Aku menatap kotak perhiasan mewah di depanku. Dua buah gelang yang dikirim mama mertua. Alasannya masih sama. Karena perusahaan Mas Nata maju dan sukses.
Mama mertua juga bilang makasih saat di telpon tadi. Kesuksesan Mas Nata karena aku katanya.Orang tua di kampung sudah aku kirim. Setelah pertemuanku dengan Aneska … aku merasa tak pantas mendapat kemewahan ini. Seharusnya Aneska yang ada di posisiku. Menikmati kesuksesan Mas Nata dan kebahagiaan dalam berumah tangga dengannya. Bukan aku.Dua hari sebelum pernikahan Mas Nata dan Anes, aku melihat Aneska keluar dari salon. Kala itu Aneska masih tak berhijab. Ia masuk ke dalam mobil bersama seorang pria tampak mesra.Aku yang saat itu memang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi ibuku dan bayar hutang bapakku yang sudah jatuh tempo dan kalau tidak dibayar maka bapak akan dimasukkan ke penjara, akhirnya aku yang tak menemukan pinjaman, berani memberikan tuduhan palsu tentang Aneska pada Masa Nata. Aku memberikan foto Aneska bersama pria lain. Tak kusangka, Mas Nata langsung terpengaruh dan membatalkan pernikahannya. Padahal, menurut yang kudengar dari Dita dan Rosa, pria itu adalah adik papa Anes yang membantu mempersiapkan pernikahan Anes.Tapi begitu percayanya Mas Nata dan orang tuanya atas pernyataan palsuku. Aku baru tahu, ternyata Mas Nata dan keluarganya anti pengkhianatan. Dan tak menerima pengkhianat.Iya, niatku ingin dinikahi Mas Nata karena uangnya. Hanya uangnya … namun melihat sikap baik Mas Nata sekalipun aku tak memiliki hatinya … aku telah jatuh hati..'Ceklek!'Aku menoleh saat mendengar pintu kamar dibuka. Pria berkaos putih lengan pendek melemparkan senyum padaku. Segera kubalas senyumannya. "Anak-anak sudah tidur," katanya berjalan ke arah meja kerjanya.Setelah memasukkan kotak perhiasan dari mama, aku berdiri berjalan ke arah kasur duduk di sana. Sedangkan Mas Nata sibuk dengan laptopnya.Suasana hening. Hampir 6 tahun menikah, aku dan Mas Nata kerap seperti orang asing. Jarang ngobrol apalagi saling berbagi kisah.Dia lebih bersikap dari berkata. Contohnya, semenjak menikah, aku memang sering nyalon, merawat dan memanjakan diri. Semua ini aku lakukan atas saran orang tuaku. Agar mempercantik diri biar suami betah dan tak direbut pelakor.Mas Nata gak pernah menyuruhku atau memberiku uang khusus perawatan, tapi tanpa berkata, seringkali ia lakukan, sepulang menjemput atau pulang dari bepergian, ia langsung membawaku masuk ke salon. Sedangkan ia membawa anak-anak main sambil menungguku selesai."Gaun tidur baru, Nye?"Lamunanku buyar mendengar suara Mas Nata. Langsung kutatap gaun tidur yang kukenakan saat ini. Warna merah menyala dan transparan."Eh, iya, Mas. Dikirim Mama," jawabku. Sebenarnya agak ragu tadi saat ingin memakainya. Karena bentuknya yang … ah, entahlah. Aku gak pernah punya gaun tidur seperti ini. Sekalipun malam pertama dengan Mas Nata."Bagus, kok. Di badan kamu." Kulihat bibir Mas Nada berkedut menahan senyuman."Eh, aku cuman ngehargai pemberian Mama aja, kok, Mas. Makanya aku pakai …." Jujur, aku malu. Ini gaun sebenarnya lebih ke lingerie. Aku gak pede pakainya.Meskipun aku gak berjilbab, tapi pakaian gak begitu terbuka."Tapi kamu terlihat berbeda." Mas Nata menutup laptopnya. Berjalan ke arah kasur dan duduk di sampingku.Lama ia menatap tanpa berkata-kata. Kok, aku salting, ya? Kayak ditatap siapa aja."Udah selesai 'kan, dengan tamu bulanannya?" Aku yang sudah paham apa yang diinginkan Mas Nata hanya tersenyum sambil mengangguk.Mas Nata memang gak romantis. Cara mengajak berhubungan saja monoton. Sulit dimengerti, tapi untung saja aku selalu paham.***Setelah selesai, Mas Nata bergulir dari atasku. Seperti biasa, sebelah tangannya menggenggam tanganku. Katanya biar dosa-dosa kecil kita mengalir dari sela-sela jari tangan. Itu keuntungan kontak fisik suami istri.Dan seperti biasa pula, tak ada kata-kata setelah ritual selesai. Mas Nata memejamkan matanya. Padahal aku ingin ngobrol. Kutatap langit-langit kamar. Kadang aku tak menemukan warna dalam pernikahanku. Semua aku dapat dari Mas Nata, tapi … aku serasa tak memiliki hatinya.Benarkah hati Mas Nata masih untuk Aneska? Cinta pertamanya. Sering kudengar bahwa cinta pertama sulit dilupakan. Apa itu juga terjadi pada Aneska dan Mas Adinata?Jika benar begitu … itu artinya, selama ini aku hanya memiliki raganya, tidak dengan hatinya.Kok perih? Hanya membayangkannya saja sakit. Apalagi tahu kenyataannya. Aku sadar aku egois juga serakah. Aku tidak hanya menginginkan nafkah dari mantan calon sahabatku ini. Tapi juga hatinya. Aku ingin hari Mas Nata beralih dari Aneska dan mencintaiku.Ah, itu tentu mustahil. Mendadak aku resah. Kumiringkan badan tidur menyamping. Kutatap Mas Nata yang terpejam. "Mas …," panggilku. Aku tahu dia belum tidur."Iya," jawabnya dengan mata masih terpejam."Boleh aku tanya?""Apa?"Aku tak segera menjawab. Ragu masih. "Apa?" Mata Mas Nata terbuka, menatapku."Pernikahan itu menurut Mas Nata apa?" Baru kali ini aku bertanya tentang pernikahan padanya. Selama ini hanya bertanya dan berbicara tentang kehidupan saja. Itupun jarang. Karena Mas Nata pendiam.Pria itu tak segera menjawab, tampak masih berpikir. "Menurutku … pernikahan itu seperti persahabatan.""Sahabat?" Refleks aku bertanya dengan nada terkejut."Iya," jawabnya enteng. Aku menelan ludah seraya menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mengurangi rasa sesak di dada.Seperti sahabat? Pantas saja Mas Nata memperlakukan aku sering seperti temannya, bukan istrinya. Aku bukan pasangannya, tapi temannya. Oleh karena itu ia jarang bersikap romantis. Hanya hangat, bak seorang teman.Teman masih mending, sering berbagi kisah. Tapi ini tidak. Mas Nata sering diam. Ada masalah apapun, entah kapan dan di manapun saja dia diam. Teman seperti apa itu? Yang tak membagi kisahnya.Mungkin yang ia bagi hanya kisah yang ia kira berhubungan denganku, contohnya saat perusahaanya semakin maju. Dan saat anak-anak dapat peringkat. Untuk pribadinya, Mas Nata bungkam. Nunggu aku tahu sendiri. Padahal aku ingin tahu langsung darinya."Lalu … apa Mas bahagia dengan pernikahan ini?" tanyaku lagi setelah berhasil membuat hatiku merasa baik-baik saja dengan jawaban pertamanya."Bahagia. Tentu sangat bahagia," jawabnya tanpa ragu. Hatiku menghangat mendengarnya. Setelah terasa dingin tadi."Lalu … apa yang membuat Mas Nata bahagia dengan pernikahan ini?" tanyaku dengan antusias. Bahkan bibirku tersenyum. Tak sabar dengan jawabannya.Mas Nata tersenyum sambil menatap langit-langit kamar. "Si kembar yang membuatku bahagia. Kehadirannya terasa mengubah duniaku."Senyumanku lenyap seketika mendengar jawaban Mas Nata. Kini tak lagi dingin hatiku, malah membeku.Kupikir aku alasannya kenapa ia bahagia dengan pernikahan kami. Tak tahunya karena anak kembarnya. Jadi sudah jelas sekarang. Mas Nata tak mencintaiku. Aneska benar, hati Mas Nata masih untuknya. Dia menikahiku sebab untuk mengobati hatinya yang lara, aku hanya pelampiasannya saja.Ya, Allah … kok perih? Mengetahui kebenaran perasaan Mas Nata. Andai tak ada Damar dan Wulan, mungkin ia tak akan bertahan.Kusembunyikan air mata yang menganak sungai. Perlahan kulepas genggaman tangan Mas Nata. Membalikkan badan, tidur membelakanginya.Kutumpahkan air mataku dalam diam._____Pagi ini, lagi-lagi aku kesiangan. Usai sholat Subuh ketiduran di atas sajadah. Bangun-bangun sudah ada di atas kasur. Untung hari ini tanggal merah. Mas Nata sama si kembar libur.Saat masuk ke dapur, aku sudah menjumpai Mas Nata mencuci piring di wastafel. "Maaf, Mas. aku kesiangan," kataku setelah sampai di dekatnya.Dia tersenyum sambil meneruskan kegiatannya. "Gak papa, sengaja juga gak aku bangunin." Dia berucap dengan tenang. Aku yang gak enak, mengulurkan tangan hendak mengambil alih spon di tangannya. Namun ia tahan."Sudah tinggal sedikit. Biar aku selesaikan. Kamu bangunin aja si kembar. Habis sholat tadi, mereka tidur lagi."Aku mengangguk, namun berjalan ke arah kamar mandi hendak mencuci pakaian. Namun keranjang cucian sudah kosong. Mesin cuci juga kosong. Aku kembali ke dapur. Mas Nata tersenyum ke arahku. "Semua sudah aku kerjakan. Nyapu, ngepel juga. Kamu bangunin anak-anak aja.""Maaf, Mas. Aku tak akan mengulangi," kataku tak enak. Ia hanya tersenyum tulus.De
Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali da
Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas
Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d
Setibanya di rumah, aku melihat mobil Mas Nata sudah terparkir di depan rumah. Itu artinya dia sudah tiba terlebih dahulu.Mendadak bingung, jika ia bertanya aku habis dari mana, aku jawab apa? Tapi rasanya tidak mungkin. Selama ini Mas Nata tak pernah bertanya aku habis dari mana jika keluar.Toh, dia juga pernah bilang gak usah repot-repot izin jika mau pergi ke suatu tempat. Takutnya Mas Nata lagi sibuk dan ia telat balas aku juga telat perginya.Tapi aku malah merasa tak dipedulikan dengan cara bersikapnya. Seolah ia cuek aku mau pergi ke mana aja. Padahal aku pengen ditanyain, dikepoin. Mau ke mana, pergi dengan siapa, ketemu siapa. Pengen gitu, merasa dipentingin Mas Nata, dikhawatirin di luar khawatir aku celaka. Cemburu gitu.Ah, boro-boro cemburu. Suka aja nggak.Setelah keluar dari mobil, aku langsung masuk. Anak-anak tampak sudah siap untuk pergi jalan, sudah dimandikan juga kayaknya sama Mbak Ita.Setelah menyapa si kembar dan mengecupnya, aku melangkah ke kamar.Saat mem