Jun dulu pernah bersikap naif dan membayangkan masa pernikahan yang manis. Meskipun gadis yang ia nikahi berdasarkan perjodohan. Berharap menjadi layaknya raja yang diberikan perhatian dan tempat untuk bersandar. Ya, Jun memang laki-laki dan tak salah 'kan jika ia berharap dan juga membayangkan akan melalui pernikahan dimana ia berniat meratukan sang istri kelak. Berharap akan ada wanita yang ia jadikan tempat mengeluhkan segala masalah dan juga sandaran bagi emosi-emosi kecilnya.
Nyatanya, raja tak selamanya terpuaskan oleh ratunya. Ia yang harus membesarkan hati untu itu menggapai mimpinya sendiri, Sementara sang ratu membangun dunia yang katanya demi kebaikan sang raja. Bukan berarti ia tak menghargai apa yang sudah diberikan Indie bahkan ia bersyukur karena sang istri telah memberikannya buah hati.Tetap ada yang kurang, dan ia tak bisa temukan di di Indi. Selama ini coba ia tahan dan jadikan dirinya setia. Namun ketika ia benar-benar telah menemukan seorang yang bisa memberi itu, makan Jun lepas kendali.Kehidupan dengan Indi, baik. Sangat baik malah, tak ada pertengkaran berarti 'lagi'. Karena Jun sudah lelah cari perkara dengan sang istri. Beberapa tahun kebelakang, Indi terlalu sibuk dengan kegiatan sosial untuk membentuk image-nya sendiri. Hingga ia lupa memberi sedikit perhatian pada Jun.Awalnya Jun kesal karena ingin mendapatkan perhatian. Hanya saja ia lama-lama lelah juga terus meminta Indi kurang kegiatan dan fokus padanya saja. Indi mengatakan kalau apa yang ia lakukan adalah untuk sang suami juga dan ama perusahaan. Ya, Jun terima saja mau bagaimana ia memang kalah jika adu suara,"Udah makan kamu Mas?" tanya Indi. Sang istri baru selesai mandi setelah kembali dari kegiatan bersedekah, ke Pasuruan hari ini..Jun kini duduk di tempat tidur, sibuk membaca artikel bisnis dari ponsel miliknya, "Udah tadi Mbok 'kan masak," jawab Jun tampa memalingkan tatapannya.Indi kini duduk di meja riasnya. Merawat wajahnya dengan skin care agar tetap cantik dan awet muda. Bukan hanya itu, Indi juga rutin melakukan suntik putih juga perawatan wajah rutin. Tentu saja untuk cantik itu perlu usaha dan uang juga tentu saja."Tadi pada tanya kamu kenapa enggak ikut Mas. Aku bilang kamu sibuk dan memang sibuk kan? Oiya, aku kasih semua donasi itu atas nama kamu.""Kenapa harus nama saya? Kamu bisa bilang itu dari kamu lho." jun mengucapkan tanpa menatap sang istri."Iya dong biar mereka tau kalau kamu peduli meski enggak datang. Di sana padahal ada juga Pak Bram yang aktif banget di setiap kegiatan. Salut aku," jelas Indi kemudian menoleh kepada sang suami sambil sibuk memakai serum di wajahnya. "Mas kamu kapan mau ikut kita? Lagian ini kan kegiatan baik lho. Berbagi, sama-sama."Jun meletakkan ponsel miliknya. Sejujurnya sedikit merasa kesal dengan apa yang dikatakan Indi. Terlihat sekali jika ia dibandingkan, Jun tak menyukai itu. "Karena menurut saya untuk berbagi itu enggak perlu setor muka. Saja juga berbagi, orang enggak perlu tau kalau itu dari saya.""Kamu itu selalu gitu Mas. Memang apa salahnya sesekali? Aku kan juga pingin suamiku ikut dalam kegiatan kelompok aku," rengek Indi. Merasa kesal karena terus diabaikan.Jun melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Nah, itu kan tujuan utama kamu? Kamu mau saya ikut kegiatan? Enggak usah bawa-bawa Pak Bram atau apapun itu lah.""Ya, kalau aku minta pasti enggak mau kamu.""Karena aku merasa itu bukan kegiatan yang berguna. Memang tujuannya berbagi, tapi waktu yang kalian habiskan lebih banyak untuk kegiatan kelompok diluar kegiatan berbagi 'kan?" tanya Jun lagi.Indi terdiam tak salah sih apa yang dikatakan oleh Jun. Mereka memang lebih banyak melakukan kegiatan untuk pribadi dibandingkan kegiatan berbagi yang biasanya hanya berlangsung du sampau tiga jam."Ya, enggak salah dong? Kami kan bersosialisasi." Indi berikan pembelaan.Jun tak ingin berbicara lagi. Jika diteruskan ia tau akan berakhir dengan pertikaian. Pria berlesung pipi itu merasa kalau hari ini ia sudah cukup lelah untuk bertengkar dengan Indi. Tak akan ada habisnya karena Jun akan kembali dipaksa untuk ikut dan akan berakhir dengan penolakan."Kamu udah tau Kuki mau ke Jakarta dan mau nginep di rumah Lili?" tanya jun coba alihkan pembicaraan.Indi anggukan kepalanya, ia kemudian berjalan menghampiri sang suami karena telah selesai dengan skincare rutinnya. Indi rebah tepat di samping Jun. "Aku tau, Kuki katanya ada acara sama temen-temennya. kamu kan juga mau ke Jakarta kan?"Jun anggukan kepala sebagai jawaban."Bareng aja sama Kuki. Naik pesawat aja.""Iya, saya udah bilang Kuki."Indi sedikit merasa tenang karena Jun mau berangkat bersama anak mereka. "Yaudah kalau gitu istirahat yuk Pi. Aku udah capek banget.""Iya, sebentar saya masih baca artikel."Mendengar itu membuat Indi memeluk sang suami dari samping sambil menyandarkan kepalanya ke bahu Jun. Indi masih ingin juga disayang dan dimanjakan. Ia sesekali mencium bahu sang suami ada aroma tubuh yang ia suka maskulin dan segar.Sementara itu Jun masih membaca berita bisnis, terutama tentang saham. Belakangan nampaknya perekonomian sedikit mengguncang pasar saham. Saat tengah serius membaca, ponselnya berdering kemudian nampak notifikasi chat dari Reya, tertulis di sana 'Om'. Tentu saja itu buat Jun refleks mengunci layar ponselnya.Jun panik, tapi mencoba untuk menenangkan diri. Apalagi sang istri kini tepat berada di sampingnya. Perasaan pria itu kini bak maling yang tertangkap basah. Ia melirik ke arah sang istri yang kini menatap ke arahnya, penasaran."Itu ada pesan kenapa kamu matikan hapenya Mas?" tanya Indie curiga. Ia menatap pada sang suami yang terdiam.Jun kemudian merebahkan tubuhnya, membawa Indie ke dalam pelukannya membiarkan wanita itu rebah di bahu kemudian memeluknya. Tentu saja harus ada cara agar tak dicurigai dan Jun paling mengerti kalau Indi suka dimanja. "Saya capek dan udah malas banget malam ini. Kita istirahat ya," rayunya kemudian mencium kening wanitanya.Masih penasaran sebenarnya dengan gerak-gerik yang ditunjukan Jun. Hanya saja, Indi terlalu naif dan berpikir kalau Jun tak mungkin mendua atau apapun sebutannya. Jun begitu penyayang dan perhatian, hingga Indi berpikir kalau dirinya akan nampak jahat karena memikirkan kemungkinan akan ada perempuan lain di hati prianya. Bukan tanpa alasan Indi berpikir seperti itu. Dulu wanita itu berasal dari keluarga terpandang dan kehidupannya benar-benar dibatasi. Tak ada yang bisa ia lihat selain keindahan taman rumahnya yang layaknya istana. Kemudian ia dipaksa me
Sejak semalam Reya tak bisa terlelap. Sejak semalam ia memikirkan bagaimana caranya meminta maaf. Jadi takut kalau menghubungi Juna duluan. Takut si Om marah, padahal kangen. Ditambah lagi Jun sama sekali tak menghubungi. Hati dan perasaan Reya jadi makin tak keruan. Sebagai wanita biasanya memang paling menderita kalau perihal bertengkar begini. Paling sensitif, apa-apa jadi enggak enak. Reya pagi ini sudah buat sarapan. Menyiapkan nasi goreng untuk ibu dan adiknya juga yang hari ini akan berangkat ke kampus lebih pagi. Nasi goreng kampung tanpa kecap, dibuat dengan potongan rawit dan banyak daun bawang. Setelah selesai ia menyiapkan semua ke meja makan, tak lupa kerupuk putih yang dia beli di warung dekat rumah. Setelah selesai menyiapkan sarapan, Reya menuju kamar sang ibu untuk membantunya untuk pindah ke kursi roda, kemudian Reya mendorong menuju meja makan. Selanjutnya ia memanggil sang adik untuk segera sarapan bersama. Namun, tak ada jawaban. "Udah kamu di sini aja biarin Ar
"Oh bapak ya kalau di Bandung itu kebanyakan bolak-balik hotel sama pabrik Bu. Kadang sengaja datang ke butik yang produksinya pakai kain dari kita. Kadang juga suka diajak makan sama temannya. Kadang saya diajak juga." Pak Ahyat sudah melatih ini bersama Jun. Dan kini ia benar-benar mempergunakan dengan baik. Indi terdiam, ia sama sekali tak mencurigai jawaban yang diberikan oleh sang sopir. "Dia enggak ketemu perempuan gitu Pak?" tanya Indi lagi. Masih tak menyerah siapa tau dapat info lain."Kalau di Butik ya ketemu Bu. 'Kan bapak sering ke butik itu kalau beliau beli pakaian buat ibu tau mau kasih ke yang lain." Ahyat menjawab lancar. Tentu saja Ahyat akan bungkam karena dia sama saja dengan Jun. Punya selingkuhan, pemilik warung tak jauh dari apartemen Reya dan Jun. Kalau malem selalu kelon bobo hangat dalam dekap janda montok.Mana mau dia kehilangan selingkuhan dan cuan yang jumlahnya banyak? Selama ini Ahyat pintar sekali. Uang gaji jadi sopir dia buat istri tuanya. Bonus da
Setelah sarapan pagi ini, Reya memutuskan untuk datang ke rumah Lili. Tak ada kerjaan, lagi pula tadi sudah menyelesaikan daily paginya alias update cerita terbaru. Meninggalkan sang ibu yang sedang terlelap setelah sarapan. Hitung-hitung menghilangkan rasa galau karena si Om malam tadi. Sengaja juga matikan hape, lagi malas bicara. Sebelum sampai di rumah Lili, Reya menyempatkan diri untuk membeli kerupuk basreng pedas dan juga es teh dalam plastik. Meski keduanya sudah berusia dua puluh tahun lebih, tapi mereka masih saja suka makanan yang biasa di makan oleh anak-anak dan memang itu salah satu hal yang bisa membuat keduanya merasa senang. Senang setelah membawa bekal untuk mengobrol, Reya kembali melangkah menuju rumah Lili. Segera menyapa dari luar, ia tau tak ada siapa-siapa di dalam rumah. "Lili!" seru Reya.Tak lama temannya itu keluar. Lili tersenyum ketika Reya menunjukkan kantong bening yang terlihat isinya adalah kudapan yang biasa mereka santap dengan nikmat, biasa gene
Jun masih berusaha menghubungi Reya bahkan sudah mengancam gadis itu. Hanya saja tak ada balasan, tadi pesannya sudah terbaca, Namun Reya tak membalas dan bahkan enggan untuk menerima panggilan darinya, Jun rasanya mulai gila sendiri karena kelakuan gadis pujaannya itu. Jun kemudian mengambil ponsel miliknya lagi.Mencoba menghubungi Lili. Lagi-lagi mau tau bagaimana situasinya siapa tai masih ada Reya di sana."Halo Om?""Hmm, ibu udah balik?" tanyanya berpura-pura. Padahal tak tau juga apa yang akan dibicarakan kalau ada sang kakak yang sejak tadi ia cari."Belum pulang Om. Nanti kalau ibu pulang aku telepon Om ya?""Hmm, oke. Terus kamu sama siapa?" tanya Jun, "Sendiri, tadi ada Reya sih. Cuma ngobrol sebentar terus pulang nemenin ibunya lagi sakit." Lili menjelaskan."Ah, sakit apa?" Jun putra-pura tak tau-menahu padahal ia dengan jelas tau masalah itu."Jatuh Om. Kurang tau persisinya. Tapi sekarang masih pakai kursi roda. Jadi, apa-apa Reya sekarang, Enggak bisa ditinggal."Jun
Jun memilih mengalah kali ini. Ia sudah hafal betul jika dicecar, kekasihnya itu malah akan semakin menjadi. Biasanya jika ia terlalu sensitif, Reya tengah dekat dengan datang bulan. Bukan sekali- dua kali gadis itu bersikap seperti itu. Jadi Jun coba maklumi. Meski begitu ia masih merasa kesal karena terlalu lama diabaikan. Jun mengetuk jemarinya di meja kerja. Seperti kebiasaannya setiap kali merasa kesal atau sedang memikirkan sesuatu. Padahal sebentar lagi akan ada pertemuan dengan direksi. Namu, moodnya malah kacau seperti ini. Pria itu lalu coba hela napas beberapa kali, lalu meneguk air mineral yang berada di atas mejanya. Pintu diketuk, Jun mempersilahkan untuk masuk. Itu adalah Siska yang Jun tau kalau ia akan mengingatkan untuk rapat. "Maaf Pak, sudah ditunggu."Jun anggukan kepalanya, ia kemudian berjalan ke luar ruangan. Diikuti Siska berjalan menuju ruang rapat. Pembicaraan kali ini mengenai tawaran dari pemerintahan untuk bekerja sama dalam pemenuhan kain dalam juml
Reya pagi ini telah rapi, bersiap untuk bekerja. Kemarin sore ia sudah melamar pekerjaan. Dan kini akan bekerja di hari pembukaan toko. Reya begitu bersemangat ini adalah pertama kalinya lagi ia bekerja di luar. Ratna juga telah merestui anaknya untuk bekerja. Karena ia juga sudah bisa bangun dari duduknya untuk sekadar berpindah tempat. "Nanti ibu kalau mau apa-apa minta tolong sama Mbak Ulfa ya." Reya berpesan pada sang ibu agar tak nekat sendirian."Iya kamu jangan khawatir. Ibu enggak akan macem-macem.""Aku nanti jam makan siang udah pulang kok Bu, senagaja enggak istirahat di sana. Nanti aku balik lagi jam satu." Reya menjelaskan."Iya Nduk, kamu tenang aja. Jangan cemas, malah ibu yang cemas kalau kamu gini," ucap Ratna karena si sulung yang terus berpesan ini dan itu sejak semalam. Tempo hari ia sudah meninta tolong pada Mbak Ulfa tetangga rumah. Untuk membantu sang ibu jika ibu akan ke toilet. Reya berjanji akan merombak toilet jika ia gajian menulis bulan ini. Tentu saja i
Jun tengah duduk di ruang tengah rumah LIli sementara Lili dan Kuki juga duduk bersama di lantai sambil sambil sibuk ngemil. Lili membeli banyak makanan untuk dinikmati bersama sepupunya. Cilung, bilung, papeda dan aneka jajan SD yang ia yakini kalau Kuki belum pernah menyantap semua makanan yang ia beli itu. Jun memerhatikan interaksi di antara keduanya. Lili mengerjai Kuki dengan makann pedas dan ia malah tertawa terbahak-bahak karena adik sepupunya kepedasan hingga buat wajahnya merah."Pedes ya Mbak LIli!" kesal Kuki. Ia segera meneguk air dingin yang sengaja disediakan Lili untuk Kuki."Ya itu kenapa namanya pentol jontor." Lili kemudian menatap pada adik sepupunya itu. Memastikan apakah bibir Kuki menjadi Jontor karena makanan yang ia berikan.Kuki menoleh kemudian ia memonyongkan bibir ke arah Lili dan tentu saja itu buat Lili tertawa terbahak-bahak akibat kelakuan Receh Kuki. "Lemah. Gue sama Reya kalau beli level 5, ini mah cuma level 2 lho Kuki," ledek Lili."Ini level 2 a