LOGINAku pulang ke rumah sore itu dengan perasaan hampa. Foto buram di galeri ponselku terasa seperti bom waktu yang kubawa di dalam tas. Aku mandi lama, berharap air panas bisa menghanyutkan bayangan Bram dan Renata yang berjalan bersama memasuki hotel itu, tapi sia-sia. Bayangan itu menempel di benakku seperti noda permanen.
Aku memutuskan untuk menyibukkan diri di ruang kerjaku, sebuah paviliun kecil dengan dinding kaca yang menghadap ke taman belakang. Aku membentangkan kertas kalkir di atas meja gambar, menyalakan lampu arsitekku, dan mencoba fokus pada denah sebuah vila yang sedang kukerjakan. Tapi garis-garis yang kubuat terasa kaku, imajinasiku buntu. Bagaimana aku bisa merancang sebuah rumah untuk orang lain, sementara rumahku sendiri telah hancur dari dalam? Aku tidak mendengar Bram pulang. Tiba-tiba, sepasang lengan kekar melingkari pinggangku dari belakang. Aku tersentak kaget, tubuhku menegang refleks. "Jangan kaget gitu, dong," bisik Bram tepat di telingaku. Napasnya hangat, aroma parfum mahalnya yang familier menyergap indraku. "Lagi serius banget, ya?" Aku diam, terpaku. Sentuhannya terasa asing. Tubuh ini adalah tubuh yang beberapa jam lalu memeluk wanita lain. "Mas... kapan pulang?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. "Baru saja," jawabnya. Ia menumpukan dagunya di bahuku, membiarkan pelukannya mengerat. "Aku bawa sesuatu buat kamu." Ia meletakkan sebuah kotak kue kecil dari *patisserie* favoritku di atas meja gambarku. Di dalamnya ada sepotong *tiramisu*, kue yang selalu kami pesan saat kencan pertama kami dulu. Sebuah kenangan dari masa ketika semuanya masih terasa benar dan penuh harapan. Gestur yang begitu manis. Gestur yang begitu manipulatif. "Maaf, ya," bisiknya lagi. "Aku tahu beberapa bulan terakhir ini aku keterlaluan. Sibuk, sering pulang malam, jarang ngobrol sama kamu. Rapat tadi siang juga bikin stres." Ia berbohong semudah ia bernapas. "Aku janji, setelah semua proyek besar ini selesai, kita liburan. Ke mana pun kamu mau. Cuma kita berdua. Kita perbaiki semuanya, ya?" Perlahan, ia memutar kursiku hingga kami berhadapan. Ia berlutut di depanku, menggenggam kedua tanganku. Matanya menatapku dengan sorot yang sudah lama kurindukan—penuh kelembutan, permohonan, dan sebersit penyesalan. Inilah bagian yang paling menyakitkan. Logikaku, yang diperkuat oleh bukti foto di ponselku, berteriak bahwa ini semua adalah sandiwara. Ini adalah permainan seorang suami yang merasa bersalah, yang mencoba menenangkan istrinya dengan remah-remah perhatian agar kebohongannya tidak terbongkar. Tapi hatiku... hatiku yang bodoh dan lelah ini adalah seorang pengkhianat. Hati ini merindukan sentuhannya. Hati ini haus akan kata-kata manisnya. Sebagian kecil dari diriku yang paling rapuh berteriak putus asa, *'Bagaimana jika dia benar-benar menyesal? Bagaimana jika pertemuan tadi adalah sebuah kesalahan yang ingin ia akhiri? Bagaimana jika masih ada harapan?'* Harapan adalah racun yang paling mematikan. "Makan kuenya," katanya lembut, menyendokkan sepotong kecil *tiramisu* dan menyodorkannya ke bibirku. Aku membuka mulut dan menerimanya. Rasa kopi dan krim yang lumer di lidahku terasa pahit. Aku menelan kue itu bersama dengan harga diriku. "Aku kangen kita yang dulu, Rin," ucapnya lirih, menarikku ke dalam pelukannya. Aku membiarkannya. Aku membenamkan wajahku di dadanya yang bidang, menghirup aromanya yang dulu menjadi canduku. Untuk sesaat, aku membiarkan diriku lupa. Aku memejamkan mata, membayangkan kami kembali ke masa lalu, ke saat di mana cinta kami adalah satu-satunya kebenaran. Pelukannya terasa begitu nyata, begitu hangat. Aku hampir percaya. Sungguh, aku hampir menyerah pada ilusi yang indah ini. Duri-duri pengkhianatan itu masih ada, menusuk punggungku bahkan saat ia memelukku erat. Tapi rasa hangat pelukannya untuk sesaat membuatku lupa akan rasa sakitnya. Dan di puncak momen kelemahanku itu, sebuah suara menginterupsi. *Bzzzt. Bzzzt.* Getaran singkat dari atas meja kopi di samping kami. Ponsel Bram. Mata kami berdua—aku yang berada dalam pelukannya dan dia yang memelukku—sama-sama tertuju pada benda itu. Layarnya menyala. Sebuah notifikasi pesan gambar dari W******p muncul di layar kunci. Kontaknya hanya satu huruf. **R**. Dan pratinjau gambarnya, meski kecil, sudah lebih dari cukup untuk membakar habis sisa harapan terakhirku hingga menjadi debu. Itu adalah foto *selfie*. Renata, tersenyum cerah ke arah kamera. Di belakangnya, di atas ranjang hotel yang berantakan, adalah suamiku, Bramantyo, yang sedang tertidur pulas dengan dada telanjang. Waktu seakan berhenti. Kehangatan di tubuhku lenyap seketika, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Pelukan Bram yang tadinya terasa seperti surga, kini terasa seperti belenggu neraka. Aku mengangkat wajahku dari dadanya dan menatap lurus ke matanya. Sorot lembut di matanya kini telah berubah menjadi kepanikan murni saat ia mengikuti arah pandanganku ke layar ponselnya. Sandiwara telah berakhir.Kemarahanku sedingin baja.Aku berhasil mempertahankan ketenanganku di depan Reza. Kami menghabiskan satu jam berikutnya—yang terasa seperti selamanya—membahas detail teknis renovasi kafe. Aku memaksakan otakku untuk fokus pada denah, material, dan struktur baja ringan. Setiap kali bayangan foto pertunangan itu melintas di benakku—Bram yang tersenyum palsu, Renata yang menang, Lidya yang angkuh—aku menariknya kembali dengan paksa. Aku tidak akan memberi Lidya kepuasan dengan hancur di saat aku baru memulai langkah pertamaku.Aku tidak ingat bagaimana aku mengucapkan selamat tinggal pada Reza. Aku hanya ingat berjalan kaku menuju mobilku, buku sketsa dan pensil di tanganku terasa seperti timah yang berat. Begitu pintu mobil tertutup, aku tidak langsung menyalakan mesin. Aku duduk diam di dalam keheningan yang memekakkan, menatap setir.Ini bukan lagi perzinaan. Ini adalah eksekusi publik.Tanganku mulai gemetar, getaran kecil yang merambat dari jemariku ke lengan, lalu ke seluruh tubuh
Sesuai janjiku pada Reza, dua hari kemudian aku berada di Senopati. Bukan di restoran mewah, tapi di depan sebuah ruko tua berlantai dua yang tampak kumuh. Catnya mengelupas, jendelanya kotor, dan terasnya dipenuhi gulma. Ini adalah lokasi kafe "ikonik" yang dimaksud Reza. Mimpi buruk sekaligus kanvas yang sempurna.Aku menarik napas dalam-dalam, mencium aroma debu, cat lama, dan tanah basah. Anehnya, aku merasa hidup. Aku mengeluarkan meteran dari tasku, buku sketsaku, dan sebuah pensil. Selama lima tahun, tanganku hanya menyentuh layar tablet untuk mendesain paviliun atau merenovasi kamar tamu di istana Lidya. Ini adalah pekerjaan lapangan pertamaku yang sesungguhnya.Aku sedang mengukur lebar fasad depan, mencatat struktur bata ekspos yang tersembunyi di balik plester yang hancur, ketika sebuah suara familier terdengar dari belakangku."Kukira Nyonya Haryadi sudah lupa cara memegang meteran."Aku berbalik tanpa tersenyum. Reza Adhitama bersandar di mobil Jeep Rubicon-nya yang gagah
