Zeva merebahkan diri, mencoba memejamkan mata, tapi tidak berhasil. Dia tidak menyangka, sampai kini pun otaknya dipenuhi memori saat bersama dengan Vianca. Wanita itu, berhasil mencuri hatinya, walau hanya baru bertemu satu malam.
Zeva meraih ponsel, kemudian mengirim pesan pada Vianca hanya sekadar menggoda tanpa ada maksud lain. "Gua ingin ketemu sama lo lagi. Setiap hari dan seumur hidup. Lo mau?"
Zeva merasa geli sendiri. Jika dia bertemu setiap hari dengan Vianca, maka dia harus sedia uang yang banyak untuk membayar rutin wanita itu. Padahal, uang dari ayahnya sudah hampir menipis. Semakin ke sini, ayahnya terlalu rese dan susah memberikan uang lagi. Zeva jadi kepikiran untuk mencari pekerjaan dengan benar.
Ada notifikasi pesan masuk, dan itu dari Vianca. "Jangan aneh-aneh, Mas."
Zeva tidak suka balasan itu. Baginya, Vianca sudah lancang menolak dirinya.
"Lo adalah wanita malam paling rese yang pernah gua temui. Lo nolak keinginan gua?"
"Bukannya menolak, kalau bertemu seumur hidup itu artinya menikah. Emang Mas mau nikah sama saya?"
Zeva tertegun, kini dirinya yang tidak membalas. Entahlah, sepertinya Zeva takut jika dimintai menikahi Vianca. Meskipun Vianca baginya adalah sesuatu hal yang paling indah. Namun, dia tidak pernah terpikir untuk mendapatkan keturunan dari seorang mantan wanita malam.
Zeva hanya ingin bersenang-senang sejenak, selepas keluar dari penjara. Namun, hatinya lebih rumit dari yang dia pikirkan. Wajah Vianca akan terlukis sendiri di otaknya.
***Vianca, wanita itu kini sedang berputus asa. Di depan matanya ada seorang laki-laki yang sedang mengacak-acak kamarnya untuk mencari sesuatu. Vianca melempar benda apa saja yang dia raih. Kebetulan, ada dua bingkai foto di sampingnya dan benda itu melayang di udara mengenai punggung pria yang bernama Melvin. Namun, punggung Melvin terlalu kokoh jika hanya dilempar bingkai.
Laki-laki itu tahu seluk beluk isi kontrakan Vianca, karena dia adalah kakak tiri Vianca. Melvin membalikan badan sejenak, hanya untuk mengumpat dan memaki adiknya dengan kata-kata kotor.
"Jangan sentuh barang-barangku!" teriak Vianca.
Akhirnya yang Melvin cari berhasil dia temukan. Sungguh tidak mudah menemukan amplop berisi uang milik Vianca, karena Vianca menyembunyikan amplop itu.
"Dari mana kakak tahu aku baru dapat uang, hah? Kembalikan itu padaku!" Vianca mendekat.
"Halah, pelit banget! Timbang uang dari cowok brengsek juga! Kakak cuma pinjem doang! Nanti dibalikin!"
"Kakak gak tahu diri! Tiap ambil uangku bilangnya selalu aja kaya gitu. Aku gak percaya!"
"Cerewet, lagian ini bukan duit halal juga 'kan?" Melvin mengacungkan amplop tinggi-tinggi.
Vianca melompat menggapai amplop tersebut, tapi usahanya sia-sia. Malahan, dirinya hanya menjadi bahan tertawaan Melvin saja. Vianca maju, semakin mendekat ke arah Melvin.
Melvin mendorong Vianca, tapi wanita itu tidak mau kalah, dia mengigit lengan Melvin dengan sekuat tenaga. Karena terdesak membutuhkan uang dengan cepat, sehingga Melvin mendorong lebih kuat adiknya hingga Vianca tersungkur, kepalanya membentur pinggiran nakas.
"Sorry, Vi. Salah sendiri gigit lengan kakak."
Napas Vianca terengah-engah karena kekesalannya sudah memuncak di otak, yang paling membuatnya kesal adalah, karena dia tidak bisa berbuat banyak dengan tenaga yang dia miliki saat ini. Melvin terlalu perkasa untuk dilawan.
"Kembalikan uangku. Itu modal aku buat nyari kerja!" Vianca berteriak pada Melvin yang sudah berada di ujung pintu.
Melvin mana sudi mendengarkan permohonan Vianca. Karena dia sendiri sudah buntu untuk mendapatkan jalan yang lain. Dia terlalu serakah sehingga meninggalkan hutang dengan bunga yang besar.
Vianca bangkit, mengambil betadine, sadar dahinya berdarah saat membentur pinggiran nakas tadi. Dia menghadap ke cermin, menatap dirinya sendiri dalam kesedihan. Usahanya semalam sia-sia sudah. Padahal, dia sekuat tenaga menahan rasa takut menghadapi pelanggan yang baru saja terbebas dari bui.
Merogoh ponsel, Vianca dengan tidak tahu malu mengirim chat pada Zeva. Dia buta arah, lupa bahwa sebenarnya masih ada jalan lurus jika mau sedikit saja bersabar. Vianca, begitu berputus asa hidup dalam kesulitan.
"Mas Zeva! Maaf! Boleh saya minta uang lagi?"
Zeva membalas. "Kalau mau uang? Ya buat gua senang lagi kaya kemarin. Tapi ingat! Jangan minta dinikahi, ya! Karena gua gak mau berhubungan resmi sama lo."
"Oke, siap," balas Vianca.
Dia mengumpat dalam hati. "Lagian siapa juga yang mau hubungan serius sama pria angkuh macam Zeva."
Vianca lagi-lagi harus menjilat ludah sendiri. Dia membenci dirinya yang seperti ini. Dia ingat ada uang yang sempat dia pisahkan sebagian, dia pun pergi ke gerai kecantikan untuk membeli make up.
Dia pergi sendiri, sambil menangis sepanjang jalan karena masih tidak ikhlas uangnya lenyap begitu saja digunakan oleh Melvin.
Merasa minder masuk ke gerai kecantikan dengan mata yang sudah terlanjur bengkak, akhirnya Vianca duduk di bangku di depan mini market yang sedang tutup. Berharap, kondisi matanya membaik, tapi hal itu tidak terjadi.
Hingga akhirnya, Vianca menyadari di hadapannya ada ice bland avocado. Minuman itu sejajar dengan mukanya hingga berkesimpulan minuman itu diberikan padanya dengan cuma-cuma.
Vianca tidak mau menerima minuman dari orang asing. Dia menggeser minuman menjauh darinya. "Maaf, saya lagi tidak ingin minum es."
"Yakin?" jawab pria itu
Tertegun, dia kenal suara itu. Suara pria menyebalkan yang sudah mengganggu tidurnya semalam.
"Zeva?" tanya Vianca, sambil sibuk merapikan rambut dan mengusap wajah.
"Iya, kebetulan banget kita ketemu di sini."
Vianca tertunduk, penampilannya tidak cantik seperti semalam. Malahan, wajahnya sembab dan menyisakan luka di dahi.
"Angkat wajah lo, Vi!"
Vianca tidak menurut. Selain karena malu dengan penampilannya, bukan waktunya juga untuk bertemu Zeva. Mereka janjian nanti malam.
Zeva meraih dagu Vianca, mengangkatnya ke atas. Wajah Vianca tanpa make up malah membuat Zeva semakin suka, karena cantik alami. Namun, ada hal yang tidak disukai Zeva. Mata sembab dan dahi yang luka mengganggu pemandangannya.
"Benar-benar cewek menyedihkan! semoga nanti malam, tampilan lo gak gini-gini amat."
"Iya! Ini juga 'kan mau beli make up yang bagus. Tapi kalau luka di dahi gak mungkin hilang hari ini. Jadi dimaklum aja, ya!"
Zeva terkekeh. "Lo habis tawuran? Lain kali hati-hati! Jangan terlalu bar-bar kalau ada janji sama gua. Males banget, tahu. Lihat wajah lo kaya gitu."
Zeva membayangkan sosok PSK yang sedang berkelahi, jambak-jambakan memperebutkan sesuatu dengan temannya. Dia mengambil kesimpulan sendiri, karena tahu sifat gadis malam pada umumnya memang seperti itu.
Sementara itu Vianca, hanya merotasi bola mata. Masa bodo dengan penilaian Zeva. Hal itu lebih baik baginya, daripada Zeva ikut-ikutan mencampuri urusan keluarganya.
"Minum!" perintah Zeva, sambil mendekatkan minuman yang sempat digeser Vianca tadi.
"Saya tadi sudah bilang, gak mau minum es."
"Kenapa? Kita sudah pernah melakukan hal yang lebih, selain minum di gelas yang sama 'kan?"
Zeva lebih mendekatkan ice bland pada mulut Vianca. Namun, Zeva malah melihat minumannya jatuh, sehingga semua isinya tumpah. Hal itu lantaran Vianca menepis pemberian Zeva.
Hampir saja Zeva mengamuk akibat penolakan wanita itu. Akan tetapi, amarahnya mereda berganti dengan perasaan iba saat menatap manik Vianca. Zeva melihat ada raut putus asa dari sorot mata itu.
Zeva menyaksikan sendiri minuman yang diberikan pada Vianca jatuh. Alisnya berkerut, dia keberatan niat baiknya disambut dengan penolakan.Vianca mengigit bibir bawah, resah karena dia tidak sengaja menumpahkannya. Dia masih waras untuk tidak mencari gara-gara dengan Zeva. "Maafkan saya!"Zeva terkekeh, dia memang kesal. Namun melihat ekspresi Vianca saat ini, malah membuat Zeva ingin memeluk wanita itu."Ya sudah, lupakan minuman itu. Sekarang, lo mau gua antar beli baju tak senonoh, gak? Buat dipakai nanti malam.""Em, gak usah."Mendengar kata baju tak senonoh dari mulut Zeva, rasanya Vianca ingin sekali mencekik pria di hadapannya itu. Namun lagi-lagi Vianca hanya bisa ketakutan, apalagi Zeva saat ini kembali memakai stelan hitam-hitam seperti anggota mafia.Zeva menarik tangan Vianca, mengajaknya ke pusat perbelanjaan. "Ikut, yuk!""Gak mau!" Vianca menahan tubuhnya supaya tidak bergeser."Kenapa?"
Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar."Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?""Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__""Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!""Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."
Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan. Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan. Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu. "Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?" Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia m
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku