“Kak Dion?”
Panggilan lembut itu membuat lamunanku buyar, dan mataku menatap tangan Bunga yang masih terulur. “Eh, iya. Salam kenal juga, Bunga.” Aku menyambut uluran tangannya sambil tersenyum kikuk. Sial! Tangannya lembut banget! Bunga tersenyum lagi, matanya sedikit menyipit lucu, membuat wajahnya makin terlihat menggoda. “Jadi, kita mulai dari mana, Kak?” tanyanya polos. Aku menarik napas, mencoba tampil setenang mungkin. “Sebelumnya aku mau tahu dulu tujuan kamu belajar renang apa ya? Biar bisa aku sesuaikan materinya nanti.” Bunga terlihat berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu dengan ringan. “Hmm, sebenarnya nggak ada tujuan khusus, Kak. Aku cuma pengen belajar aja sih.” Aku terdiam sesaat, merasa agak bingung. Biasanya setiap murid yang datang ke klub ini punya alasan jelas, entah itu persiapan lomba, liburan, atau bahkan karena takut air. Tapi jawaban Bunga justru ambigu dan membuatku sedikit curiga. Apa mungkin benar ucapan Arief, bahwa para murid yang datang ke sini memang tidak punya niat serius belajar teknik renang? “Oke kalau gitu, kita coba dulu beberapa teknik dasar ya. Aku mau lihat dulu kemampuan kamu sampai mana,” kataku akhirnya. Bunga mengangguk antusias, lalu mulai berenang sesuai instruksiku. Awalnya aku cukup terkejut, ternyata Bunga mampu melakukan teknik-teknik dasar dengan cukup baik. Setidaknya sampai pada satu gaya tertentu, aku menemukan kesalahan kecil. “Bukan begitu,” ucapku spontan, tanpa pikir panjang tanganku langsung menekan pinggulnya. “Begini.” Tetapi posisi tubuh kami yang terlalu rapat membuat jemariku tanpa sengaja naik terlalu jauh ke atas, merasakan lekuk bawah payudaranya yang empuk dan kenyal di balik swimsuit tipisnya. “Ahh… Kak!” lenguh Bunga tertahan, tubuhnya langsung menegang dalam genggamanku. Aku refleks mundur sedikit, jantungku langsung berdegup liar. “M-maaf! Aku nggak sengaja!” ucapku cepat, berusaha menutupi rasa panikku. Dengan pipi memerah, Bunga perlahan menoleh menatapku, bibirnya gemetar seperti menahan malu, tapi pancaran matanya seakan memancarkan … gairah? “Nggak apa-apa, Kak,” jawabnya malu-malu sambil memasang senyuman lembut. “Y-yang penting sekarang aku tahu di mana letak salahnya ….” Aku terkejut. Dia tidak marah? Kalau ini orang lain, pasti dia akan marah dan menuduhku macam-macam! Aku terdiam. Apa jangan-jangan ini maksud Arief dengan murid yang tidak memiliki niat belajar teknik … melainkan hal lain? Cepat, aku menepis pemikiran itu dan akhirnya berusaha fokus melanjutkan sesi latihan. “O-oke. Kalau begitu sekarang, kamu ke sini.” Aku mengisyaratkan Bunga untuk ke area pinggir kolam. “Kita belajar posisi meluncur untuk gaya bebas dulu.” Aku menempatkan diri tepat di belakang tubuhnya, tangan menahan pinggulnya dengan erat. “Posisi meluncur tubuhmu harus lurus, aku tahan dari sini.” Belum sempat aku mengatur posisi, tiba-tiba Bunga sedikit mundur. Bokongnya yang padat dan montok jelas-jelas menekan langsung ke kejantananku, membuatku langsung kaku seketika. Aku tercekat. Gesekan singkat itu terasa jelas hingga membuatku hampir tidak mampu mengontrol reaksi tubuhku sendiri. Bunga langsung tersentak malu, menoleh cepat dengan wajah merona. "Maaf, Kak! Aku nggak sengaja!" bisiknya gugup. Aku menghela napas pendek, berusaha tampak tenang meski sensasi panas menjalar di tubuhku. "Nggak … nggak apa-apa, kita lanjut lagi," ucapku sok profesional, padahal pikiran ini sudah kacau balau. Saat aku mencoba berpindah tempat, samar kudengar dia bergumam, “Besar juga ….” Aku mengerutkan kening, bingung