Share

Bab 7

Author: Liza zarina
last update Last Updated: 2025-11-12 18:13:07

Matahari mulai merangkak di ufuk timur, sinarnya masih malu-malu menyingkap kabut. Hari tampak menjanjikan cerah. Dari dapur, aroma kopi yang baru diseduh menguar memenuhi ruangan.

Dahayu menggenggam erat-erat cangkir kopi, seolah bisa menenangkan hatinya yang bergejolak. Napasnya ia atur pelan, namun tetap saja ia merasa gelisah.

Setiap kali berhadapan dengan Axel, tidak pernah ada hal baik yang ia dapatkan. Pria itu selalu membuatnya gentar, tatapannya menusuk, dan kata-katanya bagai pisau. Bahkan, Axel kerap menuduhnya dengan hal-hal yang bahkan tak pernah Dahayu pahami.

Gadis itu menatap nanar lantai dingin yang ia pijaki, berdecak kecil ketika menoleh ke lantai atas karena pagi ini dia harus berhadapan dengan pria itu lagi. Hati kecilnya menolak, tetapi tanggung jawab yang diemban memaksanya tetap disana.

Sesekali Dahayu memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jangan sampai telat membangunkan majikannya.

Getar ponsel di saku roknya mengejutkan Dahayu. Lagi-lagi, begitu melihat nama yang tertera, senyumnya mengembang.

“Kenapa, Bu?” sapa Dahayu, menempelkan ponsel ke telinga dan berjalan ke tempat yang lebih sepi agar lebih leluasa bicara.

“Terima kasih, Nak! Uangnya sudah Ibu terima. Baru seminggu kerja, kamu udah gajian?” tanya Lestari, sedikit khawatir jika uang itu didapatkan putrinya dengan cara yang salah.

Dahayu tersenyum tipis. “Itu bonus, Bu. Kebetulan bos Dahayu sangat baik.” Kalimat terakhir yang diucapkannya membuat gadis itu menahan nafas sejenak, bibirnya tak rela mengatai pria bermulut lancip itu baik.

“Bonus apa sebesar itu?” selidik Lestari, keraguan semakin merambat. “Kamu beneran kerja sebagai pelayan, kan?”

Dahayu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan penuh curiga ibunya. Bibirnya yang bergerak ingin mengatakan yang sebenarnya, mengatup seketika. Jika dia jujur, pasti ibunya akan berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

“Karena pekerjaanku baik, Bu.” Satu kalimat penuh kebohongan terucap dari bibirnya. Berharap ibunya akan percaya.

“Kamu bukan jadi pelayan yang aneh-aneh, kan?” Suara Lestari memelan, takut putri sulungnya tersinggung.

Dahayu terkekeh pelan. “Nggak, kok, Bu. Aku jadi pelayan … biasa di rumah-rumah orang kaya,” sangkalnya. Entah bagaimana jika ibunya tahu dia menjadi pelayan pribadi seorang pria tampan.

“Kalau kamu lelah, pulang aja, Dahayu,” ujar Lestari, nadanya penuh harap. “Kemarin Jordi nanyain kamu.”

Dahayu hanya bisa tersenyum getir, tak mau menjawab. Pandangannya sekilas mengarah ke jam di pergelangan tangan. Seketika matanya membulat.

“Astaga…!” bisiknya panik.

Tanpa banyak berpikir, ia buru-buru pamit pada ibunya, lalu menutup telepon dengan tergesa. Dahayu menepuk jidat sambil memastikan kembali jarum jam.

“Matilah aku, udah lewat lima menit!”

Ia langsung berlari menaiki anak tangga. Jantungnya berdentum kencang, bagai genderang perang. Begitu sampai di depan pintu, Dahayu tidak berani mendekat sepenuhnya. Ia berdiri sedikit menjauh, mengulurkan tangan dengan gemetar ke arah daun pintu, sambil memalingkan wajah dan memejamkan mata.

Seandainya bisa, ia juga akan menutup telinga, takut jawaban dari dalam nanti terdengar begitu menusuk.

Tok Tok

Dahayu mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan dari dalam. Matanya berkedip cepat, menggigit ujung kuku dan menajamkan indra pendengaran.

“Tuan Axel beneran belum bangun?” gumamnya bertanya-tanya.

Tanpa berani membuka mata, Dahayu mencoba kembali mengetuk. Namun, alih-alih merasakan kayu pintu, jemarinya justru menyentuh sesuatu yang berbeda. Alisnya berkerut, tangannya meraba-raba sedikit meremas untuk memastikan.

‘Kok aneh? Sepertinya ini bukan pintu,’ batin Dahayu keheranan.

Dan tepat saat jari telunjuknya tanpa sengaja masuk ke hidung, Dahayu langsung menahan nafas, wajahnya membeku pucat pasi.

‘Ya Tuhan… jangan bilang ini….’

“Jauhkan tanganmu.” Suara bariton berat itu menusuk sampai ke tulang. Seketika keringat dingin menetes di pelipis Dahayu.

Perlahan, dengan gemetar ia membuka sebelah matanya. Dan benar saja, yang sejak tadi ia ketuk bukan pintu, melainkan wajah tuannya sendiri. Axel berdiri tegak, sorot mata tajamnya membuat Dahayu berharap bumi mau menelannya bulat-bulat saat itu juga.

Brak!

Axel menepis kasar tangan Dahayu hingga tangan gadis itu membentur sudut pintu.

Dahayu menyembunyikan tangannya ke belakang tubuh, membungkuk hormat sambil berkata, “Maaf, Tuan, saya terlambat.”

Saat menunduk, kancing kemeja Dahayu yang longgar terlepas, memperlihatkan belahan dada yang sintal dan berisi. Gadis itu menggigit bibir menahan rasa sakit di tangannya yang membiru. Namun, dalam pandangan Axel, gadis itu berusaha menggodanya.

Axel langsung masuk tanpa mengatakan apa-apa. Menyambar handuk dengan kasar dan masuk ke kamar mandi. Dia sengaja tidak menyalakan shower saat melakukan ritual yang membuatnya sakit kepala. Sengaja ingin memperdengarkan suara desahannya pada Dahayu.

Memang Dahayu mendengar suara majikannya yang membuat bulunya meremang. Dia berusaha tak acuh, tapi suara itu seakan mengikutinya ke mana pun Dahayu melangkah. Semakin lama, erangan Axel makin jelas, membuat gadis itu tak nyaman tapi berusaha profesional.

Dahayu menata setelan jas Axel di sofa bundar. Saat hendak keluar, pintu walk in closet terbuka. Axel muncul hanya dengan handuk di pinggang, tubuhnya masih basah.

Mereka berpapasan di ambang pintu. Sekilas, mata Axel turun, menatap area dada Dahayu yang sedikit terbuka tanpa gadis itu sadari.

Dahayu melirik tajam pada Axel. Di depan cermin, gadis itu kaget melihat area dadanya. Cepat-cepat ia mengancingkan kembali kemejanya.

“Pasti dia berpikir aku sedang menggodanya,” gumam gadis itu lirih.

Dahayu masih di sana, menunggu perintah selanjutnya. Tak lama, Axel keluar sambil mengancing kemejanya. Pria itu mengulurkan dasi pada Dahayu.

“Pakaikan. Aku hampir telat,” ucapnya.

Dahayu melangkah terburu-buru. Namun kakinya tersandung karpet tebal. Ia terhuyung, berusaha menahan diri dengan meraih apa pun dan yang tergenggam justru pergelangan tangan Axel.

“Ah—!” Dahayu menjerit.

Tarikan itu membuat Axel ikut terseret. Dalam sekejap, tubuh mereka jatuh, saling bertindihan di atas lantai. Dahayu terbelalak, nafasnya tercekat ketika wajah Axel hanya sejengkal dari wajahnya.

Dahayu yang berada di bawah Axel tersenyum kikuk. Ia bisa merasakan degup jantung Axel.

“Masih mau menyangkal?” Wajah datar itu terlihat marah.

“Saya nggak sengaja, Tuan.” Dahayu meringis pelan, pria di atasnya benar-benar berat.

“Cih,” Axel berdecih, jarinya menyentuh belahan dada Dahayu yang kembali terekspos.

“Terbuka lagi?” Dahayu kaget, buru-buru menutup walau terhalang tangan Axel.

Brak!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Seorang pria kecil berseragam sekolah berdiri di ambang pintu. Mata bulatnya melebar, menatap dengan campuran kaget dan marah.

“Papa! Jangan menyakiti Kakak kacamata!” teriak Dario lantang

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 30

    Dahayu tercenung, tubuhnya membeku, mata gadis itu membola dengan bibir terbuka. Matanya tak bisa berkedip meski perih, shock mendengar permintaan Naomi yang tidak etis. Tidak menyangka, Naomi bisa meminta hal seperti itu.“A-apa?” tanyanya dengan lirih. Suaranya tertahan di tenggorokan. “Me-melayani Tuan Axel di … ranjang?” Gadis itu terbata-bata.Namun, Naomi tidak merasa bersalah sama sekali. Justru tertawa melihat ekspresi Dahayu. Wanita itu menghampiri Dahayu, menepuk pelan pundak sang gadis, sengaja menggantung kartu kredit di depan mata gadis desa itu. Dia mendekat, menghirup aroma tubuh Dahayu dan mengangguk-anggukkan kepala, seakan puas. Mengelilingi gadis tersebut, membuka kacamata yang membingkai wajah. “Kamu cantik. Kenapa harus menutupinya?” tanya Naomi, membelai pipi gadis itu dengan lembut. Dahayu mundur selangkah. Sangat risih dengan perlakukan Naomi padanya. Dia tersenyum meringis, merebut kacamata dari tangan sang nyonya dan cepat memakai lagi. Sadar dengan penaw

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 29

    Di bawah guyuran air shower, Axel terkekeh pelan mengingat ucapan Naomi tadi. Hanya Naomi, istri yang tega melempar suaminya ke ranjang wanita lain karena enggan melayaninya sendiri.Ironis. Seorang Axel, kaisar bisnis yang disegani banyak orang, justru begitu bodoh dalam urusan cinta. Semua demi mempertahankan pernikahan palsu yang sudah lama kehilangan makna, hanya agar hati anaknya tidak terluka.Pria itu menyugar rambut, membiarkan air melewati miliknya yang berdenyut. Sudah seminggu dia tidak mengeluarkan magma putihnya.Axel pria normal. Sudah tujuh tahun dia bermain solo untuk memenuhi hasrat biologisnya. Padahal, dia memiliki istri yang cantik, seksi, dan sempurna. Namun, semua itu tak berarti apa-apa bagi Axel yang hanya bisa memandangi kemolekan istrinya dan membayangkan tanpa pernah menyentuh.Ia ingin mencintai dan memuaskan gairahnya dengan cara yang semestinya, sebagai seorang suami. Akan tetapi, bagaimana dengan Dario? Dia masih menjaga diri karena berharap pernikahan i

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 28

    Revan tertawa melihat respon Axel yang dianggap berlebihan. Kendati demikian, dia tidak mau menyerah memperjuangkan hati yang terlanjur terpaut. Pria itu melipat kaki, berusaha merayu dengan senyum menawan.“Kak Axel, cuma satu wanita saja. Kamu tidak mungkin keberatan, kan?” ucapnya merayu, mengacungkan jari telunjuk kemudian menggenggam tangan dan mengguncang pelan. Axel mengakhiri tatapan dengan lirikan sinis. Lanjut menikmati teh susu meskipun permohonan Revan sangat mengganggu ketenangan. “Kak Axel, kali ini aku janji akan menjaganya seumur hidup,” ucapnya, tangan kanan menepuk pundak Axel agar pria itu mendengarkannya. “Sepertinya kamu sangat menyukai gadis itu,” gurau Gio, geleng-geleng kepala melihat Revan beraksi. Mereka berempat tau segila apa Revan memperjuangkan bunga yang ingin dihisap madunya. “Ahh!” Revan memegang dadanya, memejamkan mata sambil tersenyum manis membayangkan wajah cantik yang terbingkai kacamata. “Aku … kena panah asmara.”“Cih.” Kenzo berdecih geli

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 27

    “Saya permisi menyiapkan pakaian Tuan Axel, Nyonya.” Dahayu menunduk, kemudian langsung masuk ke walk in closet. Di sana, dia berdiri sambil memegangi dada. Sesekali berhadapan langsung dengan Naomi malah ditanya hal paling pribadi. Gadis itu mengatur napas, geleng-geleng kepala melihat sikap Naomi. “Mereka memang cocok makanya berjodoh. Sama-sama mesum,” gumam Dahayu. Melanjutkan tugasnya karena tak mau berlama-lama berada di sana.***Di meja makan, senyum Dario merekah melihat Axel dan Naomi turun bersamaan dan duduk di meja makan. Akan tetapi, pria kecil itu tak berani bereaksi berlebihan. Wajah datar Naomi membuat dia terdiam, takut menuntut perhatian yang hanya memancing amarah mamanya.Namun, Dario tidak bisa menahan rasa senangnya. Selama enam tahun, hanya beberapa kali mereka berkumpul di meja makan. “Mama, malam ini … bolehkah aku tidur denganmu?” pinta Dario, tersenyum tipis menunggu jawaban.Naomi menghentikan gerakan tangan, menatap Dario seraya menggelengkan kepala. “

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 26

    Mata Axel menyipit. “Menjijikkan?” “Menyingkirlah, Axel. Aku nggak sudi melihat wajahmu!” seru Naomi, berteriak tepat di depan wajah suaminya. Dia menolak dada bidang sang suami, tidak segan memukul agar pria itu segera turun dari atasnya. “Aku lebih menjijikkan dari pria yang … sudah menidurimu?” tanya Axel dengan suara lirih tertahan. Dada terasa sesak ketika matanya tertuju pada bekas kemerahan itu lagi. “Apa … maksudmu?” Naomi terpegun, menelan ludah sambil menatap wajah suaminya yang begitu serius. Sedetik kemudian, Naomi tersadar bahwa ada tanda cinta yang tertinggal bekas pergumulan semalam. Dia menolak Axel menjauh, mengubah posisi menjadi duduk seraya buru-buru mengancing piyama yang mengekspos dada. Naomi melipat tangan di dada, membenarkan rambut hingga menutup area leher. Menyandarkan punggung, memeluk bantal sebagai bentuk pertahanan jika pria itu melakukan sesuatu. “Siapa dia?” tanya Axel, sejak tadi memperhatikan Naomi yang serba salah. Tangannya mengepal, menahan

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 25

    Entah apa yang Axel pikirkan bisa terbatuk sekeras itu mendengar penuturan Dario. Wajah pria itu memerah, tenggorokan perih, tangannya pelan memukul dada. Dahayu sigap berdiri, menuangkan air putih dan menyodorkan pada Axel. Setelah minum beberapa teguk, batuknya mereda. Pria itu agak menunduk, tangannya erat mencengkram gelas. Perlahan, dia menatap Dario yang juga sedang memperhatikannya. “Papa baik-baik saja?” tanya Dario, wajahnya tampak lega melihat Axel sepenuhnya membaik.“Apa yang kamu katakan, Dario?” Axel mempertanyakan dengan tegas. Tentu, dia melihat perubahan raut wajah Dario yang kebingungan. “Melayani?” tanya mengulang, seakan mempertegas pertanyaannya yang membingungkan.Para maid yang berdiri di belakang mereka saling pandang, mengerutkan dahi kemudian menaikkan bahu. Ekspresi yang sama ditunjukkan Dahayu, alisnya bertaut, sukar menoleh dari Axel. “Ma-maaf, Pa,” ujar Dario, suaranya melirih sembari menundukkan kepala. Takut menatap langsung wajah masam sang papa.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status