Kepulangan Bimo dari kampus militer disambut baik oleh keluarga besar Kaysan Adiguna Pangarep di ruang keluarga yang kini nampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelayan kinasih ikut berada di sana untuk melayani ndoro bei meski hanya duduk bersila sembari menunggu titah. Bimo yang tiba di rumah sebelum senja menghilang memberi hormat kepada orangtua angkatnya."Ibu, Ayah. Saya senang bisa kembali.” ucapnya seraya mencium punggung tangan keduanya.Mereka tersenyum menanggapi ucapan putra angkatnya yang kini bertambah kekar dan memiliki senyum yang tulus. Tak bisa mereka pungkiri bahwa kehadiran Bimo sudah tunggu-tunggu oleh mereka berdua."Kami sangat merindukanmu, Le. Apakah kamu sudah siap mengabdi lagi kepada nagari?" "Sendiko dhawuh, Ibu. Saya bersedia dengan senang hati." Suryawijaya yang bersila tak jauh dari ketiganya mencelos. Sama seperti hari biasanya yang sudah mereka lalui bersama-sama. Keunggulan Bimo dalam bidang pengabdian kerap dibanding-bandingkan oleh orang tua
Suasana pagi di rumah utama nampak sejuk dan tenang seperti biasanya. Burung-burung bernyanyi di dahan pohon bercampur dengan suara gamelan.Nawangsih tersenyum untuk dirinya sendiri dengan segenap tekad kuat di kepalanya."Cah ayu sudah siap?" tanya Eyang Ningrum sembari merapikan jarik mlipit yang dikenakan Nawangsih."Sudah eyang.""Ya sudah ayo."Keduanya lantas bergegas menuju gedung widya budaya untuk mengikuti rangkaian upacara doa bersama untuk keselamatan yang dihaturkan kepada Tuhan sebelum melakukan kegiatan inventarisasi dan digitalisasi naskah penting peninggalan sejarah yang didominasi oleh peninggalan seni budaya dan tradisi Jawa.Nawangsih terus mengikuti prosesi acara yang digelar dengan penuh ketelitian dan kesabaran.“Mas Bimo sudah kembali ya?" Citra tersenyum malu."Iya, mas Bimo sudah pulang. Sekarang baru ikut Ayahanda ke kantor untuk mengkoordinasikan kegiatannya.” Nawangsih tersenyum. "Kenapa, kangen sama masku?”"Hu'um." Citra mengangguk seraya menyikut lengan
Bimo menyempatkan diri untuk menemui ayahnya di ruang pribadinya. Dengan sedikit senyum gugup ia memberanikan diri bertanya tentang perjodohan yang dikatakan oleh Suryawijaya semalam."Bagaimana putraku? Apakah ada yang berbeda sebelum kepergianmu ke pelatihan militer?" tanya Kaysan, belum bersedia menjawab pertanyaan tersebut."Semua masih sama Ayah. Kekasihku masih ada. Hanya bajuku yang berganti ukuran." jawab Bimo lalu tersenyum.Kaysan membalas senyuman itu tak kalah manisnya. Mata bijaknya memperhatikan tubuh kekar Bimo sebentar, lalu kembali ke buku hijaunya yang tebal. "Apa yang Suryawijaya ceritakan kepadamu? Apa dia masih mengeluhkan persoalan itu?" "Saya rasa tidak Ayahanda. Semalam ndomas hanya menceritakan ide-ide baru yang menurutnya bagus untuk dijadikan solusi. Setelahnya hanya merokok saja sambil berpikir."Senyum Kaysan semakin melebar. "Apa Suryawijaya sudah membutuhkan penasihat? Bagaimana dengan Iwan, mau sampai kapan dia tidak berani menemui saya hanya karena ha
"Saya sangat berterima kasih atas kunjungan dan kebaikan Mas Surya hari ini. Ini sungguh-sungguh luar biasa." Adhiwiryo memberi hormat. Suryawijaya mengangguk takzim, "Secepatnya saya akan kembali, Romo Adhiwiryo. Saya akan mempelajarinya untuk menyimpulkan apa saja yang bisa kita siapkan dan lakukan nantinya." janjinya sungguh-sungguh untuk merangkai restu dari ayahnya.Adhiwiryo merangkul bahu Suryawijaya. "Kamu sangat mempunyai tekad kuat. Sangat mirip sekali dengan ayahmu." Adhiwiryo meremas bahu Suryawijaya dengan keras. "Sampaikan salam untuk beliau.""Baik, Romo. Nanti saya sampaikan." Suryawijaya tersenyum masam."Mari saya antar keluar."Mereka menyusuri lorong yang begitu hening sampai suara detak jam gantung terdengar menemani langkah mereka.Setibanya di parkiran motor, Suryawijaya langsung menggeber motornya dengan setengah hati. Pikirnya melayang ke mana-mana seolah benar apa yang terlihat tak bisa mendeskripsikan kenyataan yang sesungguhnya.Sedangkan Adhiwiryo menatap
Aroma wangi bunga mawar dan kantil memenuhi kamar tidur ndoro bei ketika Nawangsih menjalani pekerjaannya. Menyisir rambut Rinjani sebelum membuat sanggul modern yang berbeda dari sanggul model ukel tekuk."Bagaimana Suryawijaya, Tania? Apa dia masih tidak terima kita akan pergi berlibur?" Rinjani memperhatikan ekspresi wajah Nawangsih dari pantulan cermin. Gadis itu meringis sembari merapikan rambut panjangnya dengan luwes."Masih, Ibu. Kabarnya mau ikut, tapi tetap membawa tugas kampusnya." jelas Nawangsih sembari memasang penjepit rambut di masing-masing belakang telinga Rinjani."Kebanyakan kerjaan jadi ruwet sendiri dia!" Rinjani menggelengkan kepala hingga membuat Nawangsih ikut menyesuaikan gerakan kepala Ibunya."Ibu memang bilang untuk madep mantep, tapi ya satu-satu. Semua kok mau dicaplok bareng-bareng, bisa-bisa migren beneran nanti anak itu!" cerocos Rinjani seraya mendesah lelah.Nawangsih tersenyum karena tidak tahu harus mengomentari perihal itu dengan apa selain terus
Citra membungkuk dalam-dalam sebelum melakukan laku dhodhok-jalan jongkok ke hadapan Rinjani seraya memberi hormat."Selamat pagi, Ibu, Bapak. Terima kasih sudah memberi kesempatan untuk mengikuti tamasya hari ini." Citra tersenyum sembari menurunkan tangan ke atas pangkuannya.Kaysan dan Rinjani yang duduk di kursi antik saling melempar pandang. Ada kehangatan yang terpancar dari wajah keduanya. Mereka tersenyum penuh kasih."Dengan senang hati, Rara." balas Rinjani.Bimo mengulum senyum saat Citra menunduk dengan pipi yang merona. "Apa kalian sudah siap, anak-anakku?" Rinjani menumpuk tangannya di atas punggung tangan Kaysan seraya mengisi ruas jarinya. Semua mengiyakan. Dan berhubung jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi mereka segera menyusuri lorong yang di penuhi potret kehidupan mereka dari masa ke masa sambil menenteng barang bawaan ke arah parkiran. "Salah satu dari kalian bawa mobil Ayahanda." titah Rinjani kepada ketiga putranya. Suryawijaya, Bimo dan Pandu saling mel
Kata-kata Suryawijaya yang diucapkan dengan keyakinan penuh itu memberi efek samping bagi Nawangsih. "Kira-kira di hukum apa, ya? Padahal tadi ibu yang pengen karena sudah lama tidak mendapat ruang untuk berekspresi." batinnya kecut seraya menambahkan. "Apalagi ini ada Mbak Keneswari, lengkap sudah hukuman ini. Malu-maluin aku sendiri!" Ia menepuk dahi.Tersemat rasa gelogok kenapa harus ada perempuan menawan itu yang kadang kala berkata dengan lembut nan manja khas putri kerajaan kepada Suryawijaya yang acuh tak acuh kepadanya. "Jadi selain hobi melukis, Mas Surya suka apa saja?" tanya Keneswari. Hanya suara dia yang memenuhi mobil. Sementara Nawangsih dan Citra lebih banyak diam sambil terus bergenggaman tangan saling menguatkan."Saya suka apa saja yang menurut saya pantas untuk disukai." jawab Suryawijaya. Jalanan yang dilewati semakin berkelok dan sempit juga bergeronjal. "Apa saya pantas, Mas?" Keneswari memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Suryawijaya."Pantas saja."
"Kencan berempat?" Nawangsih dan Citra membeo sembari saling pandang. Mereka tidak menduga bahwa hukuman yang sejak tadi menakutkan bagi mereka adalah kencan?"Tidak mau?" tanya Suryawijaya, mencari batu karang yang bisa dijadikan tempat duduk."Ya-ya, mau." Nawangsih tergagap. "Tapi kan Ayahanda dan Ibunda ada di sana. Kalau ketahuan gimana?""Orang kencannya cuma ngobrol." Suryawijaya tersenyum lebar. "Mau kencan yang bagaimana memangnya?"“Mas Surya sudah tau!" tukas Nawangsih sambil menahan dress-nya agar tidak berkibar bebas.Suryawijaya meringis sebentar, ditatapnya Bimo yang bergeming di belakang Citra."Kecil-kecil cabe rawit, Mas. Maunya yang pedas-pedas kencannya." kekeh Suryawijaya."Adik kita memang perlu di hukum, Mas. Semakin besar semakin berani sepertinya." Bimo memberikan dukungan.Nawangsih yang menyandarkan tubuhnya di batu karang cemberut. "Mas Bimo juga ikut-ikutan! Tuh lihat, Rara juga cemberut karena kencan yang Mas Bimo berikan di luar ekspektasi!" cibir Nawangs