LOGINMata Serena mengerjap. Bukan ingin memukul, tapi ternyata pria itu ingin membantunya. Meski masih dilingkupi rasa takut, Serena menerima uluran tangan Max.
"Terima kasih, Tuan," ucapnya seraya menundukkan pandang.
"Apa ada yang sakit?" tanya Max.
Serena menggeleng. Dengan terbata dia menjawab. "Ti-tidak ada, Tuan. Maaf atas kecerobohan saya." Kepalanya makin menunduk dalam.
"Lain kali hati-hati." Max memperhatikan gadis itu dalam diam selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan beranjak menuju ruang gym.
Kepergian Max membuat Serena menemukan kembali udara sekitar yang sempat menipis. Dia mengusap dada dan membuang napas pelan dari mulut. Baru hari pertama tapi sudah melakukan kesalahan.
"Serena!" pekik Lety. Membuat Serena serta merta menoleh.
Ah, dia hampir lupa dengan keberadaan seniornya itu.
Mulut Lety ternganga tak percaya. Dia berjalan mendekati Serena sambil memindai gadis itu dari ujung rambut hingga kaki.
"Ada apa, Kak?" tanya Serena bingung dengan tingkah pelayan seksi itu.
"Apa aku tidak salah lihat?" Lety menunjuk ruangan yang di dalamnya ada Max Evans, lantas menunjuk Serena Dengan mata melebar. "Ajaib sekali Tuan Max tidak marah. Biasanya kesalahan sedikit saja bisa jadi masalah besar. Tapi kamu? Pelayan under training bisa dimaafkan begitu saja?" Lety menggeleng masih tak percaya.
Serena hanya nyengir mendengar ucapan seniornya itu. Baginya lolos dari amukan tuannya sudah sangat bersyukur.
Tiba-tiba mata Lety menyipit dan senyumnya yang penuh makna terbit. "Itu pasti karena Tuan Max memiliki perasaan spesial ke kamu."
Hah? Spesial? Mustahil!
"Kamu harus bisa memanfaatkan ini dengan baik, Serena."
"Maksud Kak Lety?"
"Dekati Tuan Max. Buat dia tergila-gila sama kamu."
Serena benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran rekannya yang satu itu. Dia menarik napas panjang dan tersenyum tipis.
"Kak Lety, di sini aku cuma kerja dan nggak mau melakukan hal aneh-aneh. Bisa-bisa Tuan Max memenggal kepalaku." Setelah mengatakan itu Serena beranjak meninggalkan Lety.
Pelayan bergincu merah itu mendengus kesal. "Dasar bodoh! Punya peluang malah disia-siakan!"
**
Tidak ingin melakukan kesalahan lagi, Serena bergegas menyiapkan sarapan pagi untuk Max Evans. Jessica bilang pagi ini pria itu ingin sarapannya diantar ke ruang kerja pribadinya di lantai dua.
Ah, mengingat kejadian pagi tadi membuat Serena refleks memejamkan mata. Setelah membantunya bangun dari lantai, Max Evans langsung pergi masuk ke ruang gym tanpa mengucapkan apa pun lagi. Dan acara berkeliling mansion yang belum selesai pun terpaksa ditunda. Serena juga tidak ingin mendengar saran konyol Lety.
Beruntung dia memiliki denah rumah besar ini sehingga bisa menemukan ruang kerja milik Max Evans.
Seperti menemukan harta karun ketika Serena pertama kali masuk ke ruang kerja ini. Dia tidak mengira akan banyak melihat koleksi berbagai macam buku di ruangan itu. Bukan hanya satu dua lemari buku, tapi banyak. Tersusun dan berjajar rapi seperti sebuah perpustakaan. Masuk lebih dalam dia bisa melihat meja kerja Max Evans tepat di samping jendela kaca besar yang bagian atasnya melengkung.
Lewat jendela itu Serena bisa melihat pepohonan tinggi yang menjadi pemandangan.
Gadis yang sangat menyukai buku itu mencoba mendekati salah satu lemari. Lengannya terangkat dan jemari lentiknya perlahan menyentuh setiap buku yang tertata rapi di sana.
"Penyusunannya sempurna," bisiknya. "Setiap buku disusun berdasarkan jenisnya." Matanya tertarik dengan salah satu judul buku, dan tanpa ragu menariknya dari rak. "Buku ini sudah lama ingin kubaca," gumamnya lagi seraya tersenyum, lantas dengan tak sabar membuka lembaran di dalamnya.
Mata cokelatnya berbinar penuh, dadanya berdebar hanya karena membaca kalimat demi kalimat yang tertuang di buku itu. Sejenak dia lupa tujuannya datang ke ruangan ini hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.
"Kamu suka membaca?"
Serena terlonjak kaget, dan secara refleks buku yang Serena pegang terlepas dari tangan, jatuh berdebum di lantai.
Di posisinya Max Evans menatap reaksi Serena dengan alis terangkat sebelah.
"Tuan, maaf. Saya tidak bermaksud—" kaki Serena bergerak mundur kala Max Evan membungkuk untuk meraih buku yang tergeletak di lantai. Bibirnya terkatup rapat, wajahnya sontak menunduk tidak berani menatap pria itu.
"Aku mengejutkanmu?" tanya Max. Sudut bibirnya naik membaca judul buku yang dia pungut. "Ini karya klasik. Aku tidak yakin anak muda sepertimu menyukai buku ini."
Mendengar itu Serena memberanikan diri mengangkat wajah. "Saya suka karya klasik."
"Oh ya? Buku siapa yang pernah kamu baca?" Max tergelitik mencari jejak bualan pada ucapan Serena.
"Ken Kesey, Jane Austen, Herper Lee, Daniel Defoe juga beberapa penulis lainnya."
"Oh." Jawaban yang sama sekali tidak Max duga. Pria minim ekspresi itu mengangguk pelan. "Kalau begitu mungkin kamu akan suka berada di sini." Sebelah tangan Max menepuk pelan buku-buku koleksinya yang ada di rak. "Ada banyak karya klasik di sini. Tapi sayangnya, aku tidak suka ada orang lain yang menyentuh barang pribadiku," pungkasnya seolah memperingatkan Serena.
Gadis itu sedikit terperanjat dan kembali menunduk. "Maafkan kelancangan saya, Tuan Max," ucapnya menelan ludah.
Max hanya bergumam pelan sebelum melangkah menuju meja kerjanya. "Apa kamu hanya akan berdiri saja di situ tanpa menuang teh?"
Lagi-lagi Serena terkesiap. Menyadari kelalaiannya dia cepat bergerak mengerjakan tugas. Menuang teh ke cangkir yang sudah dia siapkan.
Tepat saat itu ketukan pintu terdengar, pria bermata biru dengan rambut belah pinggir masuk. Dia Calvin asisten pribadi Max Evans. Langkahnya memelan ketika tatap birunya melirik Serena yang sedang tekun menuang teh.
"Dia putri Jack Gilbert?" tanyanya ragu. Terakhir melihat, gadis itu sangat kumal dan kumuh. Setelah penampilannya berubah, Calvin benar-benar sadar jika putri Jack Gilbert adalah gadis yang cantik.
"Ya," sahut Max singkat sembari menerima cangkir teh yang Serena sodorkan.
Diam-diam Calvin terus mengawasi gadis itu. Andai Serena sudah cukup umur, dia yakin seratus persen gadis itu akan dengan mudah menarik perhatian sang tuan besar.
"Ada laporan apa?"
Suara bariton Max membuyarkan pikiran Calvin seketika. Pria itu segera mengalihkan perhatian pada tuannya.
"Semua masalah di sisi tenggara sudah selesai, Tuan. Besok akan ada jadwal kunjungan serta launching resmi produk ekspor terbaru milik kita," terang Calvin. Dia juga menambahkan bahwa Max Evans mendapatkan undangan pesta dari rival perusahaan. "Apa Anda akan hadir?" tanya Calvin memastikan.
Mata abu-abu milik Max bergulir menatap asistennya. "Tidak."
Di saat bersamaan, Serena izin pamit keluar. Kembali tatap Calvin mengikuti pergerakan gadis itu sampai hilang dari pandangan.
"Dia gadis di bawah umur," tegur Max, tampak tak suka melihat cara asistennya memandang Serena dengan penuh minat.
Teguran itu membuat Calvin terkekeh pelan. "Saya tau, Tuan. Perlu tiga tahun lagi untuk Anda melegalkan dia."
"Jangan bicara omong kosong." Max tidak segila itu. Usianya sangat jauh di atas Serena.
"Anda tidak tertarik?"
Max tidak langsung menjawab. Dia seakan tahu isi kepala Calvin. "Kalaupun aku tidak tertarik, bukan berarti kamu boleh menyentuhnya."
Mendengar itu Calvin tersenyum penuh arti. "Apa dia akan tetap di sini? Menjadi pelayan? Seandainya orang tuanya bukan Jack Gilbert, dengan nilai yang membanggakan itu, dia pasti sudah diterima di perguruan tinggi terkenal."
Ucapan Calvin membuat Max tercenung selama beberapa saat. Akan sangat bermanfaat jika otak cerdas itu bisa diberdayakan. Max memandang asistennya itu. "Kalau begitu, kamu urus sekolahnya."
"Anda serius?"
"Hm." Tidak peduli mata sang asisten yang melebar, Max kembali menyeruput tehnya. Setidaknya uang yang dia keluarkan tidak akan sia-sia seandainya Serena bisa bekerja untuk perusahaan suatu hari nanti.
Saat melihat isyarat yang Max berikan, Serena langsung mengikuti pria itu, meninggalkan kerusuhan pagi hari yang disebabkan wanita bernama Irene.Dua sisi pintu mobil Max sudah terbuka saat dia sampai ke teras. Lengkap dengan Ben yang berdiri menyambut kedatangan Max dan dirinya. Sejak dimulainya perkuliahan, Serena selalu berangkat bersama Max. Bahkan jika jam kepulangan mereka sama, pria itu akan menjemputnya. Jika tidak, maka Ben yang ditugaskan untuk menjemput Serena.Sudah seperti tahanan. Tapi jujur, Serena bersyukur karena diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan lagi."Kenapa wanita tadi mencari saya?" tanya Serena begitu mobil yang mereka tumpangi keluar dari pelataran mansion."Entah. Mungkin dia cemburu padamu." Terdengar aneh jika wanita cantik seperti Irene merasa cemburu padanya. Secara wajah dan penampilan jelas Serena kalah telak. Apa yang perlu dicemburui? "Hari ini pulang sore atau siang?" tanya Max mengalihkan topik. "Sepertinya sore lagi," sahut Serena seray
Serena!" seru Lety. Dia tergopoh-gopoh menghampiri Serena yang sudah bersiap pergi. Sejak Serena menjadi anak kuliahan, wanita seksi itu mendapat tugas tambahan baru dari Jessica yaitu menyiapkan bekal untuk Serena. Tentu saja Lety tidak terima begitu saja awalnya. Namun begitu tahu Max yang memerintahnya langsung dia tidak bisa menolaknya lagi. "Ini bekal kamu," katanya dengan bibir mengerucut. Dia mengangsurkan tas bekal dengan wajah tak ikhlas. Serena mengulum senyum sambil menerima tas itu. "Makasih, Kak Lety." "Jangan besar kepala. Aku melakukan ini karena perintah Tuan Max, kalau tidak mana mungkin aku—" ucapan Lety terhenti dan matanya terbelalak saat tiba-tiba Serena merangkul lengannya. "Iya, iya. Aku tau, Kak." Serena tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Lety. Karena dia tahu Lety sebenarnya peduli padanya. Sama seperti Bibi Jessica. Setelah dinyatakan lolos dan tak lama kemudian resmi menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di kota, hanya Jessica dan L
Satu detik, dua detik, sampai tiga detik Serena menunggu. Tapi tidak terjadi sesuatu yang seperti ada di dalam pikirannya. Keningnya berkerut samar. Sebenarnya apa yang sedang Max Evans lakukan? Secara perlahan dan hati-hati Serena membuka sedikit matanya. Dia terperanjat seketika saat netranya bisa langsung menangkap keberadaan Max Evans yang kini tengah tersenyum aneh sambil menatapnya. Dan Serena baru saja sadar bahwa jarak mereka juga tidak sedekat tadi. "Kamu menunggu apa?" tanya Max dengan nada geli, yang sontak membuat pipi Serena memanas. "Sa-saya nggak menunggu apa-apa." "Masih kecil, jangan berpikiran yang aneh-aneh." Nada menggoda Max membuat wajah Serena makin memerah. "Saya nggak berpikir apa-apa!" bantahnya tak terima. Tapi— Gadis itu menghindari tatapan Max, menutup wajahnya dengan telapak tangan menyadari kebodohannya. Reaksi itu sukses mengundang tawa kecil Max. Pria itu menggeleng sambil menahan geli. Dalam keadaan malu wajah Serena terlihat sangat menggemaskan
Terbiasa menyelesaikan soal paling sulit saat masih sekolah membuat Serena bisa dengan mudah mengerjakan soal ujian masuk mandiri. Hanya dengan sedikit mengingat mata pelajaran dari buku yang Calvin berikan, jendela otaknya seolah terbuka lebar. Serena melangkah ringan begitu keluar dari ruang ujian bersamaan dengan peserta lain. "Hai, halo." Kepala Serena menoleh saat mendengar seseorang menyapa. Seorang laki-laki tinggi kurus berdiri tidak jauh darinya seraya menyunggingkan senyum. Serena baru akan menyapa balik ketika menyadari sesuatu. Mungkin saja laki-laki itu sedang menyapa orang lain di belakangnya. Untuk memastikan, Serena menengok ke belakang, bahkan sekelilingnya. "Aku menyapa kamu," ujar laki-laki itu tiba-tiba, seakan tahu apa yang tengah Serena lakukan. "Aku?" Dengan alis terangkat Serena menunjuk dirinya sendiri. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum makin lebar. Serena bisa melihat ada satu lesung pipi yang membuat lelaki itu tampak makin charming. "Iya. Kamu Sere
Penat bergelayut ketika malam makin larut. Dua tangan Serena merentang. Meregangkan sedikit otot yang tegang lantaran terus berkutat dengan buku dan pensil. Pukul sebelas malam ketika Serena memutuskan keluar dari rongga antara meja dan kursi. Dia meraih botol minumnya yang kosong berniat mengisinya kembali di dapur. Lampu terang mansion berganti redup saat Serena keluar dari kamar. Beberapa bagian bahkan gelap. Sengaja dimatikan. Sudah terlalu larut, gadis itu tidak menemukan siapa pun yang biasa berkeliaran seperti pelayan. Jam segini mereka sudah pasti pulang ke paviliun. Serena mempercepat langkah. Rumah sebesar ini dalam keadaan sunyi sudah seperti setting film horor. Lumayan membuat kuduk merinding. Jarak dari kamar ke dapur pun terasa makin panjang. Begitu sampai dapur, cepat-cepat Serena mengisi botolnya dengan air putih di water dispenser. "Kenapa lama sekali penuhnya sih?" gerutu Serena yang merasa waktu jadi makin lambat. Bibirnya melengkung tipis saat pada akhirnya d
"Enak sekali jam segini kamu sudah bebas tugas?" Lety mengikuti langkah Serena yang menjauhi ruang utama. Si pelayan paling kepo itu kembali merasa iri setelah Jessica meminta Serena berhenti tugas menjelang pukul lima sore. "Ini perintah Tuan Max. Karena besok Serena harus mengikuti ujian masuk kuliah," terang Jessica ketika Lety protes soal jam kerja. Bibir Lety sampai maju lima senti. Merasa makin diperlakukan tidak adil. "Bi, memang Serena harus kuliah? Pelayan seperti kita tidak perlu sampai harus kuliah kan? Ilmu di sana nggak akan terpakai di sini.""Mungkin Tuan Max punya tujuan lain. Lagi pula Serena masih sangat muda." Jessica bersedekap tangan, menatap anak buahnya itu. "Lebih baik kamu jangan cari masalah seperti Nina." Mendengar itu membuat Lety kontan terperanjat. Nina, rekan kerjanya dipecat langsung setelah mencari gara-gara dengan Serena. Dari situ Lety paham, bahwa tuannya memiliki perhatian khusus pada gadis itu. "Aku bukannya cari masalah, Bi. Tapi—" Lety berh







