“Ka–kamu….”
“Pa–Pak Xavier…?” lirih Zoe dengan napas tercekat.Mata Zoe membulat, tubuhnya reflek bergeser ke belakang saat melihat sosok Xavier ada di depannya. Meski dengan pencahayaan yang redup, matanya masih bisa mengenali siapa wajah di depannya ini.Dari semua orang, Xavier-lah orang yang seharusnya tidak boleh mengetahui rahasia gelap hidupnya yang Zoe tutup rapat-rapat dari dunia luar.Zoe menarik selimut yang didudukinya, menutupkan pada tubuhnya yang terekspos. Dia benar-benar malu. Matanya bahkan tidak bisa melihat wajah Xavier dengan benar.“Kenapa bibirmu tertutup rapat? Kamu bukan seperti—”Zoe bergerak reflek, menutup mulut Xavier dengan tangannya. Membuat selimut yang tadi menutupi tubuhnya jatuh begitu saja, mempertontonkan lekuk tubuhnya yang terlihat—menggoda.“Akhh…,” pekik Zoe saat tangan kekar Xavier menarik pinggangnya hingga membuat tubuh mereka menempel sempuZoe melangkah masuk ke dalam lift, tubuhnya sedikit membungkuk ketika melewati Aluna. Zoe keluar dari apartemen Xavier karena mengira pria itu memilih menunggu di luar karena adanya Aluna tadi. Namun, siapa yang menyangka bahwa percakapan mereka masih terus berlanjut hingga di depan lift. Dan sialnya dia harus mendengar apa yang tak ingin didengarnya.Xavier–pria itu mengatakan dengan sangat jelas bahwa dia sama sekali tidak menganggapnya sebagai sosok yang spesial.“Maaf, mengganggu pembicaraan kalian,” ucap Zoe memecah kesunyian di dalam lift. Saat ini di dalam lift hanya ada Xavier dan dirinya, sementara Aluna–wanita itu memilih untuk tidak ikut masuk entah karena apa.Xavier menyeringai. Kakinya melangkah dua langkah, mendekat tepat di belakang Zoe.Kepala Xavier sedikit menunduk, maju ke depan. Bibirnya sejajar dengan telinga Zoe. Dari dinding lift, Xavier bisa melihat wajah wanitanya yang ditekuk.“Cemburu…?”Zoe mensengus. Tangan Xavier yang hendak merengkuh pinggangnya, ia he
“Xavier….”Aluna tersenyum manis menyapa Xavier yang kebetulan membuka pintu apartemennya bahkan sebelum dia menekan bel. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Tanpa dipanggil mereka sudah datang sendiri.Membayangkannya hal itu, pipi Aluna memerah. Rasa tertariknya pada Xavier memang begitu besar, jadi wajar saja jika dia mudah tersipu bahkan hanya karena sebuah khayalannya yang belum tentu terwujudnya.“Apa aku mengganggu?” tanya Aluna dengan suara lemah lembut. Tangannya menenteng lunch box yang dibawanya dari rumah mamah Xavier.Xavier mendesah malas. Matanya terlihat enggan menatap wajah Aluna. Wanita di depannya ini sudah seperti hama yang terus berkeliaran di sekitarnya. “Tante Nora yang memintaku kemari untuk mengantarkan ini.” Aluna menyerahkan lunch box yang dibawanya, tapi saya Xavier sama sekali tidak memperdulikannya. Tangan pria itu bahkan tidak bergerak sedikitpun dari posisinya yang sedang bersedekap dada.Aluna menggigit bibir bawahnya. Rasa tidak percaya diri itu mul
“Surprise….”Xavier mendengus kesal, matanya menatap malas pada sosok Reyhan dengan senyum sejuta pesona di wajahnya. Dari sekian banyak hari dan waktu, kenapa sahabatnya itu harus datang di waktu yang tidak tepat.Xavier menolehkan kepalanya ke belakang, memastikan bahwa Zoe tidak atau belum keluar dari kamar, sementara tangannya menahan pintu agar Reyhan tidak masuk ke dalam.“Buka dong, aku bawa kabar bagus nih!” ucap Reyhan berusaha untuk masuk ke dalam.“Aku sibuk! Datang saja lain waktu,” sahut Xavier menolak kedatangan Reyhan mentah-mentah.Reyhan menghela napas panjangnya. Kakinya ia gunakan untuk menahan daun pintu ketika Xavier akan menutup pintu apartemennya. Matanya memelas memohon agar diperbolehkan masuk.“Aku benar-benar sibuk, Rey!” ujar Xavier menekankan setiap kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Kembalilah dua jam lagi, oke?”Reyhan mengernyitkan keningnya. Xavier memang tidak terlalu suka menerima tamu, tapi kelakuan sahabatnya ini membuat sisi hatinya bertanya-t
“Bawa ini bersamamu. Xavier sangat menyukainya.” Nora menyerahkan lunch box berisi bubur kacang marah kepada Aluna.“Tapi….” Aluna meremas lunch box yang sudah ada di tangannya. Kata-kata Xavier masih terngiang-ngiang di otaknya. Laki-laki itu seakan tak pernah menyisakan tempat untuknya. Kata-katanya terlalu menohok dan menyakitkan.Nora tersenyum manis. Ia mengambil lunch box yang tadi diserahkannya pada Aluna, meletakkannya di atas meja lalu menggengam tangan wanita pilihannya itu. “Percayalah pada Tante, kamu adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk mendampingi Xavier.”Aluna menggigit bibirnya. “Tapi Xavier tidak menyukaiku, Tante.” Rengek Aluna seakan tak memiliki kepercayaan diri.Nora menepuk pelan pundak Aluna. Senyum di wajahnya tidak memudar sama sekali. “Tidak menyukai bukan berarti hatinya tidak akan pernah berubah, Luna. Kamu lihat Tante dan om, kami berdua menikah tanpa cinta. Tapi sekarang kami bisa hidup bahagia.”“Kamu menyukai Xavier kan?”Aluna tersenyum malu. W
Tangan Xavier sudah menyusup masuk mengusap perut Zoe, sementara bibirnya mulai mengecup basah setiap jengkal leher wanita itu tanpa jeda. “Eugghh…Eros….” Satu desahan lolos begitu saja dari bibir Zoe. Tubuhnya memang tak akan pernah bisa menolak sentuhan Xavier. “Iya, Angel? Katakan bahwa kamu juga menginginkanku,” balas Xavier. Zoe menggenggam tangan Xavier yang semakin merambat ke atas. Kepalanya menoleh ke belakang, menggeleng meminta Xavier menghentikan sentuhannya. Namun, permintaan kecil itu bagaikan angin lalu bagi Xavier yang sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Tangan Zoe yang tadi mencoba menghentikan gerakan tangan Xavier dihempaskan begitu saja, membuat tangan yang tadinya berhenti mengusap, kini mulai merambat naik mengusap dan meremas dua bongkahan padat milik Zoe.“Ahh…Eros….” Mata Zoe terpejam, menikmati sensasi nyeri sekaligus nikmat yang diciptakan oleh Xavier. “Mendesahlah dan panggil namaku, Angel. Aku menyukai saat kamu menikmati semuanya,” sahut Xavier dengan
Zoe melirik wajah Xaver beberapa kali. Kalimat yang diucapkan Xavier saat di ruang dokter obgyn tadi membuatnya berpikir berulang kali kenapa Xavier mengatakan hal itu. Hubungan mereka tertutup dan tidak diketahui oleh siapapun. Namun, sekarang Xavier seolah ingin mempertontonkan hubungan mereka di depan khalayak ramai.Seperti saat ini, setelah berkonsultasi dengan dokter obgyn, Xavier mengajaknya pergi ke mall untuk membeli kebutuhan dapur. Meski berjalan tanpa bergandengan tangan. Namun, kebersamaan mereka bukan tidak mungkin bisa dikenali oleh orang yang mereka kenal. Biasanya selama ini mereka selalu bertemu di apartemen atau hotel.“Apa kamu pembantuku?” celetuk Xavier yang sibuk memilih beberapa jenis daging.“Huh…?” sahut Zoe. Ia mengusap belakang lehernya sambil melemparkan senyum dua belas jari.Xavier mendengus kesal. Tangannya memasukkan beberapa potong daging ke dalam troli yang dibawanya. Bukan tanpa alasan Xavier berkata seperti tadi, Zoe yang sejak tadi turun dari mobi