เข้าสู่ระบบHari itu, suasana kantor terasa berbeda.
Matahari bersinar terang di luar jendela kaca besar, menembus hingga ke meja kerja Afie, menciptakan pantulan hangat di permukaan kayu.
Di balik cahaya itu, hatinya justru terasa berat, seperti diselimuti bayangan yang tak bisa ia abaikan.
Sejak pagi, ia memperhatikan gerak-gerik Kaisan. Lelaki itu tampak lebih tenang dari biasanya, terlalu tenang bahkan.
Tidak ada gurauan kecil seperti biasa, tidak ada tawa renyah saat bercakap dengan staf. Setiap langkahnya tampak terukur, setiap pandangannya mengandung kesadaran mendalam.
Afie tahu, cepat atau lambat, sesuatu akan terjadi.
Nalurinya mengatakan, hari itu adalah hari di mana sesuatu akan berubah.
Sore menjelang.
Rapat internal baru saja selesai. Beberapa staf beranjak dari kursi, membawa berkas masing-masing sambil saling bertukar candaan ringan.
Di tengah hiruk-pikuk kecil itu, suara Kaisan terdengar berbeda, tenang tapi berat.<
Pagi itu, udara di sekitar rumah keluarga Afie terasa hangat dan damai.Matahari memantul lembut di kaca jendela, menembus tirai tipis yang sedikit bergoyang karena angin pagi. Aroma bunga segar memenuhi ruang tamu, berpadu dengan wangi kue dan kopi yang baru diseduh. Semua terasa biasa, tapi bagi Afie, hari itu istimewa.Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana dengan hiasan renda halus di lengan dan leher. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi sedikit bunga lily putih. Setiap kali ia menatap bayangannya sendiri, ada rasa hangat yang mengalir di dada campuran antara gugup, bahagia, dan lega.Badai panjang itu sudah berlalu, batinnya. Semua luka masa lalu, semua kesalahan yang membuatnya rapuh, semua ketidakpastian yang menahan hatinya selama ini, kini terasa jauh.Di ruangan lain, Gian juga bersiap dengan jas hitam rapi. Tangan kanannya menggenggam kaku buket bunga lily putih,
Bandara sore itu ramai luar biasa. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah tergesa, koper berderak di lantai, dan pengumuman penerbangan bergema dari pengeras suara.Namun bagi Gian, semua itu terasa jauh, seolah-olah ia hidup di dunia yang berhenti berputar.Suara tawa, dering ponsel, bahkan aroma kopi dari kedai di sudut terminal tak mampu menembus dinding kehampaan yang menyelubungi hatinya.Dunia di sekelilingnya penuh warna, tetapi dalam dirinya hanya ada satu nama yang bergema tanpa henti Afie.Ia duduk di ruang tunggu, di kursi panjang yang menghadap ke landasan pacu. Sinar matahari sore memantul di kaca besar di depannya, menyorot wajah yang lelah dan mata yang sembab.Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena udara dingin dari pendingin ruangan, melainkan karena guncangan emosi yang menumpuk terlalu lama.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Setiap suara pengumuman keberangkatan yang menyebut kota tujuan membuat jantun
Beberapa hari terakhir, hati Afie tak pernah benar-benar tenang. Malam-malamnya selalu diisi dengan kecemasan yang tidak bisa dijelaskan.Kabar tentang Gian yang mulai lelah menunggu, bahkan sempat menangis, terus terngiang di telinganya seperti gema yang enggan menghilang.Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang.Di tangannya, secangkir teh melati yang sejak setengah jam lalu tak disentuh. Uapnya sudah menipis, namun pikirannya justru semakin pekat.Afie menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia meyakinkan diri bahwa keputusannya untuk menjaga jarak adalah yang terbaik.Ia pikir, dengan menjauh, waktu akan mengajarkan Gian untuk memahami batasan, untuk melepaskan.Tapi ternyata, semakin jauh ia mencoba pergi, semakin kuat bayangan tatapan sendu Gian menghantui setiap langkahnya.Ada hal yang tak bisa ia pungkiri, setiap kali mendengar namanya disebut, dadanya terasa hangat sekaligus nyeri
Hari-hari setelah pertemuan di taman terasa berjalan begitu lambat bagi Gian.Setiap menit yang berlalu seolah menuntut kesabaran yang tak pernah ia miliki.Ia sudah berjanji pada Afie untuk menunggu, tapi ternyata menunggu jauh lebih melelahkan daripada apa pun yang pernah ia alami.Setiap pagi, begitu membuka mata, bayangan Afie langsung hadir dalam benaknya.Wanita itu bukan hanya seseorang yang ia cintai, Afie sudah menjadi bagian dari napas, dari hidup yang tak bisa ia lepaskan begitu saja.Setiap kali Gian mencoba mendekat, jarak itu seperti dinding tak kasat mata, ada, namun tak bisa ditembus.Ketika datang ke kantor atau sekadar mengintip dari jauh, pemandangan yang ia lihat selalu sama.Afie duduk di balik meja kerja dengan ekspresi serius, tenggelam dalam tumpukan dokumen.Kadang ia berdiskusi dengan Ryan, kakaknya, kadang berbicara dengan para paman tentang strategi perusahaan.Afie terlihat begitu fokus, begi
Langkah-langkah Afie bergaung lembut di sepanjang koridor perusahaan yang kini terasa jauh lebih lapang dari sebelumnya.Setiap derap sepatu haknya menimbulkan gema halus di lantai marmer, seperti dentingan waktu yang mengingatkan pada perjalanan panjang yang baru saja ia lalui.Setelah semua keributan dengan Risman, persidangan yang menyita waktu dan energi begitu besar, serta tekanan dari media dan investor, kantor itu akhirnya bisa bernapas kembali.Tak ada lagi wajah tegang di antara para karyawan, tak ada bisik-bisik penuh ketakutan. Ruang-ruang kerja terasa lebih hidup, udara lebih ringan, dan setiap orang seperti mendapat kesempatan untuk memulai dari awal.Ryan kini tampak lebih dewasa. Ia mulai mengambil peran besar dalam rapat-rapat, menyimak arahan dengan sungguh-sungguh, dan berani mengemukakan pendapatnya.Melihat hal itu, Afie sering merasa lega, setidaknya, janji pada almarhum ayah mereka untuk menjaga perusahaan keluarga tidak sia-s
Hari itu, suasana kantor terasa berbeda.Matahari bersinar terang di luar jendela kaca besar, menembus hingga ke meja kerja Afie, menciptakan pantulan hangat di permukaan kayu.Di balik cahaya itu, hatinya justru terasa berat, seperti diselimuti bayangan yang tak bisa ia abaikan.Sejak pagi, ia memperhatikan gerak-gerik Kaisan. Lelaki itu tampak lebih tenang dari biasanya, terlalu tenang bahkan.Tidak ada gurauan kecil seperti biasa, tidak ada tawa renyah saat bercakap dengan staf. Setiap langkahnya tampak terukur, setiap pandangannya mengandung kesadaran mendalam.Afie tahu, cepat atau lambat, sesuatu akan terjadi.Nalurinya mengatakan, hari itu adalah hari di mana sesuatu akan berubah.Sore menjelang.Rapat internal baru saja selesai. Beberapa staf beranjak dari kursi, membawa berkas masing-masing sambil saling bertukar candaan ringan.Di tengah hiruk-pikuk kecil itu, suara Kaisan terdengar berbeda, tenang tapi berat.







