Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.
Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang.
"Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.
Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.
Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."
Vianca melirik ke sisi jendela, ada wajah Melvin di sana, sedang mengintip. Memang, cuma kelihatan sedikit karena terhalang gorden, tapi Vianca melihat mata Melvin melotot sambil memukul kaca hingga kacanya bergetar.
Buru-buru Vianca menyembunyikan amplop berisi uang ke dalam rak sepatu, sebelum membuka pintu untuk kakaknya. Dia tidak bisa bersembunyi lagi.
Baru saja suara kunci terdengar, pintu sudah didorong kencang, membuat Vianca sedikit terdorong oleh pintu.
"Lama sekali kamu buka pintu!"
"Sorry! Aku lagi pakai headset tadi."
"Alesan aja, kamu mau pergi ke mana?" tanya Melvin.
"Ada panggilan kerja hari ini, aku hampir terlambat. Kita bisa ngobrol lain waktu aja, Kak!"
Melvin mengangkat kedua alisnya, memperhatikan Vianca dari atas hingga bawah. Matanya tertuju pada tas warna maroon yang berada di lengan Vianca. Melvin merebut tas tersebut, menumpahkan semua isinya ke lantai. Melvin mengumpat, karena dia tidak mendapatkan apa-apa selain uang pecahan dua puluh ribu tiga lembar.
"Jangan diambil, itu cuma pas-pasan buat ongkos." Vianca mengambil benda yang jatuh tercecer. Ada bedak, lipstik, ponsel, dan dompet. Vianca berdiri lantas memukul lengan Melvin dengan tas itu. "Balik sana ke tempatmu!"
Melvin tidak mendengarkan Vianca, dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar, mencari uang simpanan Vianca.
Vianca mengacak rambutnya, resah. "Tolong jangan buat berantakan kamarku, Kak. Kakak gak akan dapat apa-apa, karena aku pun sudah tak punya uang."
Melvin tak menghiraukan Vianca. Namun, pria itu tidak mendapatkan apa-apa. Lalu dia pun pergi tanpa rasa bersalah sama sekali.
Vianca berdebar, dia takut ketahuan menyembunyikan uang di rak sepatu. Saat Melvin benar-benar pergi, barulah perasaan dia mulai membaik lalu cepat-cepat memasukan uang itu ke dalam tasnya. Merapikan pakaian sejenak, dia pun cepat-cepat pergi ke Perusahaan Tri Golden. Dia hampir terlambat.
***Vianca duduk dengan peserta tes yang lain. Dia sedang menanti hasil tes tulis yang dia jalani tadi, yang akan diumumkan sesudah jam makan siang. Semua rangkaian tes akan dilakukan di hari yang sama, kecuali medical cek up. Jadi, jika lolos tes tulis kali ini, akan interview di hari ini juga.
Risa, wanita cantik yang duduk bersamanya nampak mumpuni untuk dijadikan karyawan. Rasa percaya diri dan attitude Risa membuat Vianca minder. Tapi Vianca harus tetap bertahan, karena seharusnya setiap orang punya rejeki masing-masing.
"Jam istirahat berapa menit lagi ya, Vi? Aku mau ke toilet dulu, anter, yuk!" ajak Risa.
"Sekitar 10 menit lagi, boleh, yuk!"
Vianca berjalan berdua dengan teman barunya. Dia berharap, Risa dan dirinya sama-sama diterima karena jumlah karyawan yang akan diterima berjumlah lima orang dari 20 pelamar yang dipanggil hari ini. Sementara Risa masuk toilet dia menunggunya di luar, di sebuah lorong sambil mengutak-atik handphone.
Vianca tertegun, saat melihat pria tampan yang berada di depannya, pria yang pernah memboking dirinya. Awalnya Vianca ragu itu adalah Zeva, karena penampilannya jauh berbeda. Rambut Zeva lebih rapi dan tentunya dengan pakaian rapi juga, id card yang terpasang di saku kemeja pria itu membuat Vianca tersadar bahwa Zeva bekerja di tempat ini.
Vianca kebingungan, apakah dia harus menyapa Zeva akan tetapi pria itu sedang bersama dua orang yang nampaknya orang penting dan mempunyai jabatan tinggi. Lalu, beberapa detik kemudian mata pria itu memandang ke arah dirinya.
