"Bos! Aku dapat stempelnya. Ternyata dia taruh di lemari anak gadisnya itu!" teriak salah satu preman sambil memamerkan stempel berharga itu di tangannya.
Seluruh isi rumah yang tersusun rapi, dalam sekejap berubah menjadi amat berantakan akibat ulah para preman yang menyusup itu.
"Bagus! Ayok kita segera pergi. Tinggalkan anak ini, nafasnya juga sudah tersengal-sengal, mungkin sebentar lagi dia mati."
"Betul, kita harus pergi sebelum ada orang lain yang datang."
Bos dan para anak buahnya bergegas naik ke dalam mobil mereka dan menancap gas untuk pergi meninggalkan lokasi rumah itu. Vincent meraih ponselnya dan memberikan laporan terkini pada atasannya.
"Halo Pak, stempel milik Pak Hendra sudah ada di tangan saya. Kini selangkah lagi, kita bisa menyingkirkan perusahaan kecil itu dan saatnya membuat Golden Ang jaya!" kata si Bos penyusup itu dalam sambungan teleponnya.
"Bagus! Lalu bagaimana dengan mereka?"
"Sudah ditangani. Besok Pak Gunadi akan datang ke TKP dan menetapkan bahwa kebakaran yang terjadi karena korsleting listrik."
"Ck! Ada-ada aja pakek dibakar segala! Segera telepon Gunadi, suruh dia tutup kasus ini segera!"
"Baik Pak!"
Terakhir, itu yang diucapkan Vincent sebelum mengakhiri sambungan teleponnya.
Yaps! Para penjahat bisnis itu rupanya sedang berbangga ria karena telah berhasil merebut apa saja yang menjadi keinginan mereka.
Tak peduli nyawa siapapun, jika menghalangi jalannya pasti akan disingkirkan dengan mudah. Termasuk korban suami istri yakni Hendra dan Karin. Kini tersisa hanya Rayu yang tergeletak lemas di lantai, ditemani oleh Agam yang keluar dari tempat persembunyiannya.
"Mba, Mba tolong bangun. Jangan tutup matanya, katakan pada saya apa yang terjadi."
Beberapa kali Agam menepuk pipi Rayu, tapi tidak ada sahutan apapun. Mungkin, alam bawah sadarnya memberikan sinyal lelah untuk sekedar membuka mata.
"Mba, kita ke rumah sakit ya. Luka-luka ini harus segera diobati."
Agam menggendong tubuh Serayu dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Namun sebelum pergi, Agam sempat kembali untuk menyaksikan ruangan yang penuh asap itu. Sambil menutup mulut dan hidung, Agam mengintip dibalik pintunya dan melihat dengan jelas dua jenazah yang sudah hangus terbakar.
"Astaga! Siapa orang-orang itu, tega sekali mereka melakukan ini terhadap sesama manusia!"
Tadinya Agam ingin membantu mengeluarkan jenazah itu, tetapi melihat kondisi Serayu yang lebih membutuhkan pertolongan, akhirnya dia urungkan dan memproritaskan untuk membawa Rayu ke rumah sakit.
**
Perlahan-lahan Agam melihat Rayu membuka matanya setelah beberapa saat yang lalu menggerakkan jarinya. Rayu sudah diberikan perawatan intensif dan mengalami sedikit patah di bagian tulang rusuknya akibat tendangan dari para preman.
"Mba, syukurlah sudah bangun. Mba ada di rumah sakit sekarang, tulang rusuk Mba patah, dan tidak boleh banyak bergerak dulu," ujar Agam yang sejak tadi duduk di samping Rayu menemani wanita itu hingga sadarkan diri. Tanpa disadari, Agam juga merupakan saksi utama atas kejadian malang yang menimpa keluarga Serayu.
"Hah, aku harus pulang. Mama dan Papa menunggu aku di sana!" Serayu berusaha bangkit namun Agam seketika langsung menahannya.
"Belum bisa Mba, luka Mba cukup serius. Jika dibiarkan, maka akan lebih parah lagi."
"Aku tidak peduli! Aku mau bertemu Mama dan Papa, mereka pasti sedang menunggu aku, lepaskan!"
Seberapa keras Rayu ingin pergi, Agam tetap berusaha menahannya. Agam sangat paham bahwa Rayu pasti ingin menemui keluarganya. Tapi jasad ibu dan ayahnya sudah tak bisa dikenali lagi. Untuk apa dia pergi, apalagi masih dalam kondisi terluka parah seperti ini.
"Mba, besok kita pergi menemui Pak Hendra dan ibu. Tapi untuk saat ini tolong istirahat dulu. Mba harus bertahan hidup agar bisa mencari tahu apa sebetulnya yang sudah terjadi."
Mendengar itu, Rayu mulai menurut dan mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia justru menangis sesenggukan karena masih tak percaya dalam semalam ia kehilangan kedua orang tuanya.
"Aku ingat, wajah mereka semua aku ingat. Bahkan nama-nama dari anak buah mereka juga aku ingat. Akan aku ingat sampai mati," ucap Serayu sambil meregang emosi.
Agam yang menyaksikan itu sekejap menjadi paham, mungkin saja Rayu akan membalas perbuatan mereka suatu saat nanti.
"Sekarang Mba istirahat. Pulihkan tenaganya lagi supaya bisa lebih fokus untuk mengingat siapa mereka. Saya yakin Pak Hendra bukan orang jahat, dia sedang berusaha dijatuhkan oleh orang lain," paparnya lagi.
Rayu menghentikan tangisannya dan mulai mencari tahu siapa sosok Agam ini.
"Siapa anda? Kenapa begitu mengenal Papa saya?"
"Maaf saya baru sempat memperkenalkan diri. Saya Agam, saya adalah calon pengacara muda yang direkrut oleh Pak Hendra untuk bekerja di kantor Addara sebagai penasihat hukum. Saya bertemu Pak Hendra di sebuah acara pameran alat musik jalanan, ternyata kami berdua menyukai hobi yang sama. Akhirnya kami mengobrol dan saya diminta untuk memberikan resume saya di kantor itu. Tapi, saya tidak pernah menduga bahwa malam tadi adalah malam yang mengerikan bagi kalian," lanjutnya lagi.
Rayu tahu persis bahwa Papanya memang orang yang sangat baik dan tentunya penyuka alat musik.
Tapi air matanya menetes lagi ketika sadar bahwa sosok pahlawan baiknya itu sudah benar-benar pergi untuk selamanya.
"Yang sabar Mba, saya akan menemani Mba sampai kasus ini terungkap. Besok kita datangi TKP, dan kita laporkan kejadian yang sebenarnya. Saya siap menjadi saksinya," sambung Agam.
Pernyataan sederhana itu menjadi kekuatan tersendiri untuk Rayu yang kini hanya tinggal sendirian.
"Terima kasih Kak," balasnya.
**
Rayu yang masih dibalut perban dan jalan terpincang-pincang, sambil ditemani Agam berjalan mendatangi rumahnya lagi. Padahal kondisi Rayu masih lemah, tapi dia paksakan untuk segera melihat jasad kedua orang tuanya.
Mereka turun dari motor dan menaiki tangga untuk sampai ke pintu gerbang. Tapi, begitu sampai di sana, mereka melihat garis police line sudah terpasang jelas mengelilingi area rumahnya.
"Garis polisi? Berarti sudah ada petugas yang datang ke sini Mba, ayok kita lihat ke sana."
Agam memegang tubuh Rayu dan mengajaknya kembali ke ruangan basemen. Sampai di sana, betapa terkejutnya ketika yang dilihat adalah ruangan kosong tanpa ada apapun. Hanya dinding hitam bekas kebakaran malam itu.
Tidak ada jasad siapa-siapa di sana, bahkan kotoran debu atau apapun itu juga tidak ada sama sekali.
"Siapa yang membereskan semua ini, kenapa sampai sebersih ini?" tanya Agam dalam hatinya.
Serayu yang melihat kondisi itu langsung terduduk lemas sambil menangisi dirinya karena tak sempat bertemu kedua orang tuanya lagi. Mereka dikuburkan di mana pun Rayu tak tahu sama sekali.
"Mama, Papa kalian di mana? Rayu di sini Ma, Pa, kembali lah!" ucap gadis itu dalam tangisannya.
Agam ikut duduk di samping tubuh Rayu dan menenggelamkan kepala Rayu dalam pelukannya. "Saya tidak kepikiran mereka sampai membersihkan tempat ini, maafkan saya Mba," ujarnya.
Serayu juga tampak putus asa dan tidak tahu harus melakukan apa lagi.
Hidupnya benar-benar hancur dalam waktu tiga hari ini. Jika boleh memilih, dia tidak ingin lahir ke dunia jika tahu ia akan kehilangan kedua orang tuanya secepat ini.
"Siapa petugas polisi itu? Siapa yang sudah membawa jasad orang tuaku pergi dari rumah ini?" amuknya dalam hati.
***
"Selanjutnya kamu akan pergi ke mana Mba? Apa ada paman atau saudara lain yang bisa ditemui? Kamu akan saya antar ke sana!" kata Agam.Mereka tengah duduk berdua di teras rumah Rayu sejak satu jam yang lalu. Tidak ada percakapan serius di antaranya, yang ada hanya keheningan saja karena Rayu tampak seperti orang yang sedang berpikir sesuatu."Tidak ada! Papa dan Mama dua-duanya adalah anak tunggal, tidak ada siapa-siapa lagi di keluarga kami. Sekarang aku hanya seorang diri," jawab Rayu tegas.Jawaban itu nampaknya jadi hal yang serba salah bagi Agam. Karena dia tidak bisa begitu saja meninggalkan Rayu sendiri begitu saja tanpa ada wali yang lebih jelas. Bisa saja oara penyusup itu datang lagi dan mengancam jiwa Serayu."Lalu .... tujuan Mba mau ke mana sekarang? Biar saya antar!" Rayu tak langsung menjawabnya. Mungkin dia masih membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk berpikir ke mana dia akan pergi kali ini. "Aku akan berpikir dulu hari ini, tolong kakak pulang saja dan kembali b
"Kalimantan? Kamu yakin akan pergi sejauh itu?" Agam terpekik ketika mendengar pernyataan dari Rayu bahwa dia akan pergi ke Provinsi Kalimantan Timur. Pasalnya, Agam mendengar sendiri kemarin bahwa Rayu tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Papa dan Mamanya.Jadi, jika harus pergi melintas pulau lain, siapa yang akan dia temui? Dan bagaimana kehidupannya nanti?"Iya benar, aku akan ke sana. Aku tidak mau berlama-lama lagi, jadi ku pikir aku lebih baik pergi besok hari," sahut Rayu. Tak perlu ia menjelaskan apa-apa lagi pada Agam. Dia tak bisa menceritakan siapa perempuan yang tadi malam datang padanya."Aku juga harus pergi sejauh mungkin agar Golden Ang tidak bisa melacakku. Kalau kenluar negeri, aku butuh paspor dan untuk membuat itu tidak bisa cepat. Jadi aku rasa ke Kalimantan dulu adalah pilihan yang tepat," sambung Rayu lagi."Sebentar! Tapi di sana kamu hidup sama siapa Mba? Ada tempat tujuan?" Agam masih penasaran.Ketahuilah, Agam adalah satu-satunya laki-laki yang amat khaw
(Tahun 2012)Pesawat yang sedang membawa seluruh penumpang dari bandara Sepinggan Balikpapan, menuju Bandara Soekarno-Hatta Jakarta telah lepas landas setengah jam yang lalu.Saat ini Serayu telah berumur 22 tahun."Kamu siap menghadapi kehidupan kita ke depan? Ingat, sekarang nama kamu bukan lagi Serayu, tapi Clara. Mainkan identitas kamu sebagai wanita yang memiliki pesona tinggi agar bisa menarik hati laki-laki itu!""Baik Bu," jawabnya lirih.Tak ada tujuan lain bagi mereka berdua untuk membalas semua perbuatan perusahaan yang biadab itu.Dia bukan lagi anak dari profesor Hendra dan Karin, sekarang dia adalah anak satu-satunya dari perempuan yang bernama Rosalina. Entah apa yang telah dipersiapkan oleh mereka berdua, yang jelas Serayu dan Laura telah melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya untuk mencapai tahap ini. **"Hai, saya Bian Hartanto. Kamu Clara kan?" ucap satu pria yang menemui Clara di sebuah kafe setelah mereka sepakat untuk bertemu di sana. Bian, adalah target p
"Oh ya Mas? Nyonya besar yang sering dibicarakan itu? Aku justru penasaran bagaimana tampangnya, pasti dia cantik sekali," ujar Clara yang kembali memainkan aktingnya."Iya sayang, Nyonya besar itu sangat cantik. Aku beberapa kali pernah melihatnya di kantor saat beberapa kali berpapasan dengan pimpinan. Dia berwibawa sekali, pokoknya auranya memancar dan pantas sekali jadi orang kaya. Tapi ya itu, kadang tempramental dan suka marah-marah," katanya lagi.'Pimpinan? Apa yang dia maksud adalah Tuan Darwin?' tanya Clara dalam hatinya."Beruntung sekali ya, tapi aku tidak mau. Cukup menjadi istri Mas saja udah membahagiakan buat aku, apalagi bersama Vania."Bian mengecup pipi Clara sebagai ucapan terharunya."Oh ya Mas, pimpinan Golden Ang itu seperti apa? Dia orangnya cuek ya pasti?""Pak Darwin ya? Ya begitulah, dia berkarisma, dingin, penuh ambisi dan menggunakan segala cara untuk meraih keinginannya. Ada apa kok kamu bertanya tentang pimpinan?" tanya Bian. Clara langsung mengubah ekpr
"Rupanya wanita itu, anak perempuan yang dibanggakan oleh si Hary Hartawan? Bagus, aku tak perlu lagi bermain dengan lelah untuk menggaet targetku. Dia sudah berdiri di depan mata."Semua mata jelas sekali tertuju pada wanita itu. Siapapun yang melihatnya, baik dia lelaki atau wanita semua pasti akan jatuh cinta dengan pesonanya. Tapi tidak untuk Tuan Darwin, suaminya yang justru setiap malam sering menghabiskan waktu di bar musik itu."Terima kasih sudah menyambut saya, silakan duduk kembali," ucap perempuan berwajah sinis itu lalu dia duduk di sofa paling depan.Dan para ibu-ibu itu duduk kembali untuk mendengar sambutan pembukaan dari kepala sekolah."Saya haturkan rasa terima kasih yang banyak pada ibu-ibu sekalian yang telah mempercayai sekolah kami untuk membimbing putra-putrinya. Saya rasa, angkatan tahun ini adalah yang terbaik karena kita bertemu dengan anak dari salah satu pendiri sekolah ini. Namanya, Sheila Charlos Hartawan. Putri dari pasangan Ibu Maureen dan Bapak Darwin
bab 10. "Selamat pagi Tuan," ucap orang-orang yang membungkukkan badannya, ketika Darwin memasuki halaman lobi kantornya. Siapapun yang bertemu dengan sosok Darwin, dia akan memberikan hormat sepenuhnya pada laki-laki itu. Sang sekretarisnya mendekat, "Tuan, hari ini anda akan ada rapat bersama pimpinan dari kantor Robert Artaquez dari Portugal. Beliau sudah menanti di lokasi yang akan dikirimkan lewat email. Ini berkasnya," ungkap sekretaris itu. Berkata sambil berjalan mengikuti langkah kaki Darwin yang cepat. Darwin pun segera mengambil tablet itu, dan membacanya. "Batalkan!" katanya dengan sangat enteng. "Tapi Tuan, bukannya bekerja sama dengan perusahaan ini adalah keinginan ayah mertua anda?" Mertua yang di maksud oleh sekretaris itu adalah, Hary Hartawan. "Karena itu batalkan! Saya tidak mau repot. Cari alasan yang paling masuk akal!" jelas Darwin, kemudian dia mengembalikan tablet itu dam segera masuk ke dalam pintu lift yang sudah terbuka. Wajahnya begitu dingin, namun
"Jadi apa langkahmu? Menarik perhatian Maureen?""Benar, aku sudah berhasil membuatnya terkesan. Sebentar lagi, dalam acara pembukaan murid baru dia akan memakai baju pilihan saya. Dan terutama Darwin Chalos, laki-laki itu juga akan muncul menikmati musik yang akan aku mainkan. Aku berharap semua akan berjalan dengan lancar.""Oke, aku juga tidak sabar dengan menantikan saat-saat kehancuran keluarga mereka.""Bu, aku rasa Maureen sedang melacak lokasi Tuan Darwin melalui ponselnya.""Kalau begitu, laki-laki macam Darwin pasti lebih pintar. Tidak mungkin dia tidak tahu bahwa dia sedang dilacak.""Benar, itu maksudku."Mereka berdua saling berpikir sebuah jawaban yang paling tepat untuk hal itu Karena, manusia pintar macam Tuan Darwin adalah yang paling sulit untuk dikelabui.***Jepretan kamera dan pancaran kilat blitz itu telah mengerumuni kedatangan keluarga dari Darwin Charlos yang menyita seluruh perhatian para tamu lainnya. Mereka semua serentak memusatkan perhatiannya pada laki-l
Setelah pertunjukan berakhir, para tamu dipersilahkan juga untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Maureen, Darwin termasuk Clara juga berpindah ruangan, menempati aula yang khusus diisi oleh berbagai macam hidangan itu.Ketika melihat Clara berjalan masuk, mereka yang tadi terhibur oleh penampilannya tak lupa memberikan tepuk tangan meriah sebagai rasa terima kasih karena telah memberikan sebuah instrumen indah yang tentu saja tidak semua orang bisa melakukannya."Hebat sekali kamu, selamat ya. Lihat, banyak penonton yang menyukai penampilan kamu tadi," ungkap Maureen yang turut memberikan sambutan pada Clara.Wanita itu langsung membungkuk memberikan hormatnya pada Maureen. "Terima kasih Nyonya, saya tersanjung sekali. Padahal saya juga tidak terlalu mahir melakukannya, tapi malam ini entah kenapa saya terpacu sekali untuk bermain dengan baik. Mungkin karena saya sedang ditonton oleh tamu-tamu penting hari ini," sahut Clara sembari matanya menatap Darwin yang sedari tadi mem