Home / Romansa / Pelayan Cantik Milik Tuan Muda / 3. Aku sudah Memecatmu

Share

3. Aku sudah Memecatmu

Author: CeliiCaaca
last update Last Updated: 2025-12-12 00:36:42

“T-Tuan, saya … maafkan saya. Saya tidak bermaksud—”

“Apa gunanya meminta maaf setelah kerusakan terjadi, huh?” ucap Daniel dengan suara dingin dan tajam. Memang tidak ada teriakan, tapi justru itu yang membuat udara di ruang kerja seperti membeku.

Diana menelan ludahnya sambil mencoba berdiri tegak meski lututnya bergetar.

“Saya … saya akan memperbaikinya. Saya bisa—”

“Kamu bahkan tidak mampu membawa satu nampan tanpa membuat kekacauan,” potong Daniel dengan cepat.

“Dan sekarang laptop ini ….” Dia memandang tatapannya pada genangan air yang merembes ke dasar perangkat. “Data penting, jadwal pertemuan, dan laporan. Semua ada di sana, kamu tahu?!”

Diana merasa darahnya mengalir turun ke telapak kaki. Begitu dingin seolah sudah mati rasa.

“Saya benar-benar minta maaf, Tuan,” bisiknya lirih.

Daniel mendekat satu langkah hingga jarak mereka tinggal beberapa puluh sentimeter. Cukup dekat untuk Diana melihat bagaimana rahang pria itu menegang.

“Kamu dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan dengan benar. Bukan untuk membuat masalah baru,” katanya masih dengan nada yang begitu dingin.

Diana mengerjap dan matanya mulai memanas. Dia berusaha keras tidak menangis, karena dia tahu, menangis hanya akan membuatnya terlihat semakin lemah.

Daniel mengembuskan napas pendek karena jengkel. “Kamu tidak perlu datang lagi besok.”

Kata-kata itu menjatuhkan seluruh dunia Diana hingga membuat napasnya tercekat.

“Tidak, Tuan. Tolong jangan pecat saya, Tuan.” Suaranya pecah begitu saja. “Saya baru satu hari bekerja di sini. Saya masih bisa belajar. Saya bisa lebih hati-hati. Saya—”

“Kamu sudah membuat kesalahan fatal dan itu sudah menunjukkan bahwa kamu pelayan ceroboh,” jawab Daniel tanpa ragu sedikit pun.

 “Tuan, saya mohon, saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya … saya bisa melakukan apa pun yang Tuan minta, asalkan—”

Daniel mengangkat tangannya menghentikan ucapan Diana.

“Aku tidak butuh janji kosong,” katanya singkat. “Tidak ada waktu untuk mengajari seseorang yang bahkan tidak bisa melangkah tanpa tersandung.”

Dia memalingkan wajahnya lalu mengambil lap kering dari meja samping, lalu mulai menyeka meja dengan gerakan tegas, seolah keberadaan Diana sudah tidak ada artinya.

“Keluar.”

Diana terpaku mendengarnya. “Tuan ….”

“Keluar,” ulang Daniel dengan datar bahkan tanpa menoleh.

Dengan dada terasa sesak, dia menunduk dalam-dalam lalu melangkah mundur.

Setiap langkah terasa berat, seperti menyeret seluruh beban hidupnya. Begitu pintu tertutup, Diana bersandar pada dinding dan menahan napas yang patah-patah.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan lagi. “Aku bodoh sekali.”

**

Malam harinya, Diana duduk di kamar kecilnya sambil memeluk lutut. Seragam masih melekat di tubuh, belum diganti.

Kepalanya penuh dengan satu pikiran: Bagaimana kalau dia benar-benar memecatku besok?

Dia menatap langit-langit kamar yang gelap. Hatinya sangat perih. Kakinya masih gemetar. Dan suara Daniel terus terngiang di telinganya yang begitu dingin, tegas, tak memberi harapan.

Ponselnya bergetar di meja. Nama “Citra” muncul di layar.

Adiknya.

Halo?”

“Kak?” Suara Citra langsung pecah.

“Sekolah sudah telepon lagi. Mereka bilang kalau pembayaran tidak dilunasi minggu ini, aku nggak boleh ikut ujian akhir. Mereka … mereka bilang ini batas terakhir.”

Diana menutup mata erat-erat, dadanya mencengkeras. “Iya, Kakak tahu.”

“Kakak sudah bayar, kan?” Citra bertanya lirih dan penuh harap. “Kakak bilang minggu lalu semuanya aman.”

Diana menggigit bibirnya sampai terasa perih. Kebohongannya menampar balik dirinya hingga akhirnya membuat hatinya hancur pelan-pelan.

Dia menyandarkan dahi di lututnya sambil berusaha bicara stabil. “Citra, bisa nggak ditunda dulu sedikit? Kakak … Kakak masih urus soalnya.”

Terdengar isakan kecil dari seberang. “Tapi, Kak, aku nggak mau dikeluarin dari sekolah.”

“Kakak tahu,” suara Diana pecah. “Kakak janji, Kakak bakal cari caranya. Tolong percaya sama Kakak, ya?”

“Tapi Kak, uang sewa rumah Ibu juga belum—”

“Nanti Kakak urus.” Diana memotong cepat dan mencoba terdengar meyakinkan meski dirinya sendiri sedang rapuh seperti kaca retak. “Kamu jangan pikirin itu dulu. Fokus sekolah.”

“Tapi Kak …,” suara adiknya semakin lemah. “Kakak kedengarannya capek banget.”

Diana tersenyum kecil meski air mata jatuh lagi. “Kakak cuma kecapean kerja. Nggak apa-apa, jangan khawatir, Citra.”

Itu kebohongan kedua malam ini. Dan entah kebohongan keberapa sepanjang hidupnya demi menenangkan adiknya.

“Baik, Kak.” Citra bergumam lirih. “Maaf ya Kak, aku hanya jadi beban Kakak.”

Diana terhenyak. “Hei!” suaranya meninggi karena panik. “Kamu bukan beban! Jangan pernah bilang gitu lagi, ya? Kamu satu-satunya alasan Kakak masih kuat.”

Hening sejenak hingga akhirnya terdengar helaan napas di seberang sana.

“Aku sayang Kakak.”

Diana menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar. “Kakak juga sayang kamu. Nanti kita cari jalan sama-sama.”

Setelah telepon ditutup, Diana menunduk lama dan bahunya bergetar hebat.

Dia tak tahu bagaimana harus mencari uang dalam waktu sesingkat itu.

Tabungannya tersisa beberapa ratus ribu setelah tiga hari membeli bahan-bahan untuk mencoba memuaskan Daniel.

“Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang?”

Diana menarik napas panjang lalu berdiri perlahan. Tangannya menggenggam erat ujung meja, tengah mencoba mencari keberanian.

Dengan tekad yang muncul dari keputusasaan, Diana keluar dari kamar untuk menemui Daniel sekali lagi.

Dia melangkah dengan langkah tergesa, dengan jantung yang berdebar tak karuan.

Dia akhirnya tiba di ruang kerja Daniel dan berhenti di depan pintu tersebut.

Pintu itu tertutup rapat. Gelap dari sela bawah menunjukkan lampu sudah dimatikan. Mungkin Daniel sudah tidur, atau mungkin masih bekerja di ruang pribadinya yang lain.

Diana mengangkat tangan dengan ragu. Lalu, Diana mengetuknya dengan pelan.

Tidak ada respons.

Diana menelan ludah lalu mengetuk sekali lagi.

Kali ini, suara langkah terdengar dari dalam. Lalu gagang pintu bergerak.

Pintu terbuka sedikit. Daniel muncul di balik celah, hanya mengenakan kaus gelap tipis dan celana panjang rumah.

Rambutnya sedikit berantakan, bau alkohol menyengat dari mulutnya. Daniel sedang mabuk, pikir Diana.

“Kamu? Kenapa kamu masih ada di rumah ini? Aku sudah memecatmu,” ucapnya dengan suara serak khas orang yang sedang mabuk.

Diana menelan salivanya dengan pelan menatap Daniel dengan rasa takut yang semakin menjadi.

“Saya ingin bicara sebentar saja dengan Anda, Tuan. Saya mohon.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   9. Sudah Menjadi Milikku

    Diana duduk di tepi ranjang kamarnya dengan tubuh yang terasa asing baginya sendiri. Tangannya bergetar ketika dia menurunkan pandangan ke satu lembar kertas di atas meja kecil di dekat ranjang kecilnya.Sebuah cek kosong. Angka belum diisi. Hanya satu tanda tangan tegas di sudut kanan bawah—tanda tangan Daniel.Nama pria itu tercetak jelas, seolah menertawakan segala yang baru saja dia korbankan beberapa menit yang lalu.Diana menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Dia tidak tahu apakah ini akan berlangsung seminggu, sebulan, atau entah sampai kapan.Daniel tidak pernah memberinya batas waktu. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada akhir yang jelas.Hanya satu hal yang pasti bahwa malam ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.Dia lalu memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak setelah semuanya terjadi.Ponselnya tiba-tiba bergetar di

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   8. Kamu harus Siap Setiap Kali Aku Meminta