Tidak lama Zeva memandang Vianca, sempat membulatkan mata, akan tetapi setelah itu mengalihkan pandangan, seakan-akan mereka tidak pernah saling mengenal, apalagi bermalam bersama.
Tiga pria itu melangkah sambil berbincang. Melewati Vianca yang sedang mematung menatap pria yang sudah berubah sikap. Bahkan, ketiganya tidak ada yang menyahut saat Vianca mengucapkan salam selamat siang.
Mungkinkah, Zeva ataupun rekan bisnisnya sedang membicarakan hal penting sehingga tidak menyadari ada wanita yang berusaha menyapa walau segan. Vianca berusaha mengerti keadaan ini.
Risa menepuk bahu Vianca sambil tersenyum. "Kok ngelamun, Vi?"
Vianca terperanjat, kejadian barusan membuat dirinya tidak konsen. "Gak, kok. Gak ngelamun."
"Lagi lihatin cogan, ya? Pasti lagi lihatin yang tengah itu." Risa menunjuk Zeva. "Emang, sih. Dia itu ganteng banget."
***Vianca kembali ke rumah hampir jam tujuh malam karena macet. Di dalam benaknya, hal yang paling dia ingin lakukan saat tiba di rumah adalah scrubing dan mandi. Hal itu mampu membuat dirinya kembali segar.
Lantas, dia menggapai handuk dan mulai membersihkan diri.
Setelah dia merapikan diri dengan mengenakan pakaian tidur, dia menjatuhkan diri ke kasur sambil tangan tak lepas dari ponsel. Mencoba mengirim pesan pada pria yang mengganggu pikirannya.
"Hallo, Zeva! Apa kabar? Tadi aku melihatmu di Tri Golden, kamu kerja di sana? Aku juga sedang tes di Tri Golden. Kamu tahu? Aku lulus tes, dan sudah bisa bekerja lusa. Bahkan, tidak ada orang curang yang meminta sogokan. Aku senang akhirnya aku bisa lolos kerja dengan usahaku sendiri."
Vianca membulatkan mata saat tahu pesannya dibalas dengan cepat oleh Zeva. "Lo hebat! Selamat, ya! But sorry, Vi. Jika kita bertemu lagi di mana pun itu, anggap saja kita tidak pernah saling kenal. sorry."
Vianca mengerutkan dahi atas jawaban Zeva. "Kenapa? Aku salah apa? Apa kenal denganku adalah hal yang memalukan?"
"Sorry, Vi. Lo tahu sendiri keluarga gua kaya gimana. Mereka bakal rese kalau sampai ketahuan gua pernah BO cewek."
Vianca tidak membalas lagi. Dia khawatir balasannya akan melukai harga dirinya. Dia tahu hidupnya kelam, tapi mendengar langsung dari mulut Zeva membuat hatinya perih. Padahal, sebelumnya dia sudah berkhayal akan mentraktir Zeva karena sudah diterima kerja. Dia ingin melihat ekspresi pria itu memberi selamat, tapi rasanya percuma.
Sebenarnya, bagi Vianca suatu hal yang wajar jika antara dirinya dan mantan pelanggan di kemudian hari saling melupakan. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa malah terasa berat ketika orang yang melakukan hal itu adalah Zeva. Pria yang membuatnya ketakutan setengah mati, yang membuat hari-harinya jadi berisik. Akan tetapi malah menjadi lebih berwarna.
