Share

Wanita yang Jauh Berbeda

Satriyo mengerutkan kening ketika mendapati Manda yang belum tidur. Wanita itu duduk termangu menatap wajahnya di cermin. Jemarinya perlahan menyisir rambut hitamnya yang semakin tipis.l. Satriyo bergidik menatap sisir yang penuh dengan rambut.

"Dari mana, Mas?" tanya Manda pelan.

Satriyo melirik sekilas sembari meletakkan kunci mobil dan ponsel di meja. "Rumah temen."

"Perempuan?"

Satriyo terdiam. Lantas menghela napas panjang. "Temen kampus!"

Manda menatap sang suami yang kini melepas pakaiannya dan meletakannya di keranjang baju kotor.

"Akhir-akhir ini Mas jarang di rumah."

"Kenapa memangnya?"

"Nggak biasanya."

"Hhh, aku kan sibuk. Kamu pikir aku ngapain?"

Manda terdiam. Perlahan dia menunduk menghindari tatapan tajam Satriyo yang seolah tidak suka diberi pertanyaan tersebut. Wanita itu tetap diam hingga Satriyo beranjak dan merebahkan tubuh di ranjang. Manda menyusul.

"Mas?"

Satriyo yang memejamkan mata hanya berdehem menjawab. Hatinya mendadak tidak nyaman dan panas ketika tangan lembut Manda menyentuh lengannya. Tangan yang cenderung panas dengan aroma minyak penghangat tubuh yang menyengat. Sangat jauh berbeda dengan tangan Janice yang halus dan selalu wangi. Tangan yang membuat Satriyo kecanduan akan sapuan halusnya di seluruh tubuh. Ah, Janice sungguh sudah meracuni pikirannya.

"Aku kangen kamu, Mas," ucap Manda pelan dan perlahan merebahkan tubuh di samping Satriyo. Wanita itu merapatkan tubuhnya ke tubuh Satriyo.

"Aku nggak menarik lagi, ya, Mas?"

Satriyo tetap diam. Dia menghela napas panjang saat mencium aroma tubuh Manda. Aroma minya terapi yang menguar dan hawa hangat dari tubuhnya. Hal yang sudah biasa dia temui beberapa tahun ini. Namun entah mengapa kali ini dia merasa sangat bosan dan terganggu.

"Mas ...?"

Manda mendongak untuk menatap wajah Satriyo. Namun lelaki itu bergeming. Dia cuek saja saat lengan Manda melingkar di pinggangnya, memeluk dengan erat. Biasanya Satriyo akan balik memeluk dan menutupkan selimut. Namun tidak kali ini.

"Aku ngantuk. Capek juga," ucap Satriyo sembari menguap lebar. Manda hanya diam. Hatinya mendadak sendu.

Merasa diacuhkan dan tidak dipedulikan, Manda perlahan bangkit. Dia memilih duduk di kursi dan menatap Satriyo yang memejamkan mata. Manda tahu suaminya itu belum tidur. Hanya saja memejamkan mata mungkin adalah solusi ketika dia tidak berminat untuk bercerita atau sekedar menjawab pertanyaannya.

Perlahan mata sendu Manda mulai mendung. Pandangannya buram karena air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Manda mendongak, mencegah air matanya tumpah. Wanita itu hanya tidak ingin terlihat cengeng. Bukankah selama ini dia sudah banyak melalui hal yang lebih menyakitkan dari sekedar dicueki suami sendiri?

***

"Mas nggak sarapan?" tanya Manda ketika dilihatnya Satriyo sudah membawa tasnya hendak ke kampus. Yang ditanya hanya menoleh sekejap sembari mengenakan jam tangannya.

"Di kampus aja!" jawab Satriyo singkat. Tanpa pamit ataupun bersalaman lelaki itu lantas keluar rumah. Manda hanya terdiam menatap kepergiannya.

Di tangga, Langit yang baru bangun tidur terdiam menatap sang mami. Dia melirik Pelangi yang juga menjadi saksi bagaimana sikap sang papi pagi itu. Remaja SMA itu urung menuang segelas susu untuk sang papi.

"Wih, nasi goreng sosis. Enak, nih. Tak habisin, ya, Mi?" Langit langsung duduk di kursi dan menyendok nasi goreng.

"Ish, jorok! Belum juga cuci muka udah sarapan!" gerutu Pelangi menepis tangan sang abang.

"Bodo amat! Mana ada yang bisa menolak lezatnya nasi goreng buatan Mama Manda?" Langit menaikkan alis menatap Manda yang tersenyum ke arahnya. Senyum terpaksa yang jelas dilihat oleh Langit.

"Bang, anterin, ya?" Pelangi mendekati sang abang dan berbisik. Dia juga melirik sang mami yang tengah mencuci piring. Tanpa menoleh, Langit mengangguk mengiyakan.

