Share

8. Terluka

Vianca sudah memakai pakaian putih-hitam karena hari ini ada panggilan kerja. Namun, walaupun masih pagi, dia diresahkan oleh kehadiran Melvin di depan rumahnya. Kakaknya itu, nampak kumal, serta belum mengganti pakaian hang out. Sepertinya, Melvin semalaman habis party bersama teman-temannya.

Vianca berada dibalik pintu, dia tidak ingin berurusan dulu dengan kakaknya. Dia tahu, kakaknya akan datang jika sudah kehabisan uang.

"Vi ... Vi ... buka pintunya! Kakak tahu kamu ada di dalam!" teriak Melvin.

Vianca terperanjat, berdiri dibalik pintu, tetap bertahan menunggu kakaknya itu pergi. Namun, cukup sulit membuat Melvin pergi. Vianca beberapa kali melihat jam di tangannya, cemas karena khawatir akan terlambat.

Melvin lagi-lagi mengetuk pintu, kali ini lebih kencang karena sudah cukup pusing dari tadi menunggu. "Woy, buka, woy! Adik sialan, gak tahu diri! Udah syukur kamu disekolahin sama bokap, pas udah gede malah pelit kaya gini."

Vianca melirik ke sisi jendela, ada wajah Melvin di sana, sedang mengintip. Memang, cuma kelihatan sedikit karena terhalang gorden, tapi Vianca melihat mata Melvin melotot sambil memukul kaca hingga kacanya bergetar. 

Buru-buru Vianca menyembunyikan amplop berisi uang ke dalam rak sepatu, sebelum membuka pintu untuk kakaknya. Dia tidak bisa bersembunyi lagi. 

Baru saja suara kunci terdengar, pintu sudah didorong kencang, membuat Vianca sedikit terdorong oleh pintu.

"Lama sekali kamu buka pintu!"

"Sorry! Aku lagi pakai headset tadi."

"Alesan aja, kamu mau pergi ke mana?" tanya Melvin.

"Ada panggilan kerja hari ini, aku hampir terlambat. Kita bisa ngobrol lain waktu aja, Kak!"

Melvin mengangkat kedua alisnya, memperhatikan Vianca dari atas hingga bawah. Matanya tertuju pada tas warna maroon yang berada di lengan Vianca. Melvin merebut tas tersebut, menumpahkan semua isinya ke lantai. Melvin mengumpat, karena dia tidak mendapatkan apa-apa selain  uang pecahan dua puluh ribu tiga lembar.

"Jangan diambil, itu cuma pas-pasan  buat ongkos." Vianca mengambil benda yang jatuh tercecer. Ada bedak, lipstik, ponsel, dan dompet. Vianca berdiri lantas memukul lengan Melvin dengan tas itu. "Balik sana ke tempatmu!"

Melvin tidak mendengarkan Vianca, dia berjalan tergesa-gesa menuju kamar, mencari uang simpanan Vianca. 

Vianca mengacak rambutnya, resah. "Tolong jangan buat berantakan kamarku, Kak. Kakak gak akan dapat apa-apa, karena aku pun sudah tak punya uang."

Melvin tak menghiraukan Vianca. Namun, pria itu tidak mendapatkan apa-apa. Lalu dia pun pergi tanpa rasa bersalah sama sekali.

Vianca berdebar, dia takut ketahuan menyembunyikan uang di rak sepatu. Saat Melvin benar-benar pergi, barulah perasaan dia mulai membaik lalu cepat-cepat memasukan uang itu ke dalam tasnya. Merapikan pakaian sejenak, dia pun cepat-cepat pergi ke Perusahaan Tri Golden. Dia hampir terlambat.

***

Vianca duduk dengan peserta tes yang lain. Dia sedang menanti hasil tes tulis yang dia jalani tadi, yang akan diumumkan sesudah jam makan siang. Semua rangkaian tes akan dilakukan di hari yang sama, kecuali medical cek up. Jadi, jika lolos tes tulis kali ini, akan interview di hari ini juga.

Risa, wanita cantik yang duduk bersamanya nampak mumpuni untuk dijadikan karyawan. Rasa percaya diri dan attitude Risa membuat Vianca minder. Tapi Vianca harus tetap bertahan, karena seharusnya setiap orang punya rejeki masing-masing.

"Jam istirahat berapa menit lagi ya, Vi? Aku mau ke toilet dulu, anter, yuk!" ajak Risa.

"Sekitar 10 menit lagi, boleh, yuk!"

Vianca berjalan berdua dengan teman barunya. Dia berharap, Risa dan dirinya sama-sama diterima karena jumlah karyawan yang akan diterima berjumlah lima orang dari 20 pelamar yang dipanggil hari ini. Sementara Risa masuk toilet dia menunggunya di luar, di sebuah lorong sambil mengutak-atik handphone.

Vianca tertegun, saat melihat pria tampan yang berada di depannya, pria yang pernah memboking dirinya. Awalnya Vianca ragu itu adalah Zeva, karena penampilannya jauh berbeda. Rambut Zeva lebih rapi dan tentunya dengan pakaian rapi juga, id card yang terpasang di saku kemeja pria itu membuat Vianca tersadar bahwa Zeva bekerja di tempat ini.

Vianca kebingungan, apakah dia harus menyapa Zeva akan tetapi pria itu sedang bersama dua orang yang nampaknya orang penting dan mempunyai jabatan tinggi. Lalu, beberapa detik kemudian mata pria itu memandang ke arah dirinya. 

Tidak lama Zeva memandang Vianca, sempat membulatkan mata, akan tetapi setelah itu mengalihkan pandangan, seakan-akan mereka tidak pernah saling mengenal, apalagi bermalam bersama.

Tiga pria itu melangkah sambil berbincang. Melewati Vianca yang sedang mematung menatap pria yang sudah berubah sikap. Bahkan, ketiganya tidak ada yang menyahut saat Vianca mengucapkan salam selamat siang. 

Mungkinkah, Zeva ataupun rekan bisnisnya sedang membicarakan hal penting sehingga tidak menyadari ada wanita yang berusaha menyapa walau segan. Vianca berusaha mengerti keadaan ini.

Risa menepuk bahu Vianca sambil tersenyum. "Kok ngelamun, Vi?"

Vianca terperanjat, kejadian barusan membuat dirinya tidak konsen. "Gak, kok. Gak ngelamun."

"Lagi lihatin cogan, ya? Pasti lagi lihatin yang tengah itu." Risa menunjuk Zeva. "Emang, sih. Dia itu ganteng banget."

***

Vianca kembali ke rumah hampir jam tujuh malam karena macet. Di dalam benaknya, hal yang paling dia ingin lakukan saat tiba di rumah adalah scrubing dan mandi. Hal itu mampu membuat dirinya kembali segar.

Lantas, dia menggapai handuk dan mulai membersihkan diri. 

Setelah dia merapikan diri dengan mengenakan pakaian tidur, dia menjatuhkan diri ke kasur sambil tangan tak lepas dari ponsel. Mencoba mengirim pesan pada pria yang mengganggu pikirannya.

"Hallo, Zeva! Apa kabar? Tadi aku melihatmu di Tri Golden, kamu kerja di sana? Aku juga sedang tes di Tri Golden. Kamu tahu? Aku lulus tes, dan sudah bisa bekerja lusa. Bahkan, tidak ada orang curang yang meminta sogokan. Aku senang akhirnya aku bisa lolos kerja dengan usahaku sendiri."

Vianca membulatkan mata saat tahu pesannya dibalas dengan cepat oleh Zeva. "Lo hebat! Selamat, ya! But sorry, Vi. Jika kita bertemu lagi di mana pun itu, anggap saja kita tidak pernah saling kenal. sorry."

Vianca mengerutkan dahi atas jawaban Zeva. "Kenapa? Aku salah apa? Apa kenal denganku adalah hal yang memalukan?"

"Sorry, Vi. Lo tahu sendiri keluarga gua kaya gimana. Mereka bakal rese kalau sampai ketahuan gua pernah BO cewek."

Vianca tidak membalas lagi. Dia khawatir balasannya akan melukai harga dirinya. Dia tahu hidupnya kelam, tapi mendengar langsung dari mulut Zeva membuat hatinya perih. Padahal, sebelumnya dia sudah berkhayal akan mentraktir Zeva karena sudah diterima kerja. Dia ingin melihat ekspresi pria itu memberi selamat, tapi rasanya percuma.

Sebenarnya, bagi Vianca suatu hal yang wajar jika antara dirinya dan mantan pelanggan di kemudian hari saling melupakan. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa malah terasa berat ketika orang yang melakukan hal itu adalah Zeva. Pria yang membuatnya ketakutan setengah mati, yang membuat hari-harinya jadi berisik. Akan tetapi malah menjadi lebih berwarna.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status