Share

Pelayan Dadakan Tuan Kejam
Pelayan Dadakan Tuan Kejam
Author: Irma W

Chapter 1

Gery tidak tahan lagi melihat dua orang bodoh itu. Tampangnya begitu menyedihkan, tapi tidak berhasil membuat Gery merasa iba. Rasa marah, dendam, benci bersatu menjadi satu.

"Aku berani jamin kalau ayahku tidak bersalah." suara itu terdengar gemetaran.

Suasana di ruang pengadilan semakin memanas. Ruangan yang memang sudah dilengkapi dengan alat pendingin, sama sekali tidak bisa membuat siapapun orang yang berada di dalamnya merasa nyaman dan tenang. Merasa sebagai korban yang telah kehilangan, Gery terus saja mendesak pelaku supaya benar-benar mengakui kesalahannya, meskipun sedari tadi terus menyangkal.

Amora Atmaja, atau biasa dipanggil Amora. Dia berdiri tegak memberi kesaksian bahwa dirinya tetap menyangkal tidak terlibat dalam kecelakaan tersebut.

"Ayahku bukan pembunuh! aku sebagai saksi di sini!" suaranya menggelegar mesti terdengar genetaran.

Amora beserta ayahnya yang saat itu tengah mengendarai mobil, tiba-tiba saja diserempet oleh mobil lain dan kemudian mobil dirinyalah yang pada akhirnya menabrak mobil si korban yang telah meninggal. Korban yang tak lain adalah kekasih Gery.

Amora berkata dengan lantang tanpa takut untuk membela dirinya dan sang ayah. Meski kesempatan menang sangat sedikit, Amora tetap mencoba demi mempertahankan kebenaran.

“Bukti apa yang bisa kau tunjukkan pada kami, ha?” Gery menyalak. Di belakangnya, Dion berkedip—memberi kode supaya tetap tenang.

Sudah sekitar satu jam persidangan berlangsung, pada akhirnya hakim ketua pun memutuskan. Seperti apa yang terjadi pada setiap drama sebuah pertelevisian, sebagai orang yang hidup di bawah rata-rata pada akhirnya akan kalah. Persidangan dimenangkan oleh pihak Gery. Bukan seratus persen dimenangkan, melainkan ayah Amora tetap ditahan, akan tetapi Amora diberi kesempatan untuk mencari bukti.

Nampaknya bukti dari Gery pun tidak terlalu cukup kuat untuk menjebloskan ayah Amora ke dalam penjara selamanya.

“Tuan!” panggil Amora pada Gery yang hendak masuk ke dalam mobil. Amora berlari mengejarnya. “Boleh aku bicara?”

Gery mendecih sambil melirik ke arah Amora yang tampilannya begitu sangat sederhana. “Mau bicara apa kamu? Jangan pikir aku berubah pikiran untuk mengeluarkan ayahmu!”

Amora lantas memejamkan mata dan menarik nafas panjang sebelum bicara kembali. “Berikan waktu aku untuk bicara, Tuan”

Gery yang awalnya acuh, mendadak risih melihat kedua mata Amora yang berkaca-kaca. Wanita itu perlahan membuat Gery merasa iba.

“Bicara saja seperlunya,” kata Gery kemudian.

Mereka bertiga berbicara di dalam sebuah kafe. Duduk saling berdekatan, tentunya dengan tatapan aneh masing-masing.

Baru juga mulai berbicara, Amora tiba-tiba menangis dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. “Aku mohon, Tuan. Bebaskan ayahku? Dia sama sekali tidak bersalah.”

Amora sedang memohon sambil menangis. Gery dan Dion yang terkejut dengan apa yang dilakukan Amora, sempat saling pandang sebelum kemudian menoleh ke beberapa pengunjung lain.

“Hei! Kau ini apa-apaan! Kenapa malah menangis!” hardik Gery.

“Tolong, Tuan. Ayahku sama sekali tidak bersalah. Biarkan dia bebas.” Amora tetap memohon.

Tiba-tiba, Amora mengusap air matanya dan duduk tertegak. “Atau Tuan bisa melakukan apapun padaku, asalkan ayahku bebas.”

Gery diam sejenak. Ia mengusap dagu seolah sedang memikirkan sesuatu hal yang lebih menarik. Dion yang mungkin sedikit paham dengan isi dari kepala tuannya itu, terlihat menggelengkan kepala saat saling tatap. Dion berharap Gery tidak melakukan apapun yang saat ini tengah mendarat di kepalanya.

Seperti tak mempedulikan cegahan dari Dion, Gery menyeringai ke arah Amora. Kelima jarinya mendarat di atas meja, kemudian mengetuk meja bergantian.

“Siapa namamu?” tanya Gery acuh.

“A-Amora. Amora, Tuan,” jawab Amora gugup.

“Berikan aku nomor ponselmu!”

Buru-buru, Amora merogoh ponsel di dalam tas. Setelah berada di genggaman, Amora segera menulis beberapa digit nomornya. Kemudian meletakkannya di atas meja. Mendorong ponsel tersebut mendekat ke arah Gery.

Dion segera mencatat nomor tersebut lalu coba menghubungi. Setelah nomor tersebut membuat ponsel Amora berdering, seringaian penuh arti itu terlihat lagi di wajah Gery.

“Temui aku di kantorku!” Gery meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. “Kalau kau tidak datang, kesempatan ayahmu bebas sangatlah sempit.”

Amora meraih kartu nama tersebut dengan cepat dan buru-buru ikut berdiri. “Baik, Tuan.” Amora menunduk dan mengangguk beberapa kali.

Di dalam perjalanan pulang, Dion yang sangat penasaran dengan rencana Gery pun bertanya.

“Sebenarnya apa yang kau rencanakan?” tanya Dion

Gery menangkup kedua telapak tangan di depan dada, kemudian menggerak-gerakan jarinya bergantian seperti kaki ubur-ubur. “Memenjarakan orang sepertinya nggak menarik, Ion.”

Dion yang bingung menoleh sekilas. “Maksudmu?”

Gery tertawa setengah menyeringai. Bisa dikatakan wajah Gery saat ini terlihat mengerikan.

“Aku memikirkan sebuah rencana. Ya … mungkin saja rencana ini justru bisa menghukum mereka dengan sepadan.”

Dion mulai mengerti dengan jalan pikiran Gery, tapi dia kurang paham dengan rencananya. Membebaskan orang dari Sel tahanan dalam keadaan hati mendendam, pastilah ada rencana dibaliknya.

Sampai di rumah, Dion tetap tidak mendapatkan jawaban dari Gery. Gery hanya tersenyum dan menyeringai membuat Dion sangat penasaran. Di dalam otaknya, tengah Menyusun sebuah rencana yang pastinya akan membuat hatinya senang. Dia harus membuat orang yang membuat kekasihnya pergi untuk selamanya mendapatkan balasan.

Rahang itu mengeras, bersamaan dengan mata yang terpejam menyimpan sebuah rasa yang amat dalam menusuk hati.

“Kamu pulang saja, istirahat. Besok datang ke kantor lebih awal,” kata Gery pada Dion saat turun dari mobil.

Setelah itu, Gery pun masuk ke dalam rumah. Sampai di atas teras, Gery melirik ke arah samping kiri. Di sana ada sebuah mobil berwarna merah yang terparkir.

“Lina di sini?” gumam Gery.

Penasaran, Gery pun masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di ruang tamu ada Lina dan mama yang sedang mengobrol.

“Tuh, orangnya sudah datang,” kata Wenda sambil menunjuk ke arah Gery dengan pandangan mata.

“Halo, Gery,” sapa Lina. “Aku mampir buat menemuimu.”

“Ngobrol saja di kamarku.” Gery berlalu setelah berkata demikian.

“Aku permisi, Bibi.” Lina berdiri dan menyusul Gery yang melangkah begitu cepat.

“Pelankan langkahmu!” decak Lina. “Temanmu datang, tapi kau malah merenggut begitu.”

Gery tetap diam hingga sampai di kamar. Merasa gerah, Gery melepas kemejanya kemudian melempar ke sembarang tempat. Di belakang Gery, Lina hanya menghela napas lalu memungut kemeja yang tergeletak di atas lantai.

“Masih mikirin Tania?” tanya Lina. Kemeja yang ia pegang dilempar ke keranjang di dekat kamar mandi.

Gery membantingkan tubuhnya di atas ranjang. “Tentu saja. Aku tidak mungkin jika tidak memikirkan Tania. Kau tahukan aku cinta mati sama dia.”

Lina mendengus pelan. Wajahnya terlihat datar dan menunjukkan rasa ketidaksukaan dengan kalimat Gery.

“Aku tahu …” Lina duduk di tepi ranjang sambil menyentuh kaki Gery yang masih terbalut celana jeans. “Tapi tidak baik kalau kau berlarut-larut dalam kesedihan.”

“Kau pikir ini mudah?” salak Gery dan duduk tertegak. “Aku masih belum siap kehilangan!”

“Siapa bilang kalau ini mudah?” kata Lina. “Tapi … kau hanya membuat Tania menderita dengan kesedihanmu.”

Gery terdiam. Ia kemudian merobohkan lagi badannya di atas ranjang. “Lalu aku harus bagaimana?”

“Lepaskan dia. Tania Tidak mau kau seperti ini. Kalau kau memang sayang dengan Tania, kau harusnya bisa berpikir ke depan. Jalani hidup seperti biasanya. Berhentilah merenung nggak jelas.”

Suara kamar mendadak hening.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status