"Kenapa kamu kayak kaget gitu, Nye?" Rosa mendorong bahuku. "Apa tadi kamu pikir bisa menebus kesalahanmu dengan uang? Mentang-mentang sekarang kamu banyak uang dan Anes kekurangan?" Rosa menatap dengan ejekan ke arahku.
Aku hanya bisa diam. Sebab tadi aku memang sempat berpikiran seperti itu."Anye …."Aku mengangkat wajah kembali menatap Anes saat ia menyebutku."Bagaimana jika aku menjadi pelakor dalam hidupmu?" Mataku kembali melebar mendengar kata-kata Aneska."Jawab! Jangan diam saja!" Rosa kembali mendorong bahuku. Aneska maju satu langkah ke depan, dengan mata tak lepas menatapku. "Aku masih mencintai Mas Nata," ucapnya, "dan kupikir Mas Nata juga masih mencintaiku." Aku gak heran jika Anes masih mencintai Mas Nata. Namun … jika Mas Nata yang masih mencintai Anes … kenapa hatiku perih?"Jelas Mas Adinata masih mencintaimu, Nes. Kan kamu memang cinta pertamanya. Anye tahu itu, bahkan seluruh dunia aku rasa tahu. Kalian berpacaran sudah hampir lima tahun lamanya, dan hampir menikah. Kalau saja sahabat kamu yang tak tahu diuntung ini gak jadi pelakor. Merebut calon suamimu dengan licik, menfitnahmu dan—""Aku tidak memfitnah!" ucapku menyela Rosa. Entah kenapa aku tak terima dengan sebutan memfitnah."Heh! Kamu bilang gak fitnah?" Rosa kembali mendorong bahuku."Lalu apa, Nye? Kau mengatakan pada Mas Nata dua hari sebelum pernikahan kami, kalau aku selingkuh hingga Mas Nata langsung membatalkan pernikahan kami." Mata sayu Anes berkaca-kaca.Begitu juga dengan mataku ikut berkaca-kaca. Pikiranku kacau saat ini. Tak bisa berpikir dengan jernih. Dadaku sesak."Aku tahu, Nye. Sekarang kau sukses dengan menjadi istri Mas Nata. Sekalipun aku tak melihatnya, tapi aku bisa menebaknya. Calon suamiku yang kau rebut itu pria yang sangat baik dan penuh kelembutan. Dan sangat peka akan perasaan pasangan. Kamu sangat beruntung mendapatkannya. Di samping materi yang Mas Nata punya." Kali ini Aneska berucap sambil tangannya yang terluka itu memegang pundakku.Tiba-tiba terasa sulit bagiku menelan ludah. Sakit mendengar kata-kata Anes. Sahabatku yang dulunya begitu baik padaku.Mendadak, aku sudah menjadi orang paling kejam."Ibarat peribahasa, kuberi air susu, kau balas dengan tuba. Itulah dirimu, Nye." Kedua tangan Aneska sekarang sudah berada di kedua bahuku. Ia mencengkeramnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku dulu begitu baik padamu. Kau tak punya uang buat bayar uang sekolah aku meminjamkannya, saat orang tuamu sakit, aku juga yang membayar biaya rumah sakit, bahkan masih banyak lagi yang kulakukan padamu. Aku gak minta kau balas, Nye. Tidak menghancurkan kebahagiaanku saja itu sudah cukup." Aneska menarik tangannya dari bahuku, beralih merapikan jilbabnya yang berantakan.Aku terdiam dengan lelehan air mata yang terus mengalir. "Kau jahat, Nye."Aku menggelengkan kepala. Seolah tak terima dengan perkataan Anes. "Iya, dia wanita jahat." Rosa menimpali.Karena tak tahan, aku segera berbalik untuk pergi."Gak ada istilahnya perusak hubungan orang akan sukses."Langkahku terhenti mendengar ucapan Anes."Kau penjahat, Nye. Penghancur hubungan orang. Jadi dapat kupastikan rumah tanggamu, pernikahan dan kehidupanmu tak akan baik-baik saja. Boleh saja sekarang kau sukses dan bahagia. Tapi lihat saja ke depannya. Nikmat sekarang yang punya hangat istidraj dari Tuhan. Nikmat yang mengandung dosa."Aku tak menggubris kata-kata Aneska. Melanjutkan langkahku dengan berlari sambil meneteskan air mata.