Nawangsih bergerak ke sisi kanan ranjang, dia bersedekap untuk melihat paras laki-laki yang dia puja selama hidupnya. "Aku tidak percaya lagi dengan seluruh ucapanmu mengenai enaknya mendaki gunung atau manisnya edelweis saat bermekaran jika risikonya seperti ini!"Nawangsih mendelik di depan wajah Suryawijaya yang memakai selang oksigen."Aku tidak akan pernah mengizinkanmu lagi mendaki gunung jika kamu sudah bangun dari mimpi indahmu itu. Aku keberatan tahu!"Nawangsih menyentuh wajah Suryawijaya tepat di lukanya yang mengering di tulang pipi. "Kamu pasti sudah melewatkan hari-hari penuh perjuangan, Mas. Tapi apa kamu tidak bisa berpegangan yang kencang? Seperti memegangku bertahun-tahun?"Nawangsih tersenyum getir. "Pasti tidak bisa, tebing itu bukan aku dan kamu juga membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Kecelakaan itu nyaris melumatku dalam kesedihan dan rasa kehilangan."Nawangsih mengelus pipinya dengan punggung jari. "Biarkan aku merawatmu, Mas." Dia mengusap wajah Suryawijaya deng
Nawangsih satu-satunya perempuan yang hampir mengisi segalanya dalam hidup Suryawijaya. Begitupun sebaliknya. Tak ayal, kadangkala apa yang membuat mereka putus asa justru dikembalikan oleh kenyataan bahwa andil semesta adalah jawabannya.Nawangsih mengedipkan matanya, mengucek matanya untuk memastikan yang dilihatnya tidak salah. "Mas Surya bicara?" Nawangsih meraba-raba wajahnya. Demi apa pun rasanya seperti ada letupan semangat di dalam jiwanya."Kamu sudah bangun, Mas?"Reaksi yang bisa Suryawijaya beri hanya tersenyum samar. Nawangsih kontan berlonjak kegirangan sambil berteriak penuh rasa syukur.Suryawijaya melengkungkan senyum, dia menyukai nada suara itu. Bukan tawa geli atau tawa yang mengejeknya. Tawa Nawangsih terdengar menyenangkan, terdengar bahagia."Aku panggilkan dokter dan Ibunda dulu, Mas. Jangan tidur lagi pangeran tidur!" serunya sambil menepuk-nepuk pipi Suryawijaya.Suryawijaya hendak menyahut tapi suara yang keluar dari pita suaranya tidak ada, tenggorokannya s
Setelah malam berganti pagi, dan hari-hari mulai membaik. Suryawijaya dan sang Ayah kembali ke rumah, meredakan suasana gundah sanak saudara dan para pelayan yang khawatir dengan kondisi dua penguasa itu.Nawangsih melenggang keluar dari kamar dengan senyum damai yang merekah di wajahnya. Sekembalinya dar rumah sakit, aktivitasnya kembali seperti sedia kala. Kini dia benar-benar menjadi pelayan hati sang pangeran.Nawangsih menaruh alat melukis di lantai seraya tersenyum dan berkata, "Mas Surya harus punya kegiatan baru selain melamun. Lukis aku, ayo..."Suryawijaya yang mengalami cidera di tangan kirinya mendengus. "Kamu mengejekku?" tukasnya heran, "aku masih belum bisa bergerak dengan baik. Tanganku lihat..." Tangan kiri di gips, tangan kanan banyak bekas luka.Nawangsih menggeleng perlahan, tangannya sibuk menata cat dan alat lukis di meja, di beranda rumah utama. Tempat di mana Suryawijaya memilih menghabiskan waktu sambil terdiam. "Tidak, bukan begitu maksudku, Mas. Dokter meny
Nawangsih berseru. "Jangan bahas-bahas rasa sayang. Itu maha dahsyat, Mas!"Bimo dan Citra segera menengahi perdebatan mereka dengan mengangkat kedua tangan. Memandangi keduanya sambil geleng-geleng kepala."Harusnya kalian dipisahkan lagi saja. Daripada jatuh cinta lagi dan lagi." Bimo menasehati.Suryawijaya mengangguk, wajahnya seketika mengerut sakit. Sakit karena dipisahkan lagi tidak ada pada rencananya. Biar seperti ini saja sudah lega."Mas Suryawijaya sebaiknya istirahat." kata Bimo, mendekat seraya bersiap membantu Suryawijaya beranjak.Suryawijaya menatap Nawangsih dengan senyum malunya. Malu karena kesempurnaan sudah tidak bisa lagi dia berikan untuk Nawangsih."Kamu benar, Nia. Aku akan menurutimu saja." Akunya malas, "tolong bawakan lukisanku ke kamar."Nawangsih membuntuti kedua kakaknya ke kamar Suryawijaya. Lelaki itu masih tertatih saat berjalan. Dan Bimo dengan perhatian memapahnya perlahan."Jadi kamu nikahnya kapan, Cit?" tanya Nawangsih.Citra menggelengkan kepala
Seminggu sekali, Nawangsih dengan senang terus menemani Suryawijaya kontrol kesehatan di rumah sakit, mengajaknya keliling rumah sambil menceritakan apa saja yang pernah terjadi di sana atau mengunjungi galeri Dendra. Tentu hanya kenangan mereka saja yang Nawangsih ceritakan, yang lain tidak penting katanya. Suryawijaya tersenyum. Banyak yang menarik untuk di kenang di galeri Dendra, tapi di rumah dia merasa seluruh rumah itu memberikan ingatan yang lebih kuat."Yang lain tidak penting karena kamu tidak menerimanya." kata Suryawijaya, mereka berhenti di taman belakang rumah, memilih tempat yang cukup hangat untuk berjemur.Nawangsih mengernyit, "Maksudnya? Ah iya... Mbak Keneswari pasti khawatir kalau tahu Mas celaka." ucapnya lugas, "Itu kan yang Mas maksud? Memori lama yang bikin aku pergi?"Nawangsih menyipitkan mata dengan raut wajah penasaran. Suryawijaya gemas, raut wajah itu menghiburnya."Kamu benar, tapi Keneswari tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi." Suryawijaya berkat
Suryawijaya mengetuk kamar Nawangsih sewaktu suasana rumah utama terasa sepi.Nawangsih mengerucut bibir. Sebagai sahabat dan adik, kelakuan Suryawijaya yang memanggil-manggil namanya dengan pelan tapi buru-buru membuatnya jengkel."Kenapa?" Nawangsih hanya membuka pintu kamarnya sedikit. "Aku lagi sibuk cari kampus baru, Mas. Lagi meeting juga sama Pak Doris.""Katanya sudah menjadi pengangguran." Suryawijaya mengembuskan napas. "Meeting apa dengan Pak Doris? Kesehatan Andrew terganggu?""Ngawur." Nawangsih mempersempit jarak pandang keduanya dengan mendorong daun pintu. "Aku keluar sejam lagi, itu kalo Mas masih perlu sama aku! Bye..."Nawangsih menutup pintu dan menguncinya, mencegah Suryawijaya masuk dengan cepat.Suryawijaya menerima penolakan itu dengan pasrah, padahal niatnya baik. Dia pergi ke ruang keluarga, di sana hanya ada kehampaan karena Ibu dan Ayahnya pergi ke rumah sakit bersama Kakak dan Adiknya."Harus mulai dari mana aku?" Dia menatap sekujur tubuhnya yang menjadi s
"Begini kan bagus, Mas. Dua gram, apa itu? Cilik banget." gerutu Nawangsih sembari melihat gelang bintang-bintang seberat lima gram yang menghiasi pergelangan tangannya setelah Suryawijaya langsung membelikannya di toko emas langganan Ibunya."Buat Mbak Keneswari saja mampu puluhan jutah... buat aku, dua gram. Apa itu? Pilih kasih!"Suryawijaya memasang mimik wajah tersiksa. Selain sedang dalam masa persahabatan yang harus menerima seadanya sahabat dengan luapang dada dan hati yang ikhlas, dia tidak dapat protes."Keneswari itu tanggungan Ibu, bukan aku. Ya memang tanggunganku kalau Ibu tidak ambil alih. Jadi kamu jangan iri. Jangan nambah bebanku. Itu perbuatan tidak baik, adik dan sahabat kok tidak memahami kakaknya."Ooo... Astaga, Suryawijaya mulai banyak bicara itu pertanda dia dalam keadaan baik.Nawangsih menurunkan tangannya ke sisi tubuh, menyingkirkan sebentar emas itu dari pandangannya agar dapat melihat wajah Suryawijaya dengan lekat."Aku sih pasti menjadi bebanmu, Mas. Ba
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar