LOGINPagi-pagi sekali Serena sudah rapi. Mengenakan seragam pelayan yang panjangnya sampai bawah lutut. Jenis seragam yang cukup sopan dan tidak ada aksesoris aneh.
Atas arahan Jessica, dia ikut berkumpul bersama pekerja lain di aula mansion. Padahal matanya masih sangat berat. Bagaimana tidak? Sekarang baru pukul empat pagi, tapi mereka sudah berdiri rapi untuk mengikuti briefing.
"Mohon perhatian semuanya. Per hari ini kita ada tambahan mainpower lagi," ujar Jessica dengan lantang di depan para pelayan wanita yang jumlahnya sembilan orang termasuk Serena. "Serena, kamu bisa maju ke depan untuk memperkenalkan diri."
Gadis tujuh belas tahun itu mengangkat wajah. Hanya sebentar sebelum menunduk kembali dan berjalan ke depan.
Di sisi Jessica, Serena berdiri lalu menghadap rekannya. Dia bisa merasakan semua kepala yang ada di sana memperhatikannya dengan berbagai macam ekspresi. Gugup sedikit menyerang, tapi dengan cepat segera dia enyahkan.
Sebelum memberanikan diri menatap mereka, Serena menarik napas panjang, menahannya selama beberapa detik, sebelum mengembuskannya lewat mulut.
"Se-selamat pagi. Saya Serena. Salam kenal semuanya, mohon bimbingannya," ucap Serena memperkenalkan diri.
"Apa dia gadis yang katanya dibeli Tuan Max?"
Sebuah suara menyelak. Membuat Serena segera melirik ke sumber suara tersebut. Pun dengan Jessica yang kontan menukikkan alis mendengar pertanyaan itu.
"Lety! Jaga bicaramu!" tegur kepala pelayan itu.
Wanita yang disebut Lety itu memasang wajah masam. "Aku kan cuma tanya. Gosipnya sudah menyebar kalau Bibi mau tau."
"Pantas saja dia tinggal di mansion alih-alih di paviliun pelayan," celetuk lainnya. Wajah iri dengkinya terlihat begitu kental. "Kalau memang dia pelayan sama seperti kita seharusnya dia tinggal di tempat yang sama seperti kita."
"Nina! Siapa yang menyuruh kamu bicara?!" Kembali Jessica menegur keras, membuat perempuan bernama Nina itu langsung menunduk.
Suasana kembali hening di bawah tatapan menghujam Jessica. "Dengar! Saya tidak mau mendengar kalian bergosip atau membicarakan hal-hal di luar kerjaan kalian. Sekali lagi saya mendengar lagi ucapan-ucapan yang tidak masuk akal, saya akan bertindak tegas kepada kalian. Kalian cukup bekerja dengan benar, jangan membuat masalah yang bisa memantik kemarahan Tuan Max. Paham?!"
"Paham, Bi!"
Semua kompak menjawab. Tidak ada yang berani bersuara lagi sampai briefing pagi bubar.
"Serena," panggil Jessica memutar badan menghadap gadis itu. "Semua pelayan di sini punya tugasnya masing-masing. Seperti yang kemarin saya bilang kamu akan bertugas melayani keperluan Tuan Max." Wanita paruh baya itu menunjukkan satu bundel kertas. "Semua kebiasaan Tuan Max dari bangun tidur hingga tidur lagi tertulis di sini. Kamu bisa baca, dan jika ada yang tidak kamu mengerti bisa langsung tanya ke saya."
"Baik, Bi." Serena menerima bundelan kertas tersebut dan membaca isi di bagian depannya. Bukan hanya kebiasaan Tuan Max yang tertulis, bahkan gambar denah mansion ini pun ada. "Rumah besar ini punya desain yang lumayan membingungkan."
Jessica mengedipkan mata pelan, membenarkan. "Saya akan menyuruh Lety mengantar kamu berkeliling mansion. Kamu harus hafal tiap ruangan yang ada di sini." Tangan wanita itu terulur dan menepuk pelan pundak Serena. Tatapannya melembut. "Bekerja yang rajin, dan jangan membuat masalah di sini. Tuan Max agak sulit dihadapi."
"Saya akan berusaha, Bi."
Tidak ada pilihan lain. Setidaknya saat ini Serena memiliki tempat bernaung yang aman.
***
"Tidak ada yang istimewa. Bahkan dadamu sangat rata."
Ucapan sinis itu terlontar dari mulut Lety. Saat ini Serena sedang berkeliling mansion ditemani wanita itu. Wanita dewasa yang seragamnya kekecilan.
"Berapa usiamu?" Masih dengan nada angkuh Lety bertanya.
"Tujuh belas tahun."
"Apa?! Bahkan usiamu baru 17 tahun, bisa-bisanya Tuan Max menerimamu." Mata Lety memelotot syok. "Kamu benar-benar dibeli Tuan Max? Kamu belum cukup umur untuk bekerja sebagai pelayan di sini."
Wanita di depannya terlalu cerewet. Sebelumnya Jessica sudah berpesan untuk tidak terlalu menghiraukan Lety jika terlalu banyak bicara.
"Kak Lety, sebaiknya kita segera berkeliling. Jangan sampai kita kena omelan Bibi Jessi," ujar Serena mengingatkan. Dia kembali fokus pada gambar denah yang dia pegang.
Lety melengos kesal. Lantas menunjuk malas ruangan di sebelahnya. "Ini gym room. Setiap pagi sebelum sarapan biasanya Tuan Max nge-gym dulu di sini."
Serena mengangguk senang akhirnya Lety bisa fokus kembali.
"Aku heran kenapa Tuan Max mau membeli kamu. Demi apa pun selain warna mata kamu, tidak ada yang istimewa sama sekali."
Refleks Serena membuang napas. Dia pikir Lety sudah melupakan rasa penasarannya.
"Apalagi Tuan mengizinkan kamu tinggal di mansion ini! Aku yang sudah tiga tahun di sini hanya sekedar numpang tidur siang saja dilarang. Bagaimana bisa gadis kecil seperti kamu—Hei!"
Lety berseru kesal saat Serena mengabaikan dirinya dan memilih meninggalkan wanita itu.
Serena tertawa kecil sambil terus berjalan cepat. Pura-pura tidak mendengar Lety yang terus mengomel di belakangnya. Hingga—
"Ah!"
Tanpa sadar tubuhnya menghantam benda keras. Saking kerasnya Serena sampai terjungkal ke lantai.
Di belakang gadis itu, Lety yang sejak tadi mengomel sontak bungkam dengan wajah terkejut.
Serena mengusap kepalanya yang sempat terantuk benda keras itu sambil meringis. "Kenapa tiba-tiba ada beton di sini?" gumamnya pelan. Saat tatapnya bergulir ke atas untuk melihat apa yang dia tabrak, ringisan di wajahnya mendadak raib. Dia terkejut mendapati—
"Apa Tuan Max baik-baik saja?" tanya Lety yang segera sadar situasi. Kuduknya meremang melihat wajah masam tuannya itu.
Max tidak menjawab, tapi iris mata abunya melirik tajam Serena yang jatuh terduduk di lantai.
Sama halnya dengan Lety, Serena pun bisa merasakan kuduknya meremang. Wajah dingin Max bahkan mampu mengalahkan dinginnya pagi ini. Dada Serena berdebar kencang penuh ketakutan. Terlebih saat kaki Max maju selangkah.
Tanpa sadar Serena menelan ludah yang mendadak pahit ketika melihat pria yang menjulang di depannya itu membungkuk, mengulurkan sebelah tangan ke arahnya.
Serena pikir, Max akan memukulnya seperti saat ayahnya menemukan dirinya berbuat salah. Tapi—
"Ayo, bangun."
Saat melihat isyarat yang Max berikan, Serena langsung mengikuti pria itu, meninggalkan kerusuhan pagi hari yang disebabkan wanita bernama Irene.Dua sisi pintu mobil Max sudah terbuka saat dia sampai ke teras. Lengkap dengan Ben yang berdiri menyambut kedatangan Max dan dirinya. Sejak dimulainya perkuliahan, Serena selalu berangkat bersama Max. Bahkan jika jam kepulangan mereka sama, pria itu akan menjemputnya. Jika tidak, maka Ben yang ditugaskan untuk menjemput Serena.Sudah seperti tahanan. Tapi jujur, Serena bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi."Kenapa wanita tadi mencari saya?" tanya Serena begitu mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion."Entah. Mungkin dia cemburu padamu." Terdengar aneh jika wanita cantik seperti Irene merasa cemburu padanya. Secara wajah dan penampilan jelas Serena kalah telak. Apa yang perlu dicemburui? "Hari ini pulang sore atau siang?" tanya Max mengalihkan topik. "Sepertinya sore lagi," sahut Serena seray
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh







