Home / Romansa / Pelukan Dingin Tuan Muda / 5. Cacing Di Otakku

Share

5. Cacing Di Otakku

Author: Qima
last update Last Updated: 2025-02-23 19:45:47

Bab 5

Laiba mengira jika panggilan itu akan berakhir dengan cepat, tapi kali ini Makky menunjukkan sisi lain dari dirinya yang tidak diketahui oleh Laiba selama mereka saling kenal. Makky menolak untuk menutup panggilan, meski sudah mengatakan sedang dalam perjalanan pulang.

"Bisakah kamu menemaniku sebentar saja?" ucap Makky dengan lirih, entah mengapa Laiba merasa itu seperti permohonan halus dan menyentuh dari seorang seperti Makky.

"Baiklah." Laiba menyanggupinya, tapi Laiba sambil berjalan pulang yang hanya butuh sepuluh menit dari universitas.

Sepanjang perjalanan mereka tidak membicarakan apa pun, bahkan pemuda di sana tampak sedang tertidur.

Laiba menggelengkan kepalanya pelan, tapi tidak memutuskan panggilan itu membiarkan panggilan itu tetap terhubung. Gadis itu tetap melakukan aktivitasnya, bahkan sempat membeli makan untuk dirinya sendiri sebelum sampai di rumah.

Ketika sampai di rumah, dan akan menyantap makanan yang baru dibelinya, Laiba mendengar jika Makky bangun dan memuntahkan isi perutnya tepat di depan matanya.

Rasanya Laiba ingin mengumpat karena tidak lagi nafsu makan setelah melihat semua itu, tapi ketika melihat wajah Makky yang tampak kelelahan membuat amarahnya sedikit mereda. Setelah merasa jika pemuda itu sedikit tenang, Laiba kembali membuka percakapan.

"Kenapa sampai membuat dirimu seperti ini? Aku tidak tahu jika kamu juga bisa hilang kendali."

"Itu karena Bram memaksaku untuk minum."

"Kamu bisa menolaknya." Laiba hanya tahu jika Makky dan Bram tinggal dan kuliah di tempat yang sama, tidak tahu apa pun selain itu.

"Hari ini dia ulang tahun, aku tidak dapat menolaknya." Nada bicara Makky begitu buruk, begitu juga dengan raut wajahnya.

"Teman yang baik," puji Laiba bersamaan dengan prihatin dengan kondisi pemuda di hadapannya, yang biasa selalu menjaga egonya itu.

"Tidak, tidak kamu salah," sangkal Makky sambil terpejam dan menggoyangkan jari telunjuknya perlahan. "Aku tiga tahun lebih tua dari Bram, anak itu menghormatiku seperti kakaknya sendiri. Kelurganya mengganggapku seorang bodyguard, tapi aku berperilaku seperti seorang pengasuh."

Laiba hanya tersenyum mendengar laki-laki itu terus mengoceh, menurutnya ada bagusnya ketika Makky mabuk pemuda itu akan banyak bicara dan mengutarakan semua yang tidak mungkin dikatakan ketika pemuda itu sadar.

"Kamu tahu mengapa aku menyelamatkanmu kala itu?"

"Kenapa?" Laiba menanggapinya dengan santai.

"Karena aku melihat Bram menyukaimu, meskipun Bram tidak mengatakannya aku tahu jika anak itu tertarik padamu karena aku sangat mengenalnya."

"Lalu?" Laiba tidak terlalu menganggap serius perkataan Makky.

"Di saat kamu memutuskan untuk menghilang dia pernah mencarimu, bahkan datang ke rumahmu dia mengatakan ingin mengintrogasi mantan kekasihmu, tapi karena kamu pernah melarangnya untuk tidak menyentuh Dedalu karena pemuda itu adalah orangmu. Setelah itu dia mengurungkan untuk tidak berurusan dengan Dedalu."

"Kamu tidak mengatakan apa pun tentangku padanya?" Laiba mulai percaya jika apa pun yang dikatakan oleh orang yang mabuk hampir tidak ada kepura-puraan.

"Aku bukanlah orang baik, tapi selalu memegang 

ucapanku."

"Jadi hanya karena Bram terlihat tertarik padaku kamu berusaha sangat keras selama ini untuk menjagaku dan melakukan banyak hal?" Entah mengapa Laiba sedikit tidak senang mendapati alasan ini.

"Tidak ...." Suara Makky semakin lirih dari sebelumnya yang membuat Laiba sedikit menantikan kelanjutan ucapan pemuda itu.

"Karena aku pernah di posisimu, aku juga pernah merasakan menjadi anjing terlantar yang menyedihkan, jika saat itu ayah Bram tidak memungut anjing ini dari selokan, mungkin aku tidak akan hidup sampai saat ini."

Laiba terdiam mendengar Makky membuka kartunya sendiri, Laiba tidak tahu jika hubungan mereka seperti ini selama mengenalnya hanya menebak jika mereka teman dekat yang sederhana dan sederajat, tapi tidak mengira jika ada banyak hal yang tidak sesederhana itu.

"Aku tumbuh besar bersama dengan Bram, orang tuanya ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya dan juga mengawasinya tanpa disadari anjing ini bukanlah seorang teman yang baik, malah berkhianat pada orang sebaik Bram. Karena aku bekerja untuk orang tuanya pernah ingin pergi menyudahi semuanya, tapi aku harus membalas budi seumur hidupku." Makky begitu emosional setelah mengutarakan isi hatinya, bahkan tampak sangat tertekan.

Laiba terus mendampingi Makky yang seolah sebentar lagi akan menangis, penampilan dingin dan tidak tersentuh Makky selama ini mungkin untuk menutupi sisi dirinya yang rapuh seperti ini. Laiba tersadar dari lamunannya ketika mendengar pintu digedor, tapi itu di dalam ponsel ada teriakan gege dari seorang pemuda.

Panggilan gege biasanya digunakan untuk saudara laki-laki yang lebih tua. Pintu itu terbuka dan menunjukkan pemuda dengan wajah familiar.

"Ge, apa yang kamu lakukan di sini?" ujar Bram mendapati Makky duduk di lantai kamar mandi. 

Laiba bisa melihat semuanya bagaimana Bram peduli pada Makky, panggilan itu masih terhubung memungkinkan untuk Laiba melihat semuanya, tapi Laiba menyembunyikan dirinya sendiri agar tidak terlihat.

***

Setelah insiden pengakuan Makky hari itu, Laiba tidak pernah menyinggung sedikit pun apa yang diketahuinya tentang Makky dengan kepribadian Makky yang tertutup. Mungkin orang lain tidak di inginkan mengetahui kelemahannya, dan Laiba tentunya akan menutup rapat-rapat mulutnya sendiri.

Berprilaku seolah-olah tidak tahu apa pun rahasia yang disimpan rapi Makky selama bertahun-tahun, akan tetapi menjadi rahasia menurutnya harga diri pemuda itu cukup tinggi dan pantas untuk mendapatkannya karena sejauh ini pahlawannya itu belum pernah mengecewakan dirinya.

Laiba mengenyampingkan perihal rahasia Makky, kini dirinya masih bergulat dengan otaknya sendiri karena memorinya yang kembali menyegarkan bayangan pemuda yang pernah singgah di hatinya, yang sukses membuatnya marah.

Otaknya akan berjalan dengan lancar ketika Laiba menggambar dengan inspirasi dari Dedalu, bahkan Laiba kesulitan untuk mencari inspirasi dari yang lainnya.

Hampir satu bulan Laiba dibuat gelisah oleh pikirannya sendiri, terlebih minggu ini ada ujian praktek yang mengharuskan dia menggunakan otaknya semaksimal mungkin.

"Ok, aku akan memaafkanmu kali ini." Laiba bicara pada dirinya sendiri, karena tidak ada pilihan lain demi mengejar studinya berhubung nama Dedalu juga nama sebuah pohon, dan agar dirinya tidak merasa bersalah sepenuhnya pada dirinya sendiri.

Mencoba membodohi diri sendiri dengan membuat sebuah desain sebuah baju terinspirasi dari pohon Dedalu, gaun itu di penuhi dengan helaian demi helaian daun Dedalu.

Laiba memandangi hasil karyanya selama dua minggu ini, jika ada pilihan lain Laiba memilih untuk menggunakan hasil karyanya yang lain. Hasil karya yang dibuat dengan setengah-setengah, hasil pun tidak akan mungkin memuaskan.

Di tengah kegalauannya sebuah pesan masuk. "Firasat buruk."

Laiba menyipitkan matanya ketika membaca pesan dari Makky itu. "Apakah kamu seekor cacing di otakku," umpat Laiba pada ponselnya sendiri, seolah mengumpat pada Makky. Meskipun pemuda itu hanya mengirimkan dua kalimat, tapi Laiba dapat membayangkan bagaimana tatapan pemuda dingin itu yang memiliki firasat buruk padanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    90. Babak baru

    Ali cukup terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya namun lebih terkejut lagi melihat Laiba yang hanya diam melihat Dedalu menciumnya, mulut Ali sudah terbuka namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya sebuah tawa kering membalas senyuman Dedalu padanya setelah menyapa Laiba dengan sebuah kecupan ringan di pipi."Apa yang sedang kalian obrolkan?" tanya Dedalu langsung mengambil duduk di samping Laiba.Laiba hanya diam tidak merespon barulah Ali yang angkat bicara. "Tidak ada hanya mengobrol biasa," jawab Ali yang sedikit canggung. Ini adalah pertama kalinya Ali merasa canggung bicara dengan sahabatnya yang telah belasan tahun berteman."Kamu tidak bekerja?" tanya Dedalu pada Laiba namun Laiba masih cuek dan malah mengambil minumannya namun kopi itu belum mencapai bibirnya Dedalu sudah lebih dulu merebutnya dan meminumnya sendiri alhasil Dedalu langsung membatalkan niatnya meminum kopi itu ketika rasa pahit menyebar ke rongga mulutnya."Minuman apa yang kamu suguhkan

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    89. Saksi mata

    "Kamu?" Laiba menatap tajam kearah Dedalu. "Saat itu kamu masih bersama dengan Ayana bagaimana kamu memiliki pemikiran seperti itu. Apalagi saat itu kalian akan bertunangan?""Aku memang laki-laki bejat dan aku lebih suka kamu memaki aku daripada terus acuh," sahut Dedalu dengan cepat."Pergilah," ucap Laiba sambil berpaling dan menutup matanya, tiba-tiba kepalanya terasa berat memikirkan bagaimana bisa dirinya yang dulu begitu tergila-gila terhadap pria ini.Akan tetapi Laiba segera membuka matanya ketika jemari laki-laki itu memegang sisi wajahnya dan lagi-lagi mencuri sebuah ciuman darinya. Kejadian itu begitu cepat Laiba sampai lupa untuk menghindar bahkan setelah ciuman itu selesai."Bisakah kita bersama lagi? Aku berjanji tidak akan menyakitimu seperti dulu."Laiba membuang napas melalui mulutnya menatap mata laki-laki itu yang nampaknya begitu serius dengan ucapannya namun Laiba sulit untuk dibujuk."Aku tidak mau," jawab Laiba datar."Kenapa? Apakah aku tindak pantas untukmu a

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    88. Kehabisan energi

    Laiba meminta Namu untuk mengantarkan dirinya kembali ke butik lebih baik menunjukkan tempat kerjanya daripada memberitahukan namun tempat tinggalnya pada orang asing yang baru dikenalnya sehari, sepanjang perjalanan Laiba hanya mengiyakan ataupun menggeleng tiap kali laki-laki itu mengajukan pertanyaan. Senyuman merekah pria itu terus terpancar dari mereka keluar dari kediaman Baswara sampai mobil itu berhenti di depan butik."Kamu tahu Laiba aku sangat senang bisa mengenalmu," ucap Namu sambil menyetir menoleh sekilas pada Laiba menunjukkan senyumannya."Matamu tidak buta bahkan jika kamu tidak mengatakannya itu sudah terpampang nyata di wajahmu," sahut Laiba dalam hati namun mulutnya masih tertutup rapat hanya tersenyum tipis pada Namu.Mobil itu akhirnya berhenti didepan butik, Laiba segera bersiap untuk turun. "Terima kasih," ucap Laiba sambil melepaskan sabuk pengaman dari tubuhnya."Aku akan menghubungimu," sahut Namu.Laiba yang sudah akan keluar kembali lagi ke tempat dudukny

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    87. Masih menjadi yang terbaik

    Dahayu belum puas mengintrogasi Laiba, Laiba masih penasaran kenapa perempuan didepannya ini mau-maunya datang kemari padahal di hari pernikahannya Dahayu melihat dengan kepala matanya sendiri bagaimana Bram nampak begitu menyukai Laiba meskipun demikian terang-terangan sudah ditolaknya."Jika kamu tahu jika mereka ayah dan anak, kamu masih akan datang kemari?"Aku akan datang," jawab Laiba lirih, energinya sudah hampir habis setelah melayani 4 orang terlebih Una yang mengajaknya berdebat."Kenapa?" tanya Dahayu tidak percaya dengan jawaban Laiba."Kenapa harus kenapa? Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Bram kami hanya teman tidak perlu merasa takut pada keluarganya karena aku tidak melakukan kesalahan apapun? Aku hanya sedang bekerja," sahut Laiba dengan tidak senang mungkin juga terpengaruh oleh rasa lelahnya, tubuhnya tidak lelah namun perasannya yang lelah ketika banyak orang yang menganggap jika dirinya pernah memiliki hubungan dengan tuan muda itu.Melihat Laiba yang suda

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    86. Sesi interogasi

    Orang pertama yang diukur tubuhnya adalah Bas yang memiliki nama panjang Baswara laki-laki itu berdiri tegak dan Laiba mengucapkan kata maaf dan permisi sebelum menyentuh tubuh laki-laki itu. Laiba merasa jika Baswara adalah Bram versi tua namun menurut Laiba aura laki-laki ini jauh terpancar dari pada anak itu."Apakah pekerjaan yang kamu geluti melelahkan?" tanya Baswara membuka pembicaraan saat Laiba mengukur panjang lengannya."Semua pekerjaan melelahkan tuan," jawab Laiba pelan dan sopan."Diusia mu sudah waktunya menikah cari laki-laki yang mapan dan kamu hanya perlu menjadi istri dan ibu yang baik tidak perlu bekerja keras lagi."Laiba hanya tersenyum menanggapinya, jika itu orang lain mungkin Laiba akan mengutarakan isi otaknya jika tidak sependapat dengan pemikiran ini namun orang yang bicara adalah orang terpandang terlebih ayah dari orang-orang itu maka Laiba memilih untuk diam dan tersenyum melanjutkan pekerjaannya."Kebetulan Namu sedang mencari seorang istri, dia generas

  • Pelukan Dingin Tuan Muda    85. Keluarga Baswara

    Asisten Laiba yang bernama Zumi membawa seorang wanita berpakaian formal ke ruang Laiba, Laiba tidak mengenal wanita itu akan tetapi wanita itu nampak sudah tidak asing dengan dirinya. Wanita memperkenalkan dirinya sebagai asisten Pak Bas dan datang karena pemerintah laki-laki itu barulah nama Bas di sebut Laiba mengerti, orang penting dan sibuk seperti itu tidak mungkin memiliki banyak waktu luang untuk datang sendiri lagi ke tempat ini seperti terakhir kali."Atas permintaan tuan besar saya datang untuk mengundang nona ke rumah besok malam secara langsung," ucap wanita itu dengan sangat sopan."Ada keperluan apa?""Tuan besar mengatakan sebelumnya sudah memberitahukan jika akan menggunakan jasa nona untuk acara penting tuan muda.""Aku ingat itu." Laiba mengingatnya jika pak Bas memang pernah mengatakan tentang itu ketika berkunjung beberapa waktu yang lalu."Saya akan datang secara pribadi.""Mobil jemputan akan datang jam 8 malam.""Terima kasih."Setelah berpamitan wanita itu per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status