"Eh, itu Anyelir, bukan?"
Aku yang mendengar namaku seperti sedang disebut, sontak menoleh. Untuk memperjelas wajah kedua wanita yang sedang berdiri menatapku, kubuka kacamata hitamku sambil mengibaskan rambut ikalku ke belakang."Bener banget dia Anyelir," sahut wanita satunya yang begitu aku kenal. Rosa—temanku sedari SMA hingga kuliah."Iya, dia Anyelir. Si pelakor itu." Sonya—juga temanku sedari SMA menimpali dengan sengit.Aku hanya bisa menelan ludah. Tanganku berkeringat dingin. Ah, ternyata kedua temanku itu masih membenciku. Dan sebutan pelakor masih mereka ucapkan dengan sengit padaku setelah hampir lima tahun kami tidak bertemu.Tanganku semakin berkeringat dingin tatkala melihat kedua wanita yang dulunya sering berbagi kisah suka maupun duka denganku itu melangkah ke arahku. Yang sedang berdiri dekat kursi taman."Baru kali ini aku melihat pelakor tapi bahagia, malah semakin jaya aja." Setelah tiba di depanku, Rosa menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut."Iya, ini namanya pelakor sukses." Dita menimpali. Tak ketinggalan dengan senyuman sinisnya. "Jika kebanyakan pelakor sengsara itu malah sukses.""Semakin glamor saja hidupmu, Anye. Bahkan sekarang juga lepas jilbab," sambung Dita."Haha … gak heran, pelakor 'kan modal cantik doang. Apalagi dapat suami tajir, gak heran, dong, dia foya hidupnya. Dan bergaya juga." Rosa tersenyum sinis sambil bersedekap dada.Aku hanya bisa bergeming, tak tahu ingin berkata apa untuk membalas kata-kata Rosa dan Dita.Sebab … di sini aku memang merasa bersalah. Sudah merebut Mas Nata—calon suami sahabatku Aneska."Benar-benar jaya sekarang kamu, Anye. Sukses merebut calon Aneska, sahabat kita. Bahkan dulu Aneska begitu dekat sama kamu. Tapi tega-teganya nikung sahabat sendiri." Rosa menggeleng-gelengkan kepalanya."Pengen sukses gak gitu caranya. Usaha sendiri. Dasar pelakor!" Dita mendorong bahuku, hingga aku mundur satu langkah."Cukup!" Aku menghentikan Rosa yang hendak melangkah dengan tangan terangkat hendak melayangkan tamparan ke wajahku."Ini hidupku," kataku sambil menatap tajam ke arah Rosa dan Dita."Aku yang berhak menentukan pilihan hidupku sendiri. Bukan kalian." Setelah berucap, aku segera melangkah meninggalkan kedua matan sahabatku itu. Untuk menyusul Mas Nata dan anak-anak yang tadi bermain di pinggir danau tak jauh dari taman."Huu … dasar pelakor!"Masih kudengar suara Rossa yang mengumpatku."Wanita gat3l, mau sukses tapi gak dengan nikung juga kali …!" Dita juga menambahi sambil bersorak.Aku tak peduli dengan hinaan mereka, terus mempercepat langkahku.***Setelah tiba di pinggir danau, aku langsung duduk di belakang Mas Nata yang sedang bermain dengan anak-anak.Aku termenung sambil menatap suamiku dan kedua anak kembarku Damar dan Wulan. Mereka tampak asik bermain sambil bercanda ria.Tiba-tiba ngenes mengingat julukan 'Pelakor Sukses' dari mantan temanku. Iya, mereka bilang sendiri bahwa aku ini mantan teman yang berkhianat.Entah kenapa aku merasa tak sanggup menerima ejekan dan hinaan dengan sebutan pelakor. Padahal dulu aku sudah siap menerima akibatnya. Kutatap sekali lagi suami dan anak-anakku. Aku bahagia dengan mereka. Juga … rumah tanggaku yang sudah berjalan hampir 6 tahun lamanya.Walaupun … hingga sampai