Mag-log in‘Dekati Tuan Max. Buat dia tergila-gila sama kamu. Dengan begitu, kamu bisa mengamankan posisimu di rumah ini, dan tidak perlu khawatir lagi harus hidup susah!’
Kalimat Lety yang terus terngiang di benaknya membuat Serena menghela napas berat. Setelah tadi selesai mengelilingi kediaman dengan Lety, Jessica langsung memberikannya tugas untuk mengirimkan makan pagi kepada Max. Jessica bilang pagi ini pria itu ingin sarapannya diantar ke ruang kerja pribadinya di lantai dua, jadi Serena pun pergi menuju ruangan pria tersebut sesuai perintah. Namun, setelah insiden tabrakan tadi pagi, ditambah juga omongan Lety yang terkesan melantur, Serena jadi gugup setengah mati dan tidak bisa berpikiran yang tidak-tidak! Menggelengkan kepalanya erat, Serena yang sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Max bergumam, “Aku … hanya akan bekerja dengan baik.” Mengetuk pintu dua kali, Serena pun mendorongnya terbuka dan melangkah masuk ke dalam. Saat sudah di dalam, seketika gadis muda itu terpukau. Ruangan itu seperti sebuah dunia lain. Sunyi, hangat, dan dipenuhi cahaya lembut yang memantul dari deretan lemari kayu gelap yang berjajar rapi membentuk lorong-lorong kecil. Masuk lebih dalam, Serena bisa melihat meja kerja Max Evans tepat di samping jendela kaca besar yang bagian atasnya melengkung. Lewat jendela itu, Serena bisa melihat pepohonan tinggi yang menjadi pemandangan. Gadis yang sangat menyukai buku itu mencoba mendekati salah satu lemari. Lengannya terangkat dan jemari lentiknya perlahan menyentuh setiap buku yang tertata rapi di sana. "Penyusunannya sempurna," bisiknya. "Setiap buku disusun berdasarkan jenisnya." Matanya tertarik dengan salah satu judul buku, dan tanpa ragu menariknya dari rak. “Buku ini sudah lama ingin kubaca,” gumamnya lagi seraya tersenyum, lantas dengan tak sabar membuka lembaran di dalamnya. Mata cokelatnya berbinar penuh, dadanya berdebar hanya karena membaca kalimat demi kalimat yang tertuang di buku itu. Sejenak dia lupa tujuannya datang ke ruangan ini hingga tidak menyadari kehadiran seseorang. “Tidak kusangka kamu suka membaca.” Serena terlonjak kaget. Refleks, buku yang ia pegang terlepas dari tangannya dan jatuh berdebum ke lantai. Dari posisinya, Max Evans menatap reaksi Serena dengan satu alis terangkat. “Tuan, maaf. Saya tidak bermaksud—” Serena langsung mundur selangkah ketika Max membungkuk untuk mengambil buku yang jatuh. Bibirnya terkatup rapat, wajahnya menunduk dalam, tak berani menatap pria itu. Saat membaca judul buku yang ia pungut, suara rendah Max terdengar berkata, “Ini karya klasik. Aku tidak yakin anak muda sepertimu menyukai buku seperti ini.” Mendengar itu, Serena memberanikan diri mengangkat wajah. “Saya suka karya klasik.” “Oh?” Max tampak ingin menguji. “Buku siapa yang pernah kamu baca?” “Ken Kesey, Jane Austen, Harper Lee, Daniel Defoe, dan beberapa penulis lainnya,” jawab Serena jujur. Max terdiam sejenak, tak menyangka. Pria yang biasanya minim ekspresi itu mengangguk pelan. “Kalau begitu, mungkin kamu akan suka berada di sini.” Sebelah tangannya menepuk ringan deretan buku di rak. “Ada banyak karya klasik di sini. Tapi sayangnya, aku tidak suka ada orang lain menyentuh barang-barang pribadiku,” ujarnya, terdengar seperti peringatan halus. Serena sedikit terperanjat dan buru-buru menunduk. “Maafkan kelancangan saya, Tuan Max.” Max hanya bergumam singkat sebelum berjalan menuju meja kerjanya. “Apa kamu hanya akan berdiri di sana?” Tersentak, Serena mengangkat pandangan untuk melihat sosok Max yang sudah duduk di kursi kebesarannya. Teko dan cangkir teh di atas nampan berada tepat di hadapannya. Menyadari kelalaiannya, Serena cepat bergerak mengerjakan tugas. Menuang teh ke cangkir yang sudah dia siapkan. Tepat saat itu ketukan pintu terdengar, pria bermata biru dengan rambut belah pinggir masuk. Itu Calvin, asisten pribadi Max Evans. Langkahnya memelan ketika tatap birunya melirik Serena yang sedang tekun menuang teh. "Dia putri Jack Gilbert?" tanyanya ragu. Terakhir melihat, gadis itu sangat kumal dan kumuh. Setelah penampilannya berubah, Calvin benar-benar tak menyangka jika putri Jack Gilbert adalah gadis yang cantik. "Ya," sahut Max singkat sembari menerima cangkir teh yang Serena sodorkan. Diam-diam Calvin terus mengawasi gadis itu. Andai Serena sudah cukup umur, dia yakin seratus persen gadis itu akan dengan mudah menarik perhatian sang tuan besar. "Ada laporan apa?" Suara bariton Max membuyarkan pikiran Calvin seketika. Pria itu segera mengalihkan perhatian pada tuannya. "Semua masalah di sisi tenggara sudah selesai, Tuan. Besok akan ada jadwal kunjungan serta launching resmi produk ekspor terbaru milik kita," terang Calvin. Dia juga menambahkan bahwa Max Evans mendapatkan undangan pesta dari rival perusahaan. "Apa Anda akan hadir?" tanya Calvin memastikan. Mata abu-abu milik Max bergulir menatap asistennya. "Tidak." Merasa tidak sopan berada dalam ruangan tersebut kala Calvin dan Max membicarakan bisnis, Serena lekas pamit. “Jika ada sesuatu, silakan panggil saya, Tuan,” ucapnya, sebelum kemudian berjalan menuju pintu. Selagi Serena meninggalkan ruangan, kembali tatapan Calvin mengikuti pergerakan gadis itu. Hanya ketika Serena menghilang dari pandangan, barulah pria tersebut mengalihkan fokusnya kembali kepada sang majikan. Saat sadar betapa dinginnya ekspresi Max, Calvin menautkan alis. “Apa?” Menyesap tehnya seraya menutup mata, Max berucap, "Dia gadis di bawah umur," tegurnya, tampak tak suka melihat cara asistennya memandang Serena dengan penuh minat. Calvin mengerjapkan pandangan, sedikit bingung untuk sesaat sebelum kemudian dia terkekeh. "Saya tahu, Tuan. Perlu tiga tahun lagi untuk Anda melegalkan dia." Mendengar kalimat Calvin, pelipis Max berkedut. "Jangan bicara omong kosong," balasnya lagi, tahu maksud sang asisten. Namun, Max tidak segila itu. Usianya sangat jauh di atas Serena. Jadi, mereka tidak mungkin "Anda tidak tertarik?" Max tidak langsung menjawab. Dia seakan tahu isi kepala Calvin. "Kalaupun aku tidak tertarik, bukan berarti kamu boleh menyentuhnya." Mendengar itu, Calvin tersenyum penuh arti. "Apa dia akan tetap di sini? Menjadi pelayan? Seandainya orang tuanya bukan Jack Gilbert, dengan nilai yang membanggakan itu, dia pasti sudah diterima di perguruan tinggi terkenal." Ucapan Calvin membuat Max tercenung selama beberapa saat. Akan sangat bermanfaat jika otak cerdas itu bisa diberdayakan. Max memandang asistennya itu. "Kalau begitu, kamu urus sekolahnya." "Anda serius?" "Hm." Tidak peduli mata sang asisten yang melebar, Max kembali menyeruput tehnya. Setidaknya uang yang dia keluarkan tidak akan sia-sia seandainya Serena bisa bekerja untuk perusahaan suatu hari nanti."Keputusanku kembali berkerjasama dengan Evans Group, membuat kita bisa bertemu, Serena." Senyum manis Jeff terkembang. Dia berdiri di belakang sang kakak, lalu menepuk bahu wanita itu. "Serena, apa kamu mau memaafkan kakakku?" tanya pria itu lembut. Serena tidak langsung menjawab. Tidak seperti ketika di Paris, wanita itu sama sekali tidak bisa menangis meskipun matanya terasa panas. Sekali lagi dia menatap tunangannya yang belum bersuara. Pria itu tersenyum kecil, pandangan matanya yang lembut membuat perasaan Serena sedikit tenang. Serena menarik napas panjang. Mungkin sedikit berat, tapi kalau tidak ingin hal ini membebaninya terus menerus, Serena harus bisa melepasnya dengan hati lapang. Semua yang terjadi padanya bukan sepenuhnya kesalahan Helen. Mungkin memang takdir mengharuskan dirinya melalui jalan yang berliku sebelum menemui kebahagiaan. Sungguh tidak mudah bagi Serena, tapi jika dia tidak belajar memaafkan, hatinya mungkin tidak akan pernah tenang. Seperti ketika dirin
"Apa kalian sudah selesai mengobrol?" Max bukannya tidak tahu Serena dan lelaki yang dulu tinggi kurus itu tengah berbisik-bisik. Menyebalkan, tapi Max tidak bisa berbuat apa-apa demi menjaga image. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel begitu duduk di pojokan sofa. Bibir Serena melengkung dan menatap tunangannya itu. "Ini sudah selesai kok. Asher bilang dia mau pergi, masih ada urusan," ucapnya, melirik Asher dengan ujung mata sambil tetap mempertahankan senyum. Alis Asher mengeriting mendengar itu. Matanya memelotot kesal. "Kapan aku bilang begitu? Aku punya banyak wak--" Dia menghentikan kalimatnya ketika Serena mendelik dan memperingatkan lelaki itu untuk tutup mulut. Bibir Asher manyun seketika. Dengan sangat terpaksa dia pun pamit. Meski sejujurnya sangat tidak rela membiarkan Serena dan Max hanya berduaan. Max hanya menggeram tak acuh ketika pria itu pamit. Setelah memastikan Asher keluar dari ruangan, dia segera menghampiri Serena dan duduk di kursi yang tadi Asher duduki. "K
Max duduk menyilangkan kaki di atas kursi kebesarannya. Wajahnya tampak dingin, dan rahangnya mengeras. Tatap tajamnya menyorot tiga wanita yang berlutut di depannya dengan wajah ketakutan. Max tidak menyangka akan melakukan ini lagi setelah beberapa tahun lamanya. Menghukum orang yang membuat masalah dengannya. Di ruang negosiasi khusus, tempat pertama kali dirinya bertemu dengan Serena remaja. Dia tidak akan membiarkan polisi dengan mudah menangkap tiga wanita yang berani mengusik Serena, sebelum menerima hukuman darinya, tentu saja. Mereka harus siap menerima konsekuensi atas perbuatan yang mereka lakukan. Max sudah terlalu memanjakan mereka selama ini sehingga ketiganya berani melampaui batas. "Apa kalian pikir Tuan Max tidak akan tahu perbuatan kalian?" Calvin yang biasa bersikap ramah pada ketiga wanita itu ikut melempar tatapan dingin dan muak. "Benar-benar tidak tahu diri. Kalau bukan karena kebaikan Tuan Max, kalian tidak akan bisa menikmati hidup. Dan jadi seperti sekar
Belum ada kabar atau petunjuk apa pun ketika Max dan Jeff sampai di selatan kota. Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol baru yang berdekatan dengan proyek apartemen—entah milik perusahaan mana—sudah mereka datangi. Tapi tidak ada sesuatu yang mereka temukan. Semalaman suntuk Jeff dan Max berkeliling daerah itu hingga kelelahan. Keduanya memutuskan menginap di sebuah penginapan kecil untuk beristirahat sebelum melanjutkan pencarian. Namun rasa cemas berlebih tidak bisa membuat Max terpejam barang sejenak. Pikirannya kalut, kepalanya penuh dengan praduga. Entah pukul berapa dia jatuh tertidur, yang pasti ketika kembali terjaga dia melewatkan panggilan tak terjawab sebanyak tiga kali dari nomor yang tak dikenal. Refleks pria itu bergerak bangun, dan segera menghubungi balik nomor tersebut. Dia sangat berharap Serena-lah yang menghubunginya. Namun, ketika panggilan tersambung, yang dia dengar adalah suara seorang pria. "Benar ini Tuan Max Evans?" Hati Max mencelus mendengar naman
Serena membuka mata saat tubuhnya merasakan sakit luar biasa. Dia mengerjap pelan menyesuaikan cahaya terang di ruang serba putih itu. Selain atap putih bersih, hal pertama yang dia lihat adalah botol infus beserta selangnya yang tergantung di sisi kiri tempatnya berbaring. Serena menyadari dirinya berada di rumah sakit. Seketika dia bernapas lega lantaran selamat dari bahaya. Wanita itu memicingkan mata ketika merasakan sakit lagi. Dia mendengar suara pintu dibuka tidak berapa lama. Tatapnya menemukan pria yang sudah menolongnya semalam. Asher. Serena ingat semunya. Jika bukan karena kemunculan pria itu mungkin dirinya sudah tidak tertolong lagi. "Serena, kamu sudah bangun! Aku panggil dokter dulu!" seru Asher yang langsung keluar lagi. Serena yang akan membuka mulut urung. Padahal pria itu hanya perlu menekan bel emergency call untuk memanggil dokter. Tidak lama, Asher kembali masuk lagi bersama dokter dan perawat. "Keadaan pasien makin membaik, tapi dia masih perlu banyak istir
Di ruang tamu besar mansion, Max Evans mondar-mandir dengan gelisah. Bolak-balik dia menghubungi nomor ponsel Séréna tapi tidak berhasil tersambung. Ponsel wanita itu tidak aktif. Bukan hanya dia yang cemas, Jeff dan Helen yang sekarang ada di mansionnnya juga tampak khawatir. Sejak terakhir Max menghubunginya, ponsel Serena tiba-tiba tidak aktif. Satu jam, dua jam, hingga Jeff dan Helen datang, Serena belum juga pulang. Lokasi terakhir GPS menunjukkan wanita itu berada di perpus. Setelah itu dia tidak bisa melacaknya lagi. Calvin bahkan sudah ke perpus dan menghubungi petugas yang berjaga hari ini. Namun penjaga perpus mengatakan Serena sudah pulang menggunakan taksi dari beberapa jam lalu. "Ponsel Serena masih belum aktif, Max?" tanya Helen yang merasakan kecemasan sama. Max menggeleng. Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Hatinya tidak tenang. Sudah pukul tujuh lebih, tapi masih belum ada kabar dari Serena. "Bagaimana kalau kita lapor polisi saja?" usul Helen. "Polisi ti







