Share

2. Tempat Asing

last update Huling Na-update: 2025-10-21 16:07:48

“Saya Jessica, kepala pelayan di mansion ini. Kamu bisa memanggil saya Bibi,” ucapnya, memperkenalkan diri singkat sebelum kemudian lanjut menjelaskan.

“Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini bersama kami. Tuan Calvin bilang saya harus menjaga kamu dan beliau juga berpesan agar saya mengajari kamu untuk melayani Tuan Max.”

“Me-melayani Tuan Max?” Ekspresi bingung dan takut tercetak jelas di wajah polos Serena.

Tangan Serena mengepal di depan dada. Kalau dibeli oleh Max berarti dia harus melayani pria itu di ranjang, bukankah … itu berarti sama saja dengan dijual ke rumah bordil?

Namun, seakan bisa membaca isi pikiran Serena, Jessica melanjutkan penjelasan, “Ya, kamu akan mengurus apa yang Tuan Max butuhkan di rumah ini. Pakaian kerjanya, makanannya, dan segala yang Tuan Max ingin lakukan di rumah ini, kamu nanti yang akan bertanggung jawab. Ke depannya jika ada hal yang tidak dimengerti kamu bisa langsung bertanya kepada saya.”

Mata bening Serena menatap Jessica. Bibirnya sedikit bergetar. “Tuan Max tidak akan memaksa saya untuk—”

“Jika yang kamu takutkan Tuan Max akan melampaui batas, dia tidak akan melakukan itu,” potong Jessica. “Kamu hanya akan dijadikan pelayan di sini."

Mendengar itu, perasaan Serena sedikit lega. Setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan—

"Meski begitu jangan sekali-kali berpikir untuk melarikan diri. Karena itu akan merugikan kamu sendiri."

Pandangan Serena kontan menunduk. "Saya tidak berani, Bi."

"Baik. Sekarang kamu ikut saya. Akan saya tunjukkan kamarmu."

Dengan patuh Serena mengikuti Jessica. Berbeda dengan wanita paruh baya itu yang berjalan cepat dan tegap, Serena berjalan penuh kebimbangan. Sesekali langkahnya tertinggal karena matanya sibuk mengawasi keadaan sekitar.

Rumah ini begitu luas dan besar. Dia melewati beberapa ruangan yang Serena tidak mengerti fungsinya apa. Bukan hanya itu, beberapa kali dia berpapasan dengan pelayan wanita yang memberi hormat pada Jessica.

Setengah berlari Serena mengejar langkah kepala pelayan itu yang sudah berbelok. Sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah ruangan yang pintunya terbuka.

"Ini kamar yang akan kamu tempati," ujar Jessica, lantas memasuki kamar itu terlebih dulu.

Serena menyusul kemudian. Dia disuguhi nuansa kamar yang serba putih. Luas dan bersih, sangat berbeda dengan kamarnya yang ada di rumah Jack Gilbert.

"Ini kamar saya?" tanyanya ragu, matanya tak lepas memandangi ranjang tidur yang kasurnya terlihat empuk. Di atas kasur tersebut terhampar duvert cover paduan warna kuning gading dan kopi. Seumur-umur Serena tidak pernah tidur di tempat yang senyaman itu.

Tatapnya lantas beredar ke furnitur lainnya. Ada meja rias juga lemari besar yang tingginya mencapai atap. Sofa panjang berwarna mocca berdiri cantik di dekat jendela tinggi.

"Ya, mulai sekarang kamu akan tidur di sini," ujar Jessica melangkah mendekati jendela, lantas membuka tirainya sehingga cahaya matahari sore berpendar masuk menyinari ruangan. "Kamu suka? Di saat pelayan lain tinggal di paviliun belakang, Tuan Max memilihkan kamar ini untuk kamu tinggali."

Serena masih sibuk mengawasi setiap sudut kamar dengan matanya. Kakinya bergerak pelan menuju sebuah pintu lain di sudut kamar.

"Itu kamar mandi. Oh, sebaiknya kamu bersihkan diri dulu, lalu menyusul ke depan untuk makan."

Ah, Serena hampir lupa perutnya yang tak nyaman karena kelaparan. Diingatkan soal makan, perutnya kembali mengeluarkan bunyi. Wajahnya memerah malu saat melihat Jessica tersenyum.

"Baiklah. Saya tunggu kamu di dapur depan. Oh iya, di lemari itu ada beberapa pakaian sehari-hari dan seragam pelayan yang harus kamu pakai selama jam kerja. Di luar jam kerja kamu bisa berpakaian biasa."

Serena mengangguk senang. Saat Jessica pamit pergi, dia memanggil. "Terima kasih, Bi," katanya lirih.

"Saya hanya mengikuti perintah Tuan Max dan Calvin. Kamu bisa berterima kasih dengan bersikap baik di sini," sahut Jessica sebelum menghilang dari balik pintu.

**

Pagi-pagi sekali Serena sudah rapi. Mengenakan seragam pelayan yang panjangnya sampai bawah lutut. Jenis seragam yang cukup sopan dan tidak ada aksesoris aneh.

Atas arahan Jessica, dia ikut berkumpul bersama pekerja lain di aula mansion. Padahal matanya masih sangat berat. Bagaimana tidak? Sekarang baru pukul empat pagi, tapi mereka sudah berdiri rapi untuk mengikuti briefing.

"Mohon perhatian semuanya. Per hari ini kita ada tambahan mainpower lagi," ujar Jessica dengan lantang di depan para pelayan wanita yang jumlahnya sembilan orang termasuk Serena. "Serena, kamu bisa maju ke depan untuk memperkenalkan diri."

Gadis tujuh belas tahun itu mengangkat wajah. Hanya sebentar sebelum menunduk kembali dan berjalan ke depan.

Di sisi Jessica, Serena berdiri lalu menghadap rekannya. Dia bisa merasakan semua kepala yang ada di sana memperhatikannya dengan berbagai macam ekspresi. Gugup sedikit menyerang, tapi dengan cepat segera dia enyahkan.

Sebelum memberanikan diri menatap mereka, Serena menarik napas panjang, menahannya selama beberapa detik, sebelum mengembuskannya lewat mulut.

"Se-selamat pagi. Saya Serena. Salam kenal semuanya, mohon bimbingannya," ucap Serena memperkenalkan diri.

"Apa dia gadis yang katanya dibeli Tuan Max?"

Sebuah suara menyelak. Membuat Serena segera melirik ke sumber suara tersebut. Pun dengan Jessica yang kontan menukikkan alis mendengar pertanyaan itu.

"Lety! Jaga bicaramu!" tegur kepala pelayan itu.

Wanita yang disebut Lety itu memasang wajah masam. "Aku kan cuma tanya. Gosipnya sudah menyebar kalau Bibi mau tau."

"Pantas saja dia tinggal di mansion alih-alih di paviliun pelayan," celetuk lainnya. Wajah iri dengkinya terlihat begitu kental. "Kalau memang dia pelayan sama seperti kita seharusnya dia tinggal di tempat yang sama seperti kita."

Serena bisa merasakan tubuhnya bergetar.

Ini baru hari pertamanya, tapi sebuah masalah sudah muncul di depan mata.

Apa … yang harus dia lakukan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anies
kalo udah baca berasa nggak pengen berhenti, padahal hari ini juga pertama kali aku buka GN lagi sejak beberapa bulan terakhir
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   126. Mama

    "Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   125. Tidak Menyerah

    "Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   124. Hukuman

    Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   123. Usut Tuntas

    Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   122. Merepotkanmu Lagi

    Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir

  • Pelayan Cantik Sang Presdir   121. Cemas

    Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status