    Pria itu kemudian menuntun Diana ke ranjang luas yang rapi dan elegan. Matanya menatap bibir merah Diana yang sudah menjadi incaran Daniel sejak tadi.Tangannya menyusuri garis rahang Diana lalu bibirnya mulai menyentuh bibir wanita itu.Ciuman yang semula lembut bahkan tidak menuntut, namun berhasil membuat tubuh Diana begitu tegang.Daniel bisa merasakan betapa tegangnya Diana yang kini sedang dia kuasai. Tangannya mengusap punggung Diana dengan lembut dan bibirnya menyusuri lidah Diana dan bergerliya hebat hingga suara cecapan itu kian terdengar.“Umh ….” Diana mulai mengeluarkan desahan dan berhasil membuat Daniel menggila.Bibirnya kembali masuk ke dalam, memainkan lidahnya lalu merebahkan tubuh Diana dengan perlahan. Tangan Diana memegang lengan kokoh Daniel dengan erat.Napasnya hampir habis karena ciuman membara yang dilakukan Daniel padanya.Bibir Daniel turun ke bawah, menyusuri garis leher Diana dengan lidahnya. Memberikan sensasi panas menguasai tubuh Diana.Perempuan itu

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   7. Ganti Bajumu

    Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel. Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, kini, tub

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   6. Lakukan Tugasmu Mulai Hari ini

    Pagi datang terlalu cepat bagi Diana. Wanita itu kembali mengenakan seragam pelayan berharap Daniel tidak jadi memecatnya.“Tolong antarkan kopi untuk Tuan Daniel,” ucap Angela sambil memberikan nampan berisi kopi kepada Diana.Wanita itu menerima nampan tersebut dan berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Daniel. Tangannya gemetar meski dia berusaha menggenggam nampan kopi itu sekuat mungkin.Aroma kopi hitam yang masih mengepul hangat tidak mampu menenangkan debar jantungnya.Setiap langkah mendekati pintu itu membuat kepalanya semakin penuh dengan ingatan malam sebelumnya, kata-kata Daniel, pintu yang terkunci, tawaran yang tak pernah benar-benar dia pahami sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.“Masuk.”Dia lalu membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Daniel duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja rapi dengan lengan digulung setengah.Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih bahkan Diana sempat terpana karena penampilan Daniel jau

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   5. Daniel sudah Punya Kekasih?

    “Pu-puaskan, Tuan?”“Ya.” Daniel mengangguk singkat. “Puaskan hasratku sampai tuntas.”Diana menelan ludahnya dan keringat dingin membasahi keningnya. “Ta-tapi, saya–”“Aku tidak butuh pelayan yang tidak berguna. Kalau tidak mau melayani sesuai perintahku, angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Kalau mau, kamu tetap akan dapat gaji, dan aku akan memberimu bonus jika berhasil membuatku puas.” Dia lalu menyandarkan tubuh ke sofa dengan malas, seperti seorang hakim yang hanya menunggu vonis dijatuhkan.Mata gelapnya menatap Diana tanpa berkedip. Alkohol membuat sorot itu semakin tidak stabil, tetapi juga semakin berbahaya.“Jika kamu mau,” lanjut Daniel pelan dan berat, “kamu tetap bekerja di sini. Malam harinya, kamu datang padaku dan melayaniku. Pagi harinya, kamu kembali bekerja seperti biasa.”Diana terperangah mendengar ucapan Daniel barusan. Bagaimana mungkin Diana melakukan hal itu sedangkan dia sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun. Bahkan menjali

  • Pelayan Cantik Milik Tuan Muda   4. Puaskan Aku

    Tanpa berkata apa pun, Daniel kembali berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil melipat tangan di dadanya.Kemeja kerjanya terbuka dua kancing di atas, lengan yang tergulung asal, dan sebuah botol whiskey kaca setengah kosong di meja kopi.“Tuan, saya bisa belajar. Saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya. Saya melakukan ini untuk keluarga saya. Saya … saya akan melakukan apa saja asalkan tetap bekerja di sini.”Kata terakhir itu seperti terlepas tanpa bisa ia tarik kembali.“Apa saja.”Daniel akhirnya mengalihkan pandangan menatap Diana. Dia memandangnya dari atas ke bawah secara perlahan.Bukan tatapan kejam seperti siang tadi, tapi tatapan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar karena terpeleset di antara mabuk dan kesedihan yang menahun.Wanita di foto itu masih berada di tangannya.“Apa saja, huh?” gumam Daniel seraya menyunggingkan senyum penuh misterius.Diana menelan ludahnya karena dia tidak mengerti arah pembicaraan ini, tetapi ketakutan dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status