Share

Pelakor Sukses
Pelakor Sukses
Penulis: Tere Bina

Berikan Suamimu!

"Eh, itu Anyelir, bukan?"

Aku yang mendengar namaku seperti sedang disebut, sontak menoleh. Untuk memperjelas wajah kedua wanita yang sedang berdiri menatapku, kubuka kacamata hitamku sambil mengibaskan rambut ikalku ke belakang.

"Bener banget dia Anyelir," sahut wanita satunya yang begitu aku kenal. Rosa—temanku sedari SMA hingga kuliah.

"Iya, dia Anyelir. Si pelakor itu." Sonya—juga temanku sedari SMA menimpali dengan sengit.

Aku hanya bisa menelan ludah. Tanganku berkeringat dingin. Ah, ternyata kedua temanku itu masih membenciku. Dan sebutan pelakor masih mereka ucapkan dengan sengit padaku setelah hampir lima tahun kami tidak bertemu.

Tanganku semakin berkeringat dingin tatkala melihat kedua wanita yang dulunya sering berbagi kisah suka maupun duka denganku itu melangkah ke arahku. Yang sedang berdiri dekat kursi taman.

"Baru kali ini aku melihat pelakor tapi bahagia, malah semakin jaya aja." Setelah tiba di depanku, Rosa menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Iya, ini namanya pelakor sukses." Dita menimpali. Tak ketinggalan dengan senyuman sinisnya. "Jika kebanyakan pelakor sengsara itu malah sukses."

"Semakin glamor saja hidupmu, Anye. Bahkan sekarang juga lepas jilbab," sambung Dita.

"Haha … gak heran, pelakor 'kan  modal cantik doang. Apalagi dapat suami tajir, gak heran, dong, dia foya hidupnya. Dan bergaya juga." Rosa tersenyum sinis sambil bersedekap dada.

Aku hanya bisa bergeming, tak tahu ingin berkata apa untuk membalas kata-kata Rosa dan Dita.

Sebab … di sini aku memang merasa bersalah. Sudah merebut Mas Nata—calon suami sahabatku Aneska.

"Benar-benar jaya sekarang  kamu, Anye. Sukses merebut calon Aneska, sahabat kita. Bahkan dulu Aneska begitu dekat sama kamu. Tapi tega-teganya nikung sahabat sendiri." Rosa menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Pengen sukses gak gitu caranya. Usaha sendiri. Dasar pelakor!" Dita mendorong bahuku, hingga aku mundur satu langkah.

"Cukup!" Aku menghentikan Rosa yang hendak melangkah dengan tangan terangkat hendak melayangkan tamparan ke wajahku.

"Ini hidupku," kataku sambil menatap tajam ke arah Rosa dan Dita.

"Aku yang berhak menentukan pilihan hidupku sendiri. Bukan kalian." 

Setelah berucap, aku segera melangkah meninggalkan kedua matan sahabatku itu. Untuk menyusul Mas Nata dan anak-anak yang tadi bermain di pinggir danau tak jauh dari taman.

"Huu … dasar pelakor!"

Masih kudengar suara Rossa yang mengumpatku.

"Wanita gat3l, mau sukses tapi gak dengan nikung juga kali …!" Dita juga menambahi sambil bersorak.

Aku tak peduli dengan hinaan mereka, terus mempercepat langkahku.

***

Setelah tiba di pinggir danau, aku langsung duduk di belakang Mas Nata yang sedang bermain dengan anak-anak.

Aku termenung sambil menatap suamiku dan kedua anak kembarku Damar dan Wulan. Mereka tampak asik bermain sambil bercanda ria.

Tiba-tiba ngenes mengingat julukan 'Pelakor Sukses' dari mantan temanku. Iya, mereka bilang sendiri bahwa aku ini mantan teman yang berkhianat.

Entah kenapa aku merasa tak sanggup menerima ejekan dan hinaan dengan sebutan pelakor. Padahal dulu aku sudah siap menerima akibatnya. 

Kutatap sekali lagi suami dan anak-anakku. Aku bahagia dengan mereka. Juga … rumah tanggaku yang sudah berjalan hampir 6 tahun lamanya.

Walaupun … hingga sampai saat ini aku belum tahu perasaan Mas Nata yang sesungguhnya padaku. Selama pernikahan ini berlangsung. Yang aku tahu Mas Nata suami yang baik dan bertanggung jawab. Dan yang terakhir … dia begitu pengertian.

"Anye … aku memanggilmu!"

Aku terkejut saat sebuah tangan menyentuh pundakku. "Eh. Iya, Mas." Aku menatap Mas Nata yang entah sejak kapan ada di sampingku.

"Kamu ngelamunin apa? Kok aku panggil beberapa kali gak nyaut?" Kening pria berhidung bangir itu mengkerut.

Aku segera tersenyum. "Gak ngelamunin apa-apa, kok, Mas. " Sengaja aku tak jujur. Sebab bahaya jika sampai Mas Nata tahu. Lebih-lebih tahu kalau aku telah membohonginya. Tentang perselingkuhan Aneska dulu hingga ia membatalkan pernikahannya dengan wanita yang ia cintai. Bahkan sangat ia cintai. 

"Ngelamun lagi?" 

Aku terkejut dengan perlakuan Mas Nata yang mencolek daguku. Sontak kegalauanku lebur. Beralih ke sikap manis Mas Nata.

Beberapa kali aku mengedipkan mata. Menatap serius ke pria yang saat ini tersenyum sambil menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga.

Mendadak aku berdebar. Sebab Mas Nata melakukan ini di luar adegan ranjang. Saat ia membutuhkan aku.

"Sepertinya kamu sudah lelah. Pulang aja, yuk!"

"Tapi, Mas …." Aku menahan tangan Mas Nata yang hendak berdiri.

"Gak papa. Toh anak-anak sudah puas bermain." Dia tersenyum sambil mengajak anak kembar beda jenis kami pulang.

Setibanya di rumah, Mas Nata langsung mengajak anak-anak mandi. 

"Kamu diem aja, gak usah lakuin apa-apa. Rumah biar aku yang beresin. Makan malam biar aku juga yang siapin."

"Tapi, Mas …!" Aku menahan lengan Mas Nata saat ingin pergi.

"Gak papa. Aku gak capek. Kan gak kerja." Sambil tersenyum, ia berlalu menghampiri anak-anak yang sudah ada di kamar mandi.

Mas Nata memang selalu seperti itu, dimulai sejak kami baru menikah. Jika dia tidak bekerja seperti hari minggu ini, ia akan mengerjakan pekerjaan rumah. Sekalipun ia kerja, pulang ke ruang kerjaan rumah belum beres, ia tak segan untuk membantuku.

Itulah, mungkin yang jadi alasan kenapa Rosa dan Dita menyebutku pelakor sukses.

Sebab, hidupku memang lebih, bahkan sangat baik saat menikah dengan Mas Nata. Pria tajir dan dermawan itu.

Dulu aku orang tak punya. Untuk jajan ke kantin aja nunggu ditraktir Aneska, Rosa dan Dita.

"Kamu sekarang sudah bagai bak Cinderella. Dari miskin ke kaya. Tapi sayang harus dengan jadi pelakor."

Kata-kata Rosa, lima tahun yang lalu tergiang-giang di telinga. Tepatnya setahun pernikahanku, orang tua Mas Adinata menghadiahi mobil mewah untukku. Sebagai hadiah anniversary.

Bisa dibilang aku sukses setelah menikah, apa-apa yang aku inginkan tercapai. Lalu … apa iya gelar pelakor sukses itu sesuai untukku?

***

[ Masih tenang aja hidupnya setelah menghancurkan  hidup orang lain?]

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.

Aku tahu itu Rosa, setelah ku-cek profil-nya.

[Tapi … apa masih bisa tenang setelah melihat ini nantinya?]

Rosa mengirimiku lokasi, dan menyuruhku untuk datang ke sana.

Akhirnya, setelah Mas Nata berangkat ke kantor bersama anak-anak sekalian diantar sekolah, aku pergi dengan mobilku menuju lokasi yang dikirim Rosa.

Tak lama kemudian, aku tiba di depan sebuah rumah minimalis. Perlahan aku turun dari mobil.

 Di depan gerbang sudah ada Rosa yang seperti sengaja menunggu. Dia langsung menarikku paksa masuk ke dalam rumah.

"Lihat ini, Anye!" Tubuhku didorong hingga hampir menabrak seorang wanita berjilbab yang sedang membersihkan beling di lantai.

Mataku membelalak saat wanita berjilbab itu menoleh.

Dia Aneska. Wanita pujaan Mas Nata dan yang hampir dinikahinya. Namun gagal oleh tuduhanku.

Aneska berubah. Dulu wanita seksi dan glamor yang selalu berpakaian terbuka itu kini sudah  berhijab. Tapi ada yang berubah, tubuhnya yang seksi sebab selalu nge-gym itu kini kurus. Kulitnya kusam dan wajahnya … yang dulu glowing dan tebal dengan make up juga kusam bahkan … lebam seperti ada bekas pukulan.

Bibirnya juga terluka. Masih ada bercak darah yang hampir mengering.

"Apa yang kamu pikirkan setelah melihat keadaan sahabatmu Aneska sekarang, Anye?" tanya Rosa padaku.

Aku masih bergeming dengan terus menatap Aneska yang juga sama menatapku dengan raut yang … entahlah. Aku tak dapat menebak ekspresi Anes saat ini.

"Karena tak jadi menikah dengan Mas Adinata, orang tua Aneska langsung menjodohkan Anes dengan pria kejam dan tak  berperasaan. Demi menutupi malu keluarga dan undangan yang sudah tersebar," cerita Rosa dengan tatapan penuh kebencian terhadapku.

"Kau tahu, Nye. Rumah tangga Anes sudah seperti neraka. Suaminya memperlakukan dia bak bintang. Hanya sedikit kesalahan, Aneska dipukul dan siksa. Jarang dikasih nafkah. Hutang di mana-mana. Anaknya kekurangan. Bahkan juga pernah merasakan kekerasan."

Aku menangis mendengar itu. Aku tak menyangka Anes akan mendapati kekerasan dalam rumah tangganya. Dari suaminya. Mendadak aku teringat dengan Mas Nata yang selama kami menikah tak pernah ia berkata kasar apalagi berlaku kekerasan. 

"Andaikan kamu tak merebut calon suami Anes, Mas Adinata, tentu Aneska akan menikah dengan pria yang mencintainya dan tak akan diperlakukan kasar oleh Mas Nata. Kau mengambil kebahagiaan sahabatmu, Nye. Kau kejam. Dasar pelakor!" 

Aku tergugu, tak sanggup lagi mendengar kata-kata Rosa, apalagi melihat luka yang ada di bagian tubuh Anes lainnya. Tangannya tergores beling.

Iya, aku salah. Oleh karena itu aku mengatupkan kedua tangan di dada. "Aku mengaku bersalah, Nes …." Air mataku semakin deras mengalir.

"Maafkan aku, Nes …." Suaraku bergetar. Aneska hanya bergeming dengan terus menatapku.

"Aku tidak ada maksud untuk merusak kebahagiaanmu. Aku hanya ingin mencari kebahagiaanku …." 

Aneska masih bungkam. Matanya berkaca-kaca.

"Maafkan aku, Nes …," lirihku sambil terus menangis.

"Maaf saja tidak cukup, Nye," katanya dengan dalam.

Aku menghentikan tangisanku. "Lalu aku harus apa, Nes? Katakan, apa yang harus kuperbuat untuk menebus kesalahanku?"

Aneska tak menjawab. Matanya masih lekat menatapku.

"Nes, katakan. Apa yang harus aku perbuat agar kau memaafkan aku? Aku akan menurutinya."

"Sungguh?"

Aku menganggukkan kepala. "Iya, katakan saja."

"Aku menginginkan suamimu, Nye."

"Apa!" Aku terkejut dengan permintaan Aneska.

Aku pikir … aku bisa membantunya dengan uang. Tapi ….

"Karena kau telah merusak kebahagiaan dengan merebut Mas Nata calon suamiku. Maka … berikan suamimu padaku. Atau kalau tidak biarkan aku jadi istri kedua. Agar kau merasakan bagaimana sakit yang kualami saat itu."

Aku bungkam seribu bahasa dengan mulut masih ternganga.

Kenapa sakit? Diduakan itu tentu sakit. Apalagi direbut?

Oh, Tuhan … inikah karmaku?

_____

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status