Zoe menggigit kukunya, gelisah, antara ingin masuk atau tidak. Saat ini dia sedang berdiri di depan toko pakaian dalam merek ternama. Semalam Eros benar-benar memberinya koin dalam jumlah besar untuk dibelanjakan barang yang dimintanya.
Harusnya hari ini dia menghadap Xavier, membicarakan serta meminta maaf atas apa yang telah ayahnya lakukan. Namun, nyatanya dia lebih memilih membolos kuliah dan pergi ke pusat perbelanjaan. Eros yang telah memberikannya banyak uang tadi malam, membuat dia benar-benar ada di persimpangan. Mengabaikan Eros, sama saja dengan membohongi pria itu. Tapi, ketika kini kakinya sudah benar-benar ada di depan toko pakain dalam, pikirannya mulai berjejal tak karuan. Tentang kemarahan Xavier yang akan diterimanya karena mengabaikan perintahnya. Tentang nilai kuliahnya yang mungkin akan di garis merah oleh dosen killer tersebut, dan tentang bagaimana dia akan berakhir dengan Eros, malam nanti. “Apa aku kabur saja?” taya Zoe dalam hatinya yang mulai bimbang. “Tapi kalau aku kabur, bisa-bisa Eros mencariku dan membunuhku karena aku telah menipunya,” lanjut Zoe. “Tidak, aku tidak boleh egois. Aku masih membutuhkan Eros. Dia satu-satunya penonton yang tak pernah sayang mengeluarkan uangnya.” “Tapi….” Zoe menggigit bibirnya kuat-kuat. “Fantasinya terlalu liar. Bagaimana kalau nanti ternyata dia melakukan hal yang tidak-tidak padaku,” imbuh Zoe dengan segala macam spekulasinya. Semalaman setelah dia berbicara dengan Eros, tangannya bergerak lincah mencari tentang bagaimana pria seperti Eros yang memiliki fantasi liar dalam melakukan hubungan intim. Dari banyaknya penjelasan yang didapatnya, orang-orang seperti Eros tak akan segan menyakiti partnernya untuk mendapat sebuah kenikmatan. “Gila, aku benar-benar gila!” cicit Zoe yang akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam toko, setelah berkutat dengan hatinya yang dilanda kebimbangan. Mata Zoe menatap tak percaya pemandangan di depannya. Lingerie dengan berbagai model terpajang rapi. Ada yang berbentuk jaring, ada yang hanya berupa dalaman dilapisi kain penutup tipis. Entahlah hanya dengan melihatnya saja dia sudah pusing. Dari sekian banyak model lingerie yang terpajang di depannya, dia sama sekali tidak tahu harus memilih yang mana. “Haruskah aku menghubungi Eros dan menanyakan lingerie mana yang dia suka?” gumam Zoe bersiap mengambil ponselnya. Semalam Eros hanya menyuruhnya untuk membeli beberapa potong lingerie yang seksi dan menggoda, tapi di matanya semua lingerie ini terlihat menggoda. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayang bertepatan ketika Zoe hendak menghubungi Eros. “Ah…eum…kira-kira dari banyaknya lingerie yang ada di sini, lingerie mana yang paling disukai laki-laki?” tanya Zoe diikuti gerakan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Dia sedang berusaha menyembunyikan rasa malunya saat ini. Pelayan toko tersenyum ramah. “Apa Anda pengantin baru dan sedang ingin memberi kejutan untuk suami Anda?” “Ha ha ha…iya, saya pengantin baru,” jawab Zoe mengikuti arus. “Mari ikut saya!” ajak pelayan toko. Pelayan toko mengambilkan beberapa model lingerie yang diminati oleh beberapa pasangan muda yang baru menikah, antara lain, lingerie dengan kain tipis ketat dengan bagian punggung terbuka, lingerie model jumpsuit transparan dengan stoking dan lingerie seksi dengan set celana dalam dan bra, model ini juga dilengkapi dengan kalung jaring-jaring. “Ha ha ha… ini ya.” Zoe mengusap belakang kepalanya, malu sendiri melihat model-model lingerie yang terlihat begitu–menggoda dan terbuka. “Tolong bungkus semuanya!” kata Zoe kemudian. Lebih baik menuruti perkataan si pegawai toko ketimbang dirinya pusing sendiri. Selesai dengan urusan lingerie, Zoe berpindah ke toko yang menjual alat-alat perlengkapan plus-plus. Matanya semakin dibuat membulat sempurna saat melihat barang apa saja yang ada di sana. “Ada yang bisa saya bantu, Kak?” tanya pelayan toko ramah. “Ha ha ha…bisa tolong ambilkan semua alat ini?” pinta Zoe memberikan kertas di mana dia sudah mencatat semua keperluan yang ingin dibelinya. “Baiklah, tunggu sebentar!” jawab si penjaga toko. Zoe menunggu dengan sabar. Ia berjalan melihat-lihat sekitar untuk menghilangkan rasa bosan. Matanya membulat dan hampir tersedak saat melihat benda menjulang panjang dengan bentuk mirip seperti milik seorang pria. “Kak….” Zoe tersentak. Dia segera memutar tubuhnya mengambil tas belanjaan yang diberikan oleh si pegawai toko. “Terima kasih,” ucap Zoe segera berlari meninggalkan toko. Zoe mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya yang terasa panas. Sungguh ini adalah hal paling memalukan yang pernah dilakukannya. Masuk ke dalam toko perlengkapan plus-plus dan melihat hal yang seharusnya tak dilihatnya. “Sadar Zoe, sadar. Hilangkan pikiran mu dari benda panjang dan berurat itu!” cicit Zoe. “Sebaiknya kamu segera pergi ke hotel dan bersiap. Apa yang kamu lihat tadi bukan apa-apa. Kamu akan semakin terkejut jika benar-benar melihat wujud asli benda itu,” kata Zoe terus bermonolong. *** Zoe menatap pantulan dirinya di depan cermin. Make-up tipis dan lipstik merah darah, terlihat mengubah penampilannya. Dia terlihat cantik dan dewasa. Membuat siapapun yang melihatnya akan tergoda. Ditambah lingerie tipis warna merah yang mempertontonkan punggungnya, dia yakin Eros akan terlihat puas. “Jangan gugup, jangan gugup!” ujar Zoe mencoba menenangkan diri. Zoe berdiri dari duduknya. Ia berjalan mondar-mandir dengan rasa gelisah. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Eros—viewernya yang selalu tanpa sayang memberikan banyak uang setiap kali dia melakukan live. Dan malam ini Eros akan menjadi laki-laki pertama untuknya. Laki-laki yang akan merenggut kesucian yang selama ini dijagannya. “Ha–halo?” jawab Zoe tergagap saat Eros melakukan panggilan telepon. “Tunggu aku, sebentar lagi aku akan sampai,” terang Eros. Dada Zoe seakan berhenti berdetak. Kata-kata yang keluar dari mulut Eros, semakin membuat kegugupannya bertambah besar. Pria itu, dia tidak ingin Eros cepat sampai ke hotel. “Jalanan sedang macet. Mungkin dua puluh menit lagi aku baru sampai,” kata Eros. Zoe tersenyum kaku. “Ba–baik. Aku akan menunggumu dengan sabar,” balasnya. “Hem…apa kamu sudah berdandan?” tanya Eros penasaran. “Iya. Aku sudah menggunakan lingerie seperti apa yang kamu inginkan. Dan aku harap kamu senang dengan penampilanku.” Zoe memukul mulutnya sendiri saat sadar dengan apa yang dia bicarakan. Bagaimana bisa dia bicara begitu santai seolah ini semua bukanlah beban. “Mau melihatnya. Aku bisa memotret diriku,” tawar Zoe. “Tidak perlu. Sebentar lagi aku juga kan melihatmu,” balas Eros. Zoe menganggukkan kepalanya. Tangannya meremat lingerie tipis yang dikenakannya. “Baiklah,” sahut Zoe. “Zoe…?” panggil Eros setelah keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik. “Gunakan penutup matamu dan bersiaplah. Aku akan segera sampai.” Zoe menarik napas panjangnya. Usai memberikan perintah, Eros langsung mematikan ponsel dan menyisakan dirinya dalam ketegangan. Menuruti apa yang diinginkan oleh Eros, Zoe berjalan ke arah kasur. Jari-jari lentiknya mengambil penutup mata lalu mengenakannya, bersiap menunggu Eros. Hingga suara decitan pintu terbuka membuat jantungnya berdebar tak karuan. Matanya yang tetutup membuat Zoe tak bisa melihat. Namun, bisa mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Jantungnya berdebar, keringat dingin membanjiri tangannya. Tidak ada suara sapaan yang didengarnya, hanya ada aroma kayu-kayuan yang tercium oleh indera penciumannya. “E–Eros…?” panggil Zoe memastikan. Dalam lampu yang temaram, Eros yang sudah berdiri di depan Zoe, mengusap lembut pipi wanita itu. Membuat Zoe tersentak kaget. “Ya, aku adalah Eros.” “Siap melihat wajahku?” sambung Eros. Eros membungkukkan sedikit tubuhnya, membuka kain penutup mata yang sejak tadi menutupi mata Zoe dan membiarkan gadis itu melihatnya. “Ka–kamu….”Zoe melangkah masuk ke dalam lift, tubuhnya sedikit membungkuk ketika melewati Aluna. Zoe keluar dari apartemen Xavier karena mengira pria itu memilih menunggu di luar karena adanya Aluna tadi. Namun, siapa yang menyangka bahwa percakapan mereka masih terus berlanjut hingga di depan lift. Dan sialnya dia harus mendengar apa yang tak ingin didengarnya.Xavier–pria itu mengatakan dengan sangat jelas bahwa dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai sosok yang spesial.“Maaf, mengganggu pembicaraan kalian,” ucap Zoe memecah kesunyian di dalam lift. Saat ini di dalam lift hanya ada Xavier dan dirinya, sementara Aluna–wanita itu memilih untuk tidak ikut masuk entah karena apa.Xavier menyeringai. Kakinya melangkah dua langkah, mendekat tepat di belakang Zoe.Kepala Xavier sedikit menunduk, maju ke depan. Bibirnya sejajar dengan telinga Zoe. Dari dinding lift, Xavier bisa melihat wajah wanitanya yang ditekuk.“Cemburu…?”Zoe mensengus. Tangan Xavier yang hendak merengkuh pinggangnya, ia he
“Xavier….”Aluna tersenyum manis menyapa Xavier yang kebetulan membuka pintu apartemennya bahkan sebelum dia menekan bel. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Tanpa dipanggil mereka sudah datang sendiri.Membayangkannya hal itu, pipi Aluna memerah. Rasa tertariknya pada Xavier memang begitu besar, jadi wajar saja jika dia mudah tersipu bahkan hanya karena sebuah khayalannya yang belum tentu terwujudnya.“Apa aku mengganggu?” tanya Aluna dengan suara lemah lembut. Tangannya menenteng lunch box yang dibawanya dari rumah mamah Xavier.Xavier mendesah malas. Matanya terlihat enggan menatap wajah Aluna. Wanita di depannya ini sudah seperti hama yang terus berkeliaran di sekitarnya. “Tante Nora yang memintaku kemari untuk mengantarkan ini.” Aluna menyerahkan lunch box yang dibawanya, tapi saya Xavier sama sekali tidak memperdulikannya. Tangan pria itu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya yang sedang bersedekap dada.Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasa tidak percaya diri itu mul
“Surprise….”Xavier mendengus kesal, matanya menatap malas pada sosok Reyhan dengan senyum sejuta pesona di wajahnya. Dari sekian banyak hari dan waktu, kenapa sahabatnya itu harus datang di waktu yang tidak tepat.Xavier menolehkan kepalanya ke belakang, memastikan bahwa Zoe tidak atau belum keluar dari kamar, sementara tangannya menahan pintu agar Reyhan tidak masuk ke dalam.“Buka dong, aku bawa kabar bagus nih!” ucap Reyhan berusaha untuk masuk ke dalam.“Aku sibuk! Datang saja lain waktu,” sahut Xavier menolak kedatangan Reyhan mentah-mentah.Reyhan menghela napas panjangnya. Kakinya ia gunakan untuk menahan daun pintu ketika Xavier akan menutup pintu apartemennya. Matanya memelas memohon agar diperbolehkan masuk.“Aku benar-benar sibuk, Rey!” ujar Xavier menekankan setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Kembalilah dua jam lagi, oke?”Reyhan mengernyitkan keningnya. Xavier memang tidak terlalu suka menerima tamu, tapi kelakuan sahabatnya ini membuat sisi hatinya bertanya-t
“Bawa ini bersamamu. Xavier sangat menyukainya.” Nora menyerahkan lunch box berisi bubur kacang marah kepada Aluna.“Tapi….” Aluna meremas lunch box yang sudah ada di tangannya. Kata-kata Xavier masih terngiang-ngiang di otaknya. Laki-laki itu seakan tak pernah menyisakan tempat untuknya. Kata-katanya terlalu menohok dan menyakitkan.Nora tersenyum manis. Ia mengambil lunch box yang tadi diserahkannya pada Aluna, meletakkannya di atas meja lalu menggengam tangan wanita pilihannya itu. “Percayalah pada Tante, kamu adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk mendampingi Xavier.”Aluna menggigit bibirnya. “Tapi Xavier tidak menyukaiku, Tante.” Rengek Aluna seakan tak memiliki kepercayaan diri.Nora menepuk pelan pundak Aluna. Senyum di wajahnya tidak memudar sama sekali. “Tidak menyukai bukan berarti hatinya tidak akan pernah berubah, Luna. Kamu lihat Tante dan om, kami berdua menikah tanpa cinta. Tapi sekarang kami bisa hidup bahagia.”“Kamu menyukai Xavier kan?”Aluna tersenyum malu. W
Tangan Xavier sudah menyusup masuk mengusap perut Zoe, sementara bibirnya mulai mengecup basah setiap jengkal leher wanita itu tanpa jeda. “Eugghh…Eros….” Satu desahan lolos begitu saja dari bibir Zoe. Tubuhnya memang tak akan pernah bisa menolak sentuhan Xavier. “Iya, Angel? Katakan bahwa kamu juga menginginkanku,” balas Xavier. Zoe menggenggam tangan Xavier yang semakin merambat ke atas. Kepalanya menoleh ke belakang, menggeleng meminta Xavier menghentikan sentuhannya. Namun, permintaan kecil itu bagaikan angin lalu bagi Xavier yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Tangan Zoe yang tadi mencoba menghentikan gerakan tangan Xavier dihempaskan begitu saja, membuat tangan yang tadinya berhenti mengusap, kini mulai merambat naik mengusap dan meremas dua bongkahan padat milik Zoe.“Ahh…Eros….” Mata Zoe terpejam, menikmati sensasi nyeri sekaligus nikmat yang diciptakan oleh Xavier. “Mendesahlah dan panggil namaku, Angel. Aku menyukai saat kamu menikmati semuanya,” sahut Xavier dengan
Zoe melirik wajah Xaver beberapa kali. Kalimat yang diucapkan Xavier saat di ruang dokter obgyn tadi membuatnya berpikir berulang kali kenapa Xavier mengatakan hal itu. Hubungan mereka tertutup dan tidak diketahui oleh siapapun. Namun, sekarang Xavier seolah ingin mempertontonkan hubungan mereka di depan khalayak ramai.Seperti saat ini, setelah berkonsultasi dengan dokter obgyn, Xavier mengajaknya pergi ke mall untuk membeli kebutuhan dapur. Meski berjalan tanpa bergandengan tangan. Namun, kebersamaan mereka bukan tidak mungkin bisa dikenali oleh orang yang mereka kenal. Biasanya selama ini mereka selalu bertemu di apartemen atau hotel.“Apa kamu pembantuku?” celetuk Xavier yang sibuk memilih beberapa jenis daging.“Huh…?” sahut Zoe. Ia mengusap belakang lehernya sambil melemparkan senyum dua belas jari.Xavier mendengus kesal. Tangannya memasukkan beberapa potong daging ke dalam troli yang dibawanya. Bukan tanpa alasan Xavier berkata seperti tadi, Zoe yang sejak tadi turun dari mobi