Share

Bab 4. Gagal Fokus

Author: WAZA PENA
last update Last Updated: 2025-07-28 18:46:16

"Emang harus gitu, Bang?"

"Eh, gua udah belajar dari pengalaman. Kalo elo gak ngelakuin apa yang gua bilang. Lo harus siap-siap aja dikeluarin dari sini!" Arief menekan. Nada bicaranya terdengar serius

Kemudian dia terkekeh menertawakan aku yang hanya bisa diam dalam kebingungan.

Begitu sesi sore selesai, aku melangkah ke ruang ganti pelatih. Bau kaporit bercampur parfum murah memenuhi udara.

Lokerku ada di paling ujung dekat pintu keluar, pintu besinya agak berkarat, catnya terkelupas di sudut.

“Tempat buangan,” begitu Arief pernah bilang sambil nyengir. Katanya, pelatih baru selalu diberikan tempat itu karena kalau nanti mau dipecat, barangnya gampang dikeluarin.

Aku membuka pintu loker, mulai membereskan barang: handuk, sandal, dan tas kerja yang agak lembap. Baru saja mau menutup loker, pintu ruang ganti terbuka keras.

Seorang pelatih tinggi berkepala plontos masuk sambil ngobrol dengan temannya, langkahnya lebar seperti sedang buru-buru. “Eh, iya… terus gue bilang—”

BRUK!

Bahunya menabrak lenganku hingga beberapa barangku jatuh.

Refleks, dia menoleh. “Wah, sorry—eh…” Matanya menyipit. “Gue nggak pernah liat lo, siapa?”

Belum sempat aku jawab, temannya, seorang pria berkulit sawo matang dengan rambut cepak, ikut masuk sambil menepuk bahu plontos itu. “Oh, ini Dion. Pelatih baru, masih masa probasi, seminggu jalan. Lo nggak pernah lihat karena baru balik liburan sih.”

Plontos itu mengangguk singkat. “Oh… bukan pelatih Silver kayak kita.” Dia menoleh padaku. “Semangat, Bro!”

Aku cuma tersenyum tipis seraya meraih barangku yang jatuh.

Tidak semua orang tahu sistem tingkatan pelatih di kelab ini, tapi begitu masuk, aku langsung paham betapa jelas garis pembatasnya.

Gold adalah kasta tertinggi, pelatih yang sudah memegang lima murid tetap atau lebih, punya jadwal penuh, dan dianggap aset oleh manajemen. Loker mereka ada di dalam, dekat pantry, lengkap dengan colokan dan kursi sendiri. Arief dan Dimas masuk ke kategori ini.

Di bawahnya ada Silver, yang memegang dua sampai empat murid tetap. Mereka boleh pakai loker di lorong tengah dan sesekali dapat jadwal pelatihan tambahan kalau ada klien baru.

Sedangkan yang paling bawah—seperti aku—adalah Bronze. Pelatih baru atau masa probasi yang belum punya murid tetap. Loker kami ada di luar, dekat pintu, supaya gampang dikeluarkan kalau kontrak tak diperpanjang.

Setelah menutup loker, aku menyampirkan tas di bahu. “Saya pamit duluan, Bang.”

Mereka mengangguk, dan aku pun melangkah keluar.

Setibanya di kos, pintu kayu kusam itu kubuka pelan, langsung disambut pemandangan khas: lantai penuh baju kotor, handuk tergeletak di kursi, dan meja yang dipenuhi botol air mineral kosong.

Aku menghela napas panjang. “Hhh… beginilah hidup,” gumamku.

Tas kulempar ke kasur, lalu mulai membereskan seadanya, menumpuk baju kotor di pojok, mengangkat gelas kotor ke bak cuci piring, lalu masuk ke kamar mandi.

Air dingin mengalir deras, membasuh sisa keringat dan penat. Setelah selesai, aku keluar dengan handuk menyelempang di pundak, rambut masih basah.

Pandangan jatuh ke kulkas kecil di sudut ruangan. Kubuka, hanya ada sebotol air mineral setengah, sepotong tomat layu, dan satu botol saus sambal.

“Nggak ada yang bisa dimasak.”

Kulempar pandangan ke lemari kecil di dapur mungil, dan… jackpot. Satu cup mi kuah tersisa. “Penyelamat malam ini.”

Kuambil panci, mengisi air, lalu menyalakan kompor. Sambil menunggu air mendidih, pikiranku melayang kembali ke omongan Arief siang tadi… dan ke pelajaran dengan Bunga. Gerakan mundurnya, tekanan bokongnya ke tubuhku, tatapan matanya saat aku secara tidak sengaja menyentuhnya.

‘Jangan mikir yang aneh-aneh, Yon.’

Tapi semakin kutepis, bayangan itu justru semakin jelas.

Getaran ponsel di meja memotong lamunanku. Nama yang muncul di layar membuatku langsung sadar. Raka—teman lama yang mengenalkanku pada kelab ini.

“Yon, gimana? Udah seminggu kerja. Lancar?” suaranya tegas, khas Raka yang selalu to the point.

