LOGINSerena meluruhkan bahu. Dia tahu hidup bersama ayahnya penuh derita, tapi di tempat baru ini belum tentu akan lebih baik. Faktanya dia sudah dibeli layaknya barang. Sakit hati, kecewa, marah bercampur di dada, membuat napasnya terasa sesak.
Setelah ini apa? Pandangan Serena mengedar, menyapu setiap sudut ruangan asing ini. Atap tinggi, tirai panjang merumbai, lampu kristal raksasa, perabot mewah yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, lalu lantai yang bisa memantulkan bayangan.
Seperti sangkar emas. Dan dia akan terjebak di sini selamanya. Lagi-lagi hatinya teriris pilu. Andai ibu masih hidup, Serena yakin nasibnya tidak akan sesial sekarang.
Gadis tujuh belas tahun ini menunduk dan menarik napas berat. Sejak Tuan Max dan Calvin membawanya ke sini, mereka belum juga kembali. Serena tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Tangannya meraba perutnya yang keroncongan. Bukan hanya menjualnya, sang ayah bahkan tidak memberinya makan.
Suara ketukan langkah terdengar. Meremas perut, Serena mendongak perlahan. Seorang wanita paruh baya berwajah persegi dengan rambut disanggul rapi, serta mengenakan setelan kerja abu datang mendekat. Wajahnya tidak bersahabat, setipe dengan pemilik rumah megah ini.
“Kamu Serena Gilbert?” tanya wanita itu ketika sukses berdiri di depan Serena yang tengah duduk melantai.
“I-iya.” Serena mengangguk. Gugup menyerang gadis itu. Berbagai macam pikiran buruk melintas.
Tanpa disangka wanita bersanggul rapi itu tersenyum. Meskipun tidak lebar. “Saya Jessica, kepala pelayan di mansion ini. Berdiri, Nak.”
Ada kelegaan yang menyerbu mendapati sikap wanita bernama Jessica itu. Serena berdiri dan tersenyum kaku. “Terima kasih, Nyonya.”
Jessica menggeleng. “Jangan panggil saya nyonya. Saya bukan nyonya di sini. Panggil saya Bibi.”
“Bibi Jessica.”
Jessica mengangguk. “Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini bersama kami. Tuan Calvin bilang saya harus menjaga kamu dan beliau juga berpesan agar saya mengajari kamu untuk melayani Tuan Max,” terang Jessica, mata legamnya diam-diam mengamati penampilan Serena yang mengenaskan.
Paras gadis itu cantik, hanya saja kurang terawat. Jessica tidak tahu maksud tuannya membeli seorang gadis. Serena Gilbert masih terlalu belia.
Dia menghela napas, merasa kasihan dengan nasib buruk gadis itu yang sudah dijual ayahnya sendiri.
“Me-melayani Tuan Max?” Ekspresi bingung dan takut tercetak jelas di wajah polos Serena.
“Ya, kamu akan mengurus apa yang Tuan Max butuhkan di rumah ini. Pakaian kerjanya, makanannya, dan segala yang Tuan Max ingin lakukan di rumah ini, kamu nanti yang akan bertanggung jawab. Ke depannya jika ada hal yang tidak dimengerti kamu bisa langsung bertanya kepada saya.” Jessica berusaha menjelaskan pelan. Berharap gadis itu paham apa yang dia katakan.
Mata bening Serena menatap Jessica. Bibirnya sedikit bergetar. “Tuan Max tidak akan memaksa saya untuk—”
“Kamu masih terlalu muda,” potong Jessica cepat, dia tahu ketakutan gadis itu. “Jika yang kamu takutkan Tuan Max akan melampaui batas, dia tidak akan melakukan itu. Kamu hanya akan dijadikan pelayan di sini."
Mendengar itu, perasaan Serena sedikit lega. Setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan—
"Meski begitu jangan sekali-kali berpikir untuk melarikan diri. Karena itu akan merugikan kamu sendiri."
Pandangan Serena kontan menunduk. "Saya tidak berani, Bi."
"Baik. Sekarang kamu ikut saya. Akan saya tunjukkan kamarmu."
Dengan patuh Serena mengikuti Jessica. Berbeda dengan wanita paruh baya itu yang berjalan cepat dan tegap, Serena berjalan penuh kebimbangan. Sesekali langkahnya tertinggal karena matanya sibuk mengawasi keadaan sekitar.
Rumah ini begitu luas dan besar. Dia melewati beberapa ruangan yang Serena tidak mengerti fungsinya apa. Bukan hanya itu, beberapa kali dia berpapasan dengan pelayan wanita yang memberi hormat pada Jessica.
Setengah berlari Serena mengejar langkah kepala pelayan itu yang sudah berbelok. Sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah ruangan yang pintunya terbuka.
"Ini kamar yang akan kamu tempati," ujar Jessica, lantas memasuki kamar itu terlebih dulu.
Serena menyusul kemudian. Dia disuguhi nuansa kamar yang serba putih. Luas dan bersih, sangat berbeda dengan kamarnya yang ada di rumah Jack Gilbert.
"Ini kamar saya?" tanyanya ragu, matanya tak lepas memandangi ranjang tidur yang kasurnya terlihat empuk. Di atas kasur tersebut terhampar duvert cover paduan warna kuning gading dan kopi. Seumur-umur Serena tidak pernah tidur di tempat yang senyaman itu.
Tatapnya lantas beredar ke furnitur lainnya. Ada meja rias juga lemari besar yang tingginya mencapai atap. Sofa panjang berwarna mocca berdiri cantik di dekat jendela tinggi.
"Ya, mulai sekarang kamu akan tidur di sini," ujar Jessica melangkah mendekati jendela, lantas membuka tirainya sehingga cahaya matahari sore berpendar masuk menyinari ruangan. "Kamu suka? Di saat pelayan lain tinggal di paviliun belakang, Tuan Max memilihkan kamar ini untuk kamu tinggali."
Serena masih sibuk mengawasi setiap sudut kamar dengan matanya. Kakinya bergerak pelan menuju sebuah pintu lain di sudut kamar.
"Itu kamar mandi. Oh, sebaiknya kamu bersihkan diri dulu, lalu menyusul ke depan untuk makan."
Ah, Serena hampir lupa perutnya yang tak nyaman karena kelaparan. Diingatkan soal makan, perutnya kembali mengeluarkan bunyi. Wajahnya memerah malu saat melihat Jessica tersenyum.
"Baiklah. Saya tunggu kamu di dapur depan. Oh iya, di lemari itu ada beberapa pakaian sehari-hari dan seragam pelayan yang harus kamu pakai selama jam kerja. Di luar jam kerja kamu bisa berpakaian biasa."
Serena mengangguk senang. Saat Jessica pamit pergi, dia memanggil. "Terima kasih, Bi," katanya lirih.
"Saya hanya mengikuti perintah Tuan Max dan Calvin. Kamu bisa berterima kasih dengan bersikap baik di sini," sahut Jessica sebelum menghilang dari balik pintu.
Sekali lagi pandangan mata Serena mengedar. Di benaknya terbersit pertanyaan. Apakah dia harus bersyukur dengan keadaan ini, atau terus meratapi sakit hatinya pada sang ayah?
Saat melihat isyarat yang Max berikan, Serena langsung mengikuti pria itu, meninggalkan kerusuhan pagi hari yang disebabkan wanita bernama Irene.Dua sisi pintu mobil Max sudah terbuka saat dia sampai ke teras. Lengkap dengan Ben yang berdiri menyambut kedatangan Max dan dirinya. Sejak dimulainya perkuliahan, Serena selalu berangkat bersama Max. Bahkan jika jam kepulangan mereka sama, pria itu akan menjemputnya. Jika tidak, maka Ben yang ditugaskan untuk menjemput Serena.Sudah seperti tahanan. Tapi jujur, Serena bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi."Kenapa wanita tadi mencari saya?" tanya Serena begitu mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion."Entah. Mungkin dia cemburu padamu." Terdengar aneh jika wanita cantik seperti Irene merasa cemburu padanya. Secara wajah dan penampilan jelas Serena kalah telak. Apa yang perlu dicemburui? "Hari ini pulang sore atau siang?" tanya Max mengalihkan topik. "Sepertinya sore lagi," sahut Serena seray
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh







