Dr Permana merasa kecewa, dan iba menjadi satu. Selalu saja ada orang yang memanfaatkan kesempatan didalam kesempitan orang lainnya. Padahal, tanpa diminta pun dia akan memberi imbalan sebagai tanda terima kasih. Hampir setiap orang tentu tidak akan suka terhadap sikap hidup orang yang seolah rela mau membantu kesulitannya namun tujuannya hanya menipu, atau mencari keuntungan untuk sesaat saja. "Gimana?" tanya Dewi, sambil melirik ke arah handphone calon suaminya itu."Belum ada berita orang yang menemukannya Wi... sabar yaa.."Dr Permana lalu menutup kembali laman di handphonenya, Dewi menyenderkan kepalanya ke bahu Dr Permana. Dewi butuh kekuatan, dorongan perasaan sedih kehilangan putri satu-satunya, untuk yang kedua kalinya, justru muncul disaat hari-hari penuh ketenangan baginya."Aku yakin.. kita pasti bisa menemukan Tia, percaya sama aku ya Wi" kata Dr Permana.Kehadiran Dr Permana telah mengobati luka hatinya, atas perilaku Iwan terhadap dirinya, akan tetapi, pada satu sisi
Keesokan harinya, di rumah bu haji Romlah.Suara-suara kendaraan motor dan mobil pickup pengangkut ikan, terdengar mundar-mandir silih berganti di depan rumah bu haji Romlah. Dari arah teras rumah terlihat Badrun membawa satu mangkok berisi bubur ayam, yang dibawanya menuju ke kamar depan, untuk sarapan Iwan. Dia tidak tega, subuh tadi, Badrun melihat kondisi Iwan, jalan terseok-seok sambil memegangi dinding rumah, menuju kearah kamar mandi untuk buang air kecil dan ambil air wudhu. Betapa menyesal rasa dihatinya, telah menyakiti fisik lelaki yang usianya diatas dirinya, meski tujuannya untuk menyadarkan Iwan; bahwa apapun yang digerakkan oleh emosi, pasti merugikan diri sendiri.Badrun mengetuk pintu perlahan lalu langsung masuk ke dalam kamar Iwan,"Assalammu'alaikum kang Iwan, ini saya beli bubur ayam buat sarapan akang,""Wa alaikum salam... Gak usah ngerepotin kang.." "Gak apa-apa.. supaya kang Iwan lekas sembuh, dan bisa cepat kembali ke Jakarta,""Insya Allah.. besok pagi saya
Maming menaiki tangga menuju ke kamar Iwan. Dia lalu mengetuk pintu kamarnya.Tok tok tok"Bang Iwan.. bang, bangun bang sudah adzan ashar.." teriak Maming.Mendengar suara Maming, Iwan pun terbangun."Iya Ming... makasih"Iwan membuka pintu, dilihatnya Maming duduk di kursi plastik disitu. dia langsung bertanya,"Bang Iwan dapat cuti dari boss ya..""Iya Ming.. kamu nggak..?""Nggak bang.. padahal Maming sudah kangen banget sama ibu di kampung,""Ya kan masih ada libur nanti hari raya lebaran,""Masih lamaaa bang...""Gak apa-apa Ming.. bantuin pestanya boss, kamu nanti dapat bonus, lumayan kan Ming..""Iya sih... tapi uang gak bisa gantiin rasa kangen bang..""Udah aah, laki-laki gak pantas manja gitu Ming.. saya ambil air wudhu dulu ya MIng.""Iya bang..."Iwan jalan menuju ke kamar mandi di sebelah kamarnya, sedangkan Maming malah melamun. Tidak seperti biasanya, tiba-tiba saja dia jadi kangen pada ibunya, terbayang suasana di kampungnya, tapi Maming juga bingung, karena saat pand
Dalam perjalanan diatas kapal feri, pak Sidik dan Iwan saling bercerita tentang kejadian-kejadian yang mereka alami selama tidak saling bertemu.Setiba di Lampung, mereka melanjutkan perjalanannya dengan naik motor. Dia sengaja membawa motornya, supaya lebih mengirit pengeluaran uang selama dalam perjalanan. Sesekali Iwan beristirahat, mampir di warung nasi pinggir jalan protokol arah ke luar kota Lampung, atau berisitrahat di warung kopi.Tepat sekali dugaan Iwan, bahwa jalan masuk menuju ke desa yang ditempati Wahyu keponakannya pak Sidik itu, harus menyewa ojek di pangkalan. Setelah berbelok masuk ke arah desa yang dituju, barulah pak Sidik bertanya pada warga disitu. Kebetulan ada seorang ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman samping rumahnya.Pak Sidik pun bertanya pada Ibu itu. Ia memberi petunjuk bahwa nanti setelah melewati kebun-kebun, ada persimpangan jalan kecil, disitu Iwan harus berbelok ke arah kanan, kemudian lurus saja, nanti selanjutnya bertemu dengan persawahan,
Malam di rumah Wahyu.Angin dingin tersebar masuk dari sela dinding bilik bambu di seluruh ruangan. Suasana malam yang dingin, ditambah kelelahan tubuh pak Sidik, Iwan, serta Wahyu seharian, membuat mereka lelap lebih cepat.Mereka tidur di ruang tamu. Suara ngorok ketiga lelaki itu, saling bersahutan, bersama suara katak yang berdendang di persawahan seberang rumah Wahyu. Nuning, Nana, dan nek Warni tidur satu ranjang di dalam kamar. Rumah kecil ini hanya memiliki 1 kamar berukuran agak luas, sama persis dengan ukuran ruang tamu. Di dalamnya ada satu ranjang bale terbuat dari bambu dengan kasur kapuk yang sudah sering dikencingi oleh Nana, anak kecil perempuan itu. Nek Warni sudah terbiasa dengan bau pipis cucunya itu. Nuning tidak sanggup membeli pampers, karena di daerah situ harga pampers seharga dengan satu butir telur ayam, sangat mahal bagi ukuran keuangan Wahyu. Lagipula sampah bekas pampers itu kadang membuat tetangga terusik, sebab tempat pembuangan sampah yang berlokasi d
Dalam benak Dini, ia sama sekali tidak percaya atas ucapan Badrun. Tiba-tiba handphone Badrun berbunyi nada panggilan masuk. Dia mengambil handphone dari dalam saku celananya, lalu melihat ke layarnya. Nama Iwan tertera disitu. Sesaat Badrun menatap kearah Dini, lalu berdiri, "Sebentar yah..," kata Badrun sambil melangkah keluar dari warung. Badrun menjauh dari warung situ, supaya suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Dini dan juga Tia. Dia menuju ke satu kursi kayu yang ada di tepi pantai. "Ya hallo kang.. gimana kabarnya?" kata Badrun, matanya menatap ke arah warung. "Assalammu'alaikum kang Badrun.. saya sehat-sehat saja. Cuma mau ngabarin, mudah-mudahan saya bisa secepatnya kembali kesitu, dan mulai kerja di tempat kang Badrun. Gimana kabar anak dan istri saya? apa kang Badrun sempat menengoknya?" "Belum sempat kang.. soalnya setiap hari saya bantu kerjaan kasir di Tempat Penampungan Ikan, jadi belum ada waktu nengokin Tia lagi," Badrun berdusta. "Oke gak apa-apa kang.. ud
“Oh, jadi kamu selama ini udah main gila dengan wanita ini? Tega kamu ya!” Nada bicara wanita itu terdengar begitu keras. Dia bertepuk tangan sambil tersenyum miring melihat kelakuan lelaki di hadapan yang tak lain adalah suaminya. “A-aku bisa jelasin semuanya, Wi. Maafin aku.” Iwan. Lelaki itu terlihat gugup. Dia yang memiliki status suami istri dengan Dewi berusaha tidak tegang. Kebusukan yang selama ini ia rahasiakan dari Dewi ternyata terbongkar juga. Ini baru pertama kali, masih banyak kebohongan lain yang sebenarnya Iwan sembunyikan. “Apa lagi yang mau dijelaskan? Kamu udah berhasil goda suamiku, pergi kamu dari rumah ini! Kamu saya pecat sebagai asisten rumah tangga!” Dewi menangis. Dia kecewa terhadap Dini yang sudah tega merusak rumah tangganya. Padahal Dini bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya sudah bertahun-tahun. “Saya bisa jelasin semuanya. Sa-saya khilaf. Ini salah paham.” Dini buka suara. Masalah selesai. Rupanya Dewi masih punya hati untuk memaafkan a
“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar. “Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan. ”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. ”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur. ”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar. ”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar. "Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya. Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu. ”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ. "Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa men