Share

4. Bertengkar dengan mertua

Pukul 20.00 Lana dan kedua anaknya sampai di rumah. Ketika Lana membuka pintu rumah, ia dikejutkan dengan kedatangan sang mertua yang sudah duduk di sofa dengan tangan yang bersedakap di dada dan tatapan yang tidak mengenakkan.

“Loh, Ibu? Dari kapan?” tanya Lana.   

“Kau ini dari mana saja? Jam segini kok baru pulang,” ketus sang mertua.

“Habis mengantarkan anak- anak latihan golf, Bu.”

Sang mertua itupun langsung berdecih. Tatapannya ke Lana juga semakin sinis.

“Kau ini terlalu sibuk bersenang- senang, sampai melupakan suamimu sendiri. Lihatlah sekarang! Anakku terlantar di taman dalam keadaan mabuk. Di mana peranmu sebagai Istri? Seharusnya kau bisa menjaga suamimu dari hal- hal buruk seperti ini,” omelnya. Membuat Lana langsung tersinggung mendengarnya.

“Kak, bawa adiknya ke kamar,” perintah Lana pada Lea. Yang langsung diangguki oleh anak itu.

Setelah kedua anaknya sudah tak terlihat, Lana lantas menghampiri sang Ibu mertua dengan tatapan yang tak kalah sinis.

“Ibu bertanya, di mana peranku sebagai Istri? Seharusnya Ibu bertanya dulu pada anak Ibu, apa dia sudah berperan sebagai Suami yang baik?”

Lana menjeda ucapannya, kemudian ia menghembuskan nafasnya sebentar.

“Mungkin Ibu akan sedikit kaget mendengar ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus membela diriku. Aku bukan tipe orang yang akan diam saja, jika harga diriku diinjak- injak,” ujar Lana. 

Ia sudah tidak peduli lagi dengan tata krama, etika, sopan santun, atau apalah itu. Ia akan tetap melawannya, meskipun orang itu adalah mertuanya sendiri.

Sementara itu, sang mertua hanya terdiam saja. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh Lana selanjutnya.

“Asal Ibu tahu, anak kesayangan Ibu itu sudah gagal menjadi Suami sekaligus Ayah yang baik,” ujar Lana sedikit berbisik, membuat suasana seketika terasa sangat mencekam.

“Selama sepuluh tahun pernikahan, total sudah ada tiga puluh wanita yang digandeng sama anak Ibu. Katakan saja, kalau aku ini bodoh. Karena sudah memberi kesempatan berkali- kali pada seorang bajingan yang doyan selingkuh. Tapi mau bagaimana lagi, aku belum bisa menceraikannya sampai sekarang. Bukan karena aku masih cinta, tapi karena aku masih membutuhkannya,” ungkap Lana, membuat sang mertua terlihat sedikit terkejut.

Setelah beberapa detik terdiam, wanita paruh baya itupun langsung kembali menatap Lana dengan sinis.   

“Tidak mungkin Arthur seperti itu. Dia orang yang sangat penyayang. Dan aku juga tidak pernah mengajarkannya untuk menjadi bajingan,” bantah sang mertua.

“Tapi kenyataannya memang seperti itu. Ibu jangan alergi fakta! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada anak Ibu sendiri.”

“Kau jangan asal berbicara, Lana! Ucapanmu itu bisa menjadi boomerang untuk dirimu sendiri. Jangan merendahkan orang lain, hanya untuk meninggikan dirimu sendiri!”

“Memangnya wajahku terlihat sedang berbohong?” tanya Lana, membuat sang mertua langsung menggeram kesal.

“Ya. Kau itu pembohong! Aku tidak akan percaya, sebelum melihat buktinya sendiri.”

Lana tertawa kecil. Selama ini, hubungannya dengan sang Ibu mertua memang kurang baik. Jadi tidak heran, jika wanita paruh baya ini akan terus menyalahkan dirinya dan membela anak kesayangannya.

“Kalau memang anakku berselingkuh, harusnya kau bisa introspeksi diri. Apa yang salah pada dirimu, sampai anakku memutuskan untuk berselingkuh,” sungut sang mertua. Membuat Lana langsung tertawa kecil sembari menggelengkan kepala. Benar- benar tidak habis pikir dengan pemikiran wanita paruh baya ini.

“Tidak ada yang salah pada diriku, Bu. Aku cantik, mandiri, pekerja keras, kaya, terkenal, berkelas, dan yang pasti, aku bukan wanita rendahan yang doyan selingkuh sana- sini. Anakmu saja yang kurang bersyukur. Sudah dikasih berlian, malah mencari remahan rengginang. Lucu kan?”

“Sifat sombongmu itu yang membuat anakku tidak betah bersamamu. Kau selalu merasa paling sempurna, dan kau tidak bisa menghargai suamimu.”    

“Sifat sombongku muncul karena selalu direndahkan oleh anak Ibu. Sebagai seorang wanita yang menjunjung tinggi harkat dan martabat, aku tidak mau terlihat lemah.”

“Seharusnya kau perlu belajar agama lagi. Supaya kau paham, bahwa surga istri itu ada pada suami. Kalau kau bisa memperlakukan suamimu dengan baik, perselingkuhan ini tidak mungkin ada. Ini semua terjadi karena dirimu sendiri. Kau tidak bisa memberikan tempat yang nyaman untuk Arthur.”

Lagi dan lagi, wanita paruh baya itu menyalahkan Lana. Jujur saja, hati Lana benar- benar sakit saat ini. Bahkan ia sudah tidak bisa lagi menahan air matanya.

“Lalu, kau menyuruhku untuk tunduk pada anakmu? Kau menyuruhku untuk diam saja, ketika anakmu melakukan kekerasan? Kau menyuruhku untuk sabar, ketika mulut kotor anakmu itu menghinaku? Kau menyuruhku untuk ikhlas, ketika melihat anakmu bermain wanita? Bu, sadarlah! Sampai kapan kau akan menyalahkan pihak perempuan? Arthur memang anakmu, tapi kau harus berpikiran terbuka.”

Lana menjeda ucapannya, kemudian ia mengusap air matanya yang sudah menetes sedari tadi. Sementara itu, sang mertua hanya terdiam dengan pandangan lurus ke depan.

“Dan satu lagi, jangan bawa- bawa agama jika dirimu sendiri belum baik. Tuhan tidak akan membuangku ke neraka, hanya karena durhaka pada suami bajingan,” ketus Lana.

“Kalau memang Arthur bukan orang baik, kenapa kau masih bertahan? Kenapa tidak kau ceraikan saja dari dulu? Kau pasti masih menginginkan uangnya kan? Kalau iya, seharusnya kau tidak perlu merendahkannya, karena kau masih butuh dirinya.”

Seketika tawa Lana langsung meledak, ketika mendengar ucapan konyol sang mertua. Bagaimana mungkin, seorang milyader seperti Lana masih bergantung pada lelaki seperti Arthur? Jangankan untuk menafkahinya, menafkahi anak- anaknya saja lelaki itu tidak sanggup. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari seorang Arthur?

Oh my God. It's so funny,” ujar Lana, seraya mengusap air matanya yang keluar karena tertawa terlalu keras.

“Bu, apakah kau tidak tahu jika anakmu itu sudah lama menjadi pengangguran? Selama ini, dia hanya menumpang hidup padaku. Ada alasan kuat yang membuatku belum bisa menceraikannya sampai sekarang. Tapi karena Lea memintaku untuk segera bercerai, jadi akan ku kabulkan dalam waktu dekat,” ujar Lana, disertai dengan senyuman manisnya. Membuat wajah sang mertua seketika langsung menegang.

Tak lama kemudian, wanita paruh baya itu langsung berdiri dan keluar dari rumah Lana tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Jika kalian berpikir sikap Lana pada sang mertua sangatlah keterlaluan, kalian salah! Lana bersikap seperti itu, karena Ibu mertuanya juga tidak pernah memperlakukan dirinya dengan baik selama ini.

Sudah cukup, ia menyembunyikan sifat bejat Arthur selama ini. Sudah saatnya, keluarga Arthur mengetahui permasalahan rumah tangganya. Karena dalam waktu dekat, Lana akan menggugat cerai lelaki itu.

“Mom, badan Leo panas,” ujar Lea dari arah tangga, membuat Lana langsung panik seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status