Zeva menyaksikan sendiri minuman yang diberikan pada Vianca jatuh. Alisnya berkerut, dia keberatan niat baiknya disambut dengan penolakan.
Vianca mengigit bibir bawah, resah karena dia tidak sengaja menumpahkannya. Dia masih waras untuk tidak mencari gara-gara dengan Zeva. "Maafkan saya!"
Zeva terkekeh, dia memang kesal. Namun melihat ekspresi Vianca saat ini, malah membuat Zeva ingin memeluk wanita itu.
"Ya sudah, lupakan minuman itu. Sekarang, lo mau gua antar beli baju tak senonoh, gak? Buat dipakai nanti malam."
"Em, gak usah."
Mendengar kata baju tak senonoh dari mulut Zeva, rasanya Vianca ingin sekali mencekik pria di hadapannya itu. Namun lagi-lagi Vianca hanya bisa ketakutan, apalagi Zeva saat ini kembali memakai stelan hitam-hitam seperti anggota mafia.
Zeva menarik tangan Vianca, mengajaknya ke pusat perbelanjaan. "Ikut, yuk!"
"Gak mau!" Vianca menahan tubuhnya supaya tidak bergeser.
"Kenapa?"
"Kita hanya akan bertemu nanti malam. Saat ini saya tidak mood untuk jalan-jalan."
Pertahanan Vianca sia-sia, karena pria itu memiliki tenaga yang kuat untuk menarik tubuh Vianca. Akhirnya Vianca mengikuti ke mana Zeva pergi walau harus tertatih-tatih menyesuaikan langkah pria itu.
"Pelan-pelan jalannya, Mas!" Vianca protes.
Mereka menaiki mobil milik Zeva. Sepanjang jalan, Vianca berada dalam kegelisahan. Dia takut, Zeva seorang buronan. Tidak lucu juga 'kan? Saat sedang jalan berdua tiba-tiba disuruh angkat tangan sama polisi. Apalagi, Vianca malas jika diintrogasi.
"Mas mantan napi saja 'kan, bukan buronan?" tanya Vianca dengan wajah pucat.
Zeva melirik, bukannya menjawab dia malah tersenyum. Membuat gadis yang dibawanya bingung. Zeva sepertinya suka sekali menakut-nakuti Vianca.
"Gua gak habis pikir sama lo, gua belum cerita kasus gua apa, tapi lo udah berpikiran bahwa kasus gua ini membahayakan nyawa orang."
"Badan kekar seperti Mas Zeva mana mungkin dipenjara karena kasus maling ayam atau menipu belanja online 'kan?"
Zeva tertawa, tawa yang sangat nyaring, suaranya memenuhi seisi mobil hingga menyalip suara mesin kendaraan.
Vianca protes kembali, dengan wajah makin panik. "Hentikan tawamu! Fokuslah pada jalan! Nanti kita bisa kecelakaan dalam kondisi belum bertaubat."
"Lo itu mirip banget sama nyokap gua. Banyak banget hal yang ditakuti kalau lagi naik kendaraan. Kayanya isi otak lo prasangka buruk semua."
Vianca bungkam, wajahnya masih pucat dan tegang.
"Lagian kalau gua beneran buronan, 'kan gak ada hubungannya sama lo."
"Tapi kalau Mas digerebeg polisi pas lagi sama saya, saya jadi ikut-ikutan harus angkat tangan dan diborgol. Lalu nanti saya ikut diintrogasi juga. Saya malas diinterogasi sambil dibentak polisi."
"Hahaha ... kocak banget. Lagian, kalau bener gua buronan gua sembunyi, lah ke luar kota bukannya ngajak cewek jalan-jalan ke Mall. Hahaha ...."
Vianca terdiam, meskipun Zeva terus-menerus menertawakannya. Dia sama sekali tidak ingin terlibat percakapan yang lebih. Usahnya berhasil. Zeva tidak mengajak mengobrol lagi, hanya sesekali melirik ke arah wajah cantik Vianca yang murung.
