham? Salah paham bagaimana, Pak Sapri?" sahutku, tetap bersikap tenang."Eum ... Kami sudah tua, Non. Tenaga kami sudah tak sekuat dulu. Akhir-akhir ini saya dan suami sering terkena encok, makanya kami membersihkan rumah ini sekedarnya saja. Kami juga tidak mungkin menyuruh anak kami untuk mengerjakan semuanya sebab dia pasti capek habis kerja di kantor," terang Bu Sumarsih, kepalanya menunduk."Benar, Non. Tapi kami janji, setelah ini kami akan kembali fokus bekerja. Kami akan menjaga kesehatan supaya kami terbiasa menjaga rumah ini dengan baik," sambung Pak Sapri.Apa mereka kira aku sebodoh itu untuk perc
"Suami kamu mau ikut, Lan?" bisik Lina. Beberapa menit lalu dia sudah sampai di rumahku, dan kini kita sudah mau meluncur ke rumah Hanum setelah selesai makan malam dan salat isya."He'em," jawabku. "Kamu yakin?" Lagi, Lina berbisik seolah memastikan bahwa keputusanku mengajak Mas Juna tidak salah."Udah, jangan banyak mikir. Yuk, dah malem nih!" Aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.Lina menyusul. Dia duduk di sebelahku, sementara Mas Juna duduk di depan dekat dengan supir.Perlahan tapi pasti, mobil terus melaju membelah jalanan ramai di malam hari kota Jakarta. Tanganku sibuk berkirim pesan, mengabari Paman dan Adnan bahwa aku sudah dalam perjalanan.[Kami juga sedang dalam perjalanan.] Balas Andan.Tak ada obrolan berarti saat perjalanan. Aku masih sibuk dengan handphone, begitupun dengan Lina. Entah apa yang sahabatku ini sedang lakukan sampai dia cengar-cengir sendiri di sebelahku."Kok ini seperti ...." Aku mendengar gumaman Mas Juna, kemudian kepalanya menol
Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Pukul tiga sore, mobil kantor yang dikendarai supir sekaligus bodyguard yang aku sewa beberapa hari lalu telah sampai di halaman rumah ibu mertua. Mengucapkan terima kasih, aku pun keluar mobil dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu sudah ada Mas Juna yang duduk di sofa panjang sendirian. Dia menyambutku dengan senyum manis yang selalu membuatku rindu."Kok Mas gak istirahat di kamar?" Sambil menyalami, aku bertanya."Bosen, Dek, di kamar terus. Lagian Mas sudah segar kok," sahutnya.Aku ikut duduk di sebelahnya seraya mengapit lengan dan bersandar pada pundaknya."Capek, ya?" Mas Juna mengelus kepalaku yang terbalut hijab."Enggak, kok. Cuma pengen gini aja sama Mas."Tak ada lagi sahutan dari Mas Juna. Seakan sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing, kami tersediam. Kesunyian mendadak menghinggap tanpa sebab.Namun tangan kekar suamiku masih bergerak naik turun di pucuk kepalaku. Sementara mataku terpejam menikma
"Nan, semua pekerjaanku sepertinya tidak bisa aku selesaikan hari ini. Badanku rasanya capek banget."Aku sudah berada di kantor beberapa jam lalu, dan sekarang aku sedang mengeluh pada Adnan seraya menyerahkan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjaku padanya. Karena sibuk menemani Mas Juna, aku jadi lalai dalam bekerja. Belum lagi urusan Hanum dan keluarganya. "Ya sudah tidak apa-apa. Nanti biar aku selesaikan di rumah.""Itu yang aku suka dari kamu. Selalu mengerti aku. Makasih ya ...""Hmmm." Dia nampak serius dengan aktivitasnya.Ya sudahlah, aku tidak ingin mengganggu dia."Kalau gitu aku keluar dulu ya.""Iya, istirahat saja," katanya tanpa menoleh padaku."Oke."Aku pun keluar dari ruangannya. Tiba di depan pintu toilet karyawan, entah kenapa mendadak aku teringat pada Hanum. Kira-kira dia masih ngosek WC gak ya?Jiwa ke kepoanku akhirnya mengajak kakiku melangkah untuk masuk ke toilet khusus wanita. Sayangnya, begitu sampai di dalam ternyata tak ada siapapun termasuk Hanum
Brak!Aku membuka pintu dengan kencang. Begitu membaca pesan yang dikirim Hanum pada Mas Juna, aku langsung mendatangi dia yang masih ditahan oleh sekuriti di ruang keamanan. Meski sempat tidak mendapat izin dari Mas Juna, aku tetap bersikukuh untuk keluar sebentar. Tentunya aku terpaksa berbohong padanya.Gak mungkin aku bilang mau melabrak Hanum, kan?Dengan alasan mengantar Lina ke depan saat mau pulang, akhirnya aku berhasil keluar.Kulihat Hanum yang sedang bermain ponsel sampai terperanjat mendengar bunyi kencang dari pintu akibat ulahku."Dengar, Hanum. Selama ini aku diam bukan karena aku takut sama kamu. Aku berusaha menghargai kamu karena kamu adalah sahabat suamiku, tapi sikapmu sudah keterlaluan dan aku tidak akan tinggal diam!" sergahku tak bisa lagi membendung emosi."Apaan, sih! Datang-datang marah gak jelas!" sahutnya bernada sewot."Aku tahu pesan apa yang sudah kamu kirim ke Mas Juna. Aku harap ini terakhir kali kamu menghubungi dia. Aku tahu semua maksud kamu mende
"Saat masih sekolah SMP, Mas pernah mengalami kecelakaan kecil. Waktu itu, sebuah motor melaju kencang dan menyerempet Mas hingga jatuh. Kepala Mas sempat terbentur aspal, tapi karena tidak ada luka serius, Mas pikir semuanya baik-baik saja. Setelah kejadian itu, Mas mulai sering mengalami sakit kepala, tapi Mas tidak pernah mengeluh. Ibu sudah cukup lelah mencari nafkah sendirian, Mas tidak mau menambah bebannya.Lama-kelamaan, Mas mulai mengalami hal aneh. Kadang-kadang pandangan Mas kosong beberapa detik, atau tiba-tiba tangan Mas berkedut tanpa alasan. Mas kira itu hanya kelelahan. Hingga suatu hari, saat awal-awal sekolah SMA, tubuh Mas tiba-tiba kejang di depan kelas. Semua panik. Mas dibawa ke rumah sakit, dan setelah berbagai pemeriksaan, dokter mengatakan Mas mengidap epilepsi. Saat itu, barulah Mas menyadari bahwa benturan kepala waktu itu mungkin lebih serius dari yang Mas kira.”Mas Juna mulai bercerita kronologi penyebab datangnya penyakit itu, dan kenapa dia memilih meny
"Lin, tambah kecepatan. Kita harus cepet sampai kantor.""Ada apaan, sih? Kok kamu panik gitu.""Aku juga belum tahu, tapi kata Adnan telah terjadi sesuatu sama Mas Juna.""Oke, oke." Lina langsung mempercepat laju mobil tanpa banyak bertanya lagi.Kubuka pesan-pesan yang dikirim Mas Juna kemarin dan hari ini. Dia menanyakan keberadaan dan keadaanku. Dia juga minta maaf, dan merasa bersalah. Hingga chat yang menunjukkan pukul satu dini hari ini berhasil membuat saluran darahku seakan berhenti.[ Aku memang bodoh, Dek. Aku bahkan tidak bisa menjaga hati dan kepercayaanmu. Asal kamu bahagia, aku rela melakukan apapun, Dek, meskipun itu artinya aku harus kehilangan kamu. ]Apa ini? Mas Juna seperti orang yang putus asa. Ya Tuhan ... Orang seperti apa sebenarnya yang Engkau kirimkan untuk jadi jodoh hamba ini? Bahkan aku belum cukup mengenalinya di usia empat bulan kami berkenalan. Bahkan setelah menikah dan tinggal bersama selama tiga bulan aku masih belum bisa mengenal dia sepenuhnya.