Home / Romansa / Pelakor Pilihan Mertua / BAB 5: JEJAK RODA MENUJU PENGKHIANATAN

Share

BAB 5: JEJAK RODA MENUJU PENGKHIANATAN

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-11 13:48:09

Beberapa hari setelah makan malam di rumah Lidya, perang dingin di antara aku dan Bram terus berlanjut. Kami bergerak seperti dua orang asing yang terpaksa berbagi atap, bertukar kalimat-kalimat fungsional seperlunya: "Sarapan sudah siap," "Aku pulang malam," "Tolong ambilkan garam." Setiap kata terasa hambar, setiap interaksi adalah pengingat akan jurang yang kini memisahkan kami.

Aku menghabiskan hari-hariku dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, menuangkan semua amarah dan kekecewaanku ke dalam sketsa-sketsa bangunan. Namun, di malam hari, saat keheningan menyergap, aku akan berbaring terjaga, memikirkan langkahku selanjutnya. Aku punya nama, aku punya motif, tapi aku butuh bukti yang tak terbantahkan. Bukti visual. Sesuatu yang bisa kubentangkan di hadapan mereka, meruntuhkan semua kebohongan mereka hingga tak bersisa.

Kesempatan itu datang pada hari Rabu sore.

"Aku ada rapat mendadak di luar kantor, Rin," kata Bram pagi itu saat kami sarapan. Ia tidak menatapku, matanya sibuk membaca berita di tabletnya. "Dengan investor dari Singapura. Mungkin sampai sore."

Alarm di kepalaku langsung berbunyi. Investor dari Singapura? Setahuku, presentasi untuk mereka baru dijadwalkan minggu depan. Sebuah kebohongan yang ceroboh. Ia meremehkanku. Ia pikir aku tidak akan menyadarinya.

"Oh, begitu?" balasku, menjaga nada suaraku tetap santai. "Semoga lancar, Mas."

Di balik topeng istri pendukung itu, otakku bekerja dengan cepat, menyusun rencana. Pukul satu siang, aku menelepon manajer proyekku.

"Pak Budi, maaf sekali, saya harus izin setengah hari. Ada urusan keluarga yang sangat mendadak dan tidak bisa ditunda," kataku, memasang nada sepenting mungkin. "Semua dokumen sudah saya kirim lewat email."

Setelah mendapat izin, aku langsung melesat menuju mobilku. Aku tidak pulang. Aku memarkir mobilku di kafe seberang gedung kantor Bram, memesan segelas kopi yang tidak kusentuh, dan menunggu. Mataku tak pernah lepas dari lobi utama Haryadi Tower.

Jantungku berdebar seperti genderang perang. Aku merasa seperti orang gila, seorang detektif amatir dalam drama hidupku sendiri. Sebagian diriku berteriak bahwa ini adalah tindakan bodoh dan memalukan. Tapi bagian diriku yang lain, bagian yang telah dilukai begitu dalam, berbisik bahwa inilah satu-satunya jalan menuju kebenaran.

Tepat pukul dua siang, aku melihatnya. Bram keluar dari lobi, tampak gagah dengan setelan birunya. Ia tidak menuju mobil dinasnya yang biasa, melainkan mobil pribadinya. Ia sendirian.

Aku menunggu lima menit, memberinya jarak, lalu menyalakan mesin mobilku. Inilah saatnya. Aku membuntutinya dari kejauhan, menjaga agar selalu ada dua atau tiga mobil di antara kami.

Tanganku mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jariku memutih. Setiap kali mobilnya berbelok, napasku tertahan. Arahnya salah. Ia tidak menuju kawasan bisnis Sudirman atau Kuningan, tempat para investor biasanya bertemu. Ia justru mengarah ke selatan, ke area yang lebih tenang dan privat, area yang dipenuhi hotel butik mewah dan apartemen servis kelas atas.

Dugaanku benar. Ini bukan pertemuan bisnis.

Mobilnya akhirnya berbelok, memasuki gerbang sebuah hotel bintang lima yang terkenal dengan privasinya: The Serenity Suites. Sebuah nama yang ironis untuk tujuan sebuah perselingkuhan.

Aku tidak ikut masuk. Aku memarkir mobilku di seberang jalan, di tempat yang sedikit tersembunyi di balik rimbunnya pohon. Dari sini, aku bisa melihat lobi utama hotel dengan cukup jelas.

Mesinku sudah mati, tapi deru darah di telingaku terdengar begitu kencang. Aku melihat Bram menyerahkan kuncinya pada petugas valet dan berjalan masuk. Lima menit. Sepuluh menit. Aku menunggu dengan napas yang semakin sesak. Apa yang sedang ia tunggu?

Lalu, sebuah sedan Eropa berwarna putih mutiara berhenti tepat di depan lobi. Pintu terbuka, dan sesosok wanita turun dari mobil.

Renata.

Meskipun hanya dari kejauhan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Rambut hitam panjangnya tergerai indah. Ia mengenakan gaun berwarna krem yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Ia tampak anggun, mahal, dan percaya diri. Semua yang digambarkan ibu mertuaku.

Ia berdiri sejenak di depan lobi, dan tak lama kemudian, Bram keluar menemuinya.

Dan di sanalah, di bawah terik matahari Jakarta, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat cara Bram tersenyum padanya—senyum tulus dan hangat yang sudah lama tidak pernah ia berikan padaku. Aku melihat tangannya terulur, bukan untuk bersalaman, tapi untuk menyentuh punggung Renata dengan gerakan posesif yang intim.

Mereka tertawa bersama, tampak begitu serasi, begitu bahagia. Lalu, mereka berjalan berdampingan memasuki lobi hotel yang sejuk, meninggalkan dunia luar—meninggalkanku—di belakang.

Udara di dalam mobilku terasa habis. Pandanganku mengabur. Bukan karena air mata, tapi karena gelombang syok yang begitu dahsyat hingga tubuhku seakan mati rasa. Ini nyata. Bukan lagi pesan teks di layar ponsel, bukan lagi bisikan jahat di meja makan. Ini adalah kenyataan yang bergerak, bernapas, dan menusuk tepat di depan mataku.

Aku terlalu takut untuk masuk. Aku tidak akan sanggup menghadapi mereka, tidak sekarang. Menjadi tontonan, istri histeris yang menggerebek suaminya? Tidak. Aku tidak akan memberi mereka kepuasan itu.

Tanganku yang gemetar meraih ponsel. Dengan susah payah, aku membuka kamera dan mengarahkannya ke lobi hotel. Tanganku bergetar begitu hebat hingga gambar di layar menjadi buram.

"Fokus, Arini, fokus," bisikku pada diri sendiri.

Aku menarik napas panjang, menahannya, dan menekan tombol rana.

*Cekrek.*

Sebuah foto. Kualitasnya buruk, sedikit buram, dan diambil dari kejauhan. Tapi isinya jelas: siluet seorang pria dan seorang wanita, berdiri terlalu dekat di depan meja resepsionis sebuah hotel mewah.

Saat melihat hasil foto itu, sesuatu di dalam diriku berubah. Rasa sakit yang melumpuhkan itu perlahan surut, digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang dingin, tajam, dan sangat jernih.

Aku tidak lagi menangis. Aku tidak lagi gemetar.

Di balik kaca mobilku, menatap hotel yang telah menelan suamiku, aku mengambil sebuah keputusan. Permainan petak umpet ini sudah selesai. Sekarang, giliranku yang bermain. Dan aku tidak akan bermain untuk bertahan.

Aku akan bermain untuk menghancurkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 20: DURI DI BALIK BERITA

    Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 19: PROYEK KOPI SKENA

    Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 18: REAKSI SANG RATU DAN PIONNYA

    Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 17: LANGKAH PERTAMA SANG ARSITEK

    Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 16: BOBOT SEBUAH RAHASIA

    Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak

  • Pelakor Pilihan Mertua   BAB 15: DI BALIK SURAT WASIAT PALSU

    Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status