LOGINSetelah bercanda sejenak, Elzen beralih menatap Kayden yang masih menggandeng erat tangan Dastan. Ia merunduk sedikit, mensejajarkan wajahnya dengan bocah lelaki itu. Tatapannya penuh kekaguman yang jujur."Wah, jadi ini keponakan baru Paman," puji Elzen dengan senyum lebar. "Kau tampan sekali. Saat besar nanti, kau bisa menggantikan kedudukan Paman sebagai pria terfavorit di keluarga Limantara. Saingan Paman semakin berat."Dastan langsung mendelik, memberikan isyarat agar adiknya itu tidak menularkan sifat narsis pada Kayden. "Kayden, perkenalkan dirimu pada Paman Elzen.”Mata Kayden membulat penuh keheranan saat mengamati wajah Elzen. Dengan polosnya, ia berkata."Halo, Paman. Aku Kayden. Kenapa Paman mirip dengan Paman Elbara?"Elzen tertawa terbahak, suaranya hangat mengisi ruangan. "Karena kami kembar. Kami keluar dari perut nenekmu di hari yang sama."Sementara itu, Abigail yang sedari tadi bersama Moza tampak terpaku. Ekspresi manisnya berubah menjadi rasa penasaran. Ia melep
Mobil milik Dastan meluncur mulus memasuki area apartemen.Sebelum mobil berhenti, Dastan merogoh ponselnya dan melakukan panggilan singkat. Tak lama berselang, sosok Wulan muncul dari balik pintu lobi untuk menyongsong kedatangan mereka.Dastan keluar lebih dulu, kemudian menurunkan Kayden dari mobil dan menyerahkannya kepada Wulan. "Bantu Kayden ganti baju dan pastikan dia meminum obatnya tepat waktu.”Wulan mengangguk patuh. "Baik, Tuan." Ia kemudian menggendong Kayden menuju lobi.Moza pun berusaha keluar dari kursi belakang dengan tergesa-gesa. Ia ingin menyusul Kayden, tetapi gerakannya yang ceroboh justru membuat ujung gaunnya tersangkut di celah pintu mobil. Sedikit panik, Moza mencoba menarik lembut kain mahal itu, tetapi usahanya sia-sia.Seakan tahu Moza mengalami kesulitan, Dastan tidak tinggal diam. Ia berjalan memutar, lalu menunduk di hadapan Moza yang masih terduduk di tepi kursi. Moza terpaku saat melihat kepala Dastan begitu dekat dengan lututnya. Dengan jemari ya
Di dalam kamarnya, Valen sedang berdiri di depan cermin. Tangan kanannya mencengkeram ponsel lantas melemparkan benda itu ke atas ranjang dengan kasar. Wajahnya memerah oleh emosi yang meluap. Sedari pagi, ia sudah mencoba menelepon Elbara berkali-kali, tetapi nomor calon suaminya itu tidak aktif. Elbara seolah menghilang ditelan bumi.Tidak ada pesan, tidak ada kabar, bahkan pria itu tidak kembali ke apartemen sejak semalam.Valen berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Ia merasa Elbara sedang menyembunyikan sesuatu darinya akhir-akhir ini. Dan dalam setiap kecurigaan, nama yang selalu meracuni pikirannya adalah Moza."Sialan!" umpat Valen pelan. Sejak kehadiran wanita itu di kediaman Limantara, segalanya berubah. Sikap para Tuan Muda seolah berputar pada poros yang sama. Mereka memperlakukan Moza layaknya seorang ratu, padahal wanita itu hanyalah pelayan rendahan yang datang dari entah mana.Moza tidak hanya mengancam posisinya di keluarga Limantara, tetapi juga telah mengacaukan pr
Suara Sang Pendeta terasa seperti tarikan yang membawa Moza ke pusaran dilema. Detik itu juga, ia menyadari bahwa para lelaki di dalam ruangan, termasuk Kayden, menatapnya dengan mata bulat penuh harap. Mereka sedang menunggu kalimat yang akan mengikat hidupnya dengan Dastan.Mendadak, tenggorokan Moza terasa serak dan kering bagai dilapisi pasir. Setiap kata yang coba ia susun seolah tertahan di pangkal lidah. Sementara, telapak tangannya berkeringat dingin di dalam genggaman Dastan. Di tengah kebimbangan, sebuah remasan halus pada jemari Moza telah menyadarkannya. Remasan itu bukan sekadar sentuhan fisik dari Dastan, melainkan pengingat bahwa dia punya kewajiban yang harus diselesaikan.Moza menelan ludah dengan susah payah. Sekali lagi, ia mengalihkan pandangan ke arah bangku terdepan, tempat Kayden berdiri.Putranya mungkin belum memahami makna balik upacara pernikahan. Namun, Moza tidak tega mengecewakan cahaya harapan di mata kecil itu.“Saudari Mozarella, silakan ucapkan janj
Moza melangkah dari salon dengan keanggunan yang menyita perhatian siapapun yang memandangnya. Salah satu asisten MUA dengan sigap mendampingi Moza, membantu memegangi ujung gaunnya agar tidak kusut.Di luar, Pak Nata telah menunggu di depan pintu mobil yang terbuka lebar. Setelah memastikan Moza duduk dengan nyaman, Pak Nata segera melajukan mobil membelah jalanan ibu kota. Kali ini, Moza tidak bersuara. Detak jantungnya berdegup begitu kencang, hingga lidahnya terasa kaku untuk sekadar menyapa Pak Nata. Lagi pula, ia sudah tahu tujuan mereka adalah kantor catatan sipil—tempat yang kering dan formal untuk sebuah pernikahan tanpa cinta. Akan tetapi, setelah tiga puluh menit berlalu, kening Moza berkerut. Jalanan di depannya bukan menuju pusat kota, melainkan mengarah ke daerah pinggiran yang lebih asri."Pak Nata, maaf... kita tidak ke kantor catatan sipil?" tanya Moza dengan nada bingung."Tuan Dastan mengganti lokasinya, Nyonya," jawab Pak Nata sopan tanpa mengalihkan pandangan da
Dalam kebimbangan hatinya, Moza memaksakan diri memakan beberapa potong buah. Hari ini, ia membutuhkan tenaga besar untuk menghadapi peristiwa yang akan mengubah garis hidupnya. Menikah dengan Dastan Limantara bukanlah perkara sepele. Ia tidak tahu badai apa lagi yang akan menerjangnya setelah janji suci itu terucap.Baru saja ia meletakkan garpu, ponsel di atas meja berkelap-kelip.Melihat nama Pak Nata muncul di layar, Moza segera mengangkatnya. "Halo, Pak Nata?""Selamat pagi, Nyonya. Mohon maaf mengganggu, saya sudah menunggu di lobi bawah," suara Pak Nata terdengar sangat sopan dari seberang sana."Baik, Pak. Saya akan turun sekarang."Moza bangkit dan menoleh pada Isna yang sedang sibuk di dapur. "Bi Isna, saya akan pergi sekarang. Tolong bantu bereskan peralatan makan ini.""Tentu, Nyonya. Itu sudah menjadi tugas saya," jawab Bi Isna sambil membungkuk hormat."Terima kasih, Bi." Tanpa menunda lagi, Moza bergegas mengambil tas tangannya lalu melangkah keluar.Di lobi apartemen







