Share

5. Sulit Terpejam

Zeva menyaksikan sendiri minuman yang diberikan pada Vianca jatuh. Alisnya berkerut, dia keberatan niat baiknya disambut dengan penolakan.

Vianca mengigit bibir bawah, resah karena dia tidak sengaja menumpahkannya. Dia masih waras untuk tidak mencari gara-gara dengan Zeva. "Maafkan saya!"

Zeva terkekeh, dia memang kesal. Namun melihat ekspresi Vianca saat ini, malah membuat Zeva ingin memeluk wanita itu. 

"Ya sudah, lupakan minuman itu. Sekarang, lo mau gua antar beli baju tak senonoh, gak? Buat dipakai nanti malam."

"Em, gak usah." 

Mendengar kata baju tak senonoh dari mulut Zeva, rasanya Vianca ingin sekali mencekik pria di hadapannya itu. Namun lagi-lagi Vianca hanya bisa ketakutan, apalagi Zeva saat ini kembali memakai stelan hitam-hitam seperti anggota mafia.

Zeva menarik tangan Vianca, mengajaknya ke pusat perbelanjaan. "Ikut, yuk!"

"Gak mau!" Vianca menahan tubuhnya supaya tidak bergeser. 

"Kenapa?"

"Kita hanya akan bertemu nanti malam. Saat ini saya tidak mood untuk jalan-jalan."

Pertahanan Vianca sia-sia, karena pria itu memiliki tenaga yang kuat untuk menarik tubuh Vianca. Akhirnya Vianca mengikuti ke mana Zeva pergi walau harus tertatih-tatih menyesuaikan langkah pria itu. 

"Pelan-pelan jalannya, Mas!" Vianca protes.

Mereka menaiki mobil milik Zeva. Sepanjang jalan, Vianca berada dalam kegelisahan. Dia takut, Zeva seorang buronan. Tidak lucu juga 'kan? Saat sedang jalan berdua tiba-tiba disuruh angkat tangan sama polisi. Apalagi, Vianca malas jika diintrogasi. 

"Mas mantan napi saja 'kan, bukan buronan?" tanya Vianca dengan wajah pucat.

Zeva melirik, bukannya menjawab dia malah tersenyum. Membuat gadis yang dibawanya bingung. Zeva sepertinya suka sekali menakut-nakuti Vianca.

"Gua gak habis pikir sama lo, gua belum cerita kasus gua apa, tapi lo udah berpikiran bahwa kasus gua ini membahayakan nyawa orang."

"Badan kekar seperti Mas Zeva mana mungkin dipenjara karena kasus maling ayam atau menipu belanja online 'kan?"

Zeva tertawa, tawa yang sangat nyaring, suaranya memenuhi seisi mobil hingga menyalip suara mesin kendaraan. 

Vianca protes kembali, dengan wajah makin panik. "Hentikan tawamu! Fokuslah pada jalan! Nanti kita bisa kecelakaan dalam kondisi belum bertaubat."

"Lo itu mirip banget sama nyokap gua. Banyak banget hal yang ditakuti kalau lagi naik kendaraan. Kayanya isi otak lo prasangka buruk semua."

Vianca bungkam, wajahnya masih pucat dan tegang.

"Lagian kalau gua beneran buronan, 'kan gak ada hubungannya sama lo."

"Tapi kalau Mas digerebeg polisi pas lagi sama saya, saya jadi ikut-ikutan harus angkat tangan dan diborgol. Lalu nanti saya ikut diintrogasi juga. Saya malas diinterogasi sambil dibentak polisi."

"Hahaha ... kocak banget. Lagian, kalau bener gua buronan gua sembunyi, lah ke luar kota bukannya ngajak cewek jalan-jalan ke Mall. Hahaha ...."

Vianca terdiam, meskipun Zeva terus-menerus menertawakannya. Dia sama sekali tidak ingin terlibat percakapan yang lebih. Usahnya berhasil. Zeva tidak mengajak mengobrol lagi, hanya sesekali melirik ke arah wajah cantik Vianca yang murung.

Ada satu pertanyaan di dalam otak Zeva yang tidak dia utarakan. Yaitu, mengapa Vianca bisa memiliki luka di dahi. Apakah tuduhannya pada Vianca sebagai PSK bar-bar benar adanya, atau hanya prasangka Zeva saja. Entahlah, pria bodoh satu ini malah memendam rasa penasaran sendiri, karena ada satu hal yang dia takuti, dia tidak ingin memiliki perasaan apa pun termasuk simpati. Dia hanya ingin bersenang-senang. 

Namun tanpa Zeva sadari,  ia gagal untuk bersenang-senang karena ternyata hatinya mulai khawatir pada kondisi wanita itu. Dia membenci perasaan terkutuk ini. 

Mereka berjalan berdua setibanya di pusat perbelanjaan. Zeva menyuruh Vianca memilih pakaian. Namun wanita yang berada di sampingnya tidak melakukannya.

"Saya malas belanja."

"Setahu gua cewek suka belanja."

"Maksud saya, saat ini malas ngapa-ngapain. Kalau bukan karena Mas memaksa. Saya gak akan mau ikut."

"Panggil nama saja. Gak usah pakai embel-embel Mas."

"Oke, baiklah."

Zeva memilih sendiri pakaian untuk Vianca. Selain itu, dia membeli juga tas, sepatu, dan make up. Kemudian, Zeva mengajak Vianca untuk makan bersama.

Vianca berdebar. Untuk kedua kalinya dia makan bersama Zeva. Diam-diam, dia memperhatikan wajah Zeva yang sedang serius menatap layar handphone. Bagi Vianca, sosok Zeva begitu tampan sekaligus sangar. Raut wajah Zeva tidak pernah santai, setiap pria itu melirik seolah sedang ngajak ribut orang. 

"Kenapa lo lihatin gua kaya gitu? Gua tersinggung, loh. Soalnya tatapan lo, bukan tatapan seorang cewek yang lagu terpesona sama gua."

"Maaf!" Vianca tertunduk.

"Lo sama aja sama keluarga gua! Gak pernah percaya sama gua. Anggap gua ini kriminal abadi. Oke lah! Gua pernah di bui, tapi gua masih golongan manusia bukan iblis. Sesekali ada lah rasa ingin taubat."

"Maaf! Saya juga bukan orang suci. Maaf jika respon saya berlebihan."

"Lo ngomong formal banget. Jangan kaya gitu, lah. Santai aja, oke!"

Vianca mengigit bibir bawah, menahan senyum. Kemudian, meraih makanan yang baru saja diantarkan oleh pelayan restoran.

"Senyumnya jangan ditahan, please. Kalau mau tertawa, ya tertawa aja yang lepas. Gua nyari lo buat senang-senang."

Vianca membulatkan mata, semakin gugup. Zeva mengajaknya bersenang-senang, tapi dia tahu sendiri bahwa dirinya bukan orang yang menyenangkan. Sebenarnya, saat open BO dulu, pelanggannya juga kurang begitu puas karenaVianca tidak pandai menggoda dan fasif. 

Zeva menatap lekat ke arah Vianca. Menyadari perubahan mimik wanita itu. "Lo jangan takut! Cukup dengan lo tersenyum dan dengerin gua bicara, gua udah senang. Sebenarnya, gua hanya butuh ketenangan dari seseorang, butuh tempat berbagi. Cuma, gua lagi ada di fase di mana orang-orang ngejauhi gua." 

***

Vianca tertegun, dia sudah berhasil mendapatkan kembali 7 kali lipat bayaran pada umumnya untuk PSK, hanya dengan mendengarkan Zeva bercerita kehidupannya. Vianca juga diwajibkan tersenyum saat Zeva menatap ke arahnya.

Vianca bingung, karena Zeva tidak meminta hal lain lagi. Bagi Vianca, mungkin saja pria ini semalam kelelahan karena terlalu banyak bicara hingga mulut seakan berbusa, lalu setelah itu langsung tidur. Bahkan sampai pagi pun Zeva tidak meminta hal berbau sex.

"Makasih buat semalam, hati-hati di jalan."

"Makasih? Saya 'kan gak ngapa-ngapain."

"Lo udah dengerin gua cerita, terus tersenyum sepanjang malem. Thanks."

"Apa cuma kaya gitu aja cukup?" tanya Vianca malu-malu.

Zeva mengangguk. Sebenarnya, selain butuh tempat berbagi cerita, dia tidak tega melakukan hubungan saat Vianca tertekan dan bersedih. 

Vianca mematung, ingin berniat pulang tapi tertahan saat melihat raut wajah Zeva berbeda. Dia melihat sisi lain pada pria itu. Pria itu sedang kesepian. Sampai-sampai membayar dirinya hanya untuk menghancurkan rasa penatnya. Vianca bahkan semalaman mendengar, keluhan tentang kekecewaan Zeva pada keluarganya.

Zeva melirik, menyadari Vianca menatap ke arahnya. "Lo gak mau pulang? Maunya digoyang?"

"Sembarangan!" Vianca bicara dengan  wajah menahan rasa malu.

"Heh, itu cuma lirik lagu. Gak usah sensi kaya gitu, Vi."

Ah, Vianca berpikir keras. Dia akui pernah mendengar lirik itu tapi lupa di mana. Sepertinya, di acara reality show sebuah televisi swasta.

"Mau diantar pulang lagi?" Zeva bertanya karena Vianca masih saja mematung.

"Em, tidak! Saya pulang sekarang, permisi!"

Vianca perlahan melangkah untuk pulang. Lain dengan kemarin yang diantar pulang oleh Zeva, kali ini dia pulang sendiri. Vianca memaklumi hal tersebut, Zeva belum terpejam dari semalam. Bisa-bisa Zeva kesulitan fokus saat mengemudi karena ngantuk, kalau memaksakan diri mengantar dirinya pulang.

Kaki seakan berat melangkah, Vianca pun melirik ke belakang, menatap pria yang kini sibuk dengan ponselnya. Dia menyadari, ada yang tertinggal. Sebelah hatinya tertinggal di tempat ini, masih ingin menemani Zeva.  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sagala Cellular
mantap pokoknya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status