Share

9. Pria Lain

Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya.

Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang.

Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. 

"Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca

"Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca.

Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil dengan begitu akrab oleh anak salah satu pemilik perusahaan Tri Golden. Dia Edrick, anak bungsu Pak Aris, atau adiknya Zeva.

"Kabar kamu gimana?" tanya Edrick tanpa tersenyum, nada suaranya melemah.

"Baik," jawab Vianca dan tertunduk.

Edrick terdiam cukup lama sambil menatap lekat pada Vianca, seolah ada hal yang akan dia sampaikan. Namun, tertahan di lidah. Edrick kemudian gelagapan, dan memilih pergi, saat sadar ada Adam dan Zeva sedang berjalan ke arahnya.

Edrick dan Adam pun berlalu setelah sebelumnya, Vianca dan Rissa mengucap salam.

Sementara itu, Zeva melihat sekilas Edrick menyapa Vianca. Zeva malah berasumsi bahwa Edrick diam-diam suka open BO sama wanita nakal juga.

"Kamu kenal sama Pak Edrick? Kenapa kalian kelihatan akrab?" tanya Rissa.

"Teman sekolah."

"Apa teman sekolah?" tanya Rissa tak percaya sambil menatap Vianca dari atas sampai bawah.

Vianca paham, pasti Rissa tak percaya  bahwa dirinya pernah satu sekolah dengan anak pengusaha kaya. "Aku dulu sempat sekolah di SMA favorit karena dapat beasiswa. Tapi cuma sampai kelas 11 karena alasan suatu hal. Lalu pindah karena merasa itu bukan tempat yang cocok buatku."

Rissa menggaruk kepala merasa tak enak sudah bertanya. "Oh, gitu."

Vianca tersenyum, sambil berharap Rissa tidak bertanya alasan dia pindah lebih mendalam. Karena sebenarnya alasan Vianca keluar sekolah itu gara-gara Edrick. Orang yang melakukan perundangan pada Vianca, yang akibatnya mental Vianca sering down sampai sekarang.

Vianca masih ingat dengan jelas, selain menghina secara Verbal, Edrick pernah melempar Vianca dengan kotoran lumpur. Semua itu sudah berlalu pastinya. Kini Edrick bukan siswa nakal lagi, tapi pemuda sukses yang berwibawa. Namun, luka lama tidak bisa begitu saja terhapus di batin Vianca.

***

Vianca merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Lantas dirinya mempercepat langkah kakinya. Dan suara langkah kaki itu semakin cepat mengikutinya. Vianca menoleh ke belakang dan melihat pria tegap menatap ke arahnya.

Dia hendak pulang mencari

kendaraan umum. Namun tidak jadi, karena pria yang bertemu dengannya tadi pagi memanggil namanya.

"Via!" sapa Edrick.

Vianca tidak menjawab panggilan itu. Gila saja jika Edrick mau melakukan kejahatan seperti saat Sekolah dulu. Apalagi, dia termasuk anak pemilik perusahaan, memalukan jika membully karyawan biasa seperti Vianca.

Edrick mengedarkan pandangan, khawatir ada yang melihat dirinya. "Ikut denganku sebentar, mau?"

Vianca menggeleng. "Mohon maaf, saya harus segera pulang."

"Gimana kalau sekalian aku antar kamu pulang."

Vianca terkekeh. "Kita tidak ada urusan apa pun. Saya bisa pulang sendiri, maaf!"

Vianca melangkahkan kaki, menjauhi Edrick. Namun pria itu berhasil menahan tangan Vianca, dan menyeretnya ke sebuah jalanan gang yang sepi.

"Saya mau pulang."

Vianca memberontak, dia memukul tangan Edrick yg mencengkeramnya dengan erat. Vianca lantas terhenti saat melihat pria itu mematung dengan tatapan teduh.

"Kamu sekarang tinggal di mana? Gimana keadaanmu? Apa hidupmu baik-baik saja?"

Pertanyaan bertubi dari Edrick tidak satu pun dijawab oleh Vianca. Hanya ada satu kalimat yang Vianca utarakan, yaitu keinginannya untuk pulang "Saya mau pulang."

Mendengkus, Edrick lalu perlahan mengutarakan sesuatu. "Kamu harus tahu sesuatu, Via! Sebenarnya, aku tidak bisa tenang saat kamu keluar dari sekolah gara-gara aku. Saat itu ingin sekali minta maaf tapi aku masih terlalu egois buat bilang bahwa aku salah."

Edrick melanjutkan ucapan, setelah sebelumnya melihat reaksi Vianca malahan memalingkan wajah. "Aku dengar dari orang kamu jadi wanita gak bener sampe open BO kaya gitu. Aku semakin merasa bersalah, hidupmu hancur gara-gara aku. Kamu  siswi berprestasi, harusnya lulus dengan baik jika saja aku tidak mengganggumu."

"Tidak juga, hidupku sudah hancur bahkan sebelum bertemu denganmu. Kita bertemu atau pun tidak, tetap saja aku seperti ini. Maka tidak usah merasa bersalah! Dan tolong, biarkan aku pergi."

"Tidak bisa! Aku harus menebusnya! Aku akan bertanggung jawab dan memperbaiki hidupmu. Beri aku sedikit kesempatan, Via."

Vianca mengerutkan dahi. "Tidak usah repot-repot. Urusi saja urusan masing-masing, permisi!"

Vianca setengah berlari hingga nafasnya tersengal. Bertemu dengan pria itu hanya membuka luka lama. Edrick pernah menghinanya secara verbal, dan bagi Vianca hal itu sangat membekas. Vianca menoleh ke belakang, sekadar memastikan bahwa Edrick tidak mengikuti, tapi malahan dirinya menubruk seorang pria.

"Maaf!" ucap Vianca menundukkan kepala.

Wajah Vianca terangkat, dan dia terpaku di tempat saat tersadar pria di hadapannya adalah Zeva. Vianca berusaha tersenyum walau hatinya sedang terluka. Terlebih, Zeva tidak sendirian dia sedang menggandeng seorang wanita, entah mau dibawa kemana wanita itu.

Meskipun Zeva dan Savana terlihat tidak berada dalam situasi yang baik. Namun, Vianca melihat dari sorot mata Zeva bahwa wanita yang berada di samping Zeva begitu berarti. Vianca tidak suka akan hal itu.

"Oh, maafkan saya orang asing. Permisi!"

Zeva mengerutkan dahi karena tersindir dengan ucapan Vianca. Mata Zeva tak lepas menatap Vianca yang berlalu dengan tergesa-gesa. Zeva sadar, seharian ini sudah memperlakukan Vianca bagai mahluk gaib. Vianca jelas terlihat olehnya, tapi Zeva tidak melirik walau sekadar menyapa.

"Kamu kenal sama wanita itu?" tanya Savana sinis.

Terperanjat sejenak, Zeva pun mengalihkan pandangan pada Savana. "Tidak!"

"Jangan bilang! Kamu mau minta balikan sama aku, sementara kamu sendiri berhubungan sama wanita itu. Aku ini wanita, tahu lah ciri-ciri wanita lain saat cemburu kaya gimana."

Zeva terkekeh. "Aku pernah lihat dia kerja di Tri Golden, mungkin aja dia diam-diam kagum padaku. Tapi aku sama sekali gak peduli juga, sih."

Savana merotasi bola mata. "Oke, sementara ini aku percaya sama kamu. Karena dilihat dari penampilan cewek tadi, dia bukan type kamu. Gak ada satu pun barang mahal yang menempel di badannya, pasti dia hanya pesuruh di tempat kerja Adam. But, aku gak suka banget lihat tampang songongnya saat bicara padamu. Cih!"

Zeva tertegun. Dia bahkan tidak benar-benar menyimak ucapan Savana. Dia menyadari satu hal, saat ini Vianca sedang tidak baik-baik saja. Ada satu hal yang membuat wanita itu terluka. Zeva tak habis pikir, hatinya ikut merana saat Vianca terluka.

Mira Restia

Kasih komen yang banyak, aku butuh semangat saat menulis.

| 1
Komen (3)
goodnovel comment avatar
liza sarah
novel kedua dr mbak mira yg kubaca. sm bagusnya dgn novel satu lg. penasaran dgn ceritanya. lanjut thor...
goodnovel comment avatar
Syantik bingit
please next thor
goodnovel comment avatar
Teh Warniasih
lanjut Thor Aku Selalu Nunggu Lanjutan Nya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status