***Bukan hal yang mudah bagi Vianca berpura-pura tidak mengenal Zeva. Setelah beberapa malam dilewati bersama, tapi Zeva malah menyuruh wanita itu melupakan segala kenangan tentang mereka. Vianca bekerja ditempatkan di bagian resepsionis, dan mau tidak mau dia harus melihat Zeva berjalan tanpa melihat ke arahnya. Vianca terperanjat dari lamunan tentang Zeva, dari jarak beberapa meter ada pria tegap yang berdiri menatap lekat ke arahnya. Vianca menyipitkan mata, merasa pernah melihat pria itu, namun jarak pandangnya agak jauh sehingga dia takut salah orang. Pria itu mendekat, semakin mendekat dan tiba-tiba jantung Vianca berpacu tak terkendali. Bayangan kejadian saat SMA melintas dipikirannya. Hal yang pernah membuat dirinya putus asa dalam meraih cita-cita. "Selamat pagi, Pak!" sapa Vianca "Via!" Pria itu tidak menjawab ucapan salam. Malah, memanggil nama kecil Vianca. Risa yang berada di samping Vianca tercengang karena Vianca dipanggil de
Zeva menghempaskan diri pada kasurnya. Kemudian mengatur posisi yang baik untuk meluruskan kaki. Dia kelelahan, setelah pulang bekerja harus bersusah payah membujuk Savana untuk balikan padanya. Usahanya tak sia-sia, wanita itu memberi kesempatan ke dua dengan syarat Zeva harus memperbaiki imagenya yang buruk dan Zeva pun diminta untuk berusaha supaya naik jabatan. Atau bahkan, membuat Perusahan sendiri. Savana adalah motivasi hidupnya. Tentu saja sebagai laki-laki dia harus berusaha memenuhi yang Savana mau. Terlebih, Savana minta uang mahar yang tinggi jika mereka sampai maju ke pelaminan. Bel pintu berbunyi. Zeva mengumpat. Baru saja dia berhasil istirahat melepas aktivitas yang menguras energi. Akan tetapi malah ada tamu tak diundang malam-malam begini. "Tamu laknat dari mana yang ganggu istirahat gua?" Zeva yang bertelanjang dada memakai T-shirt, sebelum membuka pintu apartemen. Pintu dibuka. Dia melihat sosok pria tegap nyengir ke arahnya.
Zeva mengelak bahwa dirinya mencintai Vianca. "Savana jauh lebih cantik puluhan kali lipat daripada Vianca. Gak ada alasan buat gua jatuh cinta sama dia." "Karena cinta itu gak ada logika, Bang Zev. Buktinya, lo nyimpen celana dalam Vianca pake kado, di simpen baik-baik bareng sama baju lo. Itu artinya, logika lo pindah ke dengkul, Bang Zev." Zeva meraih celana dalam yang dibuang Edrick, kemudian menggulung dan menjejal benda tersebut ke mulut adiknya yang berisik itu, hingga Edrick batuk. "Nih, ambil! Ambil kalau lo mau Vianca, ambil aja sana!" Edrick, membenarkan posisi duduknya. Wajahnya nampak serius. "Vianca gak seperti yang lo banyangkan. Dia baik, hanya saja kehidupannya sulit. Andai saja Bang Zev tahu, Gua bersalah sudah buat situasi dia makin terpuruk. Dan jika ada kesempatan buat jadi pendampingnya, gua mau, kok." Zeva bungkam, dirinya mendengarkan tiap kalimat dari mulut Edrick. Bahkan, sudah langsung menyerap ke dalam otaknya. Ada perasaan
Edrick mengantarkan Vianca pulang. Dia memperlakukan wanita itu layaknya tuan putri yang harus dilindungi.Bagi Vianca, sesuatu hal yang aneh ada pria yang membukakan pintu mobil untuknya. Wanita yang mempunyai sejarah yang kelam seperti dirinya, jarang mendapatkan perlakuan seperti ini. "Makasih Pak Edrick."Vianca masuk, dia tak bisa menolak karena hari sudah malam. Kurang aman pulang sendiri dalam keadaan tubuh yang belum pulih total."Rumah kamu di mana, Via?""Di jalan Sweet Corn gang Flower, Pak!"Edrick mengangguk sambil menyipitkan mata. Berpikir letak tempat yang disebutkan Vianca. Dia mengingat-ingat rute tempat itu, lalu melaju ke arah kontrakan Vianca."Kamu tinggal sendiri sekarang?""Iya, dulu sempat satu kontrakan sama teman, tapi dia udah mudik." Vianca menjawab pertanyaannya Edrick tanpa menatap wajahnya.Edrick pun berhenti bertanya, melihat tatapan wanita itu, seakan menghindar.Vianca kaku
Vianca perlahan memejamkan mata, efek obat dari dokter yang barusan dia minum, membuat dirinya cepat mengantuk.Zeva masih ada di situ, menatap lekat pada Vianca. Dia mengabaikan dering telepon yang berbunyi berkali-kali dari Savana. Karena dia khawatir, Savana bertanya keberadaan dirinya saat ini. Namun akhirnya, tak terdengar lagi dering telepon itu, mungkin Savana sudah menyerah untuk menghubungi Zeva.Zeva terperanjat, saat mendengar suara rintihan dari Vianca. Ketika dilihat mata Vianca masih terpejam. "Vi, kamu mengigau? Bikin orang kaget saja."Zeva yang sebelumnya menyangka suara tadi adalah suara rintihan dari kuntilanak, akhirnya mendekat pada Vianca. Dia melihat wanita itu keringat dingin, mungkin saja sedang bermimpi buruk. Zeva meraih tisu di nakas, lantas mengusap peluh di dahi Vianca.Zeva tersenyum, mengamati bentuk wajah Vianca yang indah. Dia mengecup dahi Vianca dengan lembut.Wanita itu nampak lebih baik hanya dengan
Vianca mendengar suara mesin mobil dari dalam kamar. Dia terperanjat, saat sadar bahwa Zeva sudah pulang tanpa pamit terlebih dulu padanya. Dia menghampiri Melvin yang masih berada di ruang tengah. Wanita itu terkejut, lantaran Melvin sedang asik menghitung uang ratusan ribu yang cukup banyak."Kak, Mas Zeva udah pulang?""Iya! Kakak suruh pria itu pulang.""Kakak minta uang sama dia? Kakak meras Mas Zeva?""Iya." Melvin menjawab sambil mengipasi dirinya dengan uang pemberian Zeva.Vianca geram, dia menyiram wajah Melvin dengan satu gelas air yang berada di atas meja."Hey, sialan! Uang gua jadi basah gara-gara lo.""Malu-maluin, tahu, gak! Cepat balikin! Ada berapa semua?""Cuma dua juta, kok. Tenang aja!Katanya ini buat sarapan kita berdua."Melvin tidak cerita bahwa Zeva sudah mentransfer juga ke rekeningnya dengan jumlah yang lebih banyak. Adiknya terlalu rese untuk diajak kerja sama."Sini uangnya! Vianca aka
Zeva berjalan di tengah ramainya orang hilir mudik di pusat perbelanjaan, dengan penuh kebimbangan. Dia takut keputusannya ini salah. Zeva menghentikan langkah di toko perhiasan untuk membeli cincin pernikahan, dia ingin memilih sendiri tanpa campur tangan orang lain, karena pernikahannya hanyalah sebuah rahasia.Bahkan, saat memilih salah satu dari cincin berlian, pikirannya tak fokus. Dirinya tak mengerti mengapa ingin melindungi Vianca dari gangguan Melvin. Apakah pernikahannya nanti akan berjalan lancar jika hanya berlandaskan rasa kasihan?Dia merasa bukan dirinya, yang biasa selalu masa bodoh dan tak pernah memikirkan hal-hal rumit, semua berjalan apa adanya tapi saat ini tidak demikian.Zeva pulang, dia membawa paper bag yang di dalamnya ada kotak perhiasan termasuk cincin pernikahan. Semuanya, nampak terburu-buru baginya. Tak ada persiapan sepesial karena pernikahan siri yang dia jalani tanpa resepsi. Tapi dia bisa menjamin hidup Vianca lebih
Mata Zeva dan Vianca beradu. Keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga akhirnya, Zeva mendaratkan satu kecupan di dahi Vianca. Membuat Vianca merasa lebih tenang dan damai.Namun, Vianca akhirnya menghindar. Membuat Zeva kesal atas penolakan wanita itu.Zeva menahan kesal yang bersarang di dalam dada." Kamu kenapa?""Kamu sudah punya tunangan, Mas. Mbak Savana.""Bukan! Kami hanya berencana tunangan. Tidak ada perjanjian yang mengikat antara aku dan dia.""Tapi tetap saja dia kekasihmu. Apa kamu berencana membuat aku jadi gundikmu?"Zeva terdiam, dia bahkan belum memikirkan akan seperti apa dirinya dengan Savana, karena sudah terlanjur janji. "Aku akan bicara padanya pelan-pelan. Aku akan meninggalkannya! Percayalah! Sebenarnya, kami banyak sekali ketidak cocokan."Vianca masih mematung sambil memasang wajah resah. Semua alasan yang dikemukakan Zeva, tidak membuat suasana hatinya membaik.Zeva mendekapnya. "Semuanya a