Hanya dapat tersenyum ketika melihat wajah-wajah bahagia teman-teman seangkatannya mendapatkan gelar dan berbagi kebahagiaan bersama dengan keluarga beserta orang terdekat mereka sedangkan gadis itu hanya duduk di ujung menunggu sesi pemotretan jika tidak mungkin gadis itu telah melarikan diri dari hiruk-pikuk ini. Tidak ada rasa iri maupun penyesalan karena Laiba sudah memilih jalan ini tentunya tidak berharap berbagi kebahagiaan atas kelulusannya.
"Keluargamu tidak datang?" tanya seorang teman seangkatannya hanya saja Laiba tidak mengetahui namanya hanya tahu karena dia cukup populer. "Rumahku jauh." Itu jawaban yang mudah dan tidak akan ada banyak pertanyaan lainnya. Di saat sesi pemotretan ada kehebohan di sekitarnya Laiba sama sekali tidak tertarik pada apa yang membuat teman-temannya heboh hingga sesi pemotretan itu tidak kondusif karena mereka saling berbisik. Tapi setelah melihat kemana asal muasal para wanita di sekelilingnya heboh Laiba mengerti dan mengangkat kedua alisnya sambil memandangi seorang pemuda yang berdiri tidak jauh dari kelompok mahasiswa yang baru saja lulus ini dengan membawa sebuah buket bunga Peony berwarna pink berukuran besar. "Anak itu," gumam Laiba mengejek ke arah pemuda itu namun di susul dengan sebuah senyuman kepuasan. Sesi pemotretan itu berakhir namun mereka menolak untuk pergi semuanya masih menunggu wanita mana yang beruntung mendapatkan buket indah itu dan terpenting pemuda itu sangat menyenangkan untuk di pandang membuat banyak mata iri. Laiba tidak berpikir sejauh itu setelah tugasnya di sini selesai tentunya akan menghampiri Makky yang sudah menunggunya ketika Laiba mengambil langkah menuju Makky para hadirin itu begitu heboh dan Laiba mengabaikan desas-desus di belakangnya. "Selamat," ucap Makky menyerahkan buket ditangannya. Laiba menerimanya namun tidak dapat menyembunyikan tawa kecilnya sampai pundaknya terangkat dan kepalanya tertunduk. "Ada yang lucu?" tanya Makky heran. Laiba menggeleng masih dengan tersenyum. "Tidak takut orang mengira jika aku kekasihmu?" "Sejak kapan aku memikirkan pendapat orang lain?" Makky malah balik bertanya. Ini adalah kali pertama mereka bertatap muka setelah berpisah kala itu tidak ada yang berubah Laiba hanya merasa pemuda di depannya itu nampak lebih dewasa dan auranya jauh lebih keluar. "Kapan kamu kembali?" "Kemarin." "Langsung terbang ke sini?" "Eemm," gumam Makky sambil berbalik dan Laiba pun mengikutinya. Laiba tahu jika Makky akan datang menemuinya setibanya di tanah air untuk memperkenalkannya pada seseorang yang memiliki butik terkenal di Surabaya yang nantinya akan menjadi tempat kerja Laiba namun tidak menyangka jika Makky akan datang hari ini di hari wisudanya. "Terimakasih," ucap Laiba sambil mencium buket di tangannya Makky tidak mengatakan apapun pemuda itu hanya melirik sekilas ke arah gadis di sampingnya yang nampak bahagia. Sebelum bertemu dengan pemilik butik mereka terlebih dahulu pulang ke rumah Laiba rumah yang ditinggali sendirian selama berkuliah. Laiba membuatkan secangkir kopi untuk Makky dan mempersilahkan duduk di dekat jendela sedangkan dirinya segera berganti pakaian tidak butuh waktu lama Laiba sudah keluar dengan pakaian formalnya bagaimanapun hari ini akan melamar pekerjaan setidaknya harus nampak sedikit serius. Laiba memanaskan makanan untuk mereka berdua awalnya Makky menolak namun Laiba mengatakan jika dirinya lapar membuat pemuda itu mau menemaninya makan. "Tidak buruk," gumam Makky sambil mengunyah. "Tenang saja aku memiliki banyak bakat aku akan menghasilkan banyak uang nanti untukmu." Makky tersenyum mengejek mendengar kesombongan Laiba namun kesombongan itu bukanlah omong kosong, Laiba memiliki banyak kelebihan terlebih gadis ini cantik tentunya dengan bakat dan ketekunannya mencari pekerjaan bukanlah hal yang sulit untuknya. Meja itu kembali diam keduanya tengelam dengan pikiran mereka masing-masing Laiba yang tiba-tiba teringat ketika Makky menghubunginya di saat mabuk mengatakan banyak rahasia yang membuka mata Laiba, pemuda di depannya ini sebenarnya menyimpan banyak luka dan masa lalu kelam Laiba berjanji pada dirinya sendiri jika tidak akan mengecewakan kepercayaan pemuda ini dan membantunya mencari kebahagiaan entah dengan cara apapun. Pertemuan yang sudah di atur itu berjalan lancar tidak perlu ada yang di takutkan ketika Makky sudah turun tangan tidak ada hal yang tidak akan berjalan lancar. "Kapan kamu pergi?" tanya Laiba ketika mereka berjalan bersama setelah dari butik. "Malam ini." "Cepat sekali?" "Aku bukan pengganguran," timpal Makky sambil memperhatikan kawasan di sekitar yang sangat ramai. "Bram juga sudah kembali?" Makky tidak langsung menjawabnya terlebih dulu melirik ke arah Laiba kemudian menggumam sebagai jawabannya. "Cari apartemen dekat sini," Makky mengalihkan pembicaraan. "Untuk apa?" "Rumah itu cukup jauh dari sini." "Aku sudah nyaman tinggal di sana lingkungannya cukup baik." "Kontrak di sana mahal, aku tidak akan memperpanjang kontrak." "Ohh ... kini bisa pelit juga," sahut Laiba seakan tidak senang. "Mulai saat ini aku akan perhitungan denganmu." "Baik tuan muda Makky," jawab Laiba sambil menangkupkan kedua tangannya di perutnya dan menekuk sedikit kedua kakinya sebagai tanda hormat pada Makky, cara penghormatan ini biasanya dilakukan seorang pelayan pada tuannya oleh bangsa Tiongkok. "Terlalu drama," umpat Makky namun setelah itu tersenyum kecil namun menyembunyikan itu dari Laiba. Mereka menghabiskan waktu bersama berkeliling sebelum Makky kembali ke kota asal merasa sebagai tuan rumah Laiba menjadi pemandu yang baik mengantarkan Makky ke banyak tempat yang menurutnya menarik namun pada akhirnya mereka hanya duduk di bandara sambil bermain catur. Keduanya memiliki kepribadian yang cukup mirip daripada berkumpul dengan banyak orang lebih baik duduk dalam ketenangan mereka duduk hampir dua jam tanpa banyak membahas sesuatu. Laiba seorang yang lugas tidak dapat berbasa-basi begitupun Makky yang selalu menghemat tenaga hanya akan membicarakan sesuatu yang penting saja. "Apa yang akan kamu kerjakan setelah kembali?" Laiba memecah kesunyian. "Membantu Bram di perusahaan." Laiba mengangguk kecil sambil menjalankan bidak di depannya karena reaksi Laiba yang tenang malah membuat Makky merasa aneh seharusnya Laiba menaruh curiga pada umpan yang di berikan oleh Makky. Awalnya Makky ingin berterus terang sedikit tentang hubungannya dengan keluarga Bram namun reaksi Laiba yang tidak sedikitpun terkejut membuatnya bertanya-tanya. "Kamu tahu sesuatu?" tanya Makky dengan tatapan mengintrogasi. "Apa?" "Aku dan Bram." "Sedikit." "Dari mana?" Laila tidak menjawab hanya menunjuk kepada pemuda di depannya. "Kapan?" "Aku hanya menembaknya, kalian bersahabat sejak kecil pasti memiliki hubungan lebih dari sekedar teman." "Bohong. Kamu tidak pandai berbohong," Makky nampak kesal dibodohi oleh Laiba. Laiba tidak terganggu dengan kemarahan Makky, menggunakan satu tangannya untuk menopang wajahnya menatap kembali pemuda yang terus mencoba mengintimidasi dengan tatapnya yang tajam itu. "Aku tahu dari mana? Kita sudah lama kenal tapi aku sama sekali tidak tahu menahu tentangmu lagipula aku juga tidak berniat mencampuri urusan pribadimu aku sudah cukup sibuk dengan diriku sendiri." Makky tidak bergeming nampaknya cukup sulit menyenangkan pemuda ini. "Aku hanya tahu sedikit orang awam pun akan tahu bagaimana hubungan baik kalian berdua hanya dengan melihatnya." "Laiba!" Laiba sedikit terkejut dengan bagaimana Makky memanggilnya ini adalah kali pertamanya pemuda itu memanggil namanya dan Laiba tidak lagi dapat mempermainkan pemuda yang nampak sangat serius itu saat ini. "Kamu mabuk saat ulang tahun Bram," Dengan cepat Laiba mengatakan itu.Dedalu tidak sedang membuat ekspresi wajah yang di buat-buat, laki-laki itu tulus minta maaf hanya saja semuanya sudah terlambat. Dedalu masih berusaha menunjukkan letusannya pada perempuan yang telah mati rasa padanya."Aku sangat menyesal seharusnya aku mempercayaimu bukan orang lain. Jika saja saat itu aku tidak bodoh mungkin sekarang kita sudah punya keluarga kecil dan juga putra kita ...." Dedalu berhenti bicara karena mengingat bagaimana ia bisa tahu tentang Laiba yang mengandung dari Bram yang sedang kalut saat itu ketika mengetahui kabar kecelakaan yang menewaskan Makky dan Laiba membawa Bram datang menghampiri Dedalu untuk melampiaskan semua kesedihannya. Jika bukan karena Bram yang teramat sedih Dedalu tidak akan pernah tahu apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Laiba. "Aku, aku sangat menyesal. Aku sangat bodoh." Mulut laki-laki itu berantakan begitu juga dengan otaknya.Laiba tidak menyahut lagi karena kembali teringat akan Rui, putranya yang tidak sempat melih
"Apakah ada karyawan bernama Dedalu?" tanya Makky pada Nungki. "Sepertinya nama itu tidak asing, saya akan konfirmasi dulu," jawab laki-laki itu kemudian mencari informasi tentang orang yang dicari oleh atasan barunya ini. Setelah lima menit Nungki mengakhiri panggilan dan menghadap Makky. "Ada tuan." " ... " Laki-laki itu sedikit gugup menghadapi atasan barunya yang tidak membuka mulutnya. Karena dia harus bisa membaca situasi sungguh berbeda dengan atasannya yang lama yang langsung menunjukkan apa perintah dan keinginannya. Dengan mulut Makky yang masih tertutup rapat Nungky berinisiatif untuk melanjutkan bicaranya. "Dedalu bekerja di perusahaan ini 6 bulan yang lalu sebagai fotografer." "Pecat dia!" "Ha?" Nungky begitu terkejut mendengar ini. "Tapi kesalahan apa yang dia perbuat?" "Aku hanya tidak suka melihatnya." Nungky menelan ludahnya dengan susah payah sambil menatap atasannya yang berwajah dingin itu. "Perusahaan harus membayar denda untuk ini," uj
Jemputan mereka datang begitu pagi karena jarak yang begitu jauh dan tidak bisa mengebut karena kondisi Laiba, mereka berdua keluar dari rumah itu hanya membawa tubuh dan pakaian yang mereka kenakan, meskipun tidak tahu kapan mereka akan kembali namun semua hal telah disiapkan oleh Mia Sundara di kota dimana mereka akan memulai kehidupan mereka yang baru, untuk yang kesekian kalinya."Kamu siap?" tanya Makky pelan pada perempuan yang duduk di sampingnya."Ya," sahut Laiba dengan senyuman lebar tangannya di genggam erat oleh pihak lain seolah mereka sedang melangkah menuju kehidupan yang baru berbeda dari kehidupan yang mereka jalani selama ini.Mobil mewah itu membawa pasangan itu dalam perjalanan yang tidak sebentar menuju sebuah kediaman yang mewah namun tidak terlalu besar, Makky berpikir jika kediaman Mia Sundara akan lebih besar daripada kediaman orang tua angkatnya, nyatanya Mia Sundara hanya tinggal sendirian dengan kepribadiannya yang rendah hati pantaslah jika wanita itu hany
Laiba mempererat pelukannya pada pria yang berbaring di sampingnya, entah sejak kapan perempuan itu sudah tidak lagi takut pada kegelapan, mungkin karena setiap saat ketika tidur ada seseorang yang terus menemaninya hingga tidak punya kekhawatiran apapun ketika suasana yang gelap di sekelilingnya. "Kenapa belum tidur?" ucap Makky dengan suara beratnya. "Ingin ke kamar mandi?" Laiba hanya menggeleng pelan kemudian menempelkan wajahnya pada dada pihak lain, tercium aroma familiar dari pria itu jika tidak mengirup aroma ini dan menyentuh tubuhnya yang hangat mungkin Laiba akan merasa gelisah. Suara-suara serangga di luar terdengar jelas menemani malam mereka yang sunyi, karena menempel pada dada Makky perempuan itu juga mendengar dengan jelas detak jantungnya itu semua membuatnya merasa nyaman dan aman. Makky menyalakan lampu di sampingnya kemudian menopang dirinya dengan satu sikunya hingga wajahnya berada di atas perempuan itu, Makky menatap Laiba yang sedang berusaha beradaptasi de
Makky membuang puntung rokok untuk yang kesekian kalinya pandangannya tidak lepas dari dua perempuan yang telah bicara cukup lama, laki-laki yang berdiri di sampingnya juga tidak berani membuka mulutnya lagi melihat bagaimana wajah Makky yang suram seperti gerhana. Meskipun wanita itu bisa mendatangi Laiba karena seijinnya namun tetap saja ada perasaan tidak rela juga cemburu melihat orang lain berinteraksi begitu dekat dengan wanitanya.Makky terus memantau dua wanita yang terus bicara itu salah satu dari mereka menoleh ke arahnya membuat Makky dengan cepat menyembunyikan rokoknya yang membuat laki-laki di sampingnya mengangkat alisnya akan tindakan itu, ternyata seekor serigala yang terkenal tidak bisa ditaklukan ternyata masih akan tunduk pada pasangannya. Perempuan itu tersenyum pada Makky kemudian dibalasnya dengan senyuman yang indah hingga laki-laki yang disamping Makky terkejut melihat pemandangan ini. "Ternyata dia bisa tersenyum juga," ujarnya dalam hati karena telah mengen
Cuaca hari ini lebih hangat, Makky berani membawa Laiba keluar rumah duduk di halaman. Halaman itu didominasi banyak pasir dan bebatuan karena bunga batu hidup menyukai media tanam seperti itu. Makky mengambil alas yang mereka gunakan untuk duduk di atas tanah duduk diantara bunga-bunga yang ditanamnya sendiri dengan pemandangan gunung yang indah. Laiba sedang belajar menulis diantara kaki pria itu, hingga pihak lain bisa memeluknya dari belakang dengan selimut yang masih menghangatkan tubuh mereka. Makky tidak melakukan apapun hanya memperhatikan tangan yang masih kaku itu kembali memulihkan kemampuannya menulis dan sesekali mencium rambut perempuan itu. "Cukup untuk hari ini," ujar Makky sambil meraih buku dari tangan Laiba. "Semakin hari tulisanmu sudah bisa lebih rapi." Perempuan itu hanya tersenyum tipis mendengar setiap pujian Makky, Laiba yang lelah menempelkan punggungnya pada dada pihak lain dan pria itu menyambutnya dengan pelukan hangat. "Aku punya sebuah cerita," ujar