Hah?!" seruku spontan. Suara yang keluar dari mulutku mungkin sedikit terlalu keras, sampai-sampai beberapa pelatih di seberang kolam menoleh.
Arief cuma nyengir, santai banget, seolah baru saja menyuruhku beli gorengan, bukan jual diri. "Ya lo pikir selama ini kita bisa dapet murid tetap gara-gara ngajarin gaya katak doang?" Mulutku setengah terbuka. Masih belum yakin kupingku nggak salah dengar. "Gua serius, Dion," lanjutnya. Nada suaranya turun, tapi matanya tetap nakal. "Klien-klien di sini nggak butuh juara renang nasional. Mereka butuh hiburan. Temen curhat. Objek fantasi. Kalau lo terlalu polos, ya susah dapet job." Aku masih membeku, keringat dingin mulai mengucur. Di saat aku masih berusaha mencerna kata-katanya, tiba-tiba terdengar panggilan dari arah kantor. "Dion!" teriak Bu Rani dari ambang pintu. Arief langsung berdiri, menepuk pundakku sambil nyengir. "Good luck, Bro. Dunia ini keras." Aku melangkah cepat ke arah Bu Rani, menahan napas sepanjang jalan. "Iya, Bu?" "Ada murid baru hari ini," katanya tanpa basa-basi. "Baru pertama kali datang. Semua pelatih udah ada jadwal masing-masing, jadi kamu yang handle." Aku mengangguk, masih mencoba terlihat tenang. "Ingat, Dion. Ini kesempatan kamu. Murid baru biasanya belum punya preferensi. Kalau kamu bisa bikin dia nyaman, dia bisa jadi murid tetapmu. Paham?" "Paham, Bu," jawabku cepat. "Dan jangan lupa wejangan saya. Di tempat ini, pelatih yang cuma bisa ngajar teknik nggak akan bertahan." Kalimat itu seperti direkam otakku. Aku mengangguk lagi, lalu pamit dengan senyum setipis kertas. Keluar dari kantor, otakku mendadak penuh, campur aduk antara ucapan Bu Rani dan... Arief. Jual teknik. Jual diri. Apa-apaan, sih? Masih sibuk mikir, aku belok ke arah ruang tunggu, dan tanpa sadar— BRAK! Tubuhku membentur sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Aduh!" Seketika aku panik. Seorang perempuan terjatuh ke lantai marmer. Aku langsung jongkok dan reflek mengulurkan tangan. "Maaf! Maaf banget! Saya nggak liat jalan!" ucapku panik. Perempuan itu, masih menunduk, mengusap lututnya yang tadi membentur lantai, lalu mengangkat wajahnya. Dunia seakan berhenti berputar. Wajah itu. Wajah yang sangat aku kenal. Itu... perempuan dari mimpi semalam! Tapi kali ini dia nyata. Bukan ilusi. Bukan imajinasi becek tengah malam. Dia ada di depanku, lengkap dengan napas lembut dan tatapan mata teduh. Kulitnya putih mulus, pipinya merona, dan bibir mungilnya sedikit terbuka karena terengah. Tapi yang paling bikin degup jantungku makin brutal … adalah bagian dadanya. Payudaranya terlihat penuh, menekan ketat kain tipis sport bra yang basah oleh keringat, memperlihatkan lekukan menggoda yang susah diabaikan. Dada itu naik turun pelan saat dia mengatur napas. Kenyal, besar, dan... sial! Pikiranku mulai nggak beres! "Umm... Kak?" suaranya pelan, agak bingung melihatku bengong seperti orang bego. "Eh, iya! Maaf, maaf banget!" Aku buru-buru menarik tangannya, membantu dia berdiri. Tangannya halus dan hangat. Sialan, jantungku makin nggak karuan. "Nggak apa-apa, kok. Aku juga salah, lari-lari nggak lihat jalan," katanya lembut. Lembut. Itu kata yang langsung menempel di kepalaku. Dia beda. Beda banget dari sosialita bising yang biasa mondar-mandir di kolam. "Ehm... Kakak tahu nggak, ruang ganti perempuan di mana ya?" "Oh, itu... belok kanan, lurus, habis vending machine, kiri," jelasku, agak gugup. "Makasih ya, Kak..." Dia tersenyum lagi, dan sumpah, senyum itu bisa bikin gula darah naik drastis. Dia pun melangkah pergi. Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh... dan kemudian— "Wuihh... siapa tuh, bahenol amat," suara familiar memecah lamunanku. Dimas. Dengan handuk di leher dan ekspresi norak, dia bersiul dan melirik ke arah perempuan tadi yang baru menghilang di balik lorong. "Gede amat tuh, ya?" sambungnya sambil mengarahkan dua tangannya seperti menggendong sesuatu di depan dada. Dasar nggak ada sopan santun. Aku mendesis pelan. "Gak tahu, kayaknya murid pelatih lain." "Masa sih? Kalau iya, udah gua rebut kali, murid seksoy gitu." Aku menghela napas. Dimas memang spesies manusia yang bikin heran. Kasar, sok ganteng, tapi entah kenapa muridnya banyak. Mungkin karena modal bacot dan percaya diri setinggi langit. "Gua duluan, Bang Dim," ucapku singkat. Ilfeel maksimal. Aku pun duduk di tepi kolam, menunggu murid baruku yang katanya bakal datang. Tapi pikiranku terus melayang. Perempuan tadi... Kenapa wajahnya bisa persis seperti perempuan di mimpi semalam? Aku yakin belum pernah lihat dia sebelumnya. Kalau pernah, gak mungkin aku ngelupain wajah kayak gitu. Belahan dada montok yang nyaris tumpah, pinggang ramping, paha mulus yang seolah sengaja dipahat untuk menggoda. Dan cara dia tersenyum barusan… itu godaan yang mampu menarik hati para pria! Dan Dimas juga bilang dia bukan murid pelatih lain. Berarti... jangan-jangan... Nggak, nggak mungkin. Kebetulan banget gitu? "Kak Dion?" Suara lembut itu menyentakku. Aku menoleh cepat. Dan jantungku nyaris copot. Itu dia. Cewek tadi. Rambut panjangnya menempel di bahu dan leher jenjangnya, dengan air yang menetes perlahan mengikuti lekuk kulitnya. Handuk menggantung santai di bahu, sementara swimsuit one-piece yang dikenakannya tampak seperti perangkap. Kain hitam tipis itu menempel erat, menonjolkan payudara bulat yang terbentuk sempurna, dengan garis puting samar yang tak sengaja mencuri perhatian. Perutnya rata, pahanya mulus dan padat, dan caranya berdiri... seperti sadar betul dirinya sedang diincar, tapi memilih pura-pura tak tahu. "Ternyata Kakak yang namanya Kak Dion," katanya geli, lalu menjulurkan tangan. "Salam kenal. Namaku Bunga. Mulai hari ini, aku murid baru Kakak." Aku menatap tangan itu, lalu menatap wajahnya lagi. Mimpi semalam … jadi realita sekarang. Kebetulan gila macam apa ini?! ****Begitu sampai di kelab. Aku melangkah ke dalam gedung kelab, entah kenapa suasananya terasa lain. Tidak ada suara tawa para pelatih lain, tidak ada hiruk pikuk anak-anak yang biasa latihan. Lampu koridor redup, dan hanya terdengar suara langkah sepatuku sendiri. Hati ini terasa tidak tenang, seperti ada sesuatu yang berat menungguku di ujung sana.Aku menelan ludah saat berdiri di depan pintu ruang Bu Rani. Tanganku sempat ragu untuk mengetuk. "Ada apa sebenarnya, Bu Rani sampai menelepon pagi-pagi, mendadak?" pikirku. Nafasku terasa berat. Aku hanya berharap ini tidak ada kaitannya dengan Bunga.Kuketuk pelan, dan dari dalam terdengar suara tegas yang sudah sangat kukenal."Masuk..."Begitu pintu terbuka, langkahku terhenti seketika. Di ruangan itu tidak hanya ada Bu Rani. Duduk di hadapannya, seorang perempuan dengan penampilan luar biasa elegan. Rambutnya panjang terurai rapi, kulitnya bersih, postur tubuhnya tegak berwibawa. Busana yang ia kenakan jelas bukan dari kelas biasa, bla
Aku menatap Bunga yang kini berdiri di hadapanku. Wajahnya masih cantik seperti dulu, tapi tatapan matanya... dingin, tajam, seperti menuntut sesuatu yang tak bisa kutolak."Pokoknya aku mau Kak Dion jangan melatih dia!" ucapnya dengan nada tegas. Suaranya bergetar, tapi matanya mantap menatapku tanpa gentar. "Kalau tidak… jangan cari aku lagi."Aku terpaku. Kata-katanya menggema keras di dalam kepalaku. Seolah seluruh udara di ruangan ini menghilang, meninggalkan aku sendirian dalam kekosongan yang menyesakkan."Bunga…" hanya itu yang keluar dari mulutku, lirih dan nyaris tanpa suara.Beberapa hari aku mencari dia, mencarinya ke tempat-tempat lama, menanyakan pada orang-orang yang mungkin tahu di mana dia tinggal. Aku pikir, saat aku menemukannya lagi, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata tidak semudah itu.Aku menunduk, mencoba mengatur napas, tapi dadaku terasa begitu berat. Dalam hati aku bergumam, "Aku harus gimana? Kalau aku berhenti melatih Putri, dia bisa macam-macam. D