maksudnya apa, tapi aku menepis hal itu dan fokus ke pelajaran. ** Setelah hampir satu setengah jam, sesi pelajaranku dengan Bunga akhirnya selesai. “Hari ini kita sampai di sini,” ucapku sambil berdiri di pinggir kolam. Bunga mendekat, rambut panjangnya basah menempel di bahu dan lehernya. “Makasih, Kak. Cara ngajarnya enak,” katanya sambil tersenyum, tampak lembut dan bersahabat, tapi … entah kenapa sangat menggoda. “Besok jam yang sama, kan?” tanyanya santai. Aku langsung mengangguk. Dalam hati, lega bukan main. Dia masih mau lanjut. Itu berarti dua insiden tidak senonoh tadi nggak bikin dia ilfeel, dan masih ada peluang untuk menjadikannya murid tetap! “Tinggal konfirmasi ke resepsionis, aku kosong jam segitu,” jawabku. “Oke, Kak. Makasih ya! Sampai ketemu besok!” ucapnya sebelum berbalik dan melangkah menuju ruang ganti. Setelah Bunga menghilang dan aku tidak lagi ada jadwal sebelum istirahat, aku langsung pergi ke ruang ganti untuk bilas sebelum makan siang. Begitu buka pintu, terlihat sudah ada Arief di sana. Dia duduk sambil membuka botol air minum. “Gimana Bro sesi latihannya sama anak baru?” tanyanya penasaran sambil menyeringai. Aku menarik napas dalam. “Biasa aja, Bang…” jawabku singkat. Tiba-tiba, Arief berdiri dan mengalungkan tangannya ke leherku. “Yakin? Tapi tadi gua liat kalian ada sedikit … kecelakaan?” Aku tersentak dan langsung menatapnya. “Lo liat, Bang?” Sontak, Arief tertawa. “Iyalah! Orang gua persis di area sebelah lo! Gila, saking fokusnya sama tuh cewek lo sampe nggak sadar jarak kita sedeket itu?” Saat tawanya mereda, dia memainkan lagi alisnya. “Jadi, gimana murid baru lo?” Aku terdiam sejenak merenungkan pertanyaannya, lalu akhirnya menceritakan apa yang terjadi sebelum berkomentar, “Gara-gara omongan lo, selama ngajarin dia gua jadi mikir yang aneh-aneh, Bang. Makanya tadi jadi kecelakaan dua kali. Malu-maluin banget.” Arief menampakkan senyum meremehkan. “Halah, baru begitu aja udah malu. Kecelakaan kecil lo tadi nggak ada apa-apanya sama tahap berikutnya!” “Maksudnya?” Seringai penuh arti terlukis di bibir Arief. “Jangankan kesentuh barang lo, Yon. Tahap berikutnya barang lo udah harus sering ‘gesek’ atau ‘masuk’!” Mendengar itu, aku melotot dan langsung melepaskan rangkulan Arief. “Jangan ngada-ngada, Bang! Gila lo ya?” Arief mengangkat kedua tangannya, seperti tanda tidak mau melanjutkan perdebatan. “Ya liat aja. Kita taruhan satu minggu. Kalo dalam satu minggu lo nggak berhasil masukin tuh cewek dan dia masih jadi murid tetap lo, lo gua kasih lima juta!” *****Aku terperangah, bibirku refleks bergerak. “Dari mana kamu—”Anya langsung menyandarkan tubuhnya ke kursi pengemudi, menatap lurus dengan tatapan percaya diri.“Kamu lupa, aku juga perempuan yang berasal dari kalangan atas. Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang hal semacam ini?”Lalu matanya meruncing tajam, menusukku.“Terutama karena hal ini bersangkutan denganmu.”Aku tercekat. Tenggorokanku kering, lidahku kelu. Rasa malu menyesak di dada, membuatku tak sanggup membantah atau sekadar mencari alasan.Di saat itu, jemari halusnya menyentuh bibirku lembut, kontras dengan tatapannya barusan.“Jangan memasang wajah seperti itu,” bisiknya lirih, nyaris menggoda. “Kamu tahu aku tidak akan memberitahukan hal ini pada siapa pun. Tapi…” ia berhenti sejenak, senyumnya miring. “Memikirkan bagaimana aku harus berbagi dirimu dengan wanita lain, rasanya agak… menyebalkan.”Aku memalingkan wajah, menepis sentuhannya. Dengan cepat kutarik handle pintu dan melangkah turun. “Aku… pergi.”BRUK!
