Andrew bertepuk tangan setelah mencoba masakan Nawangsih. "Enak, Tania. Lo emang calon istri yang sempurna buat gue." "Sstt..." Nawangsih menaruh jari telunjuknya di depan mulut sambil melirik kewibawaan Suryawijaya yang menyantap makan siangnya dalam diam. "Ada, Mas. Jangan ngobrol waktu makan." ucapnya mengingatkan.Sekonyong-konyong Andrew menepuk jidatnya. "Maaf, gue lupa. Dimaafkan ya?" Andrew mengatupkan kedua tangan. "Mas Surya, maaf." Suryawijaya mengangguk. "Lanjutkan makannya!" titahnya dengan suara datar. Andrew menganggukkan kepala sambil melempar senyum. Nawangsih pun ikut tersenyum walau dalam hati dia meracau."Itu yang aku rasakan, Mas. Aku harus bersikap baik-baik saja, tenang dan santai saat kamu berduaan dengan Mbak Keneswari. Enak nggak? Enggak kan? Aku tersenyum dalam luka, sepertinya kamu pun begitu sekarang. Tapi ini bukan ajang balas dendam. Mas Drew memang menyukaiku, Mas paham itu dan tidak sedikit waktu yang telah kami lewati. Jadi apa kamu bisa mengertiku
Nawangsih menyelesaikan pekerjaannya mengepak pakaian dan oleh-oleh sebelum menghela napas lega."Jadi selama kalian berpacaran, Masku ini tidak serius? Tega sekali kamu sebagai laki-laki." Nawangsih menatap Suryawijaya dengan tidak suka."Dan aku sekarang harus mempercayai Mas juga untuk kedepannya?"Suryawijaya bersedekap sembari bersandar di kusen pintu. "Aku dengan kamu sudah pasti serius. Jadi jangan kamu tanyakan hal itu.""Halah." Nawangsih memutar matanya seraya memastikan Andrew masih terlelap."Dengar ya Mas, sejauh aku pergi, baru Mas Andrew yang begitu besar memperhatikanku selain kamu. Jadi aku harap hatimu cukup bijak menanggapinya."Suryawijaya menatap Andrew yang begitu gigih dan santai menyukai Nawangsih. Sudah akrab sekali juga mereka seolah kini semua warna cerah kembali ke dalam hidup Nawangsih dari harinya yang buruk karena dirinya."Aku paham dengan apa yang kamu maksud, Nia. Dan ini hanya soal waktu kok."Nawangsih berdecak. "Awas ya kalo ganggu kita. Aku marah!"
Melekatnya kembali jarak di antara Nawangsih dan Suryawijaya seakan membangkitkan kembali mimpi-mimpi untuk merajut asa bersama dalam angan Suryawijaya yang melambung tinggi.Dia tidak tahu harus menyebut apa malam itu. Dans Le Noir, Emirates Greenwich Peninsula, dan seluruh jalan di London pasti sudah pernah Nawangsih sambangi bersama Andrew, tapi dia yakin seratus persen kebersamaan mereka akan mengingatkan kembali masa-masa indah dan pahit bersama di rumah.Nawangsih meringis di hadapan Suryawijaya di bawah kanopi lobi tempat tinggalnya. Malam sudah semakin dingin, dan dia harus berpisah untuk menyudahi permainan itu."Terima kasih sudah ditraktir. Di Jogja besok jangan lupa ya. Jalan-jalan lagi." ucapnya lembut. Suryawijaya tersenyum, di antara racauan yang mengiringi setiap langkah perjalanan mereka dia ingin berusaha untuk berlaku bijak dan tenang."Terima kasih untuk malam ini." Suryawijaya mengusap kepala Nawangsih, tetapi wajahnya terlihat karena uangnya kian tipis dan hatiny
Andrew cemberut, sepanjang perjalanan menuju rumah besar keluarga Nawangsih dia duduk dengan tidak tenang, sekali, dua kali dia menoleh untuk menatap Nawangsih."Sumpah gue deg-degan gak kelar-kelar dari tadi." Andrew mengaku. "Gue nginep di hotel aja, gue belum mandi, gue kusut banget sekarang. Nggak sanggup gue datang dengan keadaan seperti ini.""Gak apa-apa, Mas Drew. Ibunda dan Ayahanda paham kok." Nawangsih menenangkannya dengan mengusap punggung tangannya, "Nanti aku dampingi biar nggak kikuk.""Pandu saja yang mendampingi Mas Andrew, Nia. Kamu juga capek, kan!" timpal Suryawijaya. ‘Jangan mengada-adalah, hanya cuti seminggu saja harus di pakai untuk mengurus lelaki ini,' pikirnya dengan kesal.Pandu mengamati wajah Suryawijaya dari spion dalam. Kusut dan berantakan, rupa itu sangat lelah. Sesaat Pandu menghela napas sambil menoleh ke arah Andrew sekilas."Biar aku saja yang mendampingi, Nia. Aku lagi semangat soalnya." Pandu tersenyum cerah, "Sama aku jauh lebih santai, soalnya
Terlihat kehangatan terpancar dari wajah demi wajah yang berkumpul di ruang keluarga, Nawangsih apalagi, nampak tangannya terus menggenggam erat tangan Ayahnya yang duduk di sebelahnya. Rindu itu terbayar lunas ketika senyum di bibir Ayahnya nampak begitu lepas karena Nawangsih masih memuja Ayahnya sebagai pahlawan hidupnya. Sekarang entah siapa yang lebih lega sekaligus bahagia atas pertemuan hari ini. Suryawijaya, Nawangsih atau Ayah mereka? •••Makan malam di mulai. Suryawijaya duduk di samping Nawangsih sementara Andrew yang mengalami jetlag sejak tadi dengan jengah tersenyum kepada semua orang yang mengajaknya bicara. Kini dia malu-malu mengunyah makan malamnya sambil menatap keluarga itu."Mendekati Tania artinya menjadi seorang yang sangat baik, berbudi pekerti luhur dan hidup dalam tatanan sedangkan gue hanya seonggok daging bernyawa yang dalam kebebasan." batinnya saat memikirkan dan terus memikirkan perawan cinta itu berkali-kali. "Tapi kalau gue jalan sama Tania, banyak ha
Suryawijaya mengernyit heran seraya menatap Pandu yang tidak menyahut ucapannya. Dalam detik yang terasa setahun, Suryawijaya kontan tercekat ketika Andrew menyapa sambil berjalan mendekat.Tapi alih-alih menyembunyikan gelang emasnya terlebih dulu, Suryawijaya tetap menggenggamnya.Andrew tersenyum kikuk seraya duduk di sebrang Suryawijaya. Tatapannya masih melanjangi gelang itu dengan saksama. Pandu maklum saja dengan reaksi itu, tapi tidak dengan Suryawijaya. Lelaki itu nampak ingin menunjukkan siapa dirinya bagi Nawangsih."Maaf nih Mas kayaknya gue bangun kesiangan jadi ketinggalan kumpul-kumpulnya." ucapnya ramah sambil memandang Suryawijaya. "Bukannya itu gelangnya Tania, Mas? Nggak asing di mata gue soalnya." imbuhnya dengan nada sungkan.Andrew bukan laki-laki celamitan yang ingin tahu segalanya, cuma begitu melihat gelang emas yang lama tidak di pakai Nawangsih memang membuatnya penasaran. Terlebih pada Suryawijaya gelang itu berada sekarang.Suryawijaya mengangguk, mungkinka
Burung berkicau ketika angin kencang berhembus menerpa pepohonan hingga mengugurkan rintik-rintik air sisa hujan semalam ke tubuh Suryawijaya saat melewati jalan turunan setelah menikmati malam di puncak gunung S di Jawa Tengah.Wajahnya yang lelah terlihat bahagia, demi apapun setelah perkara paling memusingkan kepala rasanya begitu melegakan bisa menyusuri medan pendakian yang kembali memancing adrenalin dan staminanya untuk merasakan dinginnya udara hutan lebat dan pemandangan yang luar biasa asri."Mas, Mas Surya. Tungguin toh." Tarikan napas Iwan terdengar seperti orang-orang yang sedang mengikuti ajang festival San Fermin di kota Pamplona, Spanyol. Dia terengah-engah seakan di kejar banteng liar yang hendak menyeruduknya. Meski kenyataanya dia hanya menuruni trek pendakian dengan langkah yang sangat hati-hati.Jalan setapak yang licin dan basah akibat hujan semalam masih berpotensi membuatnya mati terpeleset dan jatuh ke jurang atau hipotermia karena kedinginan. Iwan memanggil S
Rasa sakit itu datang seketika. Dengan napas tumpang tindih, Suryawijaya mengeluarkan sepatah kata sambil menatap bias cahaya yang mulai sirna dari sorot matanya."Tania."•••Suhu udara turun. Rintik-rintik salju mulai turun menghiasi kota London. Nawangsih melepas sarung tangannya seraya mengulurkan tangan di depan kompor dan mengusap-usap telapak tangannya. Dia kedinginan sepulang dari kampus seorang diri tanpa kehadiran Andrew yang sempat menguasainya beberapa bulan sejak dia kembali ke London.Nawangsih termenung, dikenangannya sesuatu yang pernah dia tanamkan untuk Andrew, namun ternyata lelaki itu memilih untuk berpisah dan itu membuatnya tak berhenti berpikir keras.Kenapa berpisah... bukankah kamu mengharapkan aku?Awan-awan putih terlihat menggumpal dan elok di pandang. Andrew mengulurkan tangan saat menikmati penerbangan menuju London kala sore begitu cerah."Tania, boleh gue tanya sesuatu sama Lo?"Nawangsih menghargai uluran tangan Andrew, tapi hanya senyum yang dia berika