“Aku akan menikahi Sarah,” ujar seorang pria bertubuh tinggi kepada istrinya yang sedang dirias oleh MUA pribadinya. “Aku tidak peduli,” ketus wanita itu, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone. “Dia hamil anakku,” ucap lelaki itu lagi. “Mau dia hamil anakmu, atau hamil anak setan, aku tetap tidak peduli!” “Dia akan tinggal di rumah kita.” Wanita itu menolehkan kepalanya sebentar, menatap sang suami yang masih berdiri di sampingnya. “Dia harus siap menjadi pembantu,” balasnya seraya tersenyum miring, membuat sang suami langsung menghembuskan nafasnya kasar. “Aku harap kau memperlakukan dia dengan baik,” ujar lelaki itu, membuat sang wanita langsung tertawa sinis. “Teori dari mana itu? Mana mungkin seorang istri sah memperlakukan pelakor dengan baik. Itu mustahil, brader!” “Dia akan menjadi istri sahku juga.” “Ya ya ya. Terserah kau! Aku sudah terbiasa memanggilnya pelakor.” “Kau ... tidak sakit hati kan? Aku takut kau diam- diam menangis, terus menjadi depresi,”
Lana mendorong pintu rumahnya menggunakan high heelsnya yang berharga belasan juta. Di dalam, ia melihat Sarah yang sedang duduk santai di sofa sambil mengelus perutnya yang masih rata. Melihatnya, Lana semakin murka dan nafasnya semakin tidak beraturan. Ingin rasanya Lana melempar high heelsnya ke kepala wanita itu. “Kau apakan anakku, sialan!” bentak Lana, seraya membanting kunci mobilnya di meja kacanya. Hingga membuat Sarah tersentak kaget. “Aku tidak memukul anakmu. Aku hanya menegurnya,” balas Sarah. “Lagipula siapa yang menyuruhmu ke sini? Bukankah aku sudah bilang? Jangan menginjak rumahku lagi, bitch!” “Mas Arthur yang menyuruhku ke sini. Jadi kau tidak berhak marah- marah. Karena ini rumahnya, bukan rumahmu!” Sedetik kemudian, suara tawa Lana langsung menggelegar memenuhi ruangan. Saking kerasnya ia tertawa, Sarah sampai takut mendengarnya. Kemudian setelah itu, Lana mendekati Sarah dan mengelus pipi Sarah dengan lembut sambil tersenyum menyeringai. Hal itu tentu saja
“Makan dulu, Lea! Handphone tidak akan membuatmu kenyang,” tegur Lana sedikit kesal, seraya berusaha merebut ponsel Lea. Saat ini, mereka sedang berada di resotaran lapangan golf untuk makan siang. Sejak insiden tadi, Lana langsung mengajak kedua anaknya untuk segera pergi. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karena ia paham, jika Sarah memiliki sifat yang sangat kejam. Tidak peduli meskipun lawannya anak- anak, wanita itu akan tetap melakukan tindakan kasar jika terpancing emosinya. “Lea tidak lapar,” balas Lea acuh. Lana menghembuskan nafasnya kasar. Kemudian ia beralih duduk di samping Lea, lalu ia dekap tubuh putrinya itu. “Pasti berat sekali ya jadi Lea?” tanya Lana, seraya mengusap surai lembut putrinya. “Diumur Lea yang masih kecil, seharusnya Lea bisa tumbuh dengan happy. Dikelilingi orang- orang baik, dikelilingi hal positif. Bukan malah merasakan hal yang tidak seharusnya Lea rasakan. Ini semua salah Mommy, maafkan Mommy ya Nak,” ujar Lana dengan lembut. Namun
Pukul 20.00 Lana dan kedua anaknya sampai di rumah. Ketika Lana membuka pintu rumah, ia dikejutkan dengan kedatangan sang mertua yang sudah duduk di sofa dengan tangan yang bersedakap di dada dan tatapan yang tidak mengenakkan. “Loh, Ibu? Dari kapan?” tanya Lana. “Kau ini dari mana saja? Jam segini kok baru pulang,” ketus sang mertua. “Habis mengantarkan anak- anak latihan golf, Bu.” Sang mertua itupun langsung berdecih. Tatapannya ke Lana juga semakin sinis. “Kau ini terlalu sibuk bersenang- senang, sampai melupakan suamimu sendiri. Lihatlah sekarang! Anakku terlantar di taman dalam keadaan mabuk. Di mana peranmu sebagai Istri? Seharusnya kau bisa menjaga suamimu dari hal- hal buruk seperti ini,” omelnya. Membuat Lana langsung tersinggung mendengarnya. “Kak, bawa adiknya ke kamar,” perintah Lana pada Lea. Yang langsung diangguki oleh anak itu. Setelah kedua anaknya sudah tak terlihat, Lana lantas menghampiri sang Ibu mertua dengan tatapan yang tak kalah sinis. “Ibu bertanya
Keesokan harinya, Lana meminta izin lagi pada sang manager untuk membatalkan jadwal pemotretannya hari ini, karena panas di badan Leo belum juga turun. Beruntungnya, sang manager mau mengerti dirinya. Saat Lana akan berjalan ke arah dapur, matanya tidak sengaja melihat Arthur yang sudah tergeletak di sofa. Entahlah, kapan lelaki itu pulang. Lana juga tidak tahu. “Mom, bisakah kau membuatkan bekal makanan untukku?” tanya Lea, seraya menghampiri sang Mommy. Lana melirik Lea yang sudah berpakaian sekolah dengan rapi. Kemudian ia berikan senyuman manisnya di pagi hari untuk sang Putri tersebut. “Of course baby,” jawabnya. “I want fried rice with scrambled eggs and grilled sausage,” ujar Lea. “Kalau sosisnya digoreng saja, bagaimana?” “Emm... okay, no problem.” “Susu mau?” tanya Lana, yang langsung diangguki oleh Lea. Kemudian bocah tersebut memilih untuk duduk disofa sambil menonton televisi. Menunggu sang Mommy selesai masak, sekaligus ingin membangunkan sang Daddy dengan cara me
“Sialan kau, Arthur! Waktu itu kau bilang, kalau kau sudah tidak menyukainya. Dan sekarang kau bilang, kalau kau masih mencintainya. Apa maumu, sialan!” geram Sarah. “Dasar aneh! Memang salah, kalau aku masih mencintai istriku?” “Jelas salah! Kau milikku sekarang!” “Jangan asal meng-klaim sesuatu yang belum tentu menjadi milikmu.” “Apa salahnya? Aku akan menjadi istrimu sebentar lagi.” “Jangan terlalu berharap. Bisa jadi Lana tidak menyetujui pernikahan kita.” “Ck. Kenapa kau jadi begini? Baru kemarin kau bilang, kalau kau akan menceraikan Lana dan menikahiku. Dan sekarang kau malah berkata seperti ini. Apa kau sudah gila? Kalau tidak berniat menikahiku, jangan menghamiliku bodoh!” “Memang siapa yang ingin kau hamil? Dari awal sudah kuingatkan untuk minum obat pencegah hamil, tapi kau selalu mengabaikanku.” “Oh, jadi kau tidak menginginkan bayi ini?” tanya Sarah, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke kalau begitu, batalkan saja pernikahan kita. Aku akan membesarkan bayi
Mendengar penuturan Lana, tentu saja Gita langsung terkejut. Ia tidak tahu, rahasia apa yang disembunyikan oleh Lana sampai wanita itu takut menceraikan suaminya Tapi menurutnya, bukankah bertahan itu lebih menyakitkan dari pada melepaskan? “Kau diancam oleh Arthur?” tanya Gita. Lana mengangguk lemah. Baru kali ini, ia menunjukkan wajah melasnya di depan orang lain. Biasanya ia selalu terlihat garang, tegas dan berwibawa . “Apa itu menyangkut nama baikmu?” tanya Gita lagi. “Of course. Maka dari itu, aku tidak berani menceraikannya. Walau sebenarnya, aku berniat mengajukan cerai dalam waktu dekat. Tapi setelah aku pikir- pikir, aku tidak bisa menceraikannya saat ini. Aku belum siap kehilangan karirku.” Gita mendengus kesal. Ia jadi ikut pusing memikirkan rumah tangga Lana. Ingin rasanya, ia memisahkan Lana dan suaminya secara paksa. Namun sayangnya, ia tidak memiliki hak apa- apa. “Aku tidak tahu, rahasia apa yang kalian sembunyikan. Tapi bukankah lebih baik kalian berpisah, dar
“Ehm. Sepertinya anda mulai mengibarkan bendera peperangan dengan keluarga kami.” Sontak saja, mereka bertiga langsung menoleh ke belakang dengan terkejut. Di mana di belakang mereka sudah ada Ayah Lana yang menatap mereka sinis dengan tangan yang bersedekap di dada. Tak lama kemudian, Ibu Lana dan Bi Ika datang menghampirinya. “Anakmu yang memulainya lebih dulu,” ketus Ibu Arthur. Membuat Ayah Lana langsung tertawa remeh. “Ajeng ... Ajeng. Selama sepuluh tahun kita menjadi besan, baru kali ini aku melihat topeng aslimu. Selama ini, kau selalu berpura- pura baik di depanku,” ujar Ayah Lana, disertai dengan senyuman remehnya. “Memangnya ada yang salah dari ucapanku? Aku hanya berbicara fakta, kalau anakmu yang memulai peperangan ini. Dia menghinaku, merendahkanku, dan juga memfitnah Arthur berselingkuh. Apa kau tidak tahu kelakuan buruk anakmu? Dia sangat kurang ajar dan tidak tahu diri,” balas wanita itu menggebu- gebu. “Sebelum kau berbicara seperti ini, apa kau sudah berkaca ter