Share

Wanita yang Tak Lagi Menggairahkan

Semakin hari sikap Satriyo semakin dingin. Intensitas kepulangannya ke rumah pun semakin jarang. Sebagai wanita yang sudah puluhan tahun mendampinginya, Manda tentu hapal perubahan sikap sang suami. Begitu juga Langit dan Pelangi. Keduanya seolah kehilangan figur seorang papi akhir-akhir ini. Terlebih saat keduanya sering memergoki Manda melamun seorang diri dan bahkan menangis.  

Seperti pagi ini, Langit yang baru pulang dari mengantar Pelangi ke sekolah menemukan sang mami terdiam di sudut teras belakang. Wanita itu kepergok menyusut sisa air mata di pipi ketika mendengar Langit memnaggilnya. 

"Mami sudah sarapan?" tanya Langit berusaha tidak melihat mata merah sang mami. Manda melengos dan berpura-pura tengah menyusun tumpukkan novel di sampingnya. 

Sebenarnya bukan itu yang hendak ditanyakan Langit. Namun dia tidak akan kuat melihat maminya semakin sedih ketika dia menanyakan tentang sang papi. 

"Kamu nggak ke kampus?" tanya Manda menoleh dan mengikuti Langit yang ke ruang makan.

"Ehm, iya, Mi. Mau mandi dulu," jawab Langit. 

"Bawain sarapan papi, ya, tadi dia belum sarapan."

Langit hanya mengangguk yang tidak dilihat sang mami. 

Pagi tadi, seperti biasanya, Satriyo terburu-buru ke kampus. Susu yang dituang Pelangi tidak disentuhnya. Begitu juga sarapan yang sejak subuh sudah disiapkan Manda. Satriyo pergi dengan ponsel yang masih menempel di pipi. Seseorang tengah menelponnya. Membuat Satriyo terlihat sibuk. 

Di kampus, meeting pagi buta baru saja selesai. Wajah lelah Satriyo adalah hal pertama yang ditemukan Janice ketika di kampus. Mereka tidak saling tatap, tapi Janice diam-diam memperhatikan sang pujaan hati dari taman depan fakultasnya. Wanita itu langsung mengirim pesan singkat pada Satriyo. 

[Capek banget, ya?]

Satriyo yang tengah duduk santai bersama para dosen yang lain langsung tersenyum mendapati pesan Janice di notifikasi ponselnya. .

[Lelahku langsung hilang karena kamu.]

Kini gantian Janice yang tersenyum dan tersipu malu. Dia menatap ke arah Satriyo yang memang sedikit berjauhan. Tak disangka lelaki itu juga tengah menatapnya. Orang lain mungkin tidak akan tahu ke mana arah tatapan mereka. Namun kedua sejoli itu seolah tengah bersitatap dekat dalam debar kerinduan. 

[Aku bawain sarapan. Aku taruh meja, Mas, ya?]

Emotikon hati bertubi-tubi dikirim oleh Satriyo sebagai ungkapan terima kasihnya. Janice pun langsung bergegas pergi menuju ruangan Satriyo dengan kantung kertas bermerk suatu tempat makan bergengsi di tangannya. Janice sengaja memesan makanan mahal itu sebagai sarapan untuk sang kekasih yang sudah dia pastikan belum sarapan. 

Sementara Satriyo tengah berjalan santai menyusuri lorong fakultas pendidikan, menuju ruangan sang papi. Saat hampir mendekati ruangan yang dituju, matanya terpana ketika dari arah depan dia berpapasan dengan seorang wanita yang pernah dijumpai, dulu. Wanita yang kini mengenakan kaus panjang ketat serta jeans yang juga ketat. Sepatu tingginya menggema di seluruh lorong. Langit memejamkan mata saat mereka berpapasan dan aroma parfum si wanita menguar tajam hingga ke hidungnya. 

Satriyo tertegun ketika dia meletakkan kotak bekal berisi sarapan sang papi. Di meja Satriyo ada sekotak makanan dengan merk restoran cepat saji yang dia kenal. 

"Papi udah beli sarapan, to?" gumamnya pelan. Dia menyentuh kotak tersebut dan mengangkatnya. "Masih utuh. Kayaknya belum dimakan."

Saat berusaha mencium aroma masakan dari kotak tersebut, hidung Langit mencium aroma lain yang tidak asing. Namun sayangnya dia lupa entah aroma apa dan di mana. 

***

Satriyo pulang menjelang tengah malam. Dia sampai teras tepat setelah sambungan teleponnya dengan Janice terputus. Manda yang belum tidur mengerutkan kening saat mendapati Satriyo tersenyum senang saat berbicara di telepon. Tanpa diduga, Langit juga tengah memperhatikan sang papa dari balik celah tirai jendela kamarnya.

"Baru pulang, Mas?" tanya Manda membukakan pintu kamar untuk suaminya. Satriyo tertegun dan mengerutkan kening ketika mendapati Manda dengan balutan pakaian tak biasa. Ya, Manda mengenakan gaun malam yang super seksi. Transparan, seksi, dan sangat menggoda. Apalagi Manda juga mengusapkan make-up tipis yang menyamarkan wajah pucatnya. Aroma parfum yang menggoda juga menggelitik hidung. 

"Iya. Banyak kerjaan!" jawab Satriyo singkat dan langsung duduk di tepi ranjang, membelakangi Manda yang duduk di depan meja rias. 

"Capek, ya? Mau aku pijitin?" 

Satriyo belum sempat menjawab. Manda sudah mendekat dan langsung duduk di pangkuan lelaki itu. Jemari halus dan kurus Manda langsung memijit bahu dan tengkuk Satriyo. 

"Manda, aku—"

"Nggak apa-apa, Mas. Capek, kan?" Manda dengan cepat memotong ucapan Satriyo yang hendak protes dengan perlakuannya. Namun Satriyi tetap berontak. Ditepisnya dengan halus tangan Manda yang kini melepas kancing kemejanya satu persatu. 

"Aku mau mandi dulu, ya?"

Manda terdiam. Perlahan dia turun dari paha Satriyo. Lelaki itu langsung berdiri dan menuju kamar mandi. 

"Mau aku siapin susu?" tanya Manda menawarkan segelas susu, seolah mengingatkan kebiasaan Satriyo saat mereka baru menikah dulu, minum segelas susu sebelum tidur. 

Satriyo yang sudah membuka daun pintu kamar mandi tertegun. "Nggak usah! Langsung tidur saja!"

Manda terdiam dan mengangguk. Perlahan dia mengusap bahunya yang terbuka dan memeluk dirinya sendiri. Dingin. Baju seperti yang dikenakannya malam itu mungkin sudah tidak cocok lagi dengan kondisi tubuhnya yang mudah kedinginan. 

Di dalam kamar mandi, Satriyo terdiam di bawah guyuran air shower. Dia biarkan aliran air itu menelusuri tubuh atletisnya seolah membawa semua kenangan yang baru saja ditempelkan oleh Janice sore tadi. Ya, sore tadi hingga malam Satriyo menghabiskan waktu berdua dengan Janice di rumah wanita itu. Janice membuat lelaki 50 tahun itu terkapar menahan kenikmatan sesaat bersama tubuhnya. Satriyo seolah tidak pernah bosan menikmati setiap helaan napas dan jeritan kecil Janice ketika dia mencumbunya. Satriyo ketagihan. 

Satriyo terdiam ketika mendapati Manda belum tidur di ranjang. Wanita itu tengah membaca buku dengan bersandar di tembok kamar. Gaun malam pendek Manda tersingkap hingga membuat pahanya terekspos jelas. Satriyo hanya menelan ludah ketika menatapnya sekilas.

Tanpa bicara sepatah katapun, Satriyo merebahkan tubuh di samping Manda. Dia berbaring membelakangi sang istri. Kemudian memejamkan mata. Namun matanya mendadak terbuka ketika merasakan jemari halus Manda menelusup di pinggang, memeluknya. Belum sempat protes, Manda mengangkat sebelah kakinya untuk memeluk pahanya. Satriyo terdiam. 

"Aku merindukanmu, Mas," bisik Manda halus di telinga Satriyo. Lelaki itu mendadak merinding dan bergetar hatinya. 

Satriyo membiarkan Manda yang perlahan mengecup pipi dan mengembuskan napas hangat ke lehernya. Lelaki itu tergelitik saat jemari lentik Manda mengusap dada bidangnya. Belum lagi kaki Manda yang terus menggesek paha depannya. Satriyo menggelinjang. 

Tak tahan, Satriyo berbalik dan langsung menindih tubuh Manda dengan cepat. Wanita itu sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum. 

"Mas ...?" panggil Manda lembut dan memejamkan mata. Dia menggelinjang pelan seolah meminta lebih. Namun Satriyo hanya menatapnya. 

Cup

Satu kecupan sekilas di dahi membuat Manda membuka mata. Satriyo turun dari atas tubuhnya dan menutupkan selimut ke tubuh Manda. 

"Tidurlah, sudah malam!"

Manda terdiam. Diliriknya Satriyo yang kembali berbaring membelakanginya. Mata wanita itu perlahan mendung. 

"Apa aku tidak menarik lagi, Mas?" 

Satriyo membuka mata. 

"Aku tidak semenarik wanita di luar sana, ya?" 

Kali ini suara Manda sedikit bergetar. Wanita itu menahan tangis. 

"Aku tahu, Mas, aku ... aku tidak seksi lagi. Aku tidak menarik lagi, aku—"

Belum sempat Manda menyelesaikan kalimatnya, Satriyo sudah berbalik dan langsung menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi. Tangan kekarnya lantas melepas paksa semua yang dikenakan Manda. Wanita itu tak sempat protes karena mulutnya dibekap ciuman Satriyo. 

Mereka saling memagut dan memeluk. Deru napas keduanya memenuhi ruangan kamar yang lama yang tersentuh birahi. Satriyo semakin terbakar. Tak peduli jika Manda mulai kepayahan bernapas karena ditekan tubuh besarnya. 

Satriyo terus memacu nafsu yang sudah di ujung. Lelaki itu benar-benar beringas. Manda yang tak berdaya hanya mampu menahan napas saat tubuhnya dikuasai Satriyo. Perlahan air mata Manda mengalir. Malam yang dia impikan akan menjadi indah, nyatanya seolah malam penuh keburukan. Dia merasa seolah dirudapaksa oleh suaminya sendiri. Lelaki yang sangat dicintainya. 

"Mas ...?" Manda melenguh pendek. Napasnya tersengal. Jemari yang menahan tubuh Satriyo seolah tidak lagi kuat. Perlahan dia terkulai dan menyerah. Sementara Satriyo terus menggerak-gerakkan tubuh memacu diri untuk mencapai puncak. 

Satriyo terdiam. Ditatapnya sang istri yang hanya diam dan menangis perlahan. Manda terisak pelan. Tubuhnya terasa semakin panas dan gemetar. Saat Satriyo mengendurkan tindihannya, Manda langsung meringkuk, kedinginan. Satriyo dengan cepat menutupkan selimut untuk menutupi seluruh tubuh Manda. 

"Maaf, Mas ...."

Hanya itu yang didengar Satriyo sebelum akhirnya dia ke kamar mandi, menuntaskan birahinya. 

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status