Ada satu pertanyaan di dalam otak Zeva yang tidak dia utarakan. Yaitu, mengapa Vianca bisa memiliki luka di dahi. Apakah tuduhannya pada Vianca sebagai PSK bar-bar benar adanya, atau hanya prasangka Zeva saja. Entahlah, pria bodoh satu ini malah memendam rasa penasaran sendiri, karena ada satu hal yang dia takuti, dia tidak ingin memiliki perasaan apa pun termasuk simpati. Dia hanya ingin bersenang-senang.
Namun tanpa Zeva sadari, ia gagal untuk bersenang-senang karena ternyata hatinya mulai khawatir pada kondisi wanita itu. Dia membenci perasaan terkutuk ini.
Mereka berjalan berdua setibanya di pusat perbelanjaan. Zeva menyuruh Vianca memilih pakaian. Namun wanita yang berada di sampingnya tidak melakukannya.
"Saya malas belanja."
"Setahu gua cewek suka belanja."
"Maksud saya, saat ini malas ngapa-ngapain. Kalau bukan karena Mas memaksa. Saya gak akan mau ikut."
"Panggil nama saja. Gak usah pakai embel-embel Mas."
"Oke, baiklah."
Zeva memilih sendiri pakaian untuk Vianca. Selain itu, dia membeli juga tas, sepatu, dan make up. Kemudian, Zeva mengajak Vianca untuk makan bersama.
Vianca berdebar. Untuk kedua kalinya dia makan bersama Zeva. Diam-diam, dia memperhatikan wajah Zeva yang sedang serius menatap layar handphone. Bagi Vianca, sosok Zeva begitu tampan sekaligus sangar. Raut wajah Zeva tidak pernah santai, setiap pria itu melirik seolah sedang ngajak ribut orang.
"Kenapa lo lihatin gua kaya gitu? Gua tersinggung, loh. Soalnya tatapan lo, bukan tatapan seorang cewek yang lagu terpesona sama gua."
"Maaf!" Vianca tertunduk.
"Lo sama aja sama keluarga gua! Gak pernah percaya sama gua. Anggap gua ini kriminal abadi. Oke lah! Gua pernah di bui, tapi gua masih golongan manusia bukan iblis. Sesekali ada lah rasa ingin taubat."
"Maaf! Saya juga bukan orang suci. Maaf jika respon saya berlebihan."
"Lo ngomong formal banget. Jangan kaya gitu, lah. Santai aja, oke!"
Vianca mengigit bibir bawah, menahan senyum. Kemudian, meraih makanan yang baru saja diantarkan oleh pelayan restoran.
"Senyumnya jangan ditahan, please. Kalau mau tertawa, ya tertawa aja yang lepas. Gua nyari lo buat senang-senang."
Vianca membulatkan mata, semakin gugup. Zeva mengajaknya bersenang-senang, tapi dia tahu sendiri bahwa dirinya bukan orang yang menyenangkan. Sebenarnya, saat open BO dulu, pelanggannya juga kurang begitu puas karenaVianca tidak pandai menggoda dan fasif.
Zeva menatap lekat ke arah Vianca. Menyadari perubahan mimik wanita itu. "Lo jangan takut! Cukup dengan lo tersenyum dan dengerin gua bicara, gua udah senang. Sebenarnya, gua hanya butuh ketenangan dari seseorang, butuh tempat berbagi. Cuma, gua lagi ada di fase di mana orang-orang ngejauhi gua."
***Vianca tertegun, dia sudah berhasil mendapatkan kembali 7 kali lipat bayaran pada umumnya untuk PSK, hanya dengan mendengarkan Zeva bercerita kehidupannya. Vianca juga diwajibkan tersenyum saat Zeva menatap ke arahnya.
Vianca bingung, karena Zeva tidak meminta hal lain lagi. Bagi Vianca, mungkin saja pria ini semalam kelelahan karena terlalu banyak bicara hingga mulut seakan berbusa, lalu setelah itu langsung tidur. Bahkan sampai pagi pun Zeva tidak meminta hal berbau sex.
"Makasih buat semalam, hati-hati di jalan."
"Makasih? Saya 'kan gak ngapa-ngapain."
"Lo udah dengerin gua cerita, terus tersenyum sepanjang malem. Thanks."
"Apa cuma kaya gitu aja cukup?" tanya Vianca malu-malu.
