Share

3. Useless husband

“Makan dulu, Lea! Handphone tidak akan membuatmu kenyang,” tegur Lana sedikit kesal, seraya berusaha merebut ponsel Lea.

Saat ini, mereka sedang berada di resotaran lapangan golf untuk makan siang. Sejak insiden tadi, Lana langsung mengajak kedua anaknya untuk segera pergi. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karena ia paham, jika Sarah memiliki sifat yang sangat kejam. Tidak peduli meskipun lawannya anak- anak, wanita itu akan tetap melakukan tindakan kasar jika terpancing emosinya.

“Lea tidak lapar,” balas Lea acuh.

Lana menghembuskan nafasnya kasar. Kemudian ia beralih duduk di samping Lea, lalu ia dekap tubuh putrinya itu.

“Pasti berat sekali ya jadi Lea?” tanya Lana, seraya mengusap surai lembut putrinya.

“Diumur Lea yang masih kecil, seharusnya Lea bisa tumbuh dengan happy. Dikelilingi orang- orang baik, dikelilingi hal positif. Bukan malah merasakan hal yang tidak seharusnya Lea rasakan. Ini semua salah Mommy, maafkan Mommy ya Nak,” ujar Lana dengan lembut. Namun putrinya itu masih terdiam, dan kali ini terlihat matanya mulai berkaca- kaca.

Can I hate daddy?” tanya Lea, sembari menatap sang Mommy.

No!” tegas Lana.

“Mungkin, Daddy memang terlahir untuk menjadi seorang bajingan. Tapi mau bagaimanapun juga, Daddy tetaplah Daddynya Lea dan Leo,” ucapnya lagi.

But, he hurt me and hurt you. Dia tidak layak untuk dicintai.”

Bayangkan saja, anak sekecil Lea sudah bisa berbicara seperti ini. Apa coba namanya, kalau bukan dewasa sebelum waktunya.

“Lea iri dengan teman- teman Lea yang selalu diantar Mama papanya ke sekolah. Kenapa Lea tidak bisa merasakan itu?” tanya Lea dengan berlinang air mata.

Lana memejamkan matanya. Berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya agar tidak keluar begitu saja.

“Lea sedih, melihat Mommy dan Daddy selalu bertengkar setiap hari. Lea juga sedih, melihat Daddy selalu membawa perempuan lain ke rumah. Lea merasa tidak nyaman di rumah. Lea ingin menangis, tapi Lea takut Mommy tidak fokus kerja.”

Cukup sudah pertahanan Lana untuk tidak menangis. Sekuat apapun ia menahan air matanya, jika sudah mendengar curhatan anaknya seperti ini, Lana bisa apa selain menangis?

Lea bukan anak yang cengeng, bukan pula anak yang suka mengeluh. Jika dia sudah berbicara seperti ini, berarti dia sudah tidak kuat untuk menahannya.

“Mommy sama Kakak kenapa menangis?” tanya Leo dengan polosnya. Sedari tadi, putranya yang berumur tujuh tahun itu selalu bersikap acuh tak acuh.

Lana menggeleng sambil tersenyum sendu. Kemudian ia menyuruh putranya itu untuk mendekat, lalu setelah itu mereka bertiga berpelukan.

“Mommy akan membahagiakan kalian berdua. Mommy janji,” ujar Lana, diakhiri dengan mengecup kening kedua anaknya.

***

Sementara itu di sisi lain, Arthur sedang meneguk satu botol minuman keras di sebuah Bar kecil dengan ditemani oleh sahabat sejatinya.

Semenjak pertengkarannya dengan Sarah tadi, Arthur langsung melarikan diri untuk menenangkan pikiran. Ia juga mengancam akan membatalkan pernikahannya, jika Sarah masih bersikap semena- mena pada Lana dan juga anak- anaknya.

“Bro, what the fuck? Kau sudah menghabiskan dua botol wine. Dan sekarang kau akan meminumnya lagi? Aku bahkan belum menghabiskan satu gelasku,” protes temannya, ketika Arthur akan menuangkan satu botol Wine ke dalam gelasnya lagi.  

“Diam, Mon. Jangan berisik! Aku yang membeli ini, bukan kau,” ketus Arthur, membuat temannya yang bernama Simon itu langsung berdecak kesal.

“Kau mengajakku ke sini hanya untuk memberiku satu gelas wine? Ck. Kalau begitu, lebih baik aku tidur di rumah saja,” kesal Simon yang sudah mulai merajuk.

Arthur berdecak kesal. kemudian ia langsung memberikan satu botol Wine itu pada Simon. Membuat Simon langsung tersenyum lebar.

“Habiskan! Jika tidak, kau harus membayar ini semua,” ujar Arthur mengancam.

“Jangan meragukan kekuatanku dalam meminum Wine. Aku bahkan bisa menghabiskan tiga botol sekaligus. Sayangnya, aku tidak punya uang untuk membeli ini semua,” balas Simon, membuat Arthur langsung tertawa meledek.

“Dasar miskin,” hina Arthur.

Bukannya sakit hati, Simon justru tertawa terbahak- bahak seperti orang kesurupan.

“Bro ... memang apa, bedanya kita? Kita sama- sama beban Istri. Hanya saja, istrimu lebih kaya. Jadi kau masih bisa berfoya- foya,” balas Simon, membuat Arthur langsung mendesis kesal. Ingin marah, tapi yang dibicarakan Simon memanglah fakta.

Arthur dan Simon tidak ada bedanya. Mereka berdua sama- sama brengsek dan tidak berguna. Hanya saja, Arthur sedikit beruntung karena memiliki Istri kaya raya. Sedangkan Simon? Istrinya hanyalah penjual makanan online dan penerima jasa katering.

Setelah menghabiskan waktu di Bar sampai malam hari. Kedua lelaki beban istri itupun memilih untuk berganti tempat ke sebuah taman yang masih ramai pengunjung. Karena keduanya sedang mabuk berat, jadi mereka berjalan dengan sempoyongan sambil terus meracau. Beruntungnya, tidak ada polisi di sekitar sini.

“Arthur?”

Seorang wanita paruh baya menghampiri Arthur dan juga Simon yang tergeletak di kursi taman. Dengan hati- hati, wanita paruh baya itu membangunkan tubuh Arthur dan memaksa lelaki itu untuk membuka matanya.

“Woi, bangun! Kenapa kau ada di sini,” Gertak wanita paruh baya itu, yang tak lain adalah Ibu kandung Arthur.

“Kenapa kau ada di sini?” tanya Arthur balik, dengan mata yang begitu sayu.

Sontak saja, wanita paruh baya itu langsung memukul kepala anaknya dengan sedikit keras.

“Kau ini memalukan saja! Kenapa kau mabuk di sini? Apa kau tidak memiliki uang untuk pergi di Bar?” tanya sang Ibu dengan geram. Namun Arthur hanya terdiam, dan kembali menjatuhkan tubuhnya di kursi.

“Bangun! Atau aku akan memukulmu di sini,” ancam sang Ibu, membuat Arthur langsung berdecak kesal.

“Kemana istrimu itu? Apa dia terlalu sibuk bekerja, sampai tidak bisa merawat suaminya? Bagaimana bisa, seorang Istri membiarkan suaminya mabuk- mabukan seperti ini. Apa dia tidak punya pikiran?”

Mendengar sang Ibu yang terus saja mengomel, Arthur lantas menutupi kepalanya dengan jaket yang ia kenakan sedari tadi.

“Pulanglah ke rumah! Aku akan mencari istrimu dan memarahinya, karena sudah menelantarkan kau seperti ini,” ujarnya lagi, seraya pergi meninggalkan Arthur yang masih tergeletak di kursi taman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status