MasukDahayu menelan ludah, lalu menggeleng mantap. “Sepertinya Tuan salah paham. Saya permisi.” Dengan cepat ia membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Axel tersenyum sinis memandangi kepergian Dahayu. Mengingat mata yang berkaca-kaca dan gadis itu yang langsung mundur, kelihatannya Dahayu benar-benar kaget dan takut. Axel terkekeh dengan tangan mengepalkan tinju, mana mungkin dia percaya dengan gadis yang dianggapnya pandai bersandiwara itu. “Kau terlalu pintar berpura-pura. Aku mau lihat, apa kau bisa dijinakkan dengan uang?” Setelah berganti mengenakan setelan olahraga, Axel melangkah keluar kamar. Ia menuju ruang olahraga di lantai atas, lalu berdiri menghadap kaca besar. Pandangannya terarah ke luar jendela, membiarkan sinar matahari pagi menyapu tubuhnya. Axel sedang berlari di atas treadmill, kaus tanpa lengan menempel pada tubuhnya yang basah oleh keringat. Nafasnya berat dan teratur. Dahayu masuk perlahan, membawa nampan berisi mangkuk buah segar. Dia melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara, tapi pintu tanpa sengaja berderit. Axel menoleh sekilas, keringat jatuh dari dagunya. “Untuk apa datang ke sini?” Suaranya terdengar tegas, hampir seperti bentakan. Dahayu menunduk. “Aku membawakan buah, Tuan.” Axel kembali fokus, menambah kecepatan treadmill. Suara mesin menderu makin kencang. Dengan ragu, Dahayu melangkah ke meja di samping treadmill. Namun saat hendak meletakkan nampan, Axel tiba-tiba berhenti dan melangkah turun. Dahayu yang berbalik hampir menubruknya “Ah—” Dahayu hampir kehilangan keseimbangan. Refleks, Dahayu menjulurkan tangan. Tapi, Axel yang lebih dulu meraih lengannya agar tidak jatuh. Gerakan spontan itu membuat tubuh mereka menempel. Keduanya terdiam, hanya suara nafas Axel yang terdengar. Dahayu bisa merasakan panas tubuhnya, dada bidang tuannya yang keras, keringat yang membuat kain baju tipis menempel di kulitnya. Wajah Dahayu langsung memerah, ia buru-buru menunduk. Axel cepat-cepat menjauh, melepas genggamannya. “Jangan berdiri terlalu dekat.” Nada suaranya dingin, tapi ada sedikit nada terselip yang sulit diartikan. “Maaf, Tuan.” Dahayu menaruh nampan di meja lalu hendak pergi, tapi langkahnya ragu. Ia bisa merasakan tatapan Axel yang masih tajam. Dahayu terdiam sejenak di ambang pintu, tapi memilih tidak menoleh. Ia keluar dengan hati berdebar, menahan nafas yang terasa sesak. *** Waktu berputar begitu cepat. Rembulan malam bertengger di langit, dikelilingi gemintang yang cahayanya memanjakan. Kabut berarak pelan menutupi bulan, tapi bumi tetap terang dengan sinarnya. Axel keluar kamar, hendak menuju ke ruang kerjanya. Ada beberapa file yang harus diperiksa karena beberapa hari ini dia tidak datang ke kantor. “Dario, kamu mau ke mana?” Dia heran melihat putranya berlalu tanpa menyapa. “Aku mau ke kamar Kakak kacamata, Pa.” Dario menoleh ke arah Axel, kemudian menatap tangga seolah menunggu seseorang yang beberapa malam ini membuat tidurnya terasa hangat. “Kakak kacamata?” dahi Axel berkerut. “Siapa maksudmu?” “Hmm…” Dario terdiam, bibir mungilnya berkerut saat mencoba mengingat. “Aku nggak tahu namanya. Tapi tadi siang Kakak kacamata bawain buah buat Papa.” Axel langsung tersadar. “Dahayu?” gumamnya, mengingat pelayan pribadinya. “Namanya Dahayu?” Mata Dario berbinar, lalu ia tertawa kecil, merasa senang akhirnya tahu nama kakak yang ia cari. Axel menggendong anaknya, membawa Dario kembali ke dalam kamar. Didudukkan di atas ranjang, kemudian Axel duduk di hadapannya. “Kenapa kamu mencarinya?” Axel tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Anak kecil itu mengangkat buku cerita yang sejak tadi dipeluknya. “Kakak kacamata janji mau bacain cerita sampai aku tidur.” Axel terdiam. Napasnya ditarik dalam, lalu dihembuskan. Bahkan putranya sendiri lebih memilih mencari kenyamanan dari orang lain karena ia dan Naomi gagal memberi kasih sayang itu. Rasa bersalah menekan hatinya semakin kuat. “Susu! Susu!” Suara Dahayu terdengar di luar. Langkah kaki yang semakin mendekat membuat Dario tersenyum senang. Axel memperhatikan perubahan raut wajah putranya. “Itu Kakak kacamata!” seru Dario, dia bergoyang pelan, tak sabar menantikan kedatangan Kakak kacamata yang bagai peri tidurnya. “Tuan muda, waktunya minum susu dan tidur!” seru Dahayu di depan pintu. Gadis itu memegang nampan susu dengan senyum sumringah. Namun begitu menyadari keberadaan Axel di sisi putranya, Dahayu spontan menunduk. Ada keragu-raguan di matanya, apalagi tatapan sang majikan terasa begitu mengintimidasi. “Kak, masuklah!” seru Dario riang. Akhirnya Dahayu melangkah masuk, meletakkan nampan di atas nakas. Dengan lembut, ia menyerahkan segelas susu hangat pada Dario. Senyumnya merekah saat melihat Tuan muda kecil itu cepat-cepat menghabiskan minumannya. Axel menaikkan satu alis dengan heran. Biasanya para pelayan selalu mengeluh Dario suka membiarkan susu hingga dingin. Matanya tanpa sadar menoleh ke arah Dahayu yang masih tersenyum. Senyum gadis itu tampak begitu cantik, apalagi ketika ia melepaskan kacamata dan membiarkan rambutnya terurai. Sangat cantik. Sorot mata Axel menelusuri sosoknya. Dahayu malam itu hanya mengenakan piyama sederhana karena akan menemani Dario tidur. Namun kain tipis itu tak sepenuhnya mampu menyamarkan lekuk tubuhnya. Piyama yang digunakan mengekspos lekuk tubuh yang seksi, dan dadanya yang berisi. Sebagai pria normal, dada Axel berdesir melihatnya. “Papa, kenapa lihatin kakak kacamata terus?” Suara Dario menyadarkan Axel yang langsung gelagapan. “Kakak kacamata mau menemaniku tidur. Papa mau ikutan tidur di sini?” Axel tersenyum sembari mengelus puncak kepala Dario. Dia menggeleng, lalu beranjak keluar dari kamar. Namun, dia tidak benar-benar pergi. Axel berdiri di depan pintu, melihat apa saja yang dilakukan Dario dan Dahayu di dalam, mungkin dia bisa menemukan bukti kejahatan gadis itu. Namun, selama itu Axel mengamati, Dahayu tak melakukan hal mencurigakan. Hanya membacakan dongeng dan tertawa bersama Dario. Ketika pria kecil itu menguap, Dahayu mengusap puncak kepalanya sampai Dario tertidur nyenyak. Dahayu tersenyum melihat Dario yang mudah sekali tertidur setiap kali dibacakan dongeng. Ia menarik selimut sampai sebatas dada, dan keluar sambil membawa gelas susu yang sudah habis. ‘Kenapa dia tidak melakukan sesuatu yang aneh? Mungkin dia tahu aku mengintip?’ batin Axel, masih penuh rasa curiga. Saat Dahayu hendak keluar, tiba-tiba Axel menangkap lengannya dan mendorong gadis itu hingga terpojok ke dinding. Dahayu langsung memalingkan wajah, panik karena tak sedang memakai kacamata. Rambut panjangnya ia biarkan jatuh, berharap bisa menutupi sebagian wajah yang ingin ia sembunyikan. ‘Kenapa Tuan Axel sedekat ini? Apa yang dia mau?’ Dada Dahayu naik turun, tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Axel mengangkat tangan, merapikan untaian rambut yang menutupi wajah Dahayu. Ujung jarinya nyaris membelai pipi halus gadis itu. “Sudah kuperingatkan,” bisiknya lirih di telinga Dahayu. “Jauhi putraku.” “Maaf, Tuan, saya nggak melakukan hal yang salah.” Suara Dahayu bergetar, kepalanya pelan menggeleng, berusaha membela diri. Axel tidak peduli. Tangannya meraih dagu Dahayu, memaksa gadis itu menatap langsung ke matanya. Sekilas ia mengamati sosok pelayan pribadinya dari atas ke bawah. Malam ini penampilannya berbeda, dan hal itu justru membuatnya tersenyum miring penuh curiga. “Kau pikir dengan berpakaian seperti ini aku akan tergoda?” ujarnya sinis. “Aku tidak sebodoh itu.”Dahayu tercenung, tubuhnya membeku, mata gadis itu membola dengan bibir terbuka. Matanya tak bisa berkedip meski perih, shock mendengar permintaan Naomi yang tidak etis. Tidak menyangka, Naomi bisa meminta hal seperti itu.“A-apa?” tanyanya dengan lirih. Suaranya tertahan di tenggorokan. “Me-melayani Tuan Axel di … ranjang?” Gadis itu terbata-bata.Namun, Naomi tidak merasa bersalah sama sekali. Justru tertawa melihat ekspresi Dahayu. Wanita itu menghampiri Dahayu, menepuk pelan pundak sang gadis, sengaja menggantung kartu kredit di depan mata gadis desa itu. Dia mendekat, menghirup aroma tubuh Dahayu dan mengangguk-anggukkan kepala, seakan puas. Mengelilingi gadis tersebut, membuka kacamata yang membingkai wajah. “Kamu cantik. Kenapa harus menutupinya?” tanya Naomi, membelai pipi gadis itu dengan lembut. Dahayu mundur selangkah. Sangat risih dengan perlakukan Naomi padanya. Dia tersenyum meringis, merebut kacamata dari tangan sang nyonya dan cepat memakai lagi. Sadar dengan penaw
Di bawah guyuran air shower, Axel terkekeh pelan mengingat ucapan Naomi tadi. Hanya Naomi, istri yang tega melempar suaminya ke ranjang wanita lain karena enggan melayaninya sendiri.Ironis. Seorang Axel, kaisar bisnis yang disegani banyak orang, justru begitu bodoh dalam urusan cinta. Semua demi mempertahankan pernikahan palsu yang sudah lama kehilangan makna, hanya agar hati anaknya tidak terluka.Pria itu menyugar rambut, membiarkan air melewati miliknya yang berdenyut. Sudah seminggu dia tidak mengeluarkan magma putihnya.Axel pria normal. Sudah tujuh tahun dia bermain solo untuk memenuhi hasrat biologisnya. Padahal, dia memiliki istri yang cantik, seksi, dan sempurna. Namun, semua itu tak berarti apa-apa bagi Axel yang hanya bisa memandangi kemolekan istrinya dan membayangkan tanpa pernah menyentuh.Ia ingin mencintai dan memuaskan gairahnya dengan cara yang semestinya, sebagai seorang suami. Akan tetapi, bagaimana dengan Dario? Dia masih menjaga diri karena berharap pernikahan i
Revan tertawa melihat respon Axel yang dianggap berlebihan. Kendati demikian, dia tidak mau menyerah memperjuangkan hati yang terlanjur terpaut. Pria itu melipat kaki, berusaha merayu dengan senyum menawan.“Kak Axel, cuma satu wanita saja. Kamu tidak mungkin keberatan, kan?” ucapnya merayu, mengacungkan jari telunjuk kemudian menggenggam tangan dan mengguncang pelan. Axel mengakhiri tatapan dengan lirikan sinis. Lanjut menikmati teh susu meskipun permohonan Revan sangat mengganggu ketenangan. “Kak Axel, kali ini aku janji akan menjaganya seumur hidup,” ucapnya, tangan kanan menepuk pundak Axel agar pria itu mendengarkannya. “Sepertinya kamu sangat menyukai gadis itu,” gurau Gio, geleng-geleng kepala melihat Revan beraksi. Mereka berempat tau segila apa Revan memperjuangkan bunga yang ingin dihisap madunya. “Ahh!” Revan memegang dadanya, memejamkan mata sambil tersenyum manis membayangkan wajah cantik yang terbingkai kacamata. “Aku … kena panah asmara.”“Cih.” Kenzo berdecih geli
“Saya permisi menyiapkan pakaian Tuan Axel, Nyonya.” Dahayu menunduk, kemudian langsung masuk ke walk in closet. Di sana, dia berdiri sambil memegangi dada. Sesekali berhadapan langsung dengan Naomi malah ditanya hal paling pribadi. Gadis itu mengatur napas, geleng-geleng kepala melihat sikap Naomi. “Mereka memang cocok makanya berjodoh. Sama-sama mesum,” gumam Dahayu. Melanjutkan tugasnya karena tak mau berlama-lama berada di sana.***Di meja makan, senyum Dario merekah melihat Axel dan Naomi turun bersamaan dan duduk di meja makan. Akan tetapi, pria kecil itu tak berani bereaksi berlebihan. Wajah datar Naomi membuat dia terdiam, takut menuntut perhatian yang hanya memancing amarah mamanya.Namun, Dario tidak bisa menahan rasa senangnya. Selama enam tahun, hanya beberapa kali mereka berkumpul di meja makan. “Mama, malam ini … bolehkah aku tidur denganmu?” pinta Dario, tersenyum tipis menunggu jawaban.Naomi menghentikan gerakan tangan, menatap Dario seraya menggelengkan kepala. “
Mata Axel menyipit. “Menjijikkan?” “Menyingkirlah, Axel. Aku nggak sudi melihat wajahmu!” seru Naomi, berteriak tepat di depan wajah suaminya. Dia menolak dada bidang sang suami, tidak segan memukul agar pria itu segera turun dari atasnya. “Aku lebih menjijikkan dari pria yang … sudah menidurimu?” tanya Axel dengan suara lirih tertahan. Dada terasa sesak ketika matanya tertuju pada bekas kemerahan itu lagi. “Apa … maksudmu?” Naomi terpegun, menelan ludah sambil menatap wajah suaminya yang begitu serius. Sedetik kemudian, Naomi tersadar bahwa ada tanda cinta yang tertinggal bekas pergumulan semalam. Dia menolak Axel menjauh, mengubah posisi menjadi duduk seraya buru-buru mengancing piyama yang mengekspos dada. Naomi melipat tangan di dada, membenarkan rambut hingga menutup area leher. Menyandarkan punggung, memeluk bantal sebagai bentuk pertahanan jika pria itu melakukan sesuatu. “Siapa dia?” tanya Axel, sejak tadi memperhatikan Naomi yang serba salah. Tangannya mengepal, menahan
Entah apa yang Axel pikirkan bisa terbatuk sekeras itu mendengar penuturan Dario. Wajah pria itu memerah, tenggorokan perih, tangannya pelan memukul dada. Dahayu sigap berdiri, menuangkan air putih dan menyodorkan pada Axel. Setelah minum beberapa teguk, batuknya mereda. Pria itu agak menunduk, tangannya erat mencengkram gelas. Perlahan, dia menatap Dario yang juga sedang memperhatikannya. “Papa baik-baik saja?” tanya Dario, wajahnya tampak lega melihat Axel sepenuhnya membaik.“Apa yang kamu katakan, Dario?” Axel mempertanyakan dengan tegas. Tentu, dia melihat perubahan raut wajah Dario yang kebingungan. “Melayani?” tanya mengulang, seakan mempertegas pertanyaannya yang membingungkan.Para maid yang berdiri di belakang mereka saling pandang, mengerutkan dahi kemudian menaikkan bahu. Ekspresi yang sama ditunjukkan Dahayu, alisnya bertaut, sukar menoleh dari Axel. “Ma-maaf, Pa,” ujar Dario, suaranya melirih sembari menundukkan kepala. Takut menatap langsung wajah masam sang papa.“