Zeva mengangguk. Sebenarnya, selain butuh tempat berbagi cerita, dia tidak tega melakukan hubungan saat Vianca tertekan dan bersedih.
Vianca mematung, ingin berniat pulang tapi tertahan saat melihat raut wajah Zeva berbeda. Dia melihat sisi lain pada pria itu. Pria itu sedang kesepian. Sampai-sampai membayar dirinya hanya untuk menghancurkan rasa penatnya. Vianca bahkan semalaman mendengar, keluhan tentang kekecewaan Zeva pada keluarganya.
Zeva melirik, menyadari Vianca menatap ke arahnya. "Lo gak mau pulang? Maunya digoyang?"
"Sembarangan!" Vianca bicara dengan wajah menahan rasa malu.
"Heh, itu cuma lirik lagu. Gak usah sensi kaya gitu, Vi."
Ah, Vianca berpikir keras. Dia akui pernah mendengar lirik itu tapi lupa di mana. Sepertinya, di acara reality show sebuah televisi swasta.
"Mau diantar pulang lagi?" Zeva bertanya karena Vianca masih saja mematung.
"Em, tidak! Saya pulang sekarang, permisi!"
Vianca perlahan melangkah untuk pulang. Lain dengan kemarin yang diantar pulang oleh Zeva, kali ini dia pulang sendiri. Vianca memaklumi hal tersebut, Zeva belum terpejam dari semalam. Bisa-bisa Zeva kesulitan fokus saat mengemudi karena ngantuk, kalau memaksakan diri mengantar dirinya pulang.
Kaki seakan berat melangkah, Vianca pun melirik ke belakang, menatap pria yang kini sibuk dengan ponselnya. Dia menyadari, ada yang tertinggal. Sebelah hatinya tertinggal di tempat ini, masih ingin menemani Zeva.
Sudah kesekian kalinya Zeva dan Vianca bertemu. Sekadar berkeluh kesah layaknya teman yang saling mendukung. Namun, baru kali ini Vianca diajak ke kontrakan milik Zeva. Kontrakan yang lebih mirip persembunyian teroris karena letaknya yang jauh dari jalan utama. Serta, stiker logo death metal menempel penuh di jendela membuat kesan yang urakan.Vianca kembali berburuk sangka, dengan kontrakan sekecil ini mengapa Zeva selalu memiliki uang yang cukup banyak. Apa Zeva jualan obat-obatan terlarang? Langkah Vianca terhenti. Bahkan lebih daripada itu, kakinya bergetar."Ayo masuk! Kenapa diem kaya patung gitu? Alergi masuk kontrakan kecil?""Kontrakan aku juga kecil, emm tapi__""Tapi tidak menyeramkan seperti ini?" Zeva menebak.Vianca membulatkan mata. "Bukan begitu!""Atau lo takut gua rebus hidup-hidup di dalem? Atau mungkin, takut ada tikus dan kecoa? Asal lo tahu, biarpun stiker jendela gua band cadas tapi isi kontrakan rapi dan bersih, kok."
Setelah satu bulan lamanya, Vianca sudah tak mendengar kabar laki-laki itu lagi. Terakhir mereka bertemu, Zeva membantu menyiapkan lamaran pekerjaan. Hal kecil itu membuat kesan tersendiri bagi seorang Vianca, yang sangat jarang berinteraksi dengan orang sekitar. Saat Zeva tidak hadir, maka hari-harinya kembali sepi dan membosankan. Sebenarnya bukan karena jatuh hati pada pria itu. Dia hanya rindu suasana berisik yang Zeva ciptakan. Bahkan dia belum meminta maaf karena sudah menuduh Zeva adalah seorang buronan. Sehabis menandaskan sarapannya. Dia meraih ponsel. Mencoba memberanikan diri mengirim pesan pada pria itu. "Hallo Mas Zeva apa kabar? Saat Mas tidak menghubungiku,aku tahu itu artinya aku sedang tidak dibutuhkan. Tapi saat ini sepertinya aku yang membutuhkan Mas Zeva. Apa bisa kita bertemu?" Vianca masih memegang ponsel, menanti centang satu abu berubah menjadi centang dua biru. Namun, hal itu tidak terjadi meskipun sudah cukup lama dia m
Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang."Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."Vianca melirik ke
Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan