Naya terus melangkahkan kakinya dengan langkah yang tertatih-tatih, wajahnya pucat dan mata yang tampak kosong. Air mata terus merembes dari pelupuk mata yang sembab, sesekali ia mengusapnya. Wanita muda itu terpaksa harus pulang ke rumah dengan berjalan kaki, ia tidak memiliki uang sepeser pun.
Naya terlihat sangat menyedihkan setelah mahkotanya direnggut lalu ditinggalkan begitu saja seperti seorang wanita bayaran. Yang membuat Naya semakin hancur mahkotanya direnggut saat ia tidak sadar karna pengaruh minuman memabukkan itu.
Dengan tangan gemetar Naya memutar handel pintu rumah kontrakannya setelah satu jam berjalan kaki. Beruntung sang ibu masih di rawat di rumah sakit, setidaknya bu Ani tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya.
Naya memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Air matanya semakin meluruh ketika melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Bercak merah kebiruan tercetak jelas di sekujur tubuh. Bagian pangkal pahanya terasa sangat sakit.
Naya menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan dirinya. Bukankah ia memang berniat menjual keperawanan pada pria itu? Tapi kenapa ia sangat hancur dan merasa tak terima mahkotanya di renggut. Sekarang ia merasa sangat kotor.
"Tenangkan dirimu, Naya. Anggap saja ini sebagai ganti dari uang 70 juta yang kamu pakai," gumam Naya seolah menenangkan dirinya.
Bukannya tenang Naya menangis semakin deras dan menjadi-jadi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan yang berguguran butiran kristal bening. Suasana isak tangis mengudara dalam ruangan kecil itu.
•
•Argio mengusap wajahnya kasar. Pikiran pria itu selalu dipenuhi wajah Naya. Ada sedikit rasa bersalah dalam benaknya namun ia berusaha menepis rasa bersalah itu. Toh, Naya yang lebih dulu menggodanya. Lagipula ia juga sudah mengeluarkan uang puluhan juta untuk membantu wanita itu. Jadi, itu ia anggap sebagai imbalan untuk uang yang ia berikan.
Bagi Argio, Naya seperti tidak jauh beda dengan wanita bayaran yang sering ia temui, tapi bedanya Naya masih perawan dan belum terjamah oleh lelaki manapun.
Argio membuang napasnya kasar dan berusaha untuk fokus pada pekerjaannya. Begitu banyak lembaran kertas di atas meja, termasuk berkas untuk menyetujui kerja sama dengan perusahaan lain.
"Argio."
Suara tegas Hendrik memecah keheningan di ruangan itu, membuat Argio menoleh sejenak pada pria paruh baya yang baru saja memasuki ruangan.
"Ke mana saja kamu? Tiba-tiba pergi meninggalkan Bar tanpa memberitahu ku."
"Aku ada urusan mendadak. Bisakah Paman keluar dari ruangan ini? Aku butuh ketenangan." Saat ini Argio tak ingin diganggu termasuk diajak bicara.
Sebelah alis Hendrik terangkat. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda dari Argio. "Apa ada masalah?"
Argio memejamkan matanya sejenak. Sungguh, kehadiran Hendrik membuat kepalanya semakin pusing.
"Apa Paman tidak paham dengan perkataan ku? Tolong keluar dari ruangan ini! Jika tidak ada sesuatu yang penting jangan datang ke sini!" sergah Argio sedikit emosi.
"Baiklah, aku akan keluar. Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, Chelsea ingin menemui. Malam ini kalian berdua akan bertemu, sudah aku atur."
"Sudah? Sekarang keluar!"
Hendrik menggelengkan kepalanya pelan lalu setelahnya keluar dari ruang kerja pribadi Argio. Ia merasa Argio terlihat sangat aneh. Marah-marah tidak jelas. Sementara Argio menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Berusaha menenangkan pikirannya. Bukan apa-apa, ini baru pertama kali bagi Argio menjamah seorang wanita dan itu meninggalkan rasa bersalah namun berusaha ia tepis.
Tak terasa malam pun tiba. Argio turun dari mobil sedan mewahnya setelah sampai disebuah restoran bintang lima yang cukup terkenal di kota ini. Pria itu melangkah lebar penuh wibawa dengan raut wajah yang mendatar.
Seorang wanita dengan gaun yang cukup seksi segera bangkit dari tempat duduknya begitu melihat sosok Argio mendekat ke arahnya. Ia menampilkan senyuman terbaiknya saat melihat Argio mendekat.
"Selamat malam Bapak Argio, akhirnya kita bisa bertemu. Silahkan duduk."Dengan suara yang begitu lembut dan senyuman yang begitu manis Chelsea tampilkan.
"Langsung keintinya," ucap Argio setelah duduk di kursi.
Baru saja Chelsea hendak membuka suara Argio lebih dulu berbicara. Pria itu tidak ingin terlalu lama berinteraksi dengan Chelsea. Andai bukan karna kontrak proyek besar dengan orang tua Chelsea, ia tidak akan menemui wanita tersebut.
"Sebaiknya kita mengobrol santai dulu dan menikmati hidangan di restoran ini, Pak Argio. Aku sudah memesankan minuman untukmu."
Chelsea memberikan segelas minuman perasa."Silahkan di minum, Pak Argio."
Namun, pandangan mata Argio tidak tertuju pada minuman di hadapannya. Alih-alih meminumnya, matanya terpaku pada pemandangan ke arah jalan raya. Alisnya mengkerut ketika ia melihat sosok Naya melintas di tengah jalan, berjalan kaki
Ke mana wanita itu?
"Apa yang kamu lihat?" Chelsea mengikuti arah pandang Argio.
"Tidak ada. Sebaiknya kita bahas keintinya. Waktuku tidak banyak," ucap Argio sedikit mendesak.
"Tidak usah buru-buru seperti itu Argio, waktu kita masih banyak. Aku mengajakmu bertemu hanya ingin menghabiskan waktu berdua dan makan malam bersama," balas Chelsea dengan senyuman nakalnya.
Sejak pertama kali bertemu dengan Argio ia sudah tertarik dengan pria itu apalagi setelah tahu ayahnya menjalin kerja sama sebuah proyek besar dengan Argio.
Argio bangkit dari tempat duduknya membuat Chelsea mendongak."Jika tidak ada sesuatu yang penting tidak perlu mengajak bertemu. Pekerjaanku sangat banyak dan waktuku terbuang sia-sia hanya untuk makan malam bersama denganmu!"
Chelsea ikut bangkit dari tempat duduknya menatap lekat Argio."Apa salah aku ingin makan malam bersamamu? Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat lagi"
Mendengar itu membuat Argio berdecih pelan.
•
•Ibu Ani tersenyum senang ketika Naya datang menjenguknya. Hampir satu hari penuh Naya tak menemuinya. Tapi bu Ani paham dengan kesibukan sang putri yang tengah bekerja.
"Kamu sakit, Nay?" tanya bu Ani ketika menyadari wajah pucat Naya dan jangan lupakan jaket dan syal yang melingkar dileher putrinya.
Naya yang mendengar itu hanya tersenyum tipis.
"Tidak, Bu. Hanya tidak enak badan saja," jawab Naya membenarkan syal yang ia kenakan, untuk menutupi bercak merah dilehernya.
"Ibu hanya takut kamu sakit. Kalau kamu sudah sangat lelah jangan di paksakan untuk bekerja. Apakah kamu sudah tanya dokter Renal, kapan Ibu bisa pulang?"
Naya menggenggam tangan keriput bu Ani."Secepatnya Ibu akan pulang, tapi untuk sementara waktu masih masa pemulihan."
"Ibu mau cepat-cepat pulang, Nay. Sudah bosan dan sumpek di sini terus."
"Iya, nanti kita pulang setelah ibu benar-benar pulih, ya."
Sambil membuang napas kasar bu Ani mengangguk. Dada Naya terasa sesak dan perih ketika mengingat hal yang baru saja menimpanya di tambah melihat ibunya membuat ia merasa bersalah.
"Maafkan Naya, Bu. Mungkin Ibu akan kecewa dan marah setelah apa yang terjadi dengan Naya." bathin Naya.
•
•"Ini, uang tambahan untukmu dan tutup mulutmu jangan sampai menyebar luaskan atas apa yang baru saja kita berdua lakukan. Dan jangan lupa minum pil penunda kehamilan. Aku tidak sudi darahku ada dirahim mu."
Argio memberikan selembar cek dengan nominal uang yang sudah tertulis di sana. Tiba-tiba saja pria itu datang menemui Naya ke rumah sakit setelah menemui Chelsea di restoran.
"Kenapa diam? Ayo ambil!" Argio tampak kesal dengan Naya yang hanya diam seperti orang bodoh dimatanya.
Dengan ragu-ragu Naya mengambil cek yang Argio berikan. Jujur, dalam hatinya ia sangat benci dan marah dengan Argio tapi ia tidak bisa berbuat apapun. Ternyata benar, yang ber-uang selalu memiliki kekuasaan.
"Aku harap kamu pergi dari kota ini!"
Naya terdiam sejenak. Ia yang takut menatap mata tajam Argio, perlahan memberanikan diri membalas tatapan pria itu.
"Kenapa harus pindah?"
"Karna aku tidak ingin melihatmu di kota ini!"
Empat tahun kemudian …Suara tawa dan teriakan anak kecil mengisi sebuah kamar yang memiliki tiga kasur di dalamnya. Dua bocah berusia empat tahunan tampak berlari-larian dalam sana, mereka saling mengejar membuat sang kakak yang tengah fokus mengerjakan PR terlihat sangat terganggu."Jeva, Javier! Jangan teriak-teriak, kakak sedang mengerjakan tugas," tegur Levin lembut.Meskipun begitu, dua bocah kembar itu tak menggubris bahkan semakin menjadi-jadi membuat Levin frustasi dibuatnya. Levin yang kini berusia sepuluh tahun, tampak menggelengkan kepalanya. Dua adik kembarnya bukan hanya lucu tapi juga nakal.Levin membawa buku-buku pelajarannya keluar dari kamar. Ia akan mengerjakan tugasnya di perpustakaan pribadi milik ayahnya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" Suara sang mama membuat Levin berbalik badan. Tinggi badan Levin hampir menyamai Naya, dulu terlihat kecil kini dengan cepat tumbuh besar. Levin semakin menyerupai Argio."Levin mau ke perpustakaan, mau ngerjain tugas," balasnya."
Saat semua tengah tertidur nyenyak, Naya terlihat gelisah dan tidak karuan berbaring di kasur. Beberapa kali ia berpindah-pindah posisi dari telentang, miring ke kanan dan ke kiri, namun tidak membuat rasa sakit di perutnya mereda.Argio yang berbaring di samping Naya, tampak terusik tidurnya. Perlahan ia membuka matanya dan mendapati Naya meringis kesakitan sambil memegangi perutnya."Kamu kenapa, Sayang?" "Perutku sakit, Mas. Perih."Argio segera bangun dari kasur lalu menyentuh perut Naya."Sebelumnya kamu makan apa? Tidak mungkin kamu akan melahirkan, usia kandunganmu belum sembilan bulan."Naya yang merintih kesakitan langsung terdiam. Ia mengingat-ingat sebelumnya makanan yang dikonsumsi dari pagi sampai malam."Sepertinya gara-gara makan mangga mentah. Soalnya sebelum tidur aku minta Merry mengupasnya mangga lagi."Argio geleng-geleng kepala mendengar jawaban Naya."Kan aku sudah bilang, jangan makan mangga kebanyakan, Sayang. Sekarang lihatlah sakit perut' kan.""Mas, marah?" M
"Adek jangan nakal diperut Mama, kasihan Mama." Omelan lucu keluar dari bibir mungil Levin. Tangan mungilnya menepuk-nepuk perut Naya lembut. Meskipun kondisi Naya saat ini lemah, namun ia tidak bisa menahan tawanya mendengar omelan putranya. Dan tidak lama Argio masuk ke dalam kamar dengan membawa teh jahe hangat. "Minum dulu, Sayang. Kata Bunda ini bagus untuk perempuan hamil yang mual-mual."Dengan penuh perhatian Argio membantu Naya meminum teh jahe tersebut. Pria itu benar-benar menaruh seluruh perhatiannya pada Naya. Dengan dibantu oleh Argio, Naya meminum teh jahe yang diberikan. "Terima kasih.""Sama-sama, Sayang.""Itu apa, Yah?" Levin menatap penasaran pada air yang baru saja diminum oleh sang bunda."Ini teh jahe supaya Mama tidak mual-mual lagi, Nak. Levin mau coba?" tawar Argio.Dengan cepat Levin menggeleng. Melihat warna minuman itu saja sudah membuat bocah itu tidak berminat. "Hari ini aku ada urusan mendadak, Sayang. Mungkin sore baru pulang. Tidak apa-apa' kan j
Pada akhirnya, Argio mengalah dan memutuskan untuk menuruti apa yang diinginkan oleh istrinya. Meskipun ia merasa kebingungan sendiri karena tidak pernah menyentuh peralatan dapur, apalagi memasak nasi goreng sebelumnya.Argio membuka aplikasi YouTube di ponselnya dan mencari konten yang menunjukkan cara memasak nasi goreng. Sementara Naya duduk dengan tenang di kursi dapur, sambil memakan biskuit kesukaannya, menunggu nasi goreng yang akan dibuat oleh Argio.Awalnya Argio tampak bingung, namun dengan pelan-pelan ia membuat nasi goreng itu dan sekitar 30 menitan nasi goreng yang Argio buat sudah jadi. Aroma wangi dari masakan Argio, membuat Naya bangkit dari tempat duduknya."Sudah jadi?" Naya menatap nasi goreng yang tak karuan tampilannya, tetapi sangat menggoda baginya.Argio mengangguk ragu. Ia memindahkan nasi goreng itu ke dalam piring."Kalau nasi gorengnya tidak enak, tidak usah di makan ya?"Naya mengangguk mengiakan ucapan suaminya. Mata Naya berbinar-binar menatap nasi gore
Setelah mengetahui bahwa Naya tengah mengandung. Tanpa berpikir panjang, Argio segera pergi dengan mobilnya entah ke mana. Beberapa jam kemudian, Argio kembali ke mansion dengan membawa begitu banyak belanjaan, termasuk rujak yang ia beli di pinggir jalan.Argio tahu betul bahwa wanita hamil seringkali memiliki selera makan yang berbeda, dan banyak yang menyukai makanan yang asam-asam. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk memanjakan Naya dengan makanan yang ia sukai, seperti rujak. Argio berharap dengan memberikan perhatian seperti ini, bisa membuat kehamilan kedua Naya menjadi lebih istimewa dan berbeda dari yang pertama.Anggap saja hal yang ia lakukan sekarang sebagai penebus atas kesalahan yang ia lakukan saat Naya hamil pertama dulu."Sayang, aku bawakan sesuatu untukmu!" seru Argio masuk ke dalam kamar dengan membawa piring berisi rujak.Naya duduk bersandar di bahu ranjang dengan wajah yang tampak pucat. Wanita itu merasa tubuhnya masih terasa lemah."Masih pusing?" Argio melet
Argio keluar dari mobil dengan terburu-buru, saat mendapatkan kabar Naya pingsan. Ia segera pulang ke mansion tanpa memperdulikan pekerjaannya yang belum selesai. Wajah pria itu terlihat sangat panik bercampur khawatir."Bagaimana bisa dia pingsan?" bentak Argio yang tampak marah pada para pelayan."Saya tidak tahu Tuan, tiba-tiba Nona Naya sudah tergeletak di lantai. Awalnya Nona Naya mengeluh tidak enak badan," jawab Merry, sedangkan pelayan lain tertunduk ketakutan.Argio mendengus dengan perasaan campur aduk antara khawatir dan panik, ia melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa menuju kamar, dan dengan kasar membuka pintu kamar. Langsung ia menghampiri Naya yang belum sadarkan diri di atas kasur.Saat melihat Naya yang lemah dan tidak sadarkan diri, Argio merasa hatinya teriris melihat wajah pucat Naya. Argio duduk di samping Naya dan memegang tangannya dengan lembut."Sayang, bangun," ucap Argio lembut. Ia mencium tangan Naya berkali-kali.Takut, itulah yang Argio rasakan saat
"Silahkan di makan, Nona," ucap pelayan yang mengantarkan makanan untuk Naya.Pelayan berusia 30 tahunan itu tampak tersenyum-senyum melihat banyak bercak merah dibagian leher sang nona muda, membuat pelayan itu tidak bisa untuk tidak berpikiran kotor dengan apa yang ia lihat.Naya terlihat malu saat melihat arah tatapan pelayan. Ia menutupi seluruh tubuhnya sampai leher dengan selimut. "Terima kasih."Pelayan itu mengangguk lalu pamit undur diri dari kamar tersebut. Seharian Naya mengurung dirinya dalam kamar, ia benar-benar malu untuk sekadar menunjukkan wajahnya. Berbeda dengan Argio, pria itu seperti bunga mekar yang baru disiram air di pagi hari, dan saat ini Argio tengah pergi ke perusahaan karna ada sedikit masalah di sana.Dengan gerakkan lemas Naya mengambil makanan yang tersaji di meja. Dan saat ini ia tengah duduk bersandar di bahu ranjang. Dengan lahap ia menyantap makanan itu, bukan hanya kelaparan, namun tenaganya juga terkuras. Argio seperti singa yang sudah beberapa h
Naya melangkah keluar dari kamar mandi setelah melihat keadaan sekitar kamar yang tampak sepi, sepertinya Argio kembali keluar dari kamar. Ia melangkah sambil memeluk dirinya, kini ia mengenakan lingerie yang mertuanya berikan. Naya melihat pantulan dirinya di dalam cermin dan mengulum bibirnya. Lingerie yang ia kenakan sangat transparan, sehingga membuat celana dalam dan bra yang ia kenakan terlihat jelas. Rasa malu menyelimuti wajahnya."Lebih baik aku tidak mengenakan ini, aku malu," gumam Naya dengan wajah yang memerah.Ia berencana untuk kembali ke kamar mandi, tetapi suara pintu yang terbuka membuat bola matanya membulat sempurna. Tanpa pikir panjang, Naya langsung melompat ke kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, sehingga hanya kepala yang terlihat. Naya merasa sangat malu dan berharap Argio tidak melihatnya dalam keadaan seperti ini.Argio masuk ke dalam kamar sambil membawa laptop miliknya. Pria itu tersenyum pada Naya yang bersandar di bahu ranjang, wajah Naya
Mobil yang Argio kendarai berhenti disebuah pantai yang tampak sepi, membuat kening Naya mengernyit. Levin langsung menatap keluar jendela mobil melihat hamparan pantai yang begitu indah di tambah pemandangan matahari yang mulai tenggelam. "Kenapa kita ke sini?" tanya Naya menoleh ke arah suaminya."Kita istirahat dulu, kamu pernah ke pantai?" Argio balik bertanya. Naya menganggukkan kepalanya."Dulu pernah, tapi sekarang tidak pernah ke pantai lagi.""Ayah, kita ke pantai mau apa? Menangkap ikan?" Celotehan lucu Levin membuat Argio tertawa. Ia mencubit gemas pipi bulat putranya."Tidak, hanya beristirahat saja. Memangnya Levin mau menangkap ikan?"Dengan cepat Levin mengangguk. Bocah itu langsung membuka tas ransel miliknya lalu mengeluarkan pancingan mainan yang ia bawa. Argio yang melihat itu kembali tertawa, bisa-bisanya Levin membawa itu."Ayo sekarang kita turun." Argio lebih dulu turun lalu membukakan pintu mobil untuk istri dan anaknya.Hembusan angin pantai yang segar menerp