Lampu kamera berkilat-kilat, menusuk mata.Aku berjalan cepat dengan jaket tebal menutupi kepala, menunduk rapat agar wajahku tak jelas tertangkap. Namun itu justru membuat mereka semakin beringas.“Dasar pecundang!”“Pembohong! Atlet palsu!”Makian bertubi-tubi menghantam, suaranya bercampur dengan suara klik kamera yang tidak berhenti.Aku mencoba menutup telinga, tapi suara-suara itu semakin keras, menggema dalam kepalaku. Nafasku tersengal, dunia seakan berputar.Lalu, di tengah hiruk pikuk itu, muncul suara tawa. Rendah, dingin, menusuk.Bayangan samar seorang pria berdiri tak jauh di depan, wajahnya buram, hanya garis senyum sinis yang terlihat jelas.“Dasar pecundang.”Tubuhku menegang, langkahku terhenti. Kata itu menusuk lebih dalam dari semua makian lain.Aku mencoba berteriak, tapi suaraku tak keluar. Sampai akhirnya—-“Argh!”Aku terbangun dengan napas terengah.Keringat dingin membasahi pelipis, jantungku berdegup tak karuan. Sekilas masih terdengar gema tawa itu di kepal
“Anya!” Aku membentak, berniat menyingkirkannya dari atas tubuhku dan menyadarkannya. Tapi—“Ugh!”Saat kuingin mendorongnya, Anya malah mendorongku kembali ke atas kasur dengan tenaga yang entah kenapa sangat kuat!Aku berusaha bangkit lagi, tapi kali ini tidak bisa, dan saat kumenoleh, ternyata Anya sudah dengan cepat dan ahli mengikat kedua pergelangan tanganku dengan ikat pinggangnya!“Anya! Lepasin ini!” seruku, tubuhku meronta keras. “Kamu mabuk! Sadar dulu!”Tapi Anya malah tersenyum dan berkata, “Nggak akan, kamu harus puasin aku dulu ….”“Anya, lo—”Belum sempat aku mengatakan apa pun lagi, tiba-tiba tangan Anya langsung beralih ke resleting celanaku. Dia membukanya, dan menarik pakaian dalamku hingga kejantananku menyembul keluar.“Ugh!” desahan itu lolos tanpa bisa kutahan, tepat saat bibir Anya mulai menyentuh milikku itu dan mengulumnya.Kehangatan itu menyelubungi diriku, lembut tapi kuat, membuatku seperti ditelan gelombang yang terus datang silih berganti.Nafasku mul
“Jadi, itu alasannya Andini punya sifat seperti itu,” jelas Anya di akhir ceritanya.Setelah pernyataan Anya yang mengejutkan mengenai status Andini di keluarga Dharmawan, dia pun menjelaskan padaku mengenai asal-usul Andini yang sebenarnya.Dua puluh sembilan tahun lalu, Armand Dharmawan, pewaris tunggal keluarga inti Dharmawan menikah dengan istrinya. Tapi, selama empat tahun dia tidak juga dikaruniai keturunan, dan setelah diperiksa, diketahui istrinya tidak mampu mengandung. Walau didesak keluarga besar untuk mengambil istri lain demi mendapatkan penerus, Armand lebih memilih untuk mengangkat seorang anak, dan pilihannya jatuh pada Andini, putri dari sepupu jauhnya yang ia yakini memiliki kecerdasan luar biasa.Semua orang menganggap Andini sangat beruntung bisa terpilih sebagai penerus keluarga inti Dharmawan, tapi tidak ada yang tahu bahwa sejak hari itu, Andini seperti menyerahkan jiwanya kepada keluarga angkatnya. Setiap detail kehidupannya diatur agar sempurna. Dari sekolah
Suara musik berdentum, lampu neon berganti warna, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Aku duduk di kursi bar, menatap gelas berisi whiskey di depanku. Di samping, seorang perempuan cantik sibuk memberikan pesanan kepada pelayan. Suaranya lembut tapi tegas, khas seseorang yang sudah terbiasa memberi instruksi.Anya.Ya, perempuan itu kini duduk di hadapanku. Rambut panjangnya diikat kuda tinggi, kulitnya putih mulus disinari cahaya bar yang temaram. Blouse putih ketatnya menonjolkan dada penuh dan pinggang ramping yang terlihat nyaman dicengkeram. Dipadu dengan rok kulit hitam selutut dan stocking gelap yang menempel sempurna di kedua kakinya yang jenjang, penampilan gadis itu terlihat mampu membuat hampir semua pria yang lewat melirik lebih dari sekali.Lima tahun lebih aku berhasil menghindar darinya, dan kini, ironisnya, aku justru terjebak dalam meja kecil ini, hanya berdua dengannya.Bukan kebetulan.Raka sengaja melakukannya.Pria itu, dengan seenaknya, me
Bunga mendorongku duduk di kursi ruang ganti wanita, membuatku sedikit terkejut. Tidak kusangka dia akan menarikku ke sini dengan berani. Tak cuma itu, dia bahkan tidak membawaku ke dalam bilik, dan malah langsung mendorongku ke kursi. Apa dia tidak takut ada yang melihat? Namun, ketika Bunga langsung menduduki pangkuanku dan menempelkan bibirnya ke bibirku, otakku tidak lagi berfungsi. Nafsu mengambil alih. Persetan kalau ada yang melihat. Toh, kami dua orang terakhir di kelab ini. Dan waktu bersih-bersih staf juga sudah lewat. Hanya ada kami berdua di sini. Aku membalas ciuman Bunga dengan sama liarnya, mencengkeram pinggangnya erat hingga tubuhnya semakin menempel pada dadaku. Tanganku yang semula menahan pinggangnya, perlahan naik, lalu dengan gerakan ahli mulai melucuti tali tipis pakaian renang yang masih melekat di bahunya. Dalam beberapa sentuhan saja, kain itu melorot turun, memperlihatkan payudara indahnya yang membuatku menelan ludah. Tanpa permisi, tel