Revisi BAB 19[Ikuti saja permainanku, Van.]Kening Vania mengkerut membaca pesan dari ibu mertuanya. Jadi, dua hari ini Wiyani sedang berpura-pura baik pada Lia. Entah apa yang sedang direncanakan ibu mertuany itu. Vania melanjutkan kembali pekerjaannya. Meskipun ia kini tahu sikap ibu mertuanya hanyalah sandiwara, tetap saja hatinya terluka karena bentakan beliau."Kamu sudah pulang, Nak? Sudah makan?" tanya Vania, saat melihat Anna masuk ke dalam rumah. Ada yang berbeda dari raut wajah Anna, mata sembab dan hidung merah pertanda gadis itu baru saja menangis. Vania menyusul putrinya ke kamar, ia yakin gadisnya itu sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Anna menenggelamkan wajahnya di bantal, membuat suara tangis gadis itu teredam. Vania mengusap punggung putrinya, entah apa yang membuat Anna pulang dengan keadaan sedih seperti ini. Tak berselang lama, Hanif datang dengan tergopoh-gopoh disusul dengan Kikan. "A-anna!" ucap Hanif terbata, lelaki itu terdi
Vania memeluk anaknya yang menangis sesenggukan, ia biarkan putrinya menumpahkan air matanya. Sekarang ia tak bisa tinggal diam, suaminya sudah benar-benar keterlaluan. "Anna malu, Ma." Tangis Anna membuat hati sang ibunda semakin terluka."Maafkan Papamu, Nak. Doakan semoga beliau segera sadar dari segala khilaf yang membutakan mata dan hati Papa," gumam Vania seraya mengusap rambut putrinya. Hari sudah semakin siang, Anna terlelap dalam pelukannya karena terlalu lama menangis. Setelah memastikan putrinya tertidur dengan nyenyak, Vania keluar kamar. Sejak tadi suasana rumah begitu sepi. Vania membersihkan rumah yang kotor, hampir tiga kali dalam sehari ia mengepel lantai sejak kedatangan Lia. Wanita itu begitu jorok, seringkali bekas makanan atau minuman berceceran di lantai. Ia membuka pintu kamar Lia yang tak terkunci, bau apek menyeruak menusuk indera penciuman. Banyak baju kotor bertumpuk di sudut ruangan, bekas makanan dan barang-barang yang berceceran. Jorok. Ya, gundik
"Ada apa ini ribut-ribut?!" Wajah Kikan berubah sumringah saat melihat Hanif datang. "Tante Vania pelit, Pa. Masa aku dikatain maling karena ngambil jajanan yang dia beli, kan, jajanan ini dibeli pakai uang Papa." Vania mencebik, melihat tingkah manja Kikan. Sementara Aldi pergi begitu saja, ia muak melihat kedekatan Hanif dan Kikan. "Van, kamu jangan kayak gitu dong!" tegur Hanif. "Terserahmu, lah, Mas. O iya, itu Anna lagi sakit, jangan ngurusin Kikan mulu!" ucap Vania seraya beranjak ke kamar. Hanif melepaskan tangan Kikan yang bergelayut di lengannya. "Papa mau datangin Anna dulu," "Papa aku, kan, masih kangen!" rengeknya. Jurus andalan Kikan ketika Hanif tak menuruti permintaannya adalah memasang wajah sedih. "Papa tega sama aku, dari kecil Anna kan sudah puas disayang Papa!" isaknya seraya menutup wajah dengan bantal sofa, membuat Hanif tak tega. Kikan tersenyum penuh kemenangan dibalik bantal."Sudah jangan menangis, Papa temani kamu di sini." Wiyani yang melihat it
"Apa kamu menyerah, Van?" tanya Wiyani. "Ya gimana, Bu? Mas Hanif benar-benar sudah buta. Vania tak tega melihat anak-anak yang semakin sakit melihat tingkah papanya dan Kikan. Bahkan, sekarang teman sekolahnya sudah tahu kalau ada Kikan." Wiyani menoleh ke arah menantunya. Apa maksudnya? Apa gosip itu sudah menyebar? "Mereka mengira kalau Kikan adalah wanita simpan Mas Hanif, Bu." "Apa? Kok bisa?" Lalu, Vania menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat Anna pulang sambil menangis dan tentang isi pesan di grup kelas anaknya. "Benar-benar si Kikan. Anak dan Ibu nggak ada bedanya. Kamu nggak usah khawatir, Van, biar Ibu nanti gembleng si Hanif," ucap Wiyani. "Nggak usah, Bu. Nanti yang ada, malah Mas Hanif marah sama Vania. Lagi pula, Vania udah capek, Bu. Mental anak-anak sudah kena, begitupun dengan Vania. Kayak berjuang untuk hal yang tak pasti. Padahal di sini, Vania-lah istri sah Mas Hanif. Tapi seakan nggak punya kuasa untuk mengusir perempuan itu. Wanita licik itu,
"Bu?""Ini yang kamu mau kan, Vania?" tanya Wiyani pada Vania.Vania sedikit terkejut melihat perubahan mertuanya. Namun, secepat kilat ia bisa menata hati dan posisinya."Ibu bilangin lah, sama Lia, kalau mau jadi ibu sambungnya Anna, minimal harus bener pakaianny. Jangan kayak lacur gitu. Anaknya juga tuh, sama aja."Setelahnya Vania pergi ke kamarnya. Meski akting, rasanya sakit aja melihat mertuanya itu membela Lia.Lia tersenyum jumawa, lalu membenahi duduknya. Namun tidak dengan Kikan, gadis itu masih setia dengan mengangkat kakinya. Setelah dipukul oleh Lia, baru ia menurunkan."Lia dan Kikan ke kamar dulu, Bu."Wiyani mengangguk, setelahnya Lia menyeret Kikan menuju kamar."Ma, sakit, ih!""Selangkah lagi, Mama bisa menguasai papamu dan juga rumah ini. Tolong kerja samanya, Kan! Kamu mau, semuanya hancur si
Vania menoleh ke arah Lia. Dengan percaya dirinya, ia menghampiri Vania dan membuka ponselnya. Di dalam pikiran Vania begitu banyak praduga, seharian ini ia berada di rumah pribadinya, ia hampir tak pernah bertemu dengan lelaki di luar rumah jika tak bersama Hanif."Lihat ini. Baju kalian sama, dan ini diambil tadi siang. Bahkan, Anna juga ikut. Mas, Mas. Kasihan banget kamu, sudah nggak dianggap sama keluarga sendiri."Vania terkejut bukan main melihat bahwa ada fotonya dan Anna, serta seorang pria. Dari rambut, baju, dan juga tas, semuanya mirip. Tapi, kenapa bisa? Padahal sedari siang, mereka tak ke mana-mana. Hanya di rumah pribadi."Sekarang, apa kamu bisa mengelak, Van?" tanya Mas Hanif."Mas, ini bukan aku. Kamu lihat baik-baik. Ini editan. Pasti ini rencana kamu, kan?" tudingnya pada Lia.Wanita itu menjerit saat Vania menarik rambutnya. Kikan berusaha melerai, sementara Hanif malah berteriak tidak
Vania terdiam saat mengetahui jika tangga ulang tahun Kikan digunakan untuk kata sandi brankas Hanif. Benar-benar lelaki itu, apakah hidupnya hanya untuk Kikan sekarang?"Ma, nggak ada gunanya kita di sini. Papa benar-benar sudah dibutakan oleh mereka, Ma.""Kalian sabar, ya. Mama akan ambil dokumen itu, nanti kita pergi. Kalian tidak ada yang kasih tahu kalau Mama punya rumah lain, kan?" tanya Vania pada anak-anaknya.Aldi dan Anna menggeleng. Vania teringat saat waktu itu Hanif selalu telat pulang, tergoda pada gadis warung kopi di puncak. Hal itu berlangsung tiga tahun kala Aldi dan Anna masih berusia tiga tahun.Ketika dimabuk cinta begitu, Hanif tak peduli pada saldo rekeningnya. Vania kerap mentransfer uang yang ada di rekening suaminya ke rekening pribadinya secara bertahap.Saat Hanif mulai sadar dan tak nyeleweng, maka Vania berhenti mentransfer uang dan kembali menjalankan tugas
Aku sudah membulatkan tekad untuk memindahkan sekolah anak-anak, dan memutuskan komunikasi dengan Mas Hanif. Tolong jangan menyalahkanku karena berbuat seperti ini, tapi ini semua adalah buah dari perbuatan lelaki itu. “Jadi kita akan pindah ya, Ma?” tanya Anna. “Iya, Sayang. Kita akan pergi dari sini dan memulai hidup baru. Maaf jika Mama egois dan memutuskan hubungan kalian dengan apa. Tapi, andai meminta kalian untuk memilih tingal dengan Papa, malah akan membuat hidup Mama tak tenang,” ucapku. Aldi dan Anna mengangguk. Semoga saja mereka mengerti dan memahami bahwa ini adalah pilihan terbaik. Toh sejak kemarin mereka juga sudah meminta untuk segera pindah dari rumah itu. Perjalanan tiga puluh ment akhirnya kami sampai di sekolah. Setelah menemui Kepala sekolah, aku ke ruang guru untuk mencari Bu Erika. “Jadi Anna dan Aldi akan pindah?” tanya Bu Erika. “Iya, Bu.” “Baik, nanti akan saya buatkan. Ngomong-ngomong, apakah akan pindah sekeluarga?” tanya Bu Erika. “Tidak, Bu. Han