Setelah cuci muka dan mengganti piyama tidurnya, Langit bergegas mengantar sang adik ke sekolah. Manda melepas keduanya dengan hati nyeri. Ada sesak yang tak mampu dia jelaskan ketika menyadari bahwa Satriyo tidak lagi mengajak Pelangi berangkat bersamanya. Sang kepala rumah tangga itu bahkan tidak lagi berpamitan pada mereka.

Sepanjang perjalanan, Langit dan Pelangi hanya diam. Meski di kepala masing-masing ada banyak pertanyaan yang ingin diutarakan. Pelangi memilih diam karena tidak tahu harus memulai pertanyaan dari mana. Sedangkan Langit memilih diam karena tidak ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada papi mereka.

***

"Tumben Mas mampir ke sini?" tanya Janice membukakan pintu rumahnya. Wanita itu baru saja bangun tidur. Piyama tidur seksi yang berantakkan dan wajah tanpa make-up nyatanya justru membuat Satriyo beringas. Dibopongnya tubuh langsing itu ke ranjang dan menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi. Janice hanya bisa meronta, meski menginginkan lebih.

"Buatin Mas sarapan, dong!"

Janice yang masih gelagapam mengerutkan kening. "Lah, belum sarapan?"

Satriyo menggeleng. Dia bangkit dan duduk di sofa depan tivi. Disulutnya rokok yang baru dibeli di jalan tadi.

"Tumben?"

"Nggak tahu, nggak selera aja sama masakan Manda!"

"Katanya masakan dia enak?"

"Ya enak, sih. Tapi akunya yang udah nggak selera."

Janice mencebik. "Aku pesen go-food, ya?"

"Kamu nggak masak?"

Janice menghela napas panjang dan duduk di pangkuan Satriyo. "Mas kan tahu aku nggak bisa masak," ucap Janice tersenyum kecut. Satriyo hanya tersenyum dan mengangguk.

Sementara Langit yang baru saja mengantar Pelangi langsung menghentikan motor ketika sekilas dilihat mobil yang sangat dia kenali. Mobil putih itu terparkir di depan sebuah rumah sederhana tak jauh dari jalan pintas menuju sekolah Pelangi.

"Papi ngapain di sini?" gumam Langit memastikan jika mobil yang dilihat adalah mobil sang papi. Benar saja. Itu jelas mobil sang papi.

"Ehm, teman kampus kayaknya!"

Langit lantas bersiap untuk meninggalkan depan rumah Janice, tapi kemudian tercenung ketika menatap benda yang digantung di samping rumah tersebut. Pakaian wanita model terkini dan trendy terlihat masih sedikit basah di gantung di jemuran samping rumah. Namun kemudian dia mengangguk ketika ditemukan beberapa potong pakaian lelaki yang juga dijemur di sana.

"Ehm ..."

Di dalam rumah, Satriyo tengah menghabiskan makanan yang dipesan Janice. Sementara Janice tengah mandi.

Satriyo melirik jam di tangan. Masih ada waktu satu jam hingga jam masuk kantor. Iseng dia menatap sekeliling. Benda-benda mahal dan unik menghiasi rumah Janice. Rumah yang dibelinya sendiri dari hasil bisnisnya. Dia juga menatap deretan foto Janice yang berjejer rapi di meja, lemari, bufet, dan dinding. Satriyo terdiam dan perlahan tersenyum.

"Kamu cantik banget, sih," gumamnya.

Satriyo lantas teringat Manda. Wanita yang jauh berbeda dengan Janice. Satriyo bahkan kini lupa entah karena apa dulu dia jatuh cinta dengan Manda. Yang dia ingat, dia mendatangi orang tua Manda dan melamarnya. Semua terjadi begitu saja dan cepat. Namun dari hati kecilnya Satriyo mengaku sangat mencintai Manda beriring waktu berjalan. Apalagi Manda yang selalu sabar menghadapi hidup sulit yang pernah mereka jalani.

"Ngelamun, Mas?"

Satriyo terkesiap dan tersenyum. Janice muncul dengan hanya mengenakan handuk. Satriyo tersenyum menatapnya. Tubuh sintal dan padat milik Janice membuatnya bergelora. Belum lagi aroma wangi sabun dari tubuhnya. Satriyo lantas teringat Manda tadi pagi. Manda yang baru mandi sama sekali berbeda dengan Janice. Aroma sabun herbal dan tubuh kurus serta pucat sangat jauh berbeda dengan yang dilihatnya sekarang, di depan mata.

"Mikirin apa, sih, Mas?"

Satriyo menggeleng. "Mikirin kamu, kok."

"Gombal!"

Janice tersipu sembari melempar handuk ke wajah Satriyo. Membuat lelaki itu kehilangan sekian detik pemandangan indah di depanya. Pemandangan tubuh seksi dan menggoda Janice yang tanpa sehelai benang pun.

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status