Aku ragu sepersekian detik. Rasanya nggak enak kalau bilang aku sedang terancam dipecat. “Aman-aman aja, Bro. Cuma ya, ada tekanan buat nyari murid tetap aja.”

Raka menghela napas panjang dari seberang. “Andai aja dulu kasus itu nggak menimpa lo… sekarang mungkin manajemen kelab bakal sujud-sujud biar lo mau kerja di sana.”

Ucapannya membuat senyumku menghilang. Seketika, bayangan samar menyergap—aku digiring polisi, lampu kamera berkelap-kelip, suara teriakan wartawan di belakang pagar pembatas. Sorot lampu itu seakan menelanjangi semua yang pernah kubangun.

Kutahan napas sejenak, lalu memaksakan senyum walau tak ada yang melihat. “Itu masa lalu, Bro. Nggak usah diungkit lagi. Gue udah bersyukur bisa kerja aja.”

Di seberang, Raka terdiam. Samar-samar terdengar hembusan napas beratnya, seakan menyadari kalau barusan dia mengungkit hal yang seharusnya tidak ia sentuh.

“Maaf, Yon… gue kebawa emosi. Cuma… ya lo tahu sendiri, gue nggak tahan kalau inget lo punya potensi segede itu.”

“Santai, Ka,” jawabku singkat.

Tepat saat itu, terdengar suara teeeet nyaring dari dapur.

Teko listrikku sudah bersiul tanda air mendidih. “Ka, gue matiin dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Ini mau makan malam dulu, terus tidur.”

“Ya udah. Oh, nanti kalau ada waktu, ketemuan lah sama yang lain juga,” ujar Raka, nada suaranya berusaha lebih cerah.

Aku memaksakan senyum, walau tahu dia juga sadar jawabanku hanya basa-basi. “Iya, pasti. Kabarin aja.”

Klik. Sambungan pun terputus.

Kuletakkan ponsel di meja, mematikan teko, lalu menuangkan air panas ke mangkuk mie instan. Uapnya mengepul, wangi gurihnya menguar, tapi pikiranku tetap jauh dari makanan.

Omongan Raka mengingatkanku akan masa kejayaan yang dulu sempat ada, membuatku menarik napas dalam dan menghelanya dengan berat.

Apa pun identitasku dulu… sekarang aku hanyalah Dion, seorang pelatih renang.

Dan satu-satunya hal yang perlu kupikirkan sekarang… adalah cara bertahan di kelab ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 34. Gairah Dengan Mantan (21+)

    “Anya!” Aku membentak, berniat menyingkirkannya dari atas tubuhku dan menyadarkannya. Tapi—“Ugh!”Saat kuingin mendorongnya, Anya malah mendorongku kembali ke atas kasur dengan tenaga yang entah kenapa sangat kuat!Aku berusaha bangkit lagi, tapi kali ini tidak bisa, dan saat kumenoleh, ternyata Anya sudah dengan cepat dan ahli mengikat kedua pergelangan tanganku dengan ikat pinggangnya!“Anya! Lepasin ini!” seruku, tubuhku meronta keras. “Kamu mabuk! Sadar dulu!”Tapi Anya malah tersenyum dan berkata, “Nggak akan, kamu harus puasin aku dulu ….”“Anya, lo—”Belum sempat aku mengatakan apa pun lagi, tiba-tiba tangan Anya langsung beralih ke resleting celanaku. Dia membukanya, dan menarik pakaian dalamku hingga kejantananku menyembul keluar.“Ugh!” desahan itu lolos tanpa bisa kutahan, tepat saat bibir Anya mulai menyentuh milikku itu dan mengulumnya.Kehangatan itu menyelubungi diriku, lembut tapi kuat, membuatku seperti ditelan gelombang yang terus datang silih berganti.Nafasku mul

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 33. Godaan Mantanku

    “Jadi, itu alasannya Andini punya sifat seperti itu,” jelas Anya di akhir ceritanya.Setelah pernyataan Anya yang mengejutkan mengenai status Andini di keluarga Dharmawan, dia pun menjelaskan padaku mengenai asal-usul Andini yang sebenarnya.Dua puluh sembilan tahun lalu, Armand Dharmawan, pewaris tunggal keluarga inti Dharmawan menikah dengan istrinya. Tapi, selama empat tahun dia tidak juga dikaruniai keturunan, dan setelah diperiksa, diketahui istrinya tidak mampu mengandung. Walau didesak keluarga besar untuk mengambil istri lain demi mendapatkan penerus, Armand lebih memilih untuk mengangkat seorang anak, dan pilihannya jatuh pada Andini, putri dari sepupu jauhnya yang ia yakini memiliki kecerdasan luar biasa.Semua orang menganggap Andini sangat beruntung bisa terpilih sebagai penerus keluarga inti Dharmawan, tapi tidak ada yang tahu bahwa sejak hari itu, Andini seperti menyerahkan jiwanya kepada keluarga angkatnya. Setiap detail kehidupannya diatur agar sempurna. Dari sekolah

