LOGIN“Pu-puaskan, Tuan?”
“Ya.” Daniel mengangguk singkat. “Puaskan hasratku sampai tuntas.”
Diana menelan ludahnya dan keringat dingin membasahi keningnya. “Ta-tapi, saya–”
“Aku tidak butuh pelayan yang tidak berguna. Kalau tidak mau melayani sesuai perintahku, angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Kalau mau, kamu tetap akan dapat gaji, dan aku akan memberimu bonus jika berhasil membuatku puas.”
Dia lalu menyandarkan tubuh ke sofa dengan malas, seperti seorang hakim yang hanya menunggu vonis dijatuhkan.
Mata gelapnya menatap Diana tanpa berkedip. Alkohol membuat sorot itu semakin tidak stabil, tetapi juga semakin berbahaya.
“Jika kamu mau,” lanjut Daniel pelan dan berat, “kamu tetap bekerja di sini. Malam harinya, kamu datang padaku dan melayaniku. Pagi harinya, kamu kembali bekerja seperti biasa.”
Diana terperangah mendengar ucapan Daniel barusan. Bagaimana mungkin Diana melakukan hal itu sedangkan dia sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun. Bahkan menjalin hubungan dengan pria mana pun belum pernah dia lakukan.
Hidupnya sibuk dengan bekerja, bekerja, dan bekerja. Namun, datang ke rumah mewah dan bertemu dengan Daniel justru membuatnya harus kehilangan sesuatu yang sangat berharga di hidupnya.
Diana menggigit bibirnya keras-keras sampai hampir terasa asin. Tangannya sibuk meremas jari-jari sendiri, kebiasaan yang selalu muncul kalau dia takut dan tidak tahu harus bagaimana.
“Tolong beri saya waktu untuk berpikir, Tuan,” bisiknya lirih.
“Tidak bisa,” jawab Daniel pendek.
Pria itu mencondongkan tubuh sedikit ke depan dan menatap wajah Diana seolah ingin mengupas reaksi wanita itu hingga lapisan paling dalam.
“Kenapa harus berpikir, huh? Aku tahu kamu sangat butuh pekerjaan ini, Diana.”
Diana sontak terhenyak. Daniel mengucapkannya dengan tenang, tapi justru ketenangan itu membuat semuanya lebih menyesakkan.
Diana memejamkan matanya sejenak dan bayangan tentang Citra yang harus membayar uang sekolahnya dalam minggu ini, sewa rumah yang sudah menunggu diperpanjang.
Daniel mengangkat botol whiskey itu dan memutar-mutar cairan di dalamnya sebelum menenggaknya. Dia lalu menaruh botol itu di meja dengan bunyi dentingan keras yang membuat Diana tersentak.
Diana rasanya ingin runtuh di tempat. Dia lalu memejamkan mata sebentar, menarik napas gemetar, lalu membukanya lagi dengan tatapan yang tidak stabil.
Dengan suara hampir tidak terdengar, dia akhirnya mengangguk. “Baik, Tuan.”
Daniel mengangkat dagunya sedikit, seolah memastikan ia tidak salah lihat. “Kamu menerima?”
Diana menelan ludah dengan susah payah. “Kalau Anda menepati janji untuk membayarku.”
Senyum tipis muncul di wajah Daniel. Senyum yang tidak sepenuhnya hangat, tidak sepenuhnya puas, tapi senyum seseorang yang mendapatkan apa yang dia mau.
“Kalau begitu,” ujar Daniel sambil bersandar, “kita lakukan sekarang juga.”
Jantung Diana seperti berhenti berdetak. “A-apa?”
Daniel meletakkan foto mantan tunangannya di meja dan mulai hendak bangkit dari sofa. “Sekarang.”
Diana melangkah mundur refleks. Dia belum bersiap, belum benar-benar memproses apa yang telah dia setujui. Napasnya tercekat dan kulit tengkuknya merinding ketakutan.
Namun baru saja Daniel berdiri setengah, gedoran keras menghantam pintu.
BRAK! BRAK! BRAK!
Daniel memaki kasar. “Shitt! Siapa bedebah yang datang di malam-malam begini?!”
BRAK!
“Buka pintu itu!” serunya kepada Diana.
Diana tersentak dan langsung bergerak dengan tubuh masih gemetar. Dia membuka kunci pintu dengan tangan yang hampir tidak bisa mengontrol diri.
Begitu pintu terbuka sedikit, seseorang langsung mendorongnya dari luar. Seorang wanita masuk dengan aura menggelegar.
Cantik. Sangat cantik. Kulit putih, rambut panjang bergelombang sempurna, lipstick merah, gaun hitam ketat yang memeluk tubuhnya. Wangi parfumnya langsung memenuhi ruangan.
Wanita itu memicingkan mata ke arah Diana dan menatapnya dari kepala sampai kaki.
Pandangan itu penuh penilaian dan penuh meremehkan.
Diana baru sadar dia masih memakai seragam pelayan hingga membuat wanita itu mengangkat satu alisnya.
“Kau siapa?” tanyanya dengan suara datarnya.
Diana hendak membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.
Wanita itu tidak menunggunya menjawab. Dia memerhatikan ruangan, kemudian menatap pintu yang tadi terkunci.
“Tadi pintunya terkunci.” Suaranya tajam. “Kenapa? Apa yang kau lakukan di dalam sini dengan Daniel, huh? Kau pasti sedang merayunya, kan? Pembantu murahan!”
Diana langsung membeku mendengarnya. Ingin rasanya dia membalas ucapan itu, namun lidahnya mati rasa. Dia tidak bisa menjawab. Tidak tahu harus menjawab apa.
Wanita itu mendecak, seolah sudah cukup melihat semuanya. Dia berlalu begitu saja dari Diana dan melangkah cepat menuju Daniel.
“Sayang,” ucap wanita itu manja namun penuh tekanan, “kau tidak mengangkat teleponku sejak tadi.”
Diana mengerutkan kening.
Sayang? Daniel punya kekasih? Lalu, kenapa Daniel ingin Diana melayaninya padahal Daniel sudah punya kekasih?
Diana duduk di tepi ranjang kamarnya dengan tubuh yang terasa asing baginya sendiri. Tangannya bergetar ketika dia menurunkan pandangan ke satu lembar kertas di atas meja kecil di dekat ranjang kecilnya.Sebuah cek kosong. Angka belum diisi. Hanya satu tanda tangan tegas di sudut kanan bawah—tanda tangan Daniel.Nama pria itu tercetak jelas, seolah menertawakan segala yang baru saja dia korbankan beberapa menit yang lalu.Diana menelan ludahnya. Dadanya terasa sesak. Dia tidak tahu apakah ini akan berlangsung seminggu, sebulan, atau entah sampai kapan.Daniel tidak pernah memberinya batas waktu. Tidak ada perjanjian tertulis. Tidak ada akhir yang jelas.Hanya satu hal yang pasti bahwa malam ini adalah yang pertama. Dan itu cukup untuk membuatnya merasa kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.Dia lalu memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak setelah semuanya terjadi.Ponselnya tiba-tiba bergetar di
Pria itu kemudian menuntun Diana ke ranjang luas yang rapi dan elegan. Matanya menatap bibir merah Diana yang sudah menjadi incaran Daniel sejak tadi.Tangannya menyusuri garis rahang Diana lalu bibirnya mulai menyentuh bibir wanita itu.Ciuman yang semula lembut bahkan tidak menuntut, namun berhasil membuat tubuh Diana begitu tegang.Daniel bisa merasakan betapa tegangnya Diana yang kini sedang dia kuasai. Tangannya mengusap punggung Diana dengan lembut dan bibirnya menyusuri lidah Diana dan bergerliya hebat hingga suara cecapan itu kian terdengar.“Umh ….” Diana mulai mengeluarkan desahan dan berhasil membuat Daniel menggila.Bibirnya kembali masuk ke dalam, memainkan lidahnya lalu merebahkan tubuh Diana dengan perlahan. Tangan Diana memegang lengan kokoh Daniel dengan erat.Napasnya hampir habis karena ciuman membara yang dilakukan Daniel padanya.Bibir Daniel turun ke bawah, menyusuri garis leher Diana dengan lidahnya. Memberikan sensasi panas menguasai tubuh Diana.Perempuan itu
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Jantung Diana sudah tidak bisa berdebar seperti biasa lagi setelah berdiri tepat di depan kamar Daniel. Malam ini juga Diana harus melakukan apa yang diminta oleh pria itu. Diana menelan ludahnya berkali-kali sembari menetralisir kegugupannya.Diana kemudian mengetuk pintu kamar tersebut dan beberapa detik kemudian membuka pintunya.“Selamat malam, Tuan,” sapa Diana dengan pelan.Daniel yang sedang duduk di tepi tempat tidur menatap Diana dengan tatapan gelapnya. Kemeja hitam dengan dua kancing sudah terbuka, memperlihatkan dada bidang Daniel.Daniel beranjak dari duduknya lalu memberikan sebuah lingerie warna merah darah mencolok transparan.“Gunakan ini,” titah Daniel dingin.“A-apa, Tuan?” ucap Diana dengan gugup.Daniel hanya menarik tangan Diana dan memberikan baju itu padanya. Dari tatapannya terlihat jelas kalau Daniel enggan mengatakan dua kali.Diana pamit untuk mengganti pakaian itu ke kamar mandi.Beberapa menit kemudian, kini, tub
Pagi datang terlalu cepat bagi Diana. Wanita itu kembali mengenakan seragam pelayan berharap Daniel tidak jadi memecatnya.“Tolong antarkan kopi untuk Tuan Daniel,” ucap Angela sambil memberikan nampan berisi kopi kepada Diana.Wanita itu menerima nampan tersebut dan berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Daniel. Tangannya gemetar meski dia berusaha menggenggam nampan kopi itu sekuat mungkin.Aroma kopi hitam yang masih mengepul hangat tidak mampu menenangkan debar jantungnya.Setiap langkah mendekati pintu itu membuat kepalanya semakin penuh dengan ingatan malam sebelumnya, kata-kata Daniel, pintu yang terkunci, tawaran yang tak pernah benar-benar dia pahami sepenuhnya.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.“Masuk.”Dia lalu membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Daniel duduk di balik meja kerjanya, mengenakan kemeja rapi dengan lengan digulung setengah.Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih bahkan Diana sempat terpana karena penampilan Daniel jau
“Pu-puaskan, Tuan?”“Ya.” Daniel mengangguk singkat. “Puaskan hasratku sampai tuntas.”Diana menelan ludahnya dan keringat dingin membasahi keningnya. “Ta-tapi, saya–”“Aku tidak butuh pelayan yang tidak berguna. Kalau tidak mau melayani sesuai perintahku, angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Kalau mau, kamu tetap akan dapat gaji, dan aku akan memberimu bonus jika berhasil membuatku puas.” Dia lalu menyandarkan tubuh ke sofa dengan malas, seperti seorang hakim yang hanya menunggu vonis dijatuhkan.Mata gelapnya menatap Diana tanpa berkedip. Alkohol membuat sorot itu semakin tidak stabil, tetapi juga semakin berbahaya.“Jika kamu mau,” lanjut Daniel pelan dan berat, “kamu tetap bekerja di sini. Malam harinya, kamu datang padaku dan melayaniku. Pagi harinya, kamu kembali bekerja seperti biasa.”Diana terperangah mendengar ucapan Daniel barusan. Bagaimana mungkin Diana melakukan hal itu sedangkan dia sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun. Bahkan menjali
Tanpa berkata apa pun, Daniel kembali berjalan masuk ke dalam dan duduk di sofa sambil melipat tangan di dadanya.Kemeja kerjanya terbuka dua kancing di atas, lengan yang tergulung asal, dan sebuah botol whiskey kaca setengah kosong di meja kopi.“Tuan, saya bisa belajar. Saya bisa memperbaiki semua kesalahan saya. Tolong jangan pecat saya. Saya melakukan ini untuk keluarga saya. Saya … saya akan melakukan apa saja asalkan tetap bekerja di sini.”Kata terakhir itu seperti terlepas tanpa bisa ia tarik kembali.“Apa saja.”Daniel akhirnya mengalihkan pandangan menatap Diana. Dia memandangnya dari atas ke bawah secara perlahan.Bukan tatapan kejam seperti siang tadi, tapi tatapan seseorang yang tidak sepenuhnya sadar karena terpeleset di antara mabuk dan kesedihan yang menahun.Wanita di foto itu masih berada di tangannya.“Apa saja, huh?” gumam Daniel seraya menyunggingkan senyum penuh misterius.Diana menelan ludahnya karena dia tidak mengerti arah pembicaraan ini, tetapi ketakutan dan