saat ini aku belum tahu perasaan Mas Nata yang sesungguhnya padaku. Selama pernikahan ini berlangsung. Yang aku tahu Mas Nata suami yang baik dan bertanggung jawab. Dan yang terakhir … dia begitu pengertian."Anye … aku memanggilmu!"Aku terkejut saat sebuah tangan menyentuh pundakku. "Eh. Iya, Mas." Aku menatap Mas Nata yang entah sejak kapan ada di sampingku."Kamu ngelamunin apa? Kok aku panggil beberapa kali gak nyaut?" Kening pria berhidung bangir itu mengkerut.Aku segera tersenyum. "Gak ngelamunin apa-apa, kok, Mas. " Sengaja aku tak jujur. Sebab bahaya jika sampai Mas Nata tahu. Lebih-lebih tahu kalau aku telah membohonginya. Tentang perselingkuhan Aneska dulu hingga ia membatalkan pernikahannya dengan wanita yang ia cintai. Bahkan sangat ia cintai. "Ngelamun lagi?" Aku terkejut dengan perlakuan Mas Nata yang mencolek daguku. Sontak kegalauanku lebur. Beralih ke sikap manis Mas Nata.Beberapa kali aku mengedipkan mata. Menatap serius ke pria yang saat ini tersenyum sambil menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga.Mendadak aku berdebar. Sebab Mas Nata melakukan ini di luar adegan ranjang. Saat ia membutuhkan aku."Sepertinya kamu sudah lelah. Pulang aja, yuk!""Tapi, Mas …." Aku menahan tangan Mas Nata yang hendak berdiri."Gak papa. Toh anak-anak sudah puas bermain." Dia tersenyum sambil mengajak anak kembar beda jenis kami pulang.Setibanya di rumah, Mas Nata langsung mengajak anak-anak mandi. "Kamu diem aja, gak usah lakuin apa-apa. Rumah biar aku yang beresin. Makan malam biar aku juga yang siapin.""Tapi, Mas …!" Aku menahan lengan Mas Nata saat ingin pergi."Gak papa. Aku gak capek. Kan gak kerja." Sambil tersenyum, ia berlalu menghampiri anak-anak yang sudah ada di kamar mandi.Mas Nata memang selalu seperti itu, dimulai sejak kami baru menikah. Jika dia tidak bekerja seperti hari minggu ini, ia akan mengerjakan pekerjaan rumah. Sekalipun ia kerja, pulang ke ruang kerjaan rumah belum beres, ia tak segan untuk membantuku.Itulah, mungkin yang jadi alasan kenapa Rosa dan Dita menyebutku pelakor sukses.Sebab, hidupku memang lebih, bahkan sangat baik saat menikah dengan Mas Nata. Pria tajir dan dermawan itu.Dulu aku orang tak punya. Untuk jajan ke kantin aja nunggu ditraktir Aneska, Rosa dan Dita."Kamu sekarang sudah bagai bak Cinderella. Dari miskin ke kaya. Tapi sayang harus dengan jadi pelakor."Kata-kata Rosa, lima tahun yang lalu tergiang-giang di telinga. Tepatnya setahun pernikahanku, orang tua Mas Adinata menghadiahi mobil mewah untukku. Sebagai hadiah anniversary.Bisa dibilang aku sukses setelah menikah, apa-apa yang aku inginkan tercapai. Lalu … apa iya gelar pelakor sukses itu sesuai untukku?***[ Masih tenang aja hidupnya setelah menghancurkan hidup orang lain?]Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.Aku tahu itu Rosa, setelah ku-cek profil-nya.[Tapi … apa masih bisa tenang setelah melihat ini nantinya?]Rosa mengirimiku lokasi, dan menyuruhku untuk datang ke sana.Akhirnya, setelah Mas Nata berangkat ke kantor bersama anak-anak sekalian diantar sekolah, aku pergi dengan mobilku menuju lokasi yang dikirim Rosa.Tak lama kemudian, aku tiba di depan sebuah rumah minimalis. Perlahan aku turun dari mobil. Di depan gerbang sudah ada Rosa yang seperti sengaja menunggu. Dia langsung menarikku paksa masuk ke dalam rumah."Lihat ini, Anye!" Tubuhku didorong hingga hampir menabrak seorang wanita berjilbab yang sedang membersihkan beling di lantai.Mataku membelalak saat wanita berjilbab itu menoleh.Dia Aneska. Wanita pujaan Mas Nata dan yang hampir dinikahinya. Namun gagal oleh tuduhanku.Aneska berubah. Dulu wanita seksi dan glamor yang selalu berpakaian terbuka itu kini sudah berhijab. Tapi ada yang berubah, tubuhnya yang seksi sebab selalu nge-gym itu kini kurus. Kulitnya kusam dan wajahnya … yang dulu glowing dan tebal dengan make up juga kusam bahkan … lebam seperti ada bekas pukulan.Bibirnya juga terluka. Masih ada bercak darah yang hampir mengering."Apa yang kamu pikirkan setelah melihat keadaan sahabatmu Aneska sekarang, Anye?" tanya Rosa padaku.Aku masih bergeming dengan terus menatap Aneska yang juga sama menatapku dengan raut yang … entahlah. Aku tak dapat menebak ekspresi Anes saat ini."Karena tak jadi menikah dengan Mas Adinata, orang tua Aneska langsung menjodohkan Anes dengan pria kejam dan tak berperasaan. Demi menutupi malu keluarga dan undangan yang sudah tersebar," cerita Rosa dengan tatapan penuh kebencian terhadapku."Kau tahu, Nye. Rumah tangga Anes sudah seperti neraka. Suaminya memperlakukan dia bak bintang. Hanya sedikit kesalahan, Aneska dipukul dan siksa. Jarang dikasih nafkah. Hutang di mana-mana. Anaknya kekurangan. Bahkan juga pernah merasakan kekerasan."Aku menangis mendengar itu. Aku tak menyangka Anes akan mendapati kekerasan dalam rumah tangganya. Dari suaminya. Mendadak aku teringat dengan Mas Nata yang selama kami menikah tak pernah ia berkata kasar apalagi berlaku kekerasan. "Andaikan kamu tak merebut calon suami Anes, Mas Adinata, tentu Aneska akan menikah dengan pria yang mencintainya dan tak akan diperlakukan kasar oleh Mas Nata. Kau mengambil kebahagiaan sahabatmu, Nye. Kau kejam. Dasar pelakor!" Aku tergugu, tak sanggup lagi mendengar kata-kata Rosa, apalagi melihat luka yang ada di bagian tubuh Anes lainnya. Tangannya tergores beling.Iya, aku salah. Oleh karena itu aku mengatupkan kedua tangan di dada. "Aku mengaku bersalah, Nes …." Air mataku semakin deras mengalir."Maafkan aku, Nes …." Suaraku bergetar. Aneska hanya bergeming dengan terus menatapku."Aku tidak ada maksud untuk merusak kebahagiaanmu. Aku hanya ingin mencari kebahagiaanku …." Aneska masih bungkam. Matanya berkaca-kaca."Maafkan aku, Nes …," lirihku sambil terus menangis."Maaf saja tidak cukup, Nye," katanya dengan dalam.Aku menghentikan tangisanku. "Lalu aku harus apa, Nes? Katakan, apa yang harus kuperbuat untuk menebus kesalahanku?"Aneska tak menjawab. Matanya masih lekat menatapku."Nes, katakan. Apa yang harus aku perbuat agar kau memaafkan aku? Aku akan menurutinya.""Sungguh?"Aku menganggukkan kepala. "Iya, katakan saja.""Aku menginginkan suamimu, Nye.""Apa!" Aku terkejut dengan permintaan Aneska.Aku pikir … aku bisa membantunya dengan uang. Tapi …."Karena kau telah merusak kebahagiaan dengan merebut Mas Nata calon suamiku. Maka … berikan suamimu padaku. Atau kalau tidak biarkan aku jadi istri kedua. Agar kau merasakan bagaimana sakit yang kualami saat itu."Aku bungkam seribu bahasa dengan mulut masih ternganga.Kenapa sakit? Diduakan itu tentu sakit. Apalagi direbut?Oh, Tuhan … inikah karmaku?_____"Kenapa kamu kayak kaget gitu, Nye?" Rosa mendorong bahuku. "Apa tadi kamu pikir bisa menebus kesalahanmu dengan uang? Mentang-mentang sekarang kamu banyak uang dan Anes kekurangan?" Rosa menatap dengan ejekan ke arahku.Aku hanya bisa diam. Sebab tadi aku memang sempat berpikiran seperti itu."Anye …."Aku mengangkat wajah kembali menatap Anes saat ia menyebutku."Bagaimana jika aku menjadi pelakor dalam hidupmu?" Mataku kembali melebar mendengar kata-kata Aneska."Jawab! Jangan diam saja!" Rosa kembali mendorong bahuku. Aneska maju satu langkah ke depan, dengan mata tak lepas menatapku. "Aku masih mencintai Mas Nata," ucapnya, "dan kupikir Mas Nata juga masih mencintaiku." Aku gak heran jika Anes masih mencintai Mas Nata. Namun … jika Mas Nata yang masih mencintai Anes … kenapa hatiku perih?"Jelas Mas Adinata masih mencintaimu, Nes. Kan kamu memang cinta pertamanya. Anye tahu itu, bahkan seluruh dunia aku rasa tahu. Kalian berpacaran sudah hampir lima tahun lamanya, dan hampir m
Aku menatap kotak perhiasan mewah di depanku. Dua buah gelang yang dikirim mama mertua. Alasannya masih sama. Karena perusahaan Mas Nata maju dan sukses.Mama mertua juga bilang makasih saat di telpon tadi. Kesuksesan Mas Nata karena aku katanya.Orang tua di kampung sudah aku kirim. Setelah pertemuanku dengan Aneska … aku merasa tak pantas mendapat kemewahan ini. Seharusnya Aneska yang ada di posisiku. Menikmati kesuksesan Mas Nata dan kebahagiaan dalam berumah tangga dengannya. Bukan aku.Dua hari sebelum pernikahan Mas Nata dan Anes, aku melihat Aneska keluar dari salon. Kala itu Aneska masih tak berhijab. Ia masuk ke dalam mobil bersama seorang pria tampak mesra.Aku yang saat itu memang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibuku dan bayar hutang bapakku yang sudah jatuh tempo dan kalau tidak dibayar maka bapak akan dimasukkan ke penjara, akhirnya aku yang tak menemukan pinjaman, berani memberikan tuduhan palsu tentang Aneska pada Masa Nata. Aku memberikan foto Aneska bers
Pagi ini, lagi-lagi aku kesiangan. Usai sholat Subuh ketiduran di atas sajadah. Bangun-bangun sudah ada di atas kasur. Untung hari ini tanggal merah. Mas Nata sama si kembar libur.Saat masuk ke dapur, aku sudah menjumpai Mas Nata mencuci piring di wastafel. "Maaf, Mas. aku kesiangan," kataku setelah sampai di dekatnya.Dia tersenyum sambil meneruskan kegiatannya. "Gak papa, sengaja juga gak aku bangunin." Dia berucap dengan tenang. Aku yang gak enak, mengulurkan tangan hendak mengambil alih spon di tangannya. Namun ia tahan."Sudah tinggal sedikit. Biar aku selesaikan. Kamu bangunin aja si kembar. Habis sholat tadi, mereka tidur lagi."Aku mengangguk, namun berjalan ke arah kamar mandi hendak mencuci pakaian. Namun keranjang cucian sudah kosong. Mesin cuci juga kosong. Aku kembali ke dapur. Mas Nata tersenyum ke arahku. "Semua sudah aku kerjakan. Nyapu, ngepel juga. Kamu bangunin anak-anak aja.""Maaf, Mas. Aku tak akan mengulangi," kataku tak enak. Ia hanya tersenyum tulus.De
Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali da
Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas
Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang