LOGINMax memejamkan mata saat satu suapan mendarat dengan mulus di dalam mulutnya. Cantik, cerdas, dan pandai masak. Itulah paket kombo gambaran wanita di depannya yang kini tengah tersenyum lebar sambil memandanginya. "Enak?" tanya Serena. Dari ekspresi pria itu sepertinya dia sukses mengeksekusi bahan makanan yang ada di lemari pendingin. "Terbaik," sahut Max seraya meraup satu sendok lagi dan memasukannya ke mulut. "Aku akan sering pulang buat makan siang di rumah kalau masakannya seenak ini." Serena berdecak seraya menopang dagu. "Jangan lebay. Masakanku jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan masakan Bi Jessi atau pun pelayan lain yang lebih berpengalaman di sini." Max mengangkat bahu tak peduli. "Mungkin, tapi masakanmu jelas berbeda." "Apa bedanya?" "Ada bumbu cinta yang bisa aku rasakan di sini." Serena tertawa tanpa suara. Lantas kepalanya menggeleng. Terserah lelaki itu saja. "Sekarang aku tanya, apa kamu terpaksa memasak ini untukku?" "Sedikit sih." Detik berikutn
"Nggak seharusnya kamu bicara seperti itu pada Asher tadi. Tanpa dia mungkin saat ini aku nggak ada di sisimu lagi," ucap Serena ketika dirinya dan Max masuk ke mansion. Max berjalan dengan tangan yang masih merangkul pinggang Serena. "Aku sangat tahu, Sayang. Mungkin aku juga tidak bisa membalas budinya. Tapi aku tidak suka melihat kalian dekat. Aku--"Rasanya percuma menjelaskan. Max tahu betul watak Serena yang satu ini. Saat dulu dia melarang dekat dengan Jeff pun dengan tegas wanita itu menolak. Max yakin hari ini pun sama. Terlebih Asher adalah teman lama yang sekarang merangkap menjadi superheronya. Serena tiba-tiba berhenti melangkah, dan secara otomatis Max pun berhenti. Dia melepas rangkulan tangan Max, dan memutar menghadap pria itu. "Sebaiknya kurangi rasa cemburu kamu yang berlebihan itu. Lihat!" Serena menunjukkan jari manisnya. "Kita sudah bertunangan. Aku juga nggak mungkin lari ke hati lain karena dari dulu hatiku dipenuhi kamu." Mendengar itu hati Max seperti he
Maaf ya, kemarin babnya kebalik ya/tertukar. Kepencet, wkwk. Semoga kalian paham. Dan semoga editor segera memperbaiki bab 129 dan 128. ================================Max masih bersama para shareholders di ruang meeting ketika telepon dari Ben masuk. Dia sampai menjeda rapat ketika menerima panggilan tersebut. Dan laporan Ben setelah itu membuat mood-nya mendadak berantakan. Ben mengatakan kalau Serena pergi bersama Asher. Baiklah. Max sangat berterimakasih karena pria itu sudah menyelamatkan Serena dari marabahaya waktu itu. Dia tidak akan melupakan jasanya. Tapi jika karena itu membuat hubungan mereka dekat lagi, Max merasa itu tidak benar. Dia tidak suka melihat Serena dekat dengan lelaki mana pun selain dirinya. Tidak bisa dan tidak boleh. Apalagi ada indikasi Asher menaruh hati pada wanita itu. Sebagai sesama pria, Max bisa merasakan itu. "Tuan Max!" Max tersentak saat Calvin menyenggol lengannya. Dia seperti baru bangun dari tidur, tatap abunya lantas melirik semua kepala
Satu jam berlalu, menyisakan napas keduanya yang terengah efek permainan hebat itu. Meski lelah dan bermandikan peluh, wajah keduanya terlihat cerah. Terlebih Max, yang akhirnya bisa kembali mencumbu wanita kesayangannya itu. Dia beringsut miring, menghadap Serena yang masih mengatur napas. Bibirnya menyeringai tipis. Tangannya dengan hati-hati merapikan rambut Serena yang berantakan menutupi dahi. "Sakit?" "Hm," gumam Serena menggeleng. Dia memejamkan mata, merasapi sisa-sisa hasil percintaan yang masih tertinggal di bawah perut sana. Intinya masih berdenyut kencang. Kali ketiga tidak sesakit kali pertama dan kedua. Serena merasa lega untuk hal ini. Namun satu yang dia takutkan. Bagaimana kalau setelah ini dia jadi tidak bisa mengendalikan diri? "Bagus dong." Max mengusap lembut kepala Serena, lantas mencium dahi wanita itu. "Mau lanjut tidur siang?" Serena hanya mengangguk sebagai jawaban. "Oke. Aku bersihkan badan kamu dulu." Max menyingkap selimut dan bangkit dari ranjang. Tanp
Nina berjengit kaget ketika mendengar sebuah dehaman keras. Wanita itu menoleh ke arah pintu dan terbelalak saat mendapati Max Evans ada di sana. Kontras dengan Serena yang tersenyum saat menoleh dan menemukan kekasihnya itu. "Serena, aku permisi," ucap Nina tampak gugup. Dia segera berdiri dan beranjak menuju pintu keluar dengan kepala menunduk. Pelayan itu sama sekali tidak berani mengangkat wajah, bahkan ketika berpapasan dengan Max Evans, dia hanya menyapa sedikit sambil terus menunduk sebelum tergesa-gesa keluar. Alis Max Evans sampai naik sebelah melihat tingkah pelayan itu. "Dia kenapa?" tanya Max seraya berjalan mendekati Serena. Serena bisa saja menjawab dan membahas ketakutan Nina, tapi dia memilih tersenyum dan mengangkat bahu. Tatap Max melirik laptop yang terbuka di atas meja, lalu membuang napas pelan. "Sayang, kamu baru pulang dari rumah sakit dan sekarang sudah mengerjakan tugas lagi?" tanyanya tak percaya. "Hanya sedikit. Tadi aku cuma ngecek email dari uni
"Semua sudah beres, Tuan. Suara Calvin samar-samar masuk ke pendengaran Serena. Wanita itu tidak tahu apa yang sedang Max dan asistennya bahas. Mungkin soal perusahaan, atau masalah penting lain. Begitu kegiatan makan siang selesai, kedua pria itu pamit padanya untuk mendiskusikan sesuatu di ruang kerja Max. Serena hanya mengangguk, mengiyakan selagi dirinya menikmati salad buah buatan Lety. Dan ketika wanita itu memutuskan kembali ke kamar tidak lama berselang, tanpa sengaja telinganya mendengar suara serius Calvin ketika melewati ruang kerja Max yang pintunya sedikit terbuka. "Mereka tidak akan bertahan dengan kemampuan yang mereka miliki. Ketiganya tidak pernah terlatih hidup bebas di alam liar."Lagi Serena mendengar ucapan Calvin, dan itu sukses membuat keningnya mengernyit. Hidup bebas di alam liar? Entah siapa yang mereka maksud. "Bagus, tetap pantau dari jauh. Aku ingin melihat penderitaan mereka Pelan-pelan." Kali ini suara Max. Terdengar dingin dan mampu membuat kuduk







