Aku melangkah ke rumahku setelah mengucapkan terima kasih kepada Mas Ragil yang sudah mengakui kalau dia adalah calon suamiku.“Dek Mina! Kamu marah?” katanya sambil mengiringi langkahku.Aku menoleh padanya kesal, “Nggak! Nggak marah!”“Tapi kok cemberut begitu bilang terima kasihnya?” tanyanya semakin membuatku kesal.“Mas! Ingat, ya! Kita ini belum sah! Jadi, jangan sok-sokan ikut campur urusan aku, apalagi buat nurutin kemauan kamu, Mas! Oke?”“Maksud aku itu baik, Dek! Biar laki-laki itu nggak deketin kamu terus!” katanya membela diri.“Mas! Aku tuh cuman nggak suka aja, caranya, tiba-tiba datang, tiba-tiba ngomong begitu, siapa yang nggak kesel coba? Aku kan jadi nggak enak, Mas!”Waktu aku berbicara seperti itu dan kami bertatapan, kulihat sinar matanya sangat menunjukkan kesedihan. Oh aku menjadi merasa bersalah sekali.“Maaf, ya, Dek!”Meskipun aku kasihan, tapi aku tidak menggubris ucapannya itu, lalu masuk begitu saja dan menutup pintu serta menguncinya lagi. Setel
Aku masuk ke rumah setelah mengucapkan salam dan membuka sepatu, tanpa menunggu orang di dalam menjawab salamku. Ruang tamu tampak sepi dan ibu adalah orang yang pertama kali keluar untuk melihatku. Anehnya bukan reaksi senang yang ia tunjukkan sebagaimana layaknya seorang ibu yang senang ketika melihat kedatangan anaknya. Melainkan wajah cemberutnya yang terlihat tidak enak di mataku. Aku lebih heran saat ia bertanya, sambil mengerutkan alisnya.“Loh, kok, kamu sudah pulang, Mina? Memangnya kamu nggak kerja besok?”“Astagfirullah, Bu ...! Anaknya pulang bukannya disambut tapi malah dimarahin, sih? Apa ibu nggak sayang, sama Mina?”“Ya, kan, ibu cuman tanya, bukan berarti nggak sayang, kamu ini mikirnya gimana jadi anak?”“Iya! Aku nggak bisa mikir sepintar Ibuk, akun ggak pintar seperti Ibuk!” Aku langsung berlari ke kamarku sendiri, bukan karena takut ibuku ngomel lagi, tapi karena penasaran seperti apa kamarku setelah direnovasi. Apakah sama dengan yang diceritakan Mas Ragi
Keesokan harinya, saat aku masih menikmati suasana pagi di halaman rumah, kulihat beberapa orang berdatangan dan masuk ke rumah melalui pintu samping yang langsung menuju ke area dapur. Mereka adalah, saudara ibuku, tetangga dan juru masak yang dipercaya untuk membuat menu makanan kenduri. Acara empat bulanan Linda akan dilaksanakan pada siang hari selepas dhuhur dan setelah itu, baru dilangsungkan acara lamaran. Rangkaian acara itu sengaja digabung menjadi satu mengingat para pelaku acara adat dan akad adalah orang jauh. Selain itu, menurut bapak, untuk menghemat biaya dan waktu. Rumahku cukup besar, untuk mengadakan acara seperti itu tanpa harus menyewa gedung. Teras rumahku saja sengaja dirancang sedemikian rupa oleh bapak hingga cukup untuk menyimpan lima mobil sekaligus. Walaupun, sebagian besar halaman masih berupa tanah, tapi itu cukup sepadan.Belum lagi halaman yang ada taman bunga hias kebanggaan ibu. Agak bergeser ke kanan ada toko ikan hias milik Landu yang juga bisa
Hari menjelang malam, saat aku terbangun dari sujudku yang panjang, setelah sholat isya. Aku mengucapkan banyak syukur karena sampai detik ini Allah banyak memberiku kebaikan. Namun, munajatku terganggu saat ada suara mobil berhenti di halaman dan membunyikan klakson. Aku mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Linda beserta suaminya, mereka turun dari kendaraan dengan membawa banyak bungkusan.“Assalamualaikum!” Kudengar suara Linda mengucapkan salam.Linda langsung masuk dan menemui ibu beserta semua saudara yang sudah berdatangan. Bukan hanya itu, kulihat ia bolak-balik ke mobil, karena membawa banyak oleh-oleh dan juga makanan yang akan menjadi pelengkap hidangan. Sementara Abid, suaminya itu tampak masih bersandar di badan mobil, untuk menelepon seseorang. Lalu, ia berjalan mendekati jendela kamarku, entah disadari atau tidak hingga aku bisa mendengar apa yang dia katakan dengan lawan bicaranya melalui benda pipih itu.“Apa kamu nggak pertimbangan
❤POV author. Selamat membaca! ❤️“Mana rombongan calon suami Mbak Mina? Kok, belum datang, sekarang lamarannya, kan?” tanya Linda begitu Mina menampakkan diri di hadapan semua orang yang terlihat duduk-duduk di ruang tengah keluarga.Gadis berkulit kuning langsat dan berwajah bulat telur itu menengok ke arah pintu masuk. Ia tidak melihat siapa pun di luar sana selain Abid yang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Hatinya sedikit kesal dengan pria itu, tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain bersikap biasa saja padanya.Mina yang memiliki sifat pelupa, mudah emosi dan telat mikir itu, pun mendekati ibunya. Namun, sebelum Mina sempat bertanya, Syanita sudah menepuk bahunya.“Kamu sudah mandi apa belum tadi sore?” tanyanya. Tentu saja Mina heran, ia yakin kalau ibunya pasti mendengar ucapan Linda, tapi ia justru bertanya soal dirinya yang sudah mandi atau belum. Memangnya apa hubungannya?“Ih Ibuk ini! Ya sudah, dong!” sahut Mina penuh percaya diri.“Ya sudah, kalau s
“Jadi, walaupun sebenarnya ini salah paham, tapi saya terima, walaupun saya sebenarnya tidak sungguh-sungguh minta sawah! Jangan nilai saya perempuan materialistis!” kata Mina dengan lugas.“Jadi, intinya saya diterima, kan?” tanya Ragil dengan menatap lembut calon istrinya.Mina mengangguk dan semua orang mengucapkan syukur. Setelah itu doa-doa kebaikan pun meluncur dari mulut semua orang untuk mereka. Harapan terbesarnya adalah lancarnya acara pernikahan, lebih lancar dari lamarannya yang diselingi sedikit drama. Syanita begitu bahagia, setelah acara makan malam bersama selesai, kini mereka tengah duduk2 sambil bercengkrama. Wanita itu menarik tangan Ragil untuk berbicara dengan intens di dekat meja makan. Tidak ada yang berani mengganggu mereka sebab semua orang bisa melihat betapa seriusnya dua orang itu bicara.“Gil, Ibu ingetin kamu sekali lagi! Sebelum kamu menikahi anak Ibuk, kamu boleh mikir lagi!” “Ya, Bu, saya mantap menikah sama Mina!”“Baik, tapi dia mungkin nggak
“Mas! Kamu berhutang penjelasan padaku!” aku berkata, sambil mengacungkan jari telunjukku di depan wajahnya.“Soal apa?” Mas Ragil balik bertanya, membuatku kesal saja, memang dia laki-laki tidak peka.Aku melihat lebam-lebam yang cukup jelas, di pipi dekat telinga sebelah kirinya, dan waktu aku bertanya soal penyebabnya, tadi dia tidak menjawab. Seharusnya dia tahu kalau aku penasaran soal itu. “Oh, iya, Mas! Kenapa hp-mu nggak bisa dihubungi?” tanyaku lagi.“Oh tadi mati, ya sudah kalau gitu, aku sekarang ke hotel dulu ....besok kita ketemu dan ngobrol lagi kalau sudah sah jadi suami istri, oke?” katanya serambil berbisik di dekat telingaku.Ups! Kepalanya dekat sekali dengan kepalaku membuat aku memundurkan posisi kepala agar tidak terlalu dekat. Dasar! Mas Ragil ini tadi bilang tidak boleh memeluk karena belum jadi muhrim, tapi dia malah dekat-dekat seperti itu.Aku melihat rombongan calon suamiku pergi, dan 12 orang itu menggunakan mobil, yang sama mewah serta bagusnya. Na
“Mbak Mina, kenal sama Firman, kan? Dia saudaraku, Mbak! Dia mau datang ke acara pernikahan Mbak besok!” Itu bunyi pesan yang sepertinya akan menimbulkan banyak masalah, maka aku langsung menjawab pesan, saat itu juga dengan menolaknya secara tegas. Aku punya firasat bahwa memar di wajah Mas Ragil ada hubungannya dengan dua orang itu—Abid dan Firman. Walau aku tidak tahu apa pun penyebabnya, tapi tatapan mata Abid dan Mas Ragil saat bertemu di ruang tamu dan ruang makan tadi malam, sudah menjelaskan semuanya. Jelas sekali ada amarah menyala pada tatapan mereka. Setelah sholat subuh, aku masih merenung di atas sajadah tentang kehidupanku selanjutnya, akan seperti apa nanti jika masalah antara aku dan Abid akan terkuak, sebab sebuah rahasia tidak akan tersimpan selamanya.Namun, pernikahan ini sudah aku setuju, dan demi membantu menyempurnakan separuh agama calon suami. Oleh karena itu aku yakin untuk menjalaninya sepenuh hati. Aku memejamkan mata untuk meluruskan niat melaksanak