Aku hanya memperhatikan dengan senang ketika Bunga mulai membuka resleting celanaku dan kemudian menurunkan celanaku, hingga akhirnya tampak tonjolan di balik celana dalamku. Aku tersenyum, Bunga melirik ke arahku dengan senyuman genit."Beneran sudah keras, Kak" ucapnya seolah kagum melihat pemandangan dibalik celana dalamku."Iya, Sayang. Sejak tadi aku sudah nahan, sekarang lakukan lah," balasku tersenyum.Dia memberikan senyuman seraya mengangguk, tangannya kemudian menurunkan celana dalamku sehingga tampaklah kejantananku yang sudah berdiri tegak."Wahhhh keras banget sih, Kak? Aku kangen ini...""Ayo, Sayang. Lakukan," pintaku yang sudah tidak tahan lagi.Yang akhirnya dia memegang kejantananku dan mulai menggerakkan tangannya dengan lembut. "Hhmmm ... Ahhh, enak, Sayang... Terus..."Aku benar-benar merasakan kenikmatan dengan gerakan tangannya. Dia hanya tersenyum melihat ekspresiku yang menikmati gerakan tangannya. Rasanya benar-benar nikmat, tangannya yang lembut dan putih
Aku menatap wajah Bunga yang kini begitu dekat. Matanya yang lembap masih menyisakan sisa air mata, tapi senyum tipis di bibirnya membuat dadaku bergetar hebat. Aku mengusap lembut pipinya, merasakan hangat kulitnya di telapak tanganku."Bunga," ucapku dengan suara yang nyaris bergetar, "aku janji… aku nggak akan mengulanginya lagi. Aku akan jaga kamu, dan aku akan jaga perasaan ini."Bunga menatapku, seolah mencoba memastikan kalau kata-kataku bukan sekadar janji kosong. Lalu, tanpa kata lagi, ia tersenyum kecil, senyum yang selama ini kurindukan dan perlahan mendekat.Bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, tapi kali ini tidak seperti sebelumnya. Ada kehangatan yang dalam, ada rindu yang seolah meledak begitu saja. Aku memejamkan mata, membalas dengan perasaan yang selama ini kutahan. Semua luka, marah, dan penyesalan luruh di antara napas kami yang menyatu.Sentuhan itu semakin dalam, tapi tetap lembut, bukan karena hasrat semata, melainkan karena kami berdua tahu betapa berharga
Aku menatap Bunga tanpa berani berkata apa pun. Waktu seolah berjalan lambat, setiap detik membuat jantungku berdetak semakin kencang. Suara hujan samar dari luar jendela menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruang hening di antara kami. Aku menggenggam lutut, mencoba menahan kegelisahan yang makin menekan dada."Bunga…" suaraku lirih, hampir tak terdengar. "Aku cuma pengin dengar langsung dari kamu. Siapa pria itu? Aku janji nggak akan marah, tapi aku harus tahu."Bunga mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya dalam, tapi tenang. Ada semacam ketegasan yang membuatku justru semakin gugup. Ia menatapku lama, seolah mencari kekuatan untuk menjawab sesuatu yang berat.Akhirnya, dengan nada pelan dan sedikit serak, ia berkata, "Dia itu sopir aku, Kak. Orang suruhan Papah. Sejak aku masih SMA, dia memang selalu ditugaskan untuk nemenin aku ke mana pun."Aku tertegun. Suara itu bergema di kepalaku berulang-ulang. "Sopirku… orang suruhan Papah…"Untuk beberapa detik, aku tidak bisa merespo
"Bunga…" suaraku serak saat menatap wajahnya yang kini hanya sejengkal di depanku. "Aku sudah mencarimu ke tempat-tempat lama kamu tinggal. Aku bahkan sempat datang ke rumahmu, tapi satpam bilang kamu nggak pernah pulang."Aku menarik napas dalam, menahan rasa sesak di dada. "Aku benar-benar terpuruk tanpa kamu."Bunga hanya diam. Tatapannya menembusku, seolah ingin memastikan apakah kata-kataku bisa dipercaya. Di balik tatapan itu, ada luka yang belum sembuh, ada kesedihan yang begitu dalam hingga membuatku ingin memeluknya dan meminta waktu berbalik.Aku menggenggam tangannya sedikit lebih erat. "Tolong," ucapku nyaris berbisik. “l"Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya. Sekali aja."Bunga menunduk. Bahunya bergetar halus. Untuk sesaat, aku takut kalau dia akan menangis, tapi kemudian dia mengangkat wajahnya perlahan. Suaranya terdengar lirih, namun tajam menembus perasaanku."Aku benar-benar kecewa, Kak Dion…" ucapnya pelan. "Seseorang yang aku sayang, ternyata pergi dengan per