LOGINDahayu menautkan alis, matanya memerah karena cengkraman Axel meninggalkan rasa sakit yang tak tertahan. Posisi mereka cukup dekat, mungkin detak jantungnya yang cepat bisa dirasakan Axel.
Dahayu menggeleng, berusaha membantah tuduhan majikannya yang tak dimengerti. Gadis itu menolak pelan dada Axel, tetapi pria itu malah semakin merapatkan diri dan menguatkan cengkraman. “Sa-sakit…,” ucap Dahayu lirih. Air mata yang sejak tadi menganak, jatuh di pipinya yang merah. Axel menolak Dahayu yang menunduk sambil menahan tangis. Tidak menyangka Axel akan memperlakukannya sekasar ini padahal dia tidak mengerti apa-apa. Dahayu ingin melangkah pergi, melarikan diri dari tempat mengerikan ini. Namun, langkahnya terhenti kala ia teringat suara batuk ibunya yang membutuhkan uang untuk pengobatan. Bahkan, dia belum mendapatkan pinjaman untuk membayar biaya sekolah adiknya. Setetes air menitik di pipi, mengisyaratkan luka batin yang memaksanya menetap. “Keluar.” Axel lebih memilih menatap benda-benda yang ada di sekitarnya. Tanpa menunggu, Dahayu bergegas melarikan diri dari sana, menuruni anak tangga dengan cepat sambil mendekap dirinya sendiri. Di kamar, Dahayu duduk di pinggir ranjang sambil mengusap jejak air mata. Tangannya terkepal, mata gadis itu menyipit. “Aku nggak boleh diperlakukan begini. Aku cuma bekerja di sini. Aku harus kuat.” Sebisa mungkin ia menyemangati diri. *** Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Dahayu bangun lebih pagi karena mendapat kabar Axel sudah pulang dari perjalanan dinas. Cukup lama dia berdiri di depan jendela yang satu menit lalu dibuka, menghirup udara pagi sembari meremas jari. Bibirnya melengkungkan senyum, jantungnya selalu berdebar tak karuan karena perselisihan terakhir kalinya dengan sang majikan. Tok! Tok! Suara ketukan pintu menarik Dahayu dari lamunan. Suara seorang wanita yang memintanya bersiap membuat dia terdiam. “Baik!” sahutnya dari dalam. Karena buru-buru, Dahayu menguncir kuda rambutnya dan menyambar kacamata saat akan keluar. Gadis itu langsung menuju ke kamar Axel, mengetuknya beberapa kali tapi tak ada jawaban. Saat Dahayu masuk, dia tahu Axel sedang mandi dari suara guyuran air di kamar mandi. Gadis itu hendak menyiapkan pakaian majikannya, tetapi diurungkan kala mendengar suara desahan. Suaranya jelas walau berusaha disamarkan dengan gemericik air shower. Dahayu terpaku di tempatnya, meremang sampai lupa bernafas. Namun, mengingat tujuannya bekerja, dia berusaha mengabaikan suara desahan itu. Gadis itu mengambil satu set piyama dan celana dalam untuk majikannya. Saat dia keluar dari walk in closet, pintu kamar mandi terbuka. Axel tampak terkejut melihat keberadaan Dahayu di dalam kamarnya. Wajah datar itu seketika masam, dan matanya menyipit. ‘Sejak kapan dia berada di sini? Dia tidak mendengar suaraku, kan?’ batin Axel, tidak henti-hentinya mengamati Dahayu. “Ada lagi yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya Dahayu, menatap lawan bicaranya yang baru tersadar. “Aku mau olahraga.” Axel bersikap tenang, berjalan sambil mengacak-acak rambutnya yang basah dan duduk di pinggir ranjang dengan kaki yang diluruskan. “Saya ganti pakaian Anda, Tuan.” Dahayu mengambil set olahraga Axel berwarna putih. “Keringkan rambutku!” titahnya sebelum Dahayu keluar kamar. Dahayu mengangguk, mengeluarkan hair dryer dan berdiri di belakang Axel. Cukup lama pria itu menunggu, mengetuk-ngetuk jari di atas paha tapi gadis itu belum memulai apapun. Axel menoleh, melihat Dahayu sibuk dengan ponselnya. Merasa dirinya diperhatikan, Dahayu tersenyum canggung sembari memperlihatkan apa yang dicarinya. “Saya nggak tau cara pakainya, Tuan. Jadi, mau belajar dulu,” ujarnya malu. “Pakai handuk.” “Baik, Tuan!” Tak mau membuat majikannya menunggu lama, Dahayu bergegas mengambil handuk. Gadis itu naik ke atas ranjang, berdiri menggunakan lutut di belakang Axel. “Maaf, Tuan, saya memegang kepala Anda.” Axel tak menjawab, membiarkan gadis itu mengeringkan rambutnya. Namun, Dahayu bukan hanya sekedar mengeringkan rambut, dia juga memijat kepala Axel dengan lembut, membuat pria yang sedang kelelahan dan stres itu merasa rileks. Axel terpejam, menengadahkan kepala, menikmati setiap sentuhan yang menenangkan sarafnya. Tanpa sadar, Axel meraih tangan Dahayu dan memindahkan ke area lain agar pijatannya lebih menyeluruh. “Hmm….” Dahayu terpaku mendengar suara helaan nafas majikannya yang mirip desahan yang didengarnya tadi, Jari-jari lentiknya terhenti, dia menatap wajah tampan sang majikan. Merasa kenikmatannya terganggu, Axel membuka mata. Wajah Dahayu tepat berada di hadapannya, hanya berjarak sepuluh centi. “Kenapa berhenti?” tanya Axel, suaranya serak. Dahayu memperhatikan bibir dan jakun Axel yang bergerak naik turun. Sedetik kemudian ia tersadar, langsung menggeleng dan kembali memijat Axel. “Cukup.” Jari-jari Dahayu terasa kebas, namun ia tetap tersenyum kecil pada Axel sebelum buru-buru turun dari ranjang. “Berikan nomor rekeningmu,” ujar Axel sambil berjalan mengambil ponselnya di atas meja. “Untuk apa, Tuan?” tanya Dahayu dengan heran sekaligus enggan. Axel tidak menjawab. Ia hanya berdiri di hadapan Dahayu, menadahkan ponsel seolah tak mau mendengar bantahan. Dengan ragu, Dahayu akhirnya menyebutkan deretan angka. Tak lama kemudian, notifikasi berbunyi dari ponselnya. Ia cepat-cepat mengecek, lalu matanya membelalak ketika melihat jumlah uang yang ditransfer Axel. “Tuan, kenapa mengirim sebanyak ini?” suaranya bergetar, khawatir itu tanda ia akan segera dipecat dan uang itu hanyalah kompensasi. “Bonus.” Axel menjawab singkat. “Terima kasih, Tuan.” Dahayu tampak begitu senang; uang itu datang di saat ia benar-benar membutuhkannya. Sudah beberapa kali ia mencoba mencari pinjaman, namun belum mendapatkannya. Berulang kali ia membungkuk pada Axel sebagai ungkapan terima kasih padahal bagi pria itu, jumlah yang diberikan sama sekali tidak besar. “Kalau Tuan butuh sesuatu, katakan saja!” ucap Dahayu tulus, senyumnya merekah indah. Ia kembali membungkuk, sampai kacamatanya terlepas dan jatuh. Bergegas ia memakainya lagi, mengingat dirinya harus tetap menyembunyikan wajah aslinya. Axel menatap lekat, lalu membuka suara dengan nada serius. “Bagaimana kalau yang kubutuhkan teman tidur. Kau mau?” Seketika senyum Dahayu hilang. Ia refleks mundur. “Maaf, Tuan. Pekerjaan saya hanya sebatas melayani kebutuhan Anda.” Suaranya bergetar tapi tegas. “Melayani di ranjang, maksudmu?” Axel sengaja menantang, ingin menguji seberapa jauh gadis itu bisa bertahan.“Kenapa, Kak?” tanya Dario sambil menggoyang pelan tangan Dahayu. Bocah itu ikut menoleh ke belakang, berusaha mencari tahu apa yang dilihat Dahayu.Dahayu tersentak, lalu cepat-cepat tersenyum kecil sambil menggeleng. Ia tak ingin membuat Dario khawatir. Hatinya mencoba menepis perasaan aneh itu, menganggapnya hanya rasa takut berlebihan karena membawa anak pria paling kaya ke tempat umum.‘Mana mungkin ada yang berani berbuat jahat di tempat seramai ini,’ batinnya, berusaha menguatkan diri.Mereka pun masuk ke toko ice cream. Meski sudah berulang kali menegaskan pada diri sendiri bahwa takkan ada apa-apa, Dahayu tetap waspada. Ia sengaja memilih meja di tengah ruangan agar lebih mudah mengawasi sekitar, lalu memesan dua ice cream coklat. Satu untuknya, satu untuk Dario.Begitu pesanan mereka datang, Dahayu tidak langsung mengizinkan Dario melahapnya. Sambil tersenyum, ia lebih dulu mengambil sedikit ice cream milik bocah itu dan mencicipinya. Setelah yakin aman, barulah ia menganggu
Axel dan Dahayu sama-sama menoleh ketika Dario tiba-tiba berlari ke arah mereka. Panik, Dahayu ingin segera menolak Axel yang berada di atasnya, takut bocah itu salah paham. Namun, sebelum sempat bergerak, Dario lebih dulu melompat dan menduduki punggung papanya.Axel yang sedang menopang tubuhnya dengan kedua tangan kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk, membuat dirinya dan Dahayu benar-benar menempel tanpa celah.Bruk!Bibir mereka bertabrakan. Kedua pasang mata langsung melotot, membeku dalam posisi yang tak bisa dihindari.Jantung Dahayu berdegup kencang, begitu keras hingga terasa ingin meloncat keluar dari dadanya. Nafas gadis itu tersengal, wajahnya panas karena tubuh Axel menindihnya.“Hmmm!” Dahayu yang terbungkam berusaha menyadarkan Axel dengan suaranya. “Hmmhh!” Suara Dahayu yang tercekik terdengar seperti desahan lirih di telinga Axel. Dalam posisi terhimpit itu, tubuh pria yang kepalanya ditekan Dario justru bereaksi. Dahayu membelalak ketika merasakan milik sang maj
Matahari mulai merangkak di ufuk timur, sinarnya masih malu-malu menyingkap kabut. Hari tampak menjanjikan cerah. Dari dapur, aroma kopi yang baru diseduh menguar memenuhi ruangan.Dahayu menggenggam erat-erat cangkir kopi, seolah bisa menenangkan hatinya yang bergejolak. Napasnya ia atur pelan, namun tetap saja ia merasa gelisah.Setiap kali berhadapan dengan Axel, tidak pernah ada hal baik yang ia dapatkan. Pria itu selalu membuatnya gentar, tatapannya menusuk, dan kata-katanya bagai pisau. Bahkan, Axel kerap menuduhnya dengan hal-hal yang bahkan tak pernah Dahayu pahami.Gadis itu menatap nanar lantai dingin yang ia pijaki, berdecak kecil ketika menoleh ke lantai atas karena pagi ini dia harus berhadapan dengan pria itu lagi. Hati kecilnya menolak, tetapi tanggung jawab yang diemban memaksanya tetap disana.Sesekali Dahayu memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jangan sampai telat membangunkan majikannya. Getar ponsel di saku roknya mengejutkan Dahayu. Lagi-lagi, b
Dahayu menelan ludah, lalu menggeleng mantap. “Sepertinya Tuan salah paham. Saya permisi.” Dengan cepat ia membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.Axel tersenyum sinis memandangi kepergian Dahayu. Mengingat mata yang berkaca-kaca dan gadis itu yang langsung mundur, kelihatannya Dahayu benar-benar kaget dan takut. Axel terkekeh dengan tangan mengepalkan tinju, mana mungkin dia percaya dengan gadis yang dianggapnya pandai bersandiwara itu.“Kau terlalu pintar berpura-pura. Aku mau lihat, apa kau bisa dijinakkan dengan uang?” Setelah berganti mengenakan setelan olahraga, Axel melangkah keluar kamar. Ia menuju ruang olahraga di lantai atas, lalu berdiri menghadap kaca besar. Pandangannya terarah ke luar jendela, membiarkan sinar matahari pagi menyapu tubuhnya.Axel sedang berlari di atas treadmill, kaus tanpa lengan menempel pada tubuhnya yang basah oleh keringat. Nafasnya berat dan teratur.Dahayu masuk perlahan, membawa nampan berisi mangkuk buah segar. Dia melangkah hat
Dahayu menautkan alis, matanya memerah karena cengkraman Axel meninggalkan rasa sakit yang tak tertahan. Posisi mereka cukup dekat, mungkin detak jantungnya yang cepat bisa dirasakan Axel. Dahayu menggeleng, berusaha membantah tuduhan majikannya yang tak dimengerti. Gadis itu menolak pelan dada Axel, tetapi pria itu malah semakin merapatkan diri dan menguatkan cengkraman.“Sa-sakit…,” ucap Dahayu lirih. Air mata yang sejak tadi menganak, jatuh di pipinya yang merah.Axel menolak Dahayu yang menunduk sambil menahan tangis. Tidak menyangka Axel akan memperlakukannya sekasar ini padahal dia tidak mengerti apa-apa. Dahayu ingin melangkah pergi, melarikan diri dari tempat mengerikan ini.Namun, langkahnya terhenti kala ia teringat suara batuk ibunya yang membutuhkan uang untuk pengobatan. Bahkan, dia belum mendapatkan pinjaman untuk membayar biaya sekolah adiknya. Setetes air menitik di pipi, mengisyaratkan luka batin yang memaksanya menetap.“Keluar.” Axel lebih memilih menatap benda-ben
Lima menit setelah Axel pergi, sebuah mobil sport hitam masuk garasi. Wanita berusia 26 tahun berpakaian seksi turun dari mobil dengan sedikit terhuyung. Dia mengangkat kacamata hitamnya, matanya menyipit karena silau. Aroma alkohol tercium dari tubuh wanita muda itu.Suara heels membentur lantai. Dia menutup mulut dengan tangan, menahan mual yang bergejolak. Semua orang membungkuk hormat ketika berhadapan dengannya. Tak ada sapaan, bahkan wanita itu terkesan tak peduli pada siapapun.“Mama!” Dario berteriak memanggil Naomi. Tuan muda kecil itu berlari dan memeluk kaki mamanya, berharap mendapat pelukan hangat. “Lepas, Dario!” sentak Naomi, mendorong-dorong pelan Dario menjauh. “Mama lelah, mau istirahat.” “Ma, aku—”Dario tidak sempat mengucapkan apa-apa. Naomi sudah mendorongnya dengan kuat sampai tubuh kecilnya terjerembab ke lantai. Sambil menahan pusing, Naomi menatap tajam putra semata wayangnya.“Jangan manja, Dario. Minta pada maid. Mama lelah!” tegas Naomi, tanpa mempedulik







