LOGINArabella merebahkan tubuhnya di atas kasur, menikmati nyamannya ranjang yang setiap hari ditiduri oleh Zoe. matanya menatap langit-langit kamar Zoe. kontrakan kakaknya ini memang kecil, tapi terasa nyaman.Bangun dari posisinya, Arabella mulai duduk di meja belajar Zoe. Di depannya ada laptop Zoe dalam keadaan mati, jari telunjuknya menekan tombol power menyalakan laptop tersebut, tapi sayangnya laptop tersebut menggunakan sandi untuk melihat halaman utamanya.Tak ingin kerja kerasnya sia-sia, Arabella mencoba memasukkan beberapa sandi yang mungkin digunakan oleh Zoe. Namun, sayangnya tidak satupun sandi yang dimasukkannya benar.Mendengus kesal, Arabella memilih mematikan laptop kakaknya, kali ini tujuannya berpindah pada tumpukan buku-buku yang ditata rapi di meja belajar. Satu persatu buku itu dibukanya, tapi lagi-lagi Arabella tidak menemukan apapun.“Apa dia benar-benar tidak memiliki rahasia?” Arabella menggigit kukunya. Kepanikan mulai melandanya karena suatu alasan. Tadi Nora
“Hist…dasar egois!” umpat Zoe.Bibirnya mencebik, matanya membulat jengkel. Telinganya lelah mendengar kata-kata yang sama yang selalu keluar dari mulut Xavier. Pria itu bersikukuh tidak ingin melepaskannya tapi tidak mau memberikannya kepastian.“Berikan aku waktu.”Zoe yang tadinya hendak meninggalkan Xavier, mengurungkan niatnya. Matanya menatap lurus manik mata Xavier yang tengah menatapnya. Sorot mata Xavier menunjukkan keseriusan, begitu juga dengan wajahnya.“Aku butuh waktu untuk meyakinkan diriku, jadi berikan aku waktu,” ucap Xavier kembali mengulang ucapannya.Xavier sadar bahwa hubungan mereka tidak mungkin hanya berjaan seperti ini. Zoe memang ada di genggamannya, tapi tidak ada yang menjamin jika wanita itu tidak akan pergi meninggalkannya.Kehadiran Adam yang mulai mengganggu pikirannya juga membuat hatinya was-was. Bukan tidak mungkin Zoe berpaling pada pria yang lebih baik dan lebih bisa memberikan masa depan untuknya.Xavier menepuk pahanya, meminta Zoe untuk duduk d
“Benarkah? Apa kamu yakin?” Xavier tersenyum samar. Ia membalas pelukan Zoe. Kepalanya ia sandarkan di bahu wanita yang telah mengisi hari-harinya, bermanja-manja di sana. Hanya beberapa menit sebelum ia menguraikan pelukan mereka.“Bukankah tadi kamu sulit menjawab pertanyaan ku tentang perasaanmu padaku. Lantas kenapa sekarang kamu mengatakan bahwa kamu akan menemaniku?” Mata Xavier menatap, penuh tuntutan pada Zoe. Sekali lagi dia ingin membuat Zoe sadar bahwa wanita itu mulai menyukainya.Zoe berdehem. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mendadak gugup. Sekali lagi mungkin apa yang dikatakan oleh Xavier memang benar, dia mulai menyukai pria di hadapannya ini. Tapi, menyukai tanpa ada balasan bukankah itu sama saja dengan mencari penyakit. Dia akan lelah sendiri karena menunggu sesuatu yang tak pasti: perasaan Xavier, tidak ada yang tahu kecuali pria itu sendiri.Segala sikap posesif dan perhatian yang ditunjukkan oleh Xavier, tidak bisa dijadikan patokan tentang bagaimana pera
“Astaga…dia selalu tahu caranya membuat aku mati kutu,” gerutu Zoe di depan lemari es. Sebotol air mineral tandas dalam sekali tenggak. Tidak hanya pipinya yang terasa panas, suhu tubuhnya juga seakan naik hanya karena ucapan tak bermoral Xavier.Usai melihat Xavier masuk ke dalam kamar mandi, Zoe segera meninggalkan kamar Xavier. Telinganya tidak ingin lagi mendengar suara-suara tidak bermoral yang meluncur tanpa di filter itu. Bisa saja Xavier mengeluarkan suara-suara tak berfaedah di dalam kamar mandi saat menuntaskan kebutuhannya.Zoe menyandarkan tubuhnya pada sandaran bar. Matanya menatap ke atas melihat langit-langit tempatnya berdiri saat ini. Sepintas kata-kata Xavier tentang perasaan yang dirasakannya, mendadak mengusik otaknya.Jika memang dia mulai mencintai Xavier, apakah pria itu juga mencintainya? Atau Xavier memang hanya ingin menjadikannya pelampiasan nafsu tanpa ada kejelasan.“Mau makan sesuatu?”Zoe membalik tubuhnya, matanya menatap tanpa berkedip sosok Xavier yan
“Jangan!” Kepala Zoe menggeleng, matanya menatap penuh mohon pada Xavier. Xavier tersenyum miring. Jari-jari tangannya bergerak menyentuh wajah Zoe dengan pelan dan ibu jarinya berhenti di bibir Zoe, menekannya pelan. “Kenapa? Apa bersamaku sangat memalukan?” Wajah itu kembali mengeras. Matanya berkilat semakin tajam. Meski setiap ucapan yang dikatakannya terdengar pelan, tapi rasanya begitu menuntut. “Bukan begitu, hanya saja….” Zoe memberanikan diri menatap mata Xavier, mencoba menyelami pikiran laki-laki di depannya ini. “Bukankah hubungan kita memang tidak untuk dipublikasikan. Sejak awal kita hanya terikat karena suatu perjanjian,” lirih Zoe. Suaranya begitu pelan, tapi masih bisa didengar oleh Xavier. “Perjanjian…?” desis Xavier. “Jadi kamu bersamaku hanya karena perjanjian?” sambungnya. Zoe menggigit bibir bawahnya. Tangannya meremas pakaian yang dikenakannya. Kata-kata bernada dingin yang keluar dari mulut Xavier seperti sebuah alarm yang mencoba memperingatkannya bahwa
“Angel…?”Kening Xavier mengkerut saat melihat Zoe duduk di depan pintu apartemennya, wajah wanita itu disembunyikan di antara dua kakinya. Xavier yang tadinya berjalan sempoyongan, segera menegakkan punggungnya seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal saat ini Xavier sedang menahan rasa sakit sekaligus perih di punggungnya akibat pukulan benda tumpul.“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Xavier yang saat ini ikut berjongkok di depan Zoe.Zoe menatap diam dan dalam wajah Xavier. Tangannya terjulur mengusap sudut bibir Xavier yang memar. “Kamu berkelahi?” tanya Zoe terdengar perhatian.Xavier tersenyum samar. Tangannya menggenggam tangan Zoe, mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam apartemennya.“Tadi aku menelponmu, tapi….’“Akkhh….”Suara Zoe berubah menjadi jeritan ketika tubuhnya tiba-tiba saja melayang dan berpindah di atas bar. Tubuh Zoe menegang seiring lengan kekar Xavier yang merengkuh tubuhnya dengan posesif. Mata Xavier menatap tajam dan dalam wajah Zoe, seolah menguncin







