Share

Chapter 2

Keesokan harinya, Amora memberanikan diri datang ke kantor Intan Group untuk menemui Gery. Apapun akan Amora lakukan demi membebaskan sang ayah yang sama sekali tidak bersalah.

Sampai di depan gedung, Amora berhenti sejenak sambil mengatur nafasnya yang berderu cepat. Sambil mengedarkan pandangan, Amora menggigit bibir lalu memantapkan diri untuk masuk ke dalam gedung.

Amora berjalan mendekati seorang resepsionis. “Maaf, ruangan Tuan Gery di sebelah mana ya?” tanya Amora.

Resepsionis wanita dengan pakaian di bagian dada sedikit terbuka itu tersenyum dan berdiri. “Apa sudah ada janji?”

Amora terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng.

Resepsionis itu tersenyum lagi. “Kalau begitu, mohon maaf. Nona tidak diijinkan menemui Tuan Gery.”

“Tapi dia menyuruhku datang kemari,” kata Amora. “Dia memberikan aku kartu namanya.” Amora meletakkan benda pipih persegi di atas meja konter.

“Tunggu sebentar, biar saya hubungi Tuan Gery. Nona silahkan menunggu.”

Amora kemudian duduk di kursi yang dipersilahkan oleh resepsionis.

Selang beberapa menit kemudian, suara langkah kaki datang mendekati Amora yang sedang duduk gelisah.

“Amora?” panggilnya tegas.

Amora menoleh. “Iya, Tuan.” Amora kemudian berdiri.

“Ikut saya,” perintah Dion.

Amora berjalan di belakang Dion sambil terus mengatur diri supaya tetap bisa tenang. Ini adalah harapan satu-satunya supaya papa bisa bebas. Apapun akan Amora lakukan.

“Silahkan masuk. Tuan Gery sudah menunggu.” Dion membukakan pintu. Sementara Amora masuk, Dion menutup pintu kembali lalu duduk di bangkunya—di depan ruangan Gery.

“Permisi, Tuan.” Amora menundukkan kepala.

“Duduk!” perintah Gery cepat.

Amora maju dan kemudian duduk di hadapan meja Gery. Di sana, di tempat duduknya, Gery terlihat sedang memandang sinis ke arah Amora. Ada tatapan benci dan juga dendam yang tergambar jelas.

“Berani juga kau datang ke sini,” kata Gery.

“A-apapun akan aku lakukan untuk membebaskan ayahku,” sahut Amora.

“Orang bersalah ya tetap bersalah. Untuk apa kau bebaskan?” Gery berdiri lalu melipat kedua tangan di depan dada. “Kau sepertinya tidak waras.”

Amora tersenyum getir dan menggigit bibirnya sedikit lebih kuat. Gery orang yang berkuasa, Amora tidak akan mudah memohon meskipun harus bersimpuh. Namun, jika memang hal itu diperlukan, Amora akan lakukan.

“Sudah jelas ayahmu mengantuk saat menyetir. Kau mau mengelak dan memohon apa padaku?” tanya Gery dengan suara tinggi.

Amora menunduk menatap jemarinya yang bergetar. Memejamkan mata beberapa detik, kemudian Amora menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan Gery.

“Aku mohon, Tuan. Bebaskan ayahku. Aku bersedia melakukan apapun asal ayahku bisa bebas.” Berlutut, Amora mulai menitikkan air mata.

Gery mendecih kemudian membungkukkan badan. Satu tangannya meraih dagu Amora lalu mendongakkan ke atas. “Apapun ya?” seringaian nampak mengerikan.

Amora menyipitkan mata ketakutan. “I-iya, Tuan. Apapun.”

Gery kemudian melepas cengkraman di dagu Amora cukup kencang hingga Amora terdorong ke belakang.

“Kau berani berkata apapun, itu artinya kau siap menanggung resikonya. Bagaimana?” Gery menatap Amora penuh arti.

Sudah maju sampai sejauh ini, tidak ada harapan bagi Amora untuk mundur. Demi sang ayah, Amora harus siap dengan resiko yang bahkan Amora sendiri belum tahu wujudnya.

“Ayahmu divonis penjara selama lima tahun. Itu sudah ringan karena dari pihak pengadilan memberimu kesempatan untuk membela diri.” Gery berjalan sambil memutari tubuh Amora yang masih bersimpuh di lantai.

“Kalau kau memang menginginkan ayahmu bebas, jadilah budakku sesuai dengan masa hukuman ayahmu.”

Amora yang semula masih memandangi langkah kaki Gery, mendadak tersentak dan mendongak. “A-apa maksud, Tuan?” tanya Amora gugup.

Gery mendengkus kemudian berjongkok di hadapan Amora. “Kau bilang bersedia melakukan apapun asal ayahmu bebas bukan?”

Amora mengangguk. “Tentu, Tuan.”

Gery kembali berdiri lalu berjalan dan kemudian duduk di bangku kerjanya lagi. “Maka jadilah budakku.”

Bingung, panik dan gelisah, Amora rasakan saat ini. Budak? Apa yang dimaksud dengan itu? Kata itu terdengar sangat mengerikan. Amora merasakan otaknya mendadak membeku dan tidak bisa berpikir. Ketika Amora perlahan sudah berdiri, Gery tersenyum jahat tanpa peduli dengan wajah Amora yang berubah pucat.

Amora berjalan lunglai saat keluar meninggalkan gedung Intan Group. Sebuah gedung perusahaan yang berdiri dalam bidang pengelolaan makanan dan minuman, memang sangatlah berkuasa seperti apa yang sudah dikatakan banyak orang. Dan Amora sudah masuk ke dalamnya. Masuk ke dalam kehidupan di balik siapa penguasa gedung tersebut.

“Tuan Atmaja, silahkan keluar.” Seorang polisi membukakan pintu sel untuk Atmaja.

Atmaja yang masih bingung, hanya menurut dan mengikuti polisi tersebut yang membawanya ke ruangan tamu keluarga.

“Ayah!” Amora menghambur datang memeluk Atmaja. “Ayah bebas.” Dua kata yang Amora katakan dalam pelukan.

“Apa maksudmu?” Atmaja melepas pelukan sang putri. “Bebas? Bebas bagaimana?”

Amora menatap sendu wajah ayahnya yang kian menua. Garis-garis keriput di bawah mata dan area wajah lainnya, pada akhirnya membuat Amora menitikkan air mata. Tentang menjadi budak, Amora tepikan untuk sesaat. Ayah bebas, itulah yang terpenting.

“Kita pulang. Nanti aku ceritakan di rumah.” Amora merangkulkan tangan pada lengan ayah lalu berjalan meninggalkan sel tahanan.

Jika Amora peduli dengan sang ayah dan bersedia melakukan apapun asalkan ayah bebas, lain dengan tiga orang di rumahnya. Ibu dan saudara tirinya sama sekali tidak membantu saat ayah berada di sel tahanan. Namun, mereka tetap menyambut kepulangan ayah dengan gembira.

Amora sempat bingung dan heran melihat tingkah mereka. Mereka senang karena ayah bebas, tapi kenapa sama sekali tidak berusaha membantu saat ayah berada di persidangan dan sel tahanan?

“Bagaimana ayah bisa bebas?” tanya Ambar. Dialah ibu tiri dari Amora. “Apa pelapor berubah pikiran?”

“Iya, Ayah. Bagaimana ayah bisa dibebaskan?” sambung Putri.

Amora yang sedang membuatkan minuman di dapur ikut mendengarkan pembicaraan mereka.

Atmaja tersenyum menatap istri dan putrinya bergantian. “Amora yang membebaskan Ayah.”

“Amora?” pekik Ambar dan Putri bersamaan.

Bersamaan dengan itu, Amora datang membawa secangkir teh hangat untuk ayah. Amora tak akan kaget jika dua orang itu meliriknya dengan sinis.

“Bagaimana mungkin dia bisa membebaskan ayah,” kata Putri. “Tuan Gery adalah orang berkuasa. Amora bisa apa?”

Itu yang akan Atmaja tanyakan pada Amora. Dia sendiri juga penasaran bagaimana Amora bisa membebaskannya. Dengan tebusan? Sepertinya itu sangat tidak mungkin.

“Amora?” panggil Atmaja pelan.

“Iya, Ayah.” Amora ikut duduk. Ibu dan saudara tirinya masih menatap penuh curiga.

“Katakan pada ayah, bagaimana kau bisa bebaskan ayah?”

“Kau tidak mencuri uang untuk menebus ayah kan?” salak Ambar memotong pembicaraan.

“Mana mungkin!” balas Amora. “Aku tidak sekejam itu. Dan lagi, untuk apa kalian ingin tahu? Kalian sendiri sama sekali tidak membantu ayah dan justru memilih bersembunyi.”

Kedua orang itu bungkam sesaat sebelum kembali bicara karena tak mau kalah dengan Amora. “Kita hanya menjaga image. Apa kata orang nanti kalau tahu ayah dipenjara?”

Amora mendengkus dan tersenyum getir. “Kalian sama sekali tidak punya perasaan!”

“Apa kau bilang?” Putri sudah maju dan hendak menyerang Amora. Belum sampai, Atmaja sudah melerai lebih dulu.

“Jangan bertengkar. Ayah tidak akan memihak pada siapapun atau menyalahkan siapun. Tapi ayah mohon, berterima kasihlah karena Amora sudah membebaskan ayah.”

Mereka terdiam meskipun dalam hati sedang memaki.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status