***Setelah sampai rumah, aku tak langsung turun dari mobil. Kata-kata Aneska tergiang-giang. Apa benar nikmat yang kurasakan saat ini, dengan memiliki suami baik dan rizki yang lebih dari cukup dan anak-anak yang lucu adalah sebuah istidraj. Sebab kuperoleh dengan jalan yang salah.Setelah cukup lama termenung, aku turun dari mobil. Setibanya di rumah, di sofa ruang tamu sudah kujumpai suamiku dan kedua anakku bercanda ria.Ya, Allah … aku sangat bahagia dengan mereka. Apakah sanggup kiranya ancaman Aneska benar terjadi, ia kembali datang untuk Mas Nata. "Papa, Mama sudah datang!" seru si Wulan saat melihatku. Aku pun tersenyum seraya menghampiri mereka.Mereka langsung menyalimiku, usai aku menyalami Mas Nata."Damar, Wulan, kalian ke kamar ganti baju, gih. Habis itu makan. Ok," suruh Mas Nata pada anak-anak. Yang langsung dilaksanakan oleh si kembar.Seperginya si kembar, Mas Nata menoleh. Pria tampan berwajah putih itu menatapku. "Ada apa, Mas?" tanyaku merasa heran dengan tatapannya. Juga kenapa ia sudah pulang dari kantor padahal belum waktunya.Apa … mungkin Mas Nata ada masalah di kantornya. Dan ….Tiba-tiba pikiran buruk bergelayut di kepalaku. Jika benar itu terjadi, benar apa yang dikatakan Anes. Bahwa ini masih mula untukku. Semua nikmat yang aku punya akan segera Tuhan cabut.Aku harus apa? Toh aku mendapatkannya memang dari jalan yang salah."Seharusnya aku yang tanya itu. Ada apa dengan kamu, Nye?""Hah!" Aku melongo mendengar pertanyaan Mas Nata."K-kenapa aku, Mas?" tanyaku yang tak mengerti."Semenjak kemarin sore, habis kita bawa anak jalan-jalan. Kamu sedikit berubah." Mata elang pria yang sudah hampir 6 tahun lamanya menjadi imam baik untukku itu menatap lekat.Aku bergeming. Tak tahu, tepatnya bingung mau jawab apa."Sekarang kamu lebih banyak murung. Seperti ada yang dipikirkan. Kalau boleh tahu apa?" Aku menggelengkan kepala. "T-tidak ada, Mas," jawabku berbohong. Andaikan aku jujur tentang pertemuanku dengan mantannya dan tahu keadaan Aneska sekarang. Apa yang akan ia lakukan.Sudah dapat kutebak, ia akan meninggalkan aku. Siapa aku? Hanya perebut dan penghancur hubungan sahabat sendiri yang berhasil dan sukses dengan menikahi calon suaminya."Jika tidak ada, lalu sekarang ini kamu dari mana?" tanya Mas Nata lembut."Mas, aku …." Haruskan aku cerita yang sebenarnya pada Mas Nata."Tadi guru paud anak-anak telpon katanya kamu gak jemput. Aku telpon kamu gak angkat. Karena khawatir, aku langsung keluar dari rapat untuk menjemput mereka."Mas Nata memang sangat sayang sama anak-anak. Keinginannya memiliki anak kembar. Dan Alhamdulillah, Tuhan memberikan nikmat lebih. Dengan lahirnya si kembar beda jenis dari rahimku.Orang tua Mas Nata semakin menyayangiku setelah kehadiran si kembar. Entah dengan Mas Nata. Ia tak pernah menyatakan perasaannya, hanya saja selalu bilang terima kasih padaku. Dan bahagia atas kehadiran si kembar."Aku pikir kamu keluar untuk jemput anak-anak." Pria yang memiliki sifat lembut dan tak banyak bicara itu tersenyum simpul. "Ya sudah, aku kembali lagi ke kantor. Jaga anak-anak, ya." Hanya tangannya mengelus rambutku. Padahal aku berharap lebih dari itu. Merindukan hidung bangir pria itu menyentuh keningku di luar adegan ranjang. Saat ia menginginkan aku."Anye …." Saat hampir tiba di pintu keluar, papa dari anak kembarku itu menoleh."Iya, Mas." Aku berdiri dari sofa. Dengan pelan, ia melangkah ke arahku.Di luar dugaanku, ia meraih kepalaku dan mengecup keningku. Sontak aku menegang. Padahal ini bukan untuk pertama kalinya. Kami sudah lima tahun setengah menikah. Sering Mas Nata melakukan yang lebih dari itu.Namun untuk di luar itu memang untuk pertama kalinya. "Terimakasih," lirihnya usai menyudahi aktivitasnya."U-ntuk apa?" Ah, kok jadi grogi gini.Ia tak segera menjawab. Matanya lekat menatap. "Perusahaan semakin maju dan berkembang pesat selama dua bulan terakhir ini. Bisnis lancar selancar-lancarnya.""Alhamdulillah kalau begitu, Mas," seruku sambil tersenyum. "Selamat, ya. Mas 'kan memang hebat dalam berbisnis.""Tidak. Ini berkat kamu."Keingku mengkerut. "Kok aku, Mas?" Dia tak menjawab. Malah semakin lekat menatapku."Ini karena kerja keras Mas Nata. Bukan aku. Aku gak ngapa-ngapain." Aku tersenyum garing."Karena kamu … tepatnya setelah menikah dengan kamu. Usahaku selalu lancar. Aku semakin sukses. Mama dan Papa bilang begitu, dan aku …." Kata-kata Mas Nata menggantung."Aku merasakan itu juga."Deg. Ada rasa hangat menghinggapi hatiku. Mendengar kata-kata pria yang kucintai ini.Mas Nata tersenyum seraya menatap ke samping. "Mungkin benar apa yang dikatakan oleh adikku Aditya, kalau kau istri pembawa berkah."Langsung kutundukkan wajah. Malu dengan kata-katanya. Andai ia tahu yang sebenarnya, tentu tak akan berkata seperti tadi."Terimakasih, Nye." Sebelah tangan Mas Nata menyentuhku. "Aku sering mendengar doamu untukku di waktu malam." Jari jempolnya mengelus pipiku. Lembut."Rekening kamu sudah aku kirim. Kau kirimlah orang tuamu."Aku terpaku sambil menunduk. Padahal baru dua minggu lalu Mas Nata memberiku uang, dan sekarang ia memberiku lagi.Dengan kemajuan bisnis Mas Nata yang tentunya aku juga menikmati, aku tak tahu … apa ini istidraj dari Allah sebab aku memperoleh dari jalan yang salah._____Aku menatap kotak perhiasan mewah di depanku. Dua buah gelang yang dikirim mama mertua. Alasannya masih sama. Karena perusahaan Mas Nata maju dan sukses.Mama mertua juga bilang makasih saat di telpon tadi. Kesuksesan Mas Nata karena aku katanya.Orang tua di kampung sudah aku kirim. Setelah pertemuanku dengan Aneska … aku merasa tak pantas mendapat kemewahan ini. Seharusnya Aneska yang ada di posisiku. Menikmati kesuksesan Mas Nata dan kebahagiaan dalam berumah tangga dengannya. Bukan aku.Dua hari sebelum pernikahan Mas Nata dan Anes, aku melihat Aneska keluar dari salon. Kala itu Aneska masih tak berhijab. Ia masuk ke dalam mobil bersama seorang pria tampak mesra.Aku yang saat itu memang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibuku dan bayar hutang bapakku yang sudah jatuh tempo dan kalau tidak dibayar maka bapak akan dimasukkan ke penjara, akhirnya aku yang tak menemukan pinjaman, berani memberikan tuduhan palsu tentang Aneska pada Masa Nata. Aku memberikan foto Aneska bers
Pagi ini, lagi-lagi aku kesiangan. Usai sholat Subuh ketiduran di atas sajadah. Bangun-bangun sudah ada di atas kasur. Untung hari ini tanggal merah. Mas Nata sama si kembar libur.Saat masuk ke dapur, aku sudah menjumpai Mas Nata mencuci piring di wastafel. "Maaf, Mas. aku kesiangan," kataku setelah sampai di dekatnya.Dia tersenyum sambil meneruskan kegiatannya. "Gak papa, sengaja juga gak aku bangunin." Dia berucap dengan tenang. Aku yang gak enak, mengulurkan tangan hendak mengambil alih spon di tangannya. Namun ia tahan."Sudah tinggal sedikit. Biar aku selesaikan. Kamu bangunin aja si kembar. Habis sholat tadi, mereka tidur lagi."Aku mengangguk, namun berjalan ke arah kamar mandi hendak mencuci pakaian. Namun keranjang cucian sudah kosong. Mesin cuci juga kosong. Aku kembali ke dapur. Mas Nata tersenyum ke arahku. "Semua sudah aku kerjakan. Nyapu, ngepel juga. Kamu bangunin anak-anak aja.""Maaf, Mas. Aku tak akan mengulangi," kataku tak enak. Ia hanya tersenyum tulus.De
Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali da
Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas
Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d