"Kak Dion berbaring aja, biar aku yang main di atas," ucap wanita itu dengan senyum nakal menggoda. Napasnya memburu saat dia duduk di pangkuanku.
Payudaranya nyaris menyentuh wajahku, dan aku pun mencondongkan wajahku, mencium, menggigit ringan. Dia mendesah, pinggulnya bergerak perlahan. Nikmat. Terlalu nikmat. "Ahhh... Terus, Kak..." Tubuhnya naik turun. Gerakannya belum cepat, tapi tiap gesekan membuatku nyaris kehabisan kendali. Aku mencengkeram pinggulnya, menahan hasrat untuk membalikkan badan dan mengambil alih. "Lebih cepat, Sayang," pintaku, yang langsung diturutinya dengan mempercepat gerakan, membuatku tidak kuat menahan aliran darah yang makin memuncak. “Sedikit lagi ….” "Ahhh... Iya, Kak.. kita keluarkan bareng-bareng..." Suaranya terdengar lembut dan menggoda membuat aku makin bernafsu, dan wangi tubuhnya benar-benar menambah gairah dalam diri ini. Dia terlihat begitu cantik, wajah memerah, rambut berantakan, dan ekspresi yang seakan memintaku untuk segera melepaskan sesuatu yang kini rasanya seperti sudah di ujung. Tidak berselang lama desahannya semakin keras dibarengi dengan gerakannya yang makin cepat. Di saat itu juga, aku tak tahan lagi. “Arghh...!” Segalanya meledak. Tubuhku bergetar, napas tersendat, dan... BRUK! “Aduh!” Aku menabrak meja nakas sebelah ranjang dan sangat jelas telah jatuh dari kasur dengan selimut melorot dan celana pendek basah yang lengket di bawah. Masih ngos-ngosan, aku melihat sekeliling. Kamar kos sempit. Kipas berdengung. Tidak ada perempuan. Tidak ada kolam. Tidak ada suara manja yang memanggil "Kak Dion." “Gila … gua cuma mimpi …?” Aku bangkit setengah sadar, menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 07.45. Seketika, aku terbelalak. “Sial! Gua telat!” Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit, meraih handuk di gantungan, dan menyeka cepat keringat dingin yang membasahi tubuh. Kaus tipis dan celana training kuganti secepat kilat, hampir tersandung saat menarik celana ke atas. Kamar kosku sempit, cuma muat satu kasur single, meja kayu usang, dan lemari kecil yang mulai reot di salah satu pintunya. Bau kopi sisa semalam masih tercium samar dari cangkir di meja, bercampur aroma lembap khas kamar tak ber-AC. Aku mencomot roti tawar sisa kemarin yang terbungkus setengah di meja, menyelipkannya di antara bibir sambil menyambar tas selempang. Sandal kucalungi tanpa benar-benar melihat kanan kiri. Begitu pintu terbuka, udara pagi langsung menyergap. “Waduh, Dion, telat lagi?” sapa Pak Sardi, tetangga kos yang duduk santai di kursi plastik sambil menyeruput kopi. Aku hanya tersenyum singkat, roti masih di mulut. “Iya, Pak… pergi dulu ya,” jawabku, suaraku agak teredam tapi tetap datar dan mantap. Beberapa puluh menit kemudian, aku sampai di klub dalam kondisi setengah basah karena keringat. Tapi belum juga bisa bernapas stabil, seorang staf menyuruhku langsung ke ruang Bu Rani, manager kelab tempatku bekerja. ‘Fix, ini pasti kena omel,’ batinku meronta. Bagaimana tidak? Baru seminggu aku kerja di sini. Setelah dua bulan menganggur akibat memutuskan berhenti di kelab renang lama karena perselisihan internal, seorang teman memperkenalkanku posisi pelatih di kelab elite ini. Sebuah tempat mewah yang punya member dari kalangan sosialita, pengusaha, sampai artis. Katanya, pekerjaannya akan santai karena kebanyakan klien di sini tidak benar-benar niat belajar. Namun, kenyataannya, tekanan kerja di sini sangat gila. Semua serba profesional, aturan ketat, dan persaingan antar pelatih terasa seperti arena perang diam-diam. Aku tahu, satu kesalahan kecil saja bisa bikin aku dikeluarkan. Dan sekarang, baru seminggu kerja, aku sudah telat dan berakhir dipanggil manajer pagi-pagi begini. Dan benar saja, sesuai dugaan begitu masuk … aku sudah disuguhi wajah masam Bu Rani. "Pagi, Bu...." Aku berusaha menyapa seperti biasanya. "Duduk!" bentaknya yang langsung membuatku menangis dalam hati. Aku pun duduk di hadapannya selagi berusaha untuk tetap tenang, tapi jujur saja, jantung ini berdetak cepat menunggu vonis. "Kenapa kamu telat?" tanya Bu Rani tajam. Mataku melirik jam di dinding, 08:25, masih ada lima menit lagi sebelum jam kerja, tapi aku dinyatakan telat? Tidak ingin berdebat, aku pun menjawab, "Maaf, Bu. Saya lupa menyalakan alarm." "Kamu sadar tidak kalau kamu itu sedang kerja di sini? Bukan main-main! Baru juga kerja semingguan, tapi sudah berani telat. Kamu kira kelab ini punya kamu?!” Aku hanya bisa diam. Walau memang masih ada lima menit lagi menuju jam kerja, tapi melawan tegurannya yang notabenenya adalah bos di kelab ini sama dengan bunuh diri. “Maaf, Bu ….” Bu Rani menghela napas kasar, lalu memijit pelipisnya, seakan benar-benar pusing menghadapiku. "Bukan cuma telat, tapi sudah satu minggu pun kamu masih belum mampu menarik klien menjadi murid tetapmu.” Detik itu, aku mengangkat pandangan. ‘Ah, jadi ini masalah utamanya ….’ “Dengar ya, Dion. Di kelab ini, yang dilihat dari seorang pelatih bukan cuma soal kemampuan mengajarkan teknik saja, tapi kamu harus punya daya tarik juga! Kalau kamu tidak punya daya tarik, sampai kapan pun kamu tidak akan mendapatkan murid tetap! Paham?!" “Paham, Bu …" jawabku singkat, dusta. “Bagus. Kalau begitu, saya tegaskan sekali lagi sama kamu. Kelab kita ini tidak menggaji pelatih secara cuma-cuma. Kalau memang dalam satu bulan kamu tidak bisa mendapatkan murid tetap, kamu akan saya keluarkan!” Usai memberikan ultimatum itu, Bu Rani langsung menunjuk pintu keluar. “Sekarang, cepat lakukan pekerjaanmu!” Keluar dari ruangan Bu Rani, aku langsung pergi ke ruang ganti untuk mengganti baju. Setelah siap, aku pun kembali ke area kolam dan duduk sambil menunggu panggilan. Mengingat kalimat manager kelabku itu, aku menghela napas panjang, kembali merasa tertekan selagi menatap sejumlah pelatih yang sedang melayani murid mereka masing-masing. Omongan Bu Rani sebenarnya sangat masuk akal. Sebagai pelatih renang di kelab privat, memang tugas seorang pelatih bukan hanya mengajar murid, tapi juga membuatnya nyaman dan tertarik untuk terus belajar. Akan tetapi, member-member kelab ini seperti apa? Mereka adalah para sosialita yang sama sekali tidak niat belajar dan kentara hanya ingin memamerkan bikini mereka selagi bersenang-senang. Sedangkan aku? Aku hanyalah pelatih renang biasa yang cuma tahu caranya mengajarkan teknik renang! Gimana caranya aku mempertahankan murid-murid seperti mereka!? "Bengang bengong aja lo. Niat kerja nggak sih?” Dengan cepat aku menoleh karena sedikit kaget. Ternyata itu Arief. Salah satu pelatih senior yang sikapnya cenderung angkuh. Anehnya, banyak murid yang nempel padanya. "Maaf, Bang. Gua cuma lagi bingung aja," jawabku. "Bingung?" Dia mengernyitkan dahinya. “Bingung kenapa?” Akhirnya, aku pun menceritakan semua percakapanku dengan Bu Rani. Namun, bukannya prihatin, pria itu malah tertawa seakan meledek. "Hahaha, haduh, konyol banget!” ucapnya. “Jangankan satu bulan, kalo lo nggak ganti cara main, sampai tahun depan juga belom tentu lo dapet murid tetap, Yon! Bodoh banget sih!” Aku hanya diam mendengar perkataannya yang benar-benar meremehkanku. Melihatku terdiam dan tidak bereaksi, sepertinya Arief merasa sedikit canggung. Akhirnya, dia berdeham dan berkata, "Gini, gua kasih tau ya sama elo! Kalo lo mau bertahan di sini, jangan cuma jual teknik.” Dia menoleh ke kanan-kiri sesaat, lalu berbisik, “tapi lo harus jual diri." Sontak, mataku membesar. Aku menatapnya kaget dan berseru, “Hah?!” Ya, namaku Dion Pratama, seorang pelatih renang di sebuah kelab elite. Dan ini... adalah kisah tentang bagaimana aku belajar ‘melayani’ para sosialita yang haus hiburan dan sentuhan penuh sensasi. *****Aku terperangah, bibirku refleks bergerak. “Dari mana kamu—”Anya langsung menyandarkan tubuhnya ke kursi pengemudi, menatap lurus dengan tatapan percaya diri.“Kamu lupa, aku juga perempuan yang berasal dari kalangan atas. Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang hal semacam ini?”Lalu matanya meruncing tajam, menusukku.“Terutama karena hal ini bersangkutan denganmu.”Aku tercekat. Tenggorokanku kering, lidahku kelu. Rasa malu menyesak di dada, membuatku tak sanggup membantah atau sekadar mencari alasan.Di saat itu, jemari halusnya menyentuh bibirku lembut, kontras dengan tatapannya barusan.“Jangan memasang wajah seperti itu,” bisiknya lirih, nyaris menggoda. “Kamu tahu aku tidak akan memberitahukan hal ini pada siapa pun. Tapi…” ia berhenti sejenak, senyumnya miring. “Memikirkan bagaimana aku harus berbagi dirimu dengan wanita lain, rasanya agak… menyebalkan.”Aku memalingkan wajah, menepis sentuhannya. Dengan cepat kutarik handle pintu dan melangkah turun. “Aku… pergi.”BRUK!
Lampu kamera berkilat-kilat, menusuk mata.Aku berjalan cepat dengan jaket tebal menutupi kepala, menunduk rapat agar wajahku tak jelas tertangkap. Namun itu justru membuat mereka semakin beringas.“Dasar pecundang!”“Pembohong! Atlet palsu!”Makian bertubi-tubi menghantam, suaranya bercampur dengan suara klik kamera yang tidak berhenti.Aku mencoba menutup telinga, tapi suara-suara itu semakin keras, menggema dalam kepalaku. Nafasku tersengal, dunia seakan berputar.Lalu, di tengah hiruk pikuk itu, muncul suara tawa. Rendah, dingin, menusuk.Bayangan samar seorang pria berdiri tak jauh di depan, wajahnya buram, hanya garis senyum sinis yang terlihat jelas.“Dasar pecundang.”Tubuhku menegang, langkahku terhenti. Kata itu menusuk lebih dalam dari semua makian lain.Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tak keluar. Sampai akhirnya—-“Argh!”Aku terbangun dengan napas terengah.Keringat dingin membasahi pelipis, jantungku berdegup tak karuan. Sekilas masih terdengar gema tawa itu di kepal
“Anya!” Aku membentak, berniat menyingkirkannya dari atas tubuhku dan menyadarkannya. Tapi—“Ugh!”Saat kuingin mendorongnya, Anya malah mendorongku kembali ke atas kasur dengan tenaga yang entah kenapa sangat kuat!Aku berusaha bangkit lagi, tapi kali ini tidak bisa, dan saat kumenoleh, ternyata Anya sudah dengan cepat dan ahli mengikat kedua pergelangan tanganku dengan ikat pinggangnya!“Anya! Lepasin ini!” seruku, tubuhku meronta keras. “Kamu mabuk! Sadar dulu!”Tapi Anya malah tersenyum dan berkata, “Nggak akan, kamu harus puasin aku dulu ….”“Anya, lo—”Belum sempat aku mengatakan apa pun lagi, tiba-tiba tangan Anya langsung beralih ke resleting celanaku. Dia membukanya, dan menarik pakaian dalamku hingga kejantananku menyembul keluar.“Ugh!” desahan itu lolos tanpa bisa kutahan, tepat saat bibir Anya mulai menyentuh milikku itu dan mengulumnya.Kehangatan itu menyelubungi diriku, lembut tapi kuat, membuatku seperti ditelan gelombang yang terus datang silih berganti.Nafasku mul
“Jadi, itu alasannya Andini punya sifat seperti itu,” jelas Anya di akhir ceritanya.Setelah pernyataan Anya yang mengejutkan mengenai status Andini di keluarga Dharmawan, dia pun menjelaskan padaku mengenai asal-usul Andini yang sebenarnya.Dua puluh sembilan tahun lalu, Armand Dharmawan, pewaris tunggal keluarga inti Dharmawan menikah dengan istrinya. Tapi, selama empat tahun dia tidak juga dikaruniai keturunan, dan setelah diperiksa, diketahui istrinya tidak mampu mengandung. Walau didesak keluarga besar untuk mengambil istri lain demi mendapatkan penerus, Armand lebih memilih untuk mengangkat seorang anak, dan pilihannya jatuh pada Andini, putri dari sepupu jauhnya yang ia yakini memiliki kecerdasan luar biasa.Semua orang menganggap Andini sangat beruntung bisa terpilih sebagai penerus keluarga inti Dharmawan, tapi tidak ada yang tahu bahwa sejak hari itu, Andini seperti menyerahkan jiwanya kepada keluarga angkatnya. Setiap detail kehidupannya diatur agar sempurna. Dari sekolah
Suara musik berdentum, lampu neon berganti warna, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Aku duduk di kursi bar, menatap gelas berisi whiskey di depanku. Di samping, seorang perempuan cantik sibuk memberikan pesanan kepada pelayan. Suaranya lembut tapi tegas, khas seseorang yang sudah terbiasa memberi instruksi.Anya.Ya, perempuan itu kini duduk di hadapanku. Rambut panjangnya diikat kuda tinggi, kulitnya putih mulus disinari cahaya bar yang temaram. Blouse putih ketatnya menonjolkan dada penuh dan pinggang ramping yang terlihat nyaman dicengkeram. Dipadu dengan rok kulit hitam selutut dan stocking gelap yang menempel sempurna di kedua kakinya yang jenjang, penampilan gadis itu terlihat mampu membuat hampir semua pria yang lewat melirik lebih dari sekali.Lima tahun lebih aku berhasil menghindar darinya, dan kini, ironisnya, aku justru terjebak dalam meja kecil ini, hanya berdua dengannya.Bukan kebetulan.Raka sengaja melakukannya.Pria itu, dengan seenaknya, me
Bunga mendorongku duduk di kursi ruang ganti wanita, membuatku sedikit terkejut. Tidak kusangka dia akan menarikku ke sini dengan berani. Tak cuma itu, dia bahkan tidak membawaku ke dalam bilik, dan malah langsung mendorongku ke kursi. Apa dia tidak takut ada yang melihat? Namun, ketika Bunga langsung menduduki pangkuanku dan menempelkan bibirnya ke bibirku, otakku tidak lagi berfungsi. Nafsu mengambil alih. Persetan kalau ada yang melihat. Toh, kami dua orang terakhir di kelab ini. Dan waktu bersih-bersih staf juga sudah lewat. Hanya ada kami berdua di sini. Aku membalas ciuman Bunga dengan sama liarnya, mencengkeram pinggangnya erat hingga tubuhnya semakin menempel pada dadaku. Tanganku yang semula menahan pinggangnya, perlahan naik, lalu dengan gerakan ahli mulai melucuti tali tipis pakaian renang yang masih melekat di bahunya. Dalam beberapa sentuhan saja, kain itu melorot turun, memperlihatkan payudara indahnya yang membuatku menelan ludah. Tanpa permisi, tel