LOGINMakan malam di kediaman utama Haryadi adalah sebuah ritual wajib setiap akhir pekan. Dulu, aku selalu menganggapnya sebagai ujian kesabaran. Kini, aku tahu itu adalah medan perang psikologis, dan aku datang dengan persenjataan lengkap: senyum palsu dan hati yang telah kubekukan.
Rumah itu, lebih pantas disebut istana, menyambut kami dengan keangkuhan marmer dan kristal. Udara di dalamnya selalu terasa lebih dingin beberapa derajat, hampa dari kehangatan yang seharusnya dimiliki sebuah rumah. Para pelayan menunduk dalam-dalam saat kami lewat, tatapan mereka penuh hormat sekaligus kasihan. Mereka tahu siapa pemilik takhta sebenarnya di istana ini. Dan sang ratu sudah menunggu di ruang makan. Lidya Haryadi duduk di kepala meja, tegak seperti pualam. Malam ini ia mengenakan gaun sutra berwarna zamrud yang membuat kulitnya tampak semakin putih porselen. Perhiasan berlian di leher dan telinganya berkilauan dingin di bawah lampu gantung kristal. Matanya yang tajam menilaiku dari ujung rambut sampai ujung kaki saat aku mendekat untuk menyalaminya. "Arini," sapanya, suaranya datar. Ia membiarkan punggung tangannya kusentuh sesaat sebelum menariknya kembali. "Gaunmu sederhana sekali malam ini." Sebuah pujian yang dibungkus hinaan. Gaun rancanganku sendiri yang elegan ia sebut "sederhana". Aku hanya tersenyum. "Terima kasih, Ma. Saya sedang suka gaya minimalis." Bram menarik kursi untukku, sebuah gestur sopan yang terasa hambar. Ia duduk di antara aku dan ibunya, posisi yang sangat simbolis: seorang penengah yang tak pernah benar-benar memihak. Makan malam dimulai dengan denting pelan alat makan perak di atas piring porselen. Selama beberapa menit, hanya itu suara yang ada, mengisi keheningan yang menyesakkan. Lidya selalu memulai permainannya dengan perlahan. "Bram, Mama dengar Haryadi Group akan bekerja sama dengan Sastranegara untuk proyek resor di Bali?" tanyanya, memecah keheningan. Jantungku berhenti berdetak sesaat. Ia memulainya. "Benar, Ma," jawab Bram, tampak sedikit tegang. "Masih dalam tahap negosiasi awal." "Bagus sekali," Lidya tersenyum puas. Senyum itu tidak pernah menyentuh matanya. "Keluarga Sastranegara itu bibit, bebet, bobotnya jelas. Terpandang dan berkelas. Koneksi yang sangat baik untuk citra perusahaan kita." Ia meletakkan garpunya, lalu menatap lurus ke arahku. "Putri mereka, Renata, juga hebat sekali. Mama bertemu dengannya di acara amal kemarin. Cerdas, anggun, lulusan terbaik dari Swiss. Dia cerita baru saja berhasil menutup kesepakatan bisnis besar untuk perusahaan ayahnya. Wanita seperti itulah yang bisa mengangkat derajat suaminya." Setiap kata adalah peluru yang ditembakkan dengan presisi. Aku bisa merasakan tatapan Bram melirikku dari sudut matanya, penuh rasa bersalah sekaligus permohonan agar aku tidak bereaksi. Aku tetap tenang. Aku mengambil segelas air putih dan minum perlahan, memberiku waktu untuk meredam badai di dalam dadaku. Aku tidak akan memberinya kepuasan melihatku terluka. "Wanita karier yang hebat memang mengagumkan," balasku dengan nada ringan, seolah aku sedang membicarakan topik biasa. Lidya menyipitkan matanya, sedikit terkejut karena aku tidak goyah. "Tentu saja. Tapi wanita hebat yang sesungguhnya tahu bagaimana menempatkan diri. Karier penting, tapi kodrat utama seorang istri dari keluarga terpandang adalah menjaga citra suaminya, mendampinginya di acara-acara penting, dan memperluas jaringan sosial di lingkaran yang sepadan. Bukan sibuk dengan gambar-gambar dan proyek bangunan yang membuatnya lupa diri." Serangan langsung ke profesiku. Ke duniaku. Ke satu-satunya hal yang kumiliki untuk diriku sendiri. Aku melirik Bram, menunggunya mengatakan sesuatu. Membelaku. Sedikit saja. Kumohon. Tapi suamiku hanya diam. Ia menunduk, pura-pura sibuk memotong daging steiknya yang bahkan belum ia sentuh. Punggungnya yang lebar tampak seperti milik seorang pengecut. Keheningannya adalah persetujuan paling menyakitkan atas semua ucapan ibunya. Saat itulah aku sadar. Perselingkuhan ini bukan hanya kesalahan Bram. Ini adalah proyek yang ia kerjakan bersama ibunya. Lidya adalah arsiteknya, dan Bram adalah kontraktor yang dengan patuh menjalankan rancangannya. Dan Renata? Dia adalah bangunan baru yang megah, siap menggantikan fondasi lama yang dianggap sudah tidak pantas. "Saya setuju, Ma," kataku pelan, membuat Bram dan Lidya menatapku bersamaan. Aku menatap mata ibu mertuaku, tatapan kami bertemu di tengah meja makan yang terasa seperti arena gladiator. "Lingkungan memang sangat penting untuk membentuk kualitas seseorang," lanjutku, senyum tipis tersungging di bibirku. "Dan kualitas sejati seseorang justru terlihat dari cara mereka memperlakukan orang lain, terlepas dari status sosialnya." Keheningan total. Bahkan suara denting garpu pun berhenti. Wajah Lidya mengeras. Aku telah mengembalikan serangannya dengan belati yang sama tajamnya, namun terbungkus sutra kesopanan. Ia tahu aku tidak sedang membicarakan orang lain. Bram menatapku dengan ekspresi panik, seolah aku baru saja menyulut api di tumpukan jerami kering. Sisa makan malam itu berlalu dalam kebekuan. Tidak ada lagi percakapan, hanya aura permusuhan yang kental. Segera setelah hidangan penutup disajikan, Bram dengan cepat berpamitan. Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, keheningan di antara kami terasa lebih berat daripada seribu pertengkaran. "Arini," Bram akhirnya angkat bicara, suaranya ragu. "Soal Mama tadi… jangan dimasukkan ke hati. Kamu tahu sendiri kan, mulutnya memang begitu." Alasan yang sama. Lagu lama yang sudah bosan kudengar. Aku tidak menjawab. Aku hanya memalingkan wajah ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang buram. Aku tidak marah lagi. Rasa marahku telah berevolusi menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dingin, lebih tenang, dan lebih berbahaya. Malam itu aku mengerti. Musuhku bukan hanya Renata, wanita simpanan suamiku. Musuhku juga bukan hanya Lidya, ibu mertua berhati iblis. Musuh utamaku adalah pria yang duduk di sampingku ini. Suamiku sendiri, yang dengan sukarela menjadi pion dalam permainan ibunya untuk menghancurkanku. Malam itu aku sadar, aku tidak sedang berjuang menyelamatkan pernikahanku. Aku sedang bersiap untuk perang. Dan dalam perang, semua cara dihalalkan.enam Bulan Kemudian.Aroma kopi yang baru digiling dan suara dengung percakapan yang hidup memenuhi udara di Kafe Skena. Tempat ini bukan lagi sekadar ruko tua yang direnovasi; ini telah menjadi jantung baru bagi komunitas kreatif Jakarta Selatan. Dan di sudut favoritku, di bawah skylight yang terbuka, aku duduk menyesap latte pagiku.Bukan sebagai Nyonya Haryadi yang menunggu suami pulang. Tapi sebagai Arini Widjaja, Pemilik dan Arsitek Utama dari AW Studio.Di layar televisi yang menggantung di dinding kafe, berita pagi sedang menayangkan liputan langsung dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Headline-nya mencolok dengan warna merah: VONIS DIJATUHKAN: LIDYA HARYADI DIVONIS 8 TAHUN PENJARA.Aku melihat wajah Lidya di layar itu. Rambutnya yang dulu disanggul sempurna kini tampak kusam, uban mulai terlihat di pelipisnya. Wajahnya yang angkuh telah runtuh, digantikan oleh kerutan kelelahan dan kekalahan. Ia berjalan menunduk menghindari kamera, dikawal ketat oleh polisi. Tidak ada lag
Grand Ballroom Hotel Mulia berkilauan di bawah cahaya ribuan kristal chandelier. Ini adalah panggung yang dirancang Lidya Haryadi dengan sempurna: karpet merah tebal, rangkaian bunga lili putih yang megah, dan barisan kursi yang diduduki oleh para pemegang saham, direksi, keluarga Sastranegara, serta puluhan awak media.Di podium, Lidya berdiri tegak dalam balutan gaun sutra emas, tampak seperti ratu yang tak tersentuh. Di sampingnya, Bramantyo duduk dengan senyum kaku, sementara Renata duduk di barisan depan, tersenyum bangga sebagai calon nyonya besar.Dari balik pintu ganda di belakang ballroom, aku mengamati mereka melalui celah kecil. Jantungku berdetak tenang, setenang detak jam yang menghitung mundur kehancuran mereka."Siap?" tanya Dian di sampingku. Di belakang kami berdiri Pak Herman yang merapikan jas barunya dengan gugup, dan Pak Handoko—pria paruh baya dengan rahang tegas yang mirip sekali dengan almarhum ayah mertuaku."Ayo kita akhiri ini," jawabku.Di dalam, suara Lidy
satu bulan berlalu. Strategi "Keheningan" kami bekerja lebih efektif daripada yang kami bayangkan.Sementara pengacara Lidya sibuk menunda-nunda sidang perceraian dengan berbagai alasan prosedural—berharap aku kehabisan uang dan mental—aku justru sibuk di tempat lain. Aku tidak muncul di TV untuk menangis. Aku tidak membalas komentar nyinyir di media sosial. Aku menghilang dari radar gosip dan muncul kembali di radar yang sama sekali berbeda: radar arsitektur.Malam ini adalah soft opening Kafe Skena.Bangunan ruko tua yang dulu kumuh di Senopati itu kini telah bertransformasi. Fasad bata eksposnya dipertahankan, dipadukan dengan kaca frameless setinggi dua lantai yang memamerkan interior industrial yang hangat. Atap skylight yang bisa dibuka kini terbuka lebar, membiarkan udara malam Jakarta masuk, menyatu dengan aroma kopi arabika yang baru digiling.Dan di tengah ruangan, mezzanine baja ringan yang kurancang benar-benar tampak melayang, dipenuhi pengunjung yang terkagum-kagum."Jen
Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m







