Share

Bab 6

Auteur: NingrumAza
last update Dernière mise à jour: 2025-01-22 18:31:52

Hanum mencebik, tetapi tak terlihat gerak-gerik akan meninggalkan rumah ini. Dia tetap anteng duduk di tempatnya tanpa menyentuh makanan hasil olahanku.

Uhukkk!

Tiba-tiba Mas Juna keselek.

"Minum, Jun. Ya ampun ...." Hanum cekatan mengambilkan segelas air putih untuk Mas Juna, lalu sekaligus membantu meminumkannya.

Waw, gercep sekali.

"Kamu ini gimana, sih! Bisa nyuapin gak? Dasar gak becus! Sini, biar aku aja yang suapin Juna!" Hanum memarahiku kemudian merebut piring yang ada di depan Mas Juna, dan mengambil alih peranku. Padahal Mas Juna sendiri yang meminta aku untuk menyuapinya.

Aku sengaja diam untuk mengetahui bagaimana reaksi Mas Juna pada sahabatnya itu. Kalau dia mau-mau saja tanpa mempedulikan aku, artinya aku tidak lebih penting dari si Hanum itu.

Aku masih diam terpaku untuk beberapa menit sambil melirik ibu mertua sebentar. Aku juga ingin tahu bagaimana reaksi beliau.

"Kamu ini, Jun ... Seperti anak kecil saja disuapin segala." Tiba-tiba ibu bangkit, mendekati Mas Juna yang duduk bersebrangan dengannya lalu menepuk pundak Mas Juna. "Makan sendiri saja, ya. Gak boleh manja!" sambung ibu mengambil alih piring di tangan Hanum dan memberikan pada putranya.

"Gak pa-pa kok, Bu. Hanum seneng bisa bantuin Juna makan. Itung-itung nostalgia, mengenang masa lalu saat Juna mbujuk aku makan kalau aku lagi galau. Inget 'kan, Jun?" sahut Hanum antusias membahas masa lalu.

Nostalgia konon? Preet. Hidup itu berjalan ke depan, Num, bukan ke belakang! Ingin aku mengucapkan itu, tapi gak enak sama ibu.

"Ingat lah. Kalau gak disuapin, kamu bakal gak makan dua hari. Kalau sudah begitu, besoknya jatuh sakit, aku lagi yang direpotin." Mas Juna menyahuti tak kalah antusias.

"Hahaha, iya. Habis kalau ada kamu enak, jadi aku dipijitin." Hanum tertawa terbahak, mungkin membayangkan waktu dia dipijit sama Mas Juna dulu.

Dih, cuma dipijit doang, juga. Aku loh, udah dipijit plus-plus, gak pamer tuh!

"Iya, kamu enak, aku yang enek," sahut Mas Juna sambil makan.

"Enek, tapi mau juga 'kan mijitin aku? Gak cuma satu atau dua kali, loh. Sering tau!"

"Emmm, habisnya kasian anak orang kelaparan sampai sakit." Mas Juna tetap menyahuti meskipun mulutnya penuh dengan makanan.

"Kasian apa kasian ...? Kamu gak tega liat aku sakit karena kamu peduli 'kan sama aku?" Hanum menaik turunkan alisnya di depan wajah Mas Juna. Dia seakan sengaja sedang menunjukkan sama aku seberapa dekat dan jauh hubungan persahabatan mereka.

Mungkin dia kira akun akan sakit hati, lalu mundur alon-alon. Sorry ya, Num, aku tipe wanita yang menerima masa lalu pasangan.

Kamu boleh bangga menjadi masa lalu Mas Juna, tapi kamu juga harus ingat akulah masa depannya saat ini dan selamanya.

"Tapi kan itu dulu, waktu kalian masih remaja. Sekarang kalian sudah dewasa, sudah punya kehidupan masing-masing. Jadi Juna ... Habiskan sarapanmu dulu baru bercerita, ya!" sela ibu lembut tetapi mengandung makna yang semoga bisa menyentil hati Mas Juna dan Hanum.

Senyum di bibir Hanum perlahan memudar mendengar ucapan ibu. Untuk kesekian kalinya dia melirik ke arahku. Melirik dengan tatapan tak suka.

"Kamu juga, Wulan. Ayo habiskan sarapanmu." Aku terkesiap saat ibu juga menegurku.

"Iya, Bu."

Selanjutnya tak ada lagi yang berbicara termasuk Hanum. Kami fokus dengan makanan masing-masing, terkecuali wanita yang mengaku sahabat Mas Juna itu, aku tak tahu dia lagi ngapain.

Nasi goreng kecap ini lebih menggiurkan dari pada memperhatikan wanita cantik tapi tak berattitude.

***

"Mas berangkat dulu, ya. Kamu hati-hati di rumah. Jangan capek-capek." Mas Juna berpamitan saat hendak masuk ke dalam mobilnya.

"Iya, Masku sayang."

"Bilang apa tadi?" Mas Juna terlihat tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulutku.

Wajar sih, ini untuk pertama kalinya aku memanggil dia dengan sebutan 'sayang'.

"Udah sana ... Berangkat aja." Aku tersipu. Terlebih Mas Juna menatapku dengan tatapan lembut yang mampu menembus ke dasar hatiku. Tatapan cinta yang selalu membuatku klepek-klepek.

"Bilang apa dulu tadi? Mas gak denger tadi loh ..."

"Gak ah--"

Thin! Thiiin ...!

"Juna! Buru deh! Gak usah pamitan segala. Kamu udah janji loh sama aku!" Dari dalam mobil mewahnya Hanum berseru memanggil Mas Juna.

.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 67

    "Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 66

    "Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 65

    "Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 64

    POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 63

    "Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 62

    "Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status