Di puncak Haryadi Tower, di dalam kantor CEO yang dilapisi panel kayu mahoni dan kaca, Bramantyo Haryadi menatap amplop cokelat besar di mejanya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Stempel dari firma hukum Dian terpampang jelas di sudut kiri atas.Ia membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.Beberapa lembar kertas ia keluarkan. Matanya memindai baris demi baris kalimat hukum yang kaku. Semakin ia membaca, semakin pucat wajahnya.*Perzinaan...**...dengan pihak ketiga bernama Renata Sastranegara...**...upaya penggelapan aset pernikahan...**...griya tawang di SCBD atas nama Lidya Haryadi...*"Sialan!" teriaknya, menyapu kertas-kertas itu dari mejanya. Gelas kristal di sudut meja ikut tersenggol dan jatuh ke lantai karpet tebal, isinya yang tersisa tumpah tanpa suara.Dia pikir Arini hanya pergi untuk "menenangkan diri". Dia pikir ini adalah pertengkaran suami-istri biasa yang akan selesai dengan permintaan maaf dan hadiah mahal. Dia tidak pernah menyangka Arini akan *berani* m
Dua minggu berlalu dalam pusaran aktivitas yang hening dan terfokus. Rahasia yang kami simpan bersama Pak Herman terasa seperti inti reaktor yang dingin di dalam diriku, sebuah sumber kekuatan yang tersembunyi. Sesuai rencana Dian, kami tidak melakukan apa pun dengan bom itu.Sebaliknya, aku fokus pada perang yang terlihat: membangun kembali hidupku.Apartemen Dian terasa sesak dengan dua wanita profesional yang bekerja dari rumah. Kami memutuskan untuk mengambil langkah berisiko: kami menyewa sebuah ruang kantor kecil di gedung *co-working space* yang trendi. "Firma Hukum & Desain Dian-Arini," begitu canda kami, meskipun untuk saat ini, papan nama kami hanya berupa stiker kecil di pintu kaca buram.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menyusun ulang portofolioku, menghubungi kontak-kontak lama dari universitas, dan memberi tahu dunia bahwa aku "tersedia untuk proyek *freelance*". Responnya dingin. Nama "Haryadi" yang dulu kubenci, kini ketiadaannya terbukti menjadi sebuah hambatan. Ta
Perjalanan pulang dari rumah Pak Herman terasa sangat berbeda dari perjalanan pergi. Keheningan di dalam mobil terasa berat, sarat dengan apa yang baru saja kami dengar. Alat perekam kecil itu kusimpan di dalam tas, terasa lebih berat dari sebongkah emas. Dian menyetir dengan fokus yang tajam, rahangnya mengeras."Kecelakaan mobil... kantor notaris terbakar," gumamku pelan, memecah keheningan. "Di, wanita itu bukan sekadar licik. Dia berbahaya. Sangat berbahaya."Dian mengangguk, matanya tak lepas dari jalanan malam yang basah oleh gerimis. "Ya. Ini bukan lagi drama rumah tangga atau sengketa perceraian, Rin. Ini sudah masuk level *crime story*. Lidya tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk melindungi rahasianya. Termasuk... menyingkirkan notaris itu."Rasa dingin yang tidak ada hubungannya dengan AC mobil menjalar di kulitku. Apa yang tadinya kuanggap sebagai pembalasan dendam pribadi, kini telah berevolusi menjadi sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih menakutkan. Aku tidak
Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s