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 32. Akhirnya Aku Tahu

    Suara musik berdentum, lampu neon berganti warna, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal memenuhi udara. Aku duduk di kursi bar, menatap gelas berisi whiskey di depanku. Di samping, seorang perempuan cantik sibuk memberikan pesanan kepada pelayan. Suaranya lembut tapi tegas, khas seseorang yang sudah terbiasa memberi instruksi.Anya.Ya, perempuan itu kini duduk di hadapanku. Rambut panjangnya diikat kuda tinggi, kulitnya putih mulus disinari cahaya bar yang temaram. Blouse putih ketatnya menonjolkan dada penuh dan pinggang ramping yang terlihat nyaman dicengkeram. Dipadu dengan rok kulit hitam selutut dan stocking gelap yang menempel sempurna di kedua kakinya yang jenjang, penampilan gadis itu terlihat mampu membuat hampir semua pria yang lewat melirik lebih dari sekali.Lima tahun lebih aku berhasil menghindar darinya, dan kini, ironisnya, aku justru terjebak dalam meja kecil ini, hanya berdua dengannya.Bukan kebetulan.Raka sengaja melakukannya.Pria itu, dengan seenaknya, me

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 31. Gairah Tak Tertahan (21+)

    Bunga mendorongku duduk di kursi ruang ganti wanita, membuatku sedikit terkejut. Tidak kusangka dia akan menarikku ke sini dengan berani. Tak cuma itu, dia bahkan tidak membawaku ke dalam bilik, dan malah langsung mendorongku ke kursi. Apa dia tidak takut ada yang melihat? Namun, ketika Bunga langsung menduduki pangkuanku dan menempelkan bibirnya ke bibirku, otakku tidak lagi berfungsi. Nafsu mengambil alih. Persetan kalau ada yang melihat. Toh, kami dua orang terakhir di kelab ini. Dan waktu bersih-bersih staf juga sudah lewat. Hanya ada kami berdua di sini. Aku membalas ciuman Bunga dengan sama liarnya, mencengkeram pinggangnya erat hingga tubuhnya semakin menempel pada dadaku. Tanganku yang semula menahan pinggangnya, perlahan naik, lalu dengan gerakan ahli mulai melucuti tali tipis pakaian renang yang masih melekat di bahunya. Dalam beberapa sentuhan saja, kain itu melorot turun, memperlihatkan payudara indahnya yang membuatku menelan ludah. Tanpa permisi, tel

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 30. Gadis Bak Malaikat

    Begitu sesi latihan selesai, aku bergegas menuju ruang ganti pelatih. Rasanya tubuhku seperti baru saja melewati pertandingan marathon. Begitu pintu terbuka, tiba-tiba suara tepuk tangan meledak dari segala arah.“Woiii! Selamat, Brooo!”Aku kaget sampai refleks berhenti di depan pintu. Pandangan mata para pelatih tertuju padaku, senyum mereka semua semringah, seperti sedang menonton final Piala Dunia. Aku bingung setengah mati. “Ada apaan, sih?”Arief yang paling depan langsung maju sambil nyengir. “Selamat, Bro. Lu berhasil ngelewatin hari pertama dengan sangat mulus. Kami semua kagum!” “Hah?” Aku melongo sebelum kemudian paham. “Oh, Andini?”“Ya jelaslah! Siapa lagi kalau bukan si Ratu Es!?”Aku menghela napas dan melewati Arief untuk pergi ke lokerku. “Mulus apanya, Bang? Gue cuma ngajar biasa, sempet diomelin juga.”“Biasa?” Arief mendengus, lalu melirik pelatih lain. “Eh, dengar tuh, katanya biasa. Bro!”Sejumlah pelatih langsung mengacungkan jempol. “Gila emang junior legenda

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 29. Murid Yang Menjengkelkan

    Setelah Andini masuk ke dalam kolam, aku pun langsung mengarahkannya ke sesi latihan pertama. Yang mengejutkan, Andini langsung mulai berenang, gerakannya rapi, penuh tenaga, dan … jujur dia tidak buruk! Seperti benar-benar telah melalui pelajaran intens dengan serius!Melihat ini, aku jadi mempertanyakan, apa jangan-jangan dengan Dimas … Andini tidak pernah melakukan yang aneh-aneh dan fokus belajar?Tapi kemudian, di tengah latihan, aku menyadari ada yang aneh. Posisi kakinya terlalu tegang, ayunan tangannya kurang sinkron dengan tarikan napas.Aku mengamati sebentar, lalu masuk ke air, mendekat.“Andini, tahan dulu. Posisi kaki kamu agak salah, bisa bikin cepat capek,” kataku sambil mengangkat tangan, berniat menunjukkan perbaikan langsung.Baru saja jemariku menyentuh pinggangnya, tiba-tiba-PLAK!Suara tamparan terdengar nyaring, dan pedih menyebar di punggung tanganku.Ternyata, Andini langsung menepis tanganku dengan kasar.“Jangan sentuh aku tanpa izin!” bentak Andini dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status