LOGINTanpa berkata apa pun, Daniel kembali berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil melipat tangan di dadanya.
Kemeja kerjanya terbuka dua kancing di atas, lengan yang tergulung asal, dan sebuah botol whiskey kaca setengah kosong di meja kopi.
“Tuan, saya bisa belajar. Saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya. Saya melakukan ini untuk keluarga saya. Saya … saya akan melakukan apa saja asalkan tetap bekerja di sini.”
Kata terakhir itu seperti terlepas tanpa bisa ia tarik kembali.
“Apa saja.”
Daniel akhirnya mengalihkan pandangan menatap Diana. Dia memandangnya dari atas ke bawah secara perlahan.
Bukan tatapan kejam seperti siang tadi, tapi tatapan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar karena terpeleset di antara mabuk dan kesedihan yang menahun.
Wanita di foto itu masih berada di tangannya.
“Apa saja, huh?” gumam Daniel seraya menyunggingkan senyum penuh misterius.
Diana menelan ludahnya karena dia tidak mengerti arah pembicaraan ini, tetapi ketakutan dan putus asa mendorongnya maju.
“Ya, apa saja. Asal saya bisa tetap bekerja di sini,” ucap Diana sambil mengangguk dan memainkan jarinya karena gugup.
Daniel terdiam sejenak.
Lalu dia menggerakkan kepalanya sedikit dan menatap pintu di belakang Diana.
“Tutup pintunya.”
Diana mengerjap. “A-apa, Tuan?”
“Tutup pintu,” ulang Daniel dengan nada yang lebih rendah dan tegas. “Dan kunci.”
Diana hanya bisa menelan salivanya karena dia tidak tahu apa maksud Daniel barusan.
Apakah ini hanya reaksi orang mabuk? Perintah kosong? Atau sesuatu yang lain?
Namun dia sudah berjanji, apa saja akan dia lakukan asal tetap bekerja di sana.
Dan dia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.
Dengan tangan gemetar, Diana berbalik dan menutup pintu perlahan. Suara klik ketika pintu tertutup terdengar terlalu keras di telinganya.
Tangannya terhenti di atas kunci.
Dia menoleh dan berharap Daniel membatalkan perintah itu. Tetapi pria itu hanya menatapnya dengan mata gelap yang tak terbaca.
“Pintunya dikunci, Tuan?” tanya Diana sekali lagi, untuk memastikan.
Daniel hanya mengangkat kedua alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil, namun cukup memberi jawaban pada Diana.
Wanita itu akhirnya memutar kunci hingga bunyi klik kedua terdengar jauh lebih menakutkan dari yang pertama.
Dia berbalik kembali dengan debar jantung yang menghantam dadanya seperti ingin keluar.
Daniel mengangkat botol whiskey dan meminumnya lagi, lalu menaruhnya tanpa hati-hati di meja. Suara dentingan kaca membelah keheningan.
“Apa saja, ya?” Daniel mengulang kata itu dengan lambat, lalu menyandarkan tubuh ke sofa.
Foto wanita itu masih digenggamannya, jari-jarinya menelusuri bingkai seolah itu satu-satunya hal yang menahan dirinya untuk tidak hancur.
Diana berdiri di depan sofa, dan tidak tahu harus memulai dari mana, atau apa yang sebenarnya terjadi.
Daniel menatap fotonya lama, sangat lama, hingga akhirnya dia mengalihkan pandangan kembali pada Diana.
Tatapan itu kosong namun terselimuti luka. “Dia bilang hal yang sama,” gumam Daniel dengan pelan. “Bahwa dia akan melakukan apa saja asal tetap bersamaku.”
Daniel mengangkat fotonya sehingga cahaya jatuh tepat pada wajah wanita itu.
“Kau tahu apa akhirnya?” ucapnya lalu tertawa getir. “Dia pergi. Menikah dengan orang lain. Menyebut semua waktu yang dia habiskan denganku hanyalah sebuah kesalahan.”
Diana menunduk dan tidak tahu apakah dia berhak mendengar semua ini. Namun, satu hal yang Diana pahami bahwa Daniel sedang merasakan sakit karena dikhianati oleh wanita itu.
“Tuan … saya—”
“Tidak ada yang bertahan,” potong Daniel dengan tatapan yang semakin menajam.
“Tidak ada yang sungguh-sungguh. Semuanya hanya bicara sampai mereka mendapatkan apa yang mereka mau. Kau pun begitu, bukan?”
Diana menelan salivanya dengan pelan. “Ta-tapi, Tuan. Saya hanya ingin bekerja di sini, bukan untuk … sesuatu yang sudah membuat Anda ….”
Entah apa yang harus Diana katakan setelah itu. Karena Diana hanya ingin bekerja, bukan untuk menjadi calon istri Daniel.
“Saya hanya ingin bekerja di sini, Tuan. Sungguh. Saya bisa melakukan apa saja, memasak apa pun yang Anda inginkan, saya akan melakukannya.”
Daniel menatap datar wajah Diana tanpa mengatakan apa pun. Matanya semakin sayu akibat alkohol yang dia tenggak berulang kali.
“Saya sedang kesulitan ekonomi, Tuan. Sewa rumah orang tua saya, biaya sekolah adik saya. Saya mohon dengan sangat agar Anda tidak memecat saya, Tuan.”
Daniel memiringkan kepalanya dan akhirnya paham bahwa wanita di hadapannya ini sedang membutuhkan dirinya.
Dengan senyum miring dan misterius, Daniel akhirnya berkata, “Kalau begitu, puaskan aku.”
Diana duduk di tepi ranjang kamarnya dengan tubuh yang terasa asing baginya sendiri. Tangannya bergetar ketika dia menurunkan pandangan ke satu lembar kertas di atas meja kecil di dekat ranjang kecilnya.Sebuah cek kosong. Angka belum diisi. Hanya satu tanda tangan tegas di sudut kanan bawah—tanda tangan Daniel.Nama pria itu tercetak jelas, seolah menertawakan segala yang baru saja dia korbankan beberapa menit yang lalu.Diana menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Dia tidak tahu apakah ini akan berlangsung seminggu, sebulan, atau entah sampai kapan.Daniel tidak pernah memberinya batas waktu. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada akhir yang jelas.Hanya satu hal yang pasti bahwa malam ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.Dia lalu memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak setelah semuanya terjadi.Ponselnya tiba-tiba bergetar di
Pria itu kemudian menuntun Diana ke ranjang luas yang rapi dan elegan. Matanya menatap bibir merah Diana yang sudah menjadi incaran Daniel sejak tadi.Tangannya menyusuri garis rahang Diana lalu bibirnya mulai menyentuh bibir wanita itu.Ciuman yang semula lembut bahkan tidak menuntut, namun berhasil membuat tubuh Diana begitu tegang.Daniel bisa merasakan betapa tegangnya Diana yang kini sedang dia kuasai. Tangannya mengusap punggung Diana dengan lembut dan bibirnya menyusuri lidah Diana dan bergerliya hebat hingga suara cecapan itu kian terdengar.“Umh ….” Diana mulai mengeluarkan desahan dan berhasil membuat Daniel menggila.Bibirnya kembali masuk ke dalam, memainkan lidahnya lalu merebahkan tubuh Diana dengan perlahan. Tangan Diana memegang lengan kokoh Daniel dengan erat.Napasnya hampir habis karena ciuman membara yang dilakukan Daniel padanya.Bibir Daniel turun ke bawah, menyusuri garis leher Diana dengan lidahnya. Memberikan sensasi panas menguasai tubuh Diana.Perempuan itu
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel. Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, kini, tub
Pagi datang terlalu cepat bagi Diana. Wanita itu kembali mengenakan seragam pelayan berharap Daniel tidak jadi memecatnya.“Tolong antarkan kopi untuk Tuan Daniel,” ucap Angela sambil memberikan nampan berisi kopi kepada Diana.Wanita itu menerima nampan tersebut dan berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Daniel. Tangannya gemetar meski dia berusaha menggenggam nampan kopi itu sekuat mungkin.Aroma kopi hitam yang masih mengepul hangat tidak mampu menenangkan debar jantungnya.Setiap langkah mendekati pintu itu membuat kepalanya semakin penuh dengan ingatan malam sebelumnya, kata-kata Daniel, pintu yang terkunci, tawaran yang tak pernah benar-benar dia pahami sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.“Masuk.”Dia lalu membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Daniel duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja rapi dengan lengan digulung setengah.Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih bahkan Diana sempat terpana karena penampilan Daniel jau
“Pu-puaskan, Tuan?”“Ya.” Daniel mengangguk singkat. “Puaskan hasratku sampai tuntas.”Diana menelan ludahnya dan keringat dingin membasahi keningnya. “Ta-tapi, saya–”“Aku tidak butuh pelayan yang tidak berguna. Kalau tidak mau melayani sesuai perintahku, angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Kalau mau, kamu tetap akan dapat gaji, dan aku akan memberimu bonus jika berhasil membuatku puas.” Dia lalu menyandarkan tubuh ke sofa dengan malas, seperti seorang hakim yang hanya menunggu vonis dijatuhkan.Mata gelapnya menatap Diana tanpa berkedip. Alkohol membuat sorot itu semakin tidak stabil, tetapi juga semakin berbahaya.“Jika kamu mau,” lanjut Daniel pelan dan berat, “kamu tetap bekerja di sini. Malam harinya, kamu datang padaku dan melayaniku. Pagi harinya, kamu kembali bekerja seperti biasa.”Diana terperangah mendengar ucapan Daniel barusan. Bagaimana mungkin Diana melakukan hal itu sedangkan dia sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun. Bahkan menjali
Tanpa berkata apa pun, Daniel kembali berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil melipat tangan di dadanya.Kemeja kerjanya terbuka dua kancing di atas, lengan yang tergulung asal, dan sebuah botol whiskey kaca setengah kosong di meja kopi.“Tuan, saya bisa belajar. Saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya. Saya melakukan ini untuk keluarga saya. Saya … saya akan melakukan apa saja asalkan tetap bekerja di sini.”Kata terakhir itu seperti terlepas tanpa bisa ia tarik kembali.“Apa saja.”Daniel akhirnya mengalihkan pandangan menatap Diana. Dia memandangnya dari atas ke bawah secara perlahan.Bukan tatapan kejam seperti siang tadi, tapi tatapan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar karena terpeleset di antara mabuk dan kesedihan yang menahun.Wanita di foto itu masih berada di tangannya.“Apa saja, huh?” gumam Daniel seraya menyunggingkan senyum penuh misterius.Diana menelan ludahnya karena dia tidak mengerti arah pembicaraan ini, tetapi ketakutan dan







