Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya.
Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang.
Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita.
"Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca
"Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca.
Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil dengan begitu akrab oleh anak salah satu pemilik perusahaan Tri Golden. Dia Edrick, anak bungsu Pak Aris, atau adiknya Zeva.
"Kabar kamu gimana?" tanya Edrick tanpa tersenyum, nada suaranya melemah.
"Baik," jawab Vianca dan tertunduk.
Edrick terdiam cukup lama sambil menatap lekat pada Vianca, seolah ada hal yang akan dia sampaikan. Namun, tertahan di lidah. Edrick kemudian gelagapan, dan memilih pergi, saat sadar ada Adam dan Zeva sedang berjalan ke arahnya.
Edrick dan Adam pun berlalu setelah sebelumnya, Vianca dan Rissa mengucap salam.
Sementara itu, Zeva melihat sekilas Edrick menyapa Vianca. Zeva malah berasumsi bahwa Edrick diam-diam suka open BO sama wanita nakal juga.
"Kamu kenal sama Pak Edrick? Kenapa kalian kelihatan akrab?" tanya Rissa.
"Teman sekolah."
"Apa teman sekolah?" tanya Rissa tak percaya sambil menatap Vianca dari atas sampai bawah.
Vianca paham, pasti Rissa tak percaya bahwa dirinya pernah satu sekolah dengan anak pengusaha kaya. "Aku dulu sempat sekolah di SMA favorit karena dapat beasiswa. Tapi cuma sampai kelas 11 karena alasan suatu hal. Lalu pindah karena merasa itu bukan tempat yang cocok buatku."
Rissa menggaruk kepala merasa tak enak sudah bertanya. "Oh, gitu."
Vianca tersenyum, sambil berharap Rissa tidak bertanya alasan dia pindah lebih mendalam. Karena sebenarnya alasan Vianca keluar sekolah itu gara-gara Edrick. Orang yang melakukan perundangan pada Vianca, yang akibatnya mental Vianca sering down sampai sekarang.
Vianca masih ingat dengan jelas, selain menghina secara Verbal, Edrick pernah melempar Vianca dengan kotoran lumpur. Semua itu sudah berlalu pastinya. Kini Edrick bukan siswa nakal lagi, tapi pemuda sukses yang berwibawa. Namun, luka lama tidak bisa begitu saja terhapus di batin Vianca.
***Vianca merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Lantas dirinya mempercepat langkah kakinya. Dan suara langkah kaki itu semakin cepat mengikutinya. Vianca menoleh ke belakang dan melihat pria tegap menatap ke arahnya.
Dia hendak pulang mencari
kendaraan umum. Namun tidak jadi, karena pria yang bertemu dengannya tadi pagi memanggil namanya."Via!" sapa Edrick.
Vianca tidak menjawab panggilan itu. Gila saja jika Edrick mau melakukan kejahatan seperti saat Sekolah dulu. Apalagi, dia termasuk anak pemilik perusahaan, memalukan jika membully karyawan biasa seperti Vianca.
Edrick mengedarkan pandangan, khawatir ada yang melihat dirinya. "Ikut denganku sebentar, mau?"
Vianca menggeleng. "Mohon maaf, saya harus segera pulang."
"Gimana kalau sekalian aku antar kamu pulang."
Vianca terkekeh. "Kita tidak ada urusan apa pun. Saya bisa pulang sendiri, maaf!"
Vianca melangkahkan kaki, menjauhi Edrick. Namun pria itu berhasil menahan tangan Vianca, dan menyeretnya ke sebuah jalanan gang yang sepi.
"Saya mau pulang."
Vianca memberontak, dia memukul tangan Edrick yg mencengkeramnya dengan erat. Vianca lantas terhenti saat melihat pria itu mematung dengan tatapan teduh.
"Kamu sekarang tinggal di mana? Gimana keadaanmu? Apa hidupmu baik-baik saja?"
Pertanyaan bertubi dari Edrick tidak satu pun dijawab oleh Vianca. Hanya ada satu kalimat yang Vianca utarakan, yaitu keinginannya untuk pulang "Saya mau pulang."
Mendengkus, Edrick lalu perlahan mengutarakan sesuatu. "Kamu harus tahu sesuatu, Via! Sebenarnya, aku tidak bisa tenang saat kamu keluar dari sekolah gara-gara aku. Saat itu ingin sekali minta maaf tapi aku masih terlalu egois buat bilang bahwa aku salah."
Edrick melanjutkan ucapan, setelah sebelumnya melihat reaksi Vianca malahan memalingkan wajah. "Aku dengar dari orang kamu jadi wanita gak bener sampe open BO kaya gitu. Aku semakin merasa bersalah, hidupmu hancur gara-gara aku. Kamu siswi berprestasi, harusnya lulus dengan baik jika saja aku tidak mengganggumu."
"Tidak juga, hidupku sudah hancur bahkan sebelum bertemu denganmu. Kita bertemu atau pun tidak, tetap saja aku seperti ini. Maka tidak usah merasa bersalah! Dan tolong, biarkan aku pergi."
"Tidak bisa! Aku harus menebusnya! Aku akan bertanggung jawab dan memperbaiki hidupmu. Beri aku sedikit kesempatan, Via."
Vianca mengerutkan dahi. "Tidak usah repot-repot. Urusi saja urusan masing-masing, permisi!"
Vianca setengah berlari hingga nafasnya tersengal. Bertemu dengan pria itu hanya membuka luka lama. Edrick pernah menghinanya secara verbal, dan bagi Vianca hal itu sangat membekas. Vianca menoleh ke belakang, sekadar memastikan bahwa Edrick tidak mengikuti, tapi malahan dirinya menubruk seorang pria.
"Maaf!" ucap Vianca menundukkan kepala.
Wajah Vianca terangkat, dan dia terpaku di tempat saat tersadar pria di hadapannya adalah Zeva. Vianca berusaha tersenyum walau hatinya sedang terluka. Terlebih, Zeva tidak sendirian dia sedang menggandeng seorang wanita, entah mau dibawa kemana wanita itu.
Meskipun Zeva dan Savana terlihat tidak berada dalam situasi yang baik. Namun, Vianca melihat dari sorot mata Zeva bahwa wanita yang berada di samping Zeva begitu berarti. Vianca tidak suka akan hal itu.
"Oh, maafkan saya orang asing. Permisi!"
Zeva mengerutkan dahi karena tersindir dengan ucapan Vianca. Mata Zeva tak lepas menatap Vianca yang berlalu dengan tergesa-gesa. Zeva sadar, seharian ini sudah memperlakukan Vianca bagai mahluk gaib. Vianca jelas terlihat olehnya, tapi Zeva tidak melirik walau sekadar menyapa.
"Kamu kenal sama wanita itu?" tanya Savana sinis.
Terperanjat sejenak, Zeva pun mengalihkan pandangan pada Savana. "Tidak!"
"Jangan bilang! Kamu mau minta balikan sama aku, sementara kamu sendiri berhubungan sama wanita itu. Aku ini wanita, tahu lah ciri-ciri wanita lain saat cemburu kaya gimana."
Zeva terkekeh. "Aku pernah lihat dia kerja di Tri Golden, mungkin aja dia diam-diam kagum padaku. Tapi aku sama sekali gak peduli juga, sih."
Savana merotasi bola mata. "Oke, sementara ini aku percaya sama kamu. Karena dilihat dari penampilan cewek tadi, dia bukan type kamu. Gak ada satu pun barang mahal yang menempel di badannya, pasti dia hanya pesuruh di tempat kerja Adam. But, aku gak suka banget lihat tampang songongnya saat bicara padamu. Cih!"
Zeva tertegun. Dia bahkan tidak benar-benar menyimak ucapan Savana. Dia menyadari satu hal, saat ini Vianca sedang tidak baik-baik saja. Ada satu hal yang membuat wanita itu terluka. Zeva tak habis pikir, hatinya ikut merana saat Vianca terluka.
Kasih komen yang banyak, aku butuh semangat saat menulis.
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan
Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak."Kak, Mas Zeva udah pulang?""Iya! Kakak suruh pria itu pulang.""Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?""Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja."Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo.""Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?""Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama."Sini uangnya! Vianca aka
Zeva berjalan di tengah ramainya orang hilir mudik di pusat perbelanjaan, dengan penuh kebimbangan. Dia takut keputusannya ini salah. Zeva menghentikan langkah di toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan, dia ingin memilih sendiri tanpa campur tangan orang lain, karena pernikahannya hanyalah sebuah rahasia.Bahkan, saat memilih salah satu dari cincin berlian, pikirannya tak fokus. Dirinya tak mengerti mengapa ingin melindungi Vianca dari gangguan Melvin. Apakah pernikahannya nanti akan berjalan lancar jika hanya berlandaskan rasa kasihan?Dia merasa bukan dirinya, yang biasa selalu masa bodoh dan tak pernah memikirkan hal-hal rumit, semua berjalan apa adanya tapi saat ini tidak demikian.Zeva pulang, dia membawa paper bag yang di dalamnya ada kotak perhiasan termasuk cincin pernikahan. Semuanya, nampak terburu-buru baginya. Tak ada persiapan sepesial karena pernikahan siri yang dia jalani tanpa resepsi. Tapi dia bisa menjamin hidup Vianca lebih
Mata Zeva dan Vianca beradu. Keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya, Zeva mendaratkan satu kecupan di dahi Vianca. Membuat Vianca merasa lebih tenang dan damai.Namun, Vianca akhirnya menghindar. Membuat Zeva kesal atas penolakan wanita itu.Zeva menahan kesal yang bersarang di dalam dada." Kamu kenapa?""Kamu sudah punya tunangan, Mas. Mbak Savana.""Bukan! Kami hanya berencana tunangan. Tidak ada perjanjian yang mengikat antara aku dan dia.""Tapi tetap saja dia kekasihmu. Apa kamu berencana membuat aku jadi gundikmu?"Zeva terdiam, dia bahkan belum memikirkan akan seperti apa dirinya dengan Savana, karena sudah terlanjur janji. "Aku akan bicara padanya pelan-pelan. Aku akan meninggalkannya! Percayalah! Sebenarnya, kami banyak sekali ketidak cocokan."Vianca masih mematung sambil memasang wajah resah. Semua alasan yang dikemukakan Zeva, tidak membuat suasana hatinya membaik.Zeva mendekapnya. "Semuanya a
Vianca mencium punggung tangan ibunya, Sania. Kemudian memberi salam. Melihat mata Sania yang berbinar saat beradu tatap, membuat Vianca tak tega. Ibunya tak pernah tahu hubungan macam apa yang dijalani antara dirinya dengan Zeva. Yang dia tahu, menantunya ini sungguh tampan.Vianca sempat membuat ibunya menangis saat ketahuan menjadi simpanan pria kaya dua tahun lalu. Apa jadinya, jika ibunya ini tahu Zeva adalah mantan pelanggannya. Mungkin, ibunya akan terluka kembali karena anaknya lagi-lagi terjerumus dalam dunia malam belum lama ini.Zeva menempelkan keningnya pada wanita paruh baya itu, bergantian dengan Vianca. Zeva mendapat pelukan dari ibu mertuanya. Pelukan paling hangat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya."Terimakasih, karena kamu sudah menjaga anakku! Vianca tak pernah cerita dia memiliki pacar setampan dan sebaik dirimu. Tahu-tahu malah menikah."Vianca menginjak kaki Zeva, sebagai isyarat bahwa Zeva dilarang buka suara